.

Jumat, 24 Februari 2012

Ukhuwah Islamiah


Assalamu'alaykum Wr. Wb;

Apa Makna Ukhuwah Islamiah bagi kalian?
Mungkin kalian lebih mengerti akan makna Ukhuwah Islamiah..
Tapi bagiku Ukhuwah Islamiah adalah :

PENGERTIAN :
  • Secara Umum : Mempererat tali persaudaraan sesama Muslim.
  • Secara Islam  : Menjalin hubungan antar sesama Muslim agar terbentuk suatu persatuan dan kesatuan   yang kokoh demi Kemajuan umat, serta agar dapat saling mengenal antar Saudara se-Adam seperti yang telah dijelaskan dalam Al-Qur'an (Q.S. Al-Hujurat 49 : Ayat 13).

HAKEKAT Ukhuwah Islamiyah :

1. Nikmat Allah (QS. 3: 103)
2. Perumpamaan tali tasbih (QS. 43: 67)
3. Merupakan arahan Rabbani (QS. 8: 63)
4. Merupakan cermin kekuatan iman (QS. 49: 10)

Dalam QS. al-Hujuraat : 10 juga disebutkan :
"Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara, makadamaikanlah antara saudara-saudara kamu (apabila mereka berselisih), dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu diberi perasaan kasih sayang."

TINGKATAN Ukhuwah Islamiyah :
  1. Ta’aruf (saling mengenal). Merupakan terjadinya interaksi yang dapat lebih mengenal karakter individu yang satu dengan individu yang lainnya.
  2. Tafahum (saling memahami). Saling memahami adalah kunci Ukhuwah Islamiyah. Tanpa tafahum maka ukhuwah tidak akan berjalan. Dengan saling memahami maka setiap individu akan mudah mengetahui kekuatan dan kelemahannya dan juga dapat menerima perbedaan.
  3. Ta’awun (saling menolong). Saling membantu dalam kebaikan adalah kebahagiaan tersendiri. Manusia adalah makhluk sosial yang butuh berinteraksi dan butuh bantuan orang lain.
  4. Takaful (saling menanggung). Takaful adalah tingkatan ukhuwah yang tertinggi yaitu sesama umat muslim rasa sedih dan senang harus diselesaikan bersama.

PEMBAGIAN :
  • Sesama Muslim : Yang dimaksud ialah dapat saling bekerja sama untuk memajukan Islam antara Saudara Muslim yang satu dengan yang lain.
  • Lingkungan Keluarga : Yang dimaksud ialah dapat membentuk keluarga yang Sakinah, Mawadah, dan Rahmah, serta menjalankan kewajiban sesuai dengan tugasnya masing-masing, sehingga tercipta keharmonisan.
  • Lingkungan Masyarakat : Yang dimaksud ialah dapat berkomunikasi dengan masyarakat di lingkungannya dan dapat menjalin hubungan yang baik, serta gotong-royong.

CONTOH Mulai Pudarnya Ukhuwah Islamiah :
  • Yaitu ketika semua orang sibuk dengan pekerjaannya, sibuk dengan kepentingan pribadi masing-masing, mulai saat itulah diri seseorang lebih mementingkan egonya dan mulai saat itulah mereka akan lupa dengan saudara sesama muslimnya, dan saat itu jugalah hubungan tali persaudaraan mereka akan putus sedikit demi sedikit tanpa mereka sadari.

CONTOH Lagi Tentang Pudarnya Ukhuwah Islamiah :
  • Yaitu ketika Negara Israel membumi hanguskan Negeri Muslim Palestina, Negeri dimana jaman dahulu telah dikuasai Islam secara makmur, namun apa kenyataannya sekarang?! Negeri tersebut hanya menjadi sasaran empuk dan ganyangan Israel. Lalu apa yang dapat kita lakukan disini? Apa..???!!! yang dapat dilakukan Negeri-Negeri Islam yang lain?! Negeri tetangga seperti Arab dan Mesir saja lebih meilih diam membisu, hanya menyaksikan saja saudara-saudaranya dibantai secara BIADAB! oleh Israel. Lalu kemana pemimpinnya?!... Mereka hanya disuap!!... dibungkam!!.. oleh Negara Kafir dan Teroris ( itu sendiri ).

Disinilah contoh yang ditunjukkan pudarnya Ukhuwah Islamiah, malah bukan pudar tapi RUSAKNYA!! dan ROBOHNYA!! Ukhuwah Islamiah.


Saat saudara-saudara kita butuh bantuan...

Saat saudara-saudara kita hanya menangis... merintih kesakitan...

Persatuan dan Kesatuan Islam telah hancur lulu lantah, tidak ada satu pun Persatuan dan Kesatuan Islam yang terlihat...

Lalu Apa yang mereka lakukan...??!!

Apa yang Mereka perjuangkan selama ini...??!!

Ataukan hanya kesenangan...??!! Kekuasaan belaka...

... NA'UDZUBILLAHIMINDZALIK ...


Lihatlah mereka, kaum kafir, negara kafir, persatuan dan kesatuan mereka tercipta dengan kokoh untuk menjatuhkan Umat Islam... Sedangkan kita tidak bisa melakukan apa-apa disini...

Untuk itu... Marilah kita bangun Ukhuwah Islamiah kita...Mari kita bangun sedikit demi sedikit...Agar kita dapat membentuk Persatuan dan Kesatuan yang kuat, Ukhuwah Islamiah yang kokoh... Amin




Wassalamu'alaykum Wr. Wb.

Urgensi Lembaga Dakwah


Oleh: Oktafiyanto, Teknik Elektromedik 2005
Politeknik Kesehatan Jakarta II

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yg menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung” (QS. Ali Imron: 104)
Islam mengajarkan kepada kita untuk berdakwah atau menyampaikan kebaikan yang bersumber dari nilai-nilai Islam. Dahulu, saat di bangku sekolah kita mengenal Rohis (Rohani Islam) sebagai wadah syi’ar Islam & pengibar nuansa keislaman di lingkungan sekolah. Maka, di lingkungan kampus terdapat LD (Lembaga Dakwah) yang menjadi motor dalam menanamkan nilai-nilai Islam serta menjaga bi’ah Islam di lingkungan Kampus.

Yang menarik untuk dibahas di sini adalah objek dakwah nya, yakni mahasiswa. Dibandingkan dengan dakwah pada ranah lain, objek dakwah di lingkungan kampus sangatlah unik. Objek nya adalah mahasiswa yang dikenal memiliki kapasitas intelektual yang homogen, yaitu berpendidikan, logis, serta terbuka terhadap informasi baru. Dengan menilik pula potensi mahasiswa yang dekat dengan masyarakat dan memiliki akses ke pemerintahan, terbuka pula kesempatan mereka untuk dapat menyebarkan nilai-nilai Islam secara lebih luas.

Terlebih melihat peran mahasiswa sebagai penerus peradaban bangsa, maka akan menjadi sangat penting untuk menjaga dan membina ‘potensi’ besar yang ada pada diri mereka untuk nantinya diarahkan ke arah yang labih baik, sehingga masyarakan bisa merasakan bahwa mahasiswa yang akan memimpin bangsa di masa yang akan datang adalah orang-orang yang mampu melandasi kecerdasan intelektualnya dengan fondasi agama yang kuat. Sosok-sosok inilah yang amat dinanti-nantikan bangsa ini untuk perubahan Indonesia di masa yang akan datang.
Untuk itulah maka penting adanya Lembaga Dakwah yang menjadi sebuah badan penyebar nilai-nilai Islam di lingkungan kampus, guna mengadakan perbaikan dan penjagaan terhadap calon penerus peradaban bangsa.

Kampus Sebagai Inkubator Peradaban
Seperti yang telah kita ketahui, kampus merupakan miniatur dari kehidupan di dunia nyata. Dengan segala realita dan heterogenitas yang ada di dalamnya, kampus telah berkembang menjadi laboratorium mini bagi para pemimpin masa depan bangsa. Maka tidak heran bila banyak yang berkata, “Ketika anda bisa memimpin mahasiswa di Kampus anda, maka anda bisa memimpin negara”. Mungkin tampak berlebihan, namun memang begitulah kenyataanya. Maka cermatilah, jika saat ini mahasiswa semakin berkurang kepekaan sosialnya dan semakin rapuh Landasan keimanannya, maka dikhawatirkan hal ini akan menjadi representasi dari kehidupan nyata dunia di masa depan. Oleh karena itu, perlu adanya sebuah badan untuk mewarnai lingkungan kampus dengan nilai-nilai Keislaman untuk menjaga dan menumbuhkembangkan kepekaan mahasiswa terhadap peradaban bangsa di masa mendatang yang dimulai dari perbaikan akhlak pribadi, dilanjutkan dengan memperbaiki keluarga dan masyarakat, berikutnya adalah mentransformasi bangsa.

Potensi Besar Mahasiswa sebagai Agen Perubah
Berbicara tentang mahasiswa, berarti kita berbicara tentang masa depan bangsa dan perbaikan bangsa. Karena mahasiswa dikenal sebagai pihak yang netral, yang selalu memberi tanpa memihak. Secara dinamis mereka bergerak, berkontribusi, dan terus bekerja sesuai naluri memberikan waktu, tenaga, serta pikirannya demi perubahan di lingkungannya. Maka, ciri mahasiswa tersebut perlu dijaga dan diarahkan agar tetap pada koridor yang benar dan disalurkan untuk kepentingan masyarakat, serta berlanjut secara kontinyu tanpa terkikis oleh godaan zaman. Di sini lah peran Lembaga Dakwah dalam menanamkan hakikat & landasan mahasiswa dalam bergerak serta berkontibusi, bahwa sejatinya perjuangan itu untuk kepentingan masyarakat, kontribusi itu untuk kesejahteraan bangsa, dan semua kerja keras tersebut hanya untuk Allah swt. semata.


Lingkungan Kampus sebagai bagian dari Pembangunan Peradaban
Pada akhirnya memang, lingkungan kampus dituntut agar dapat menghasilkan alumnus-alumnus yang dapat memberikan kontribusi dalam rangka perbaikan bangsa. Yang menjadi penekanan dalam hal ini adalah, bagaimana agar mahasiswa dapat memiliki visi yang jelas terhadap kehidupan dan masa depannya. Maka, melalui Lembaga Dakwah Kampus diharapkan dapat lahir sosok teknokrat muslim, pengusaha muslim, dan sosok intelektual muslim lainnya. Sehingga terbentuknya generasi bangsa yang memiliki afiliasi terhadap Islam. Afiliasi dalam artian tidak menolak kebaikan, menolak kemungkaran, serta tidak menentang ajaran Islam.

Dari semua yang dipaparkan di atas, jelas bahwa fungsi dan kedudukan mahasiswa dalam keberlangsungan masa depan bangsa menjadi ‘aset’ yang sangat berharga untuk dijaga dan dikembangkan, maka menjadi peran LD dalam menjaganya agar tetap sesuai dengan nilai-nilai Islam dan mewarnainya agar outputan mahasiswa yang nantinya akan terjun ke masyarakat tidak lupa dengan perannya dalam menyejahterakan lingkungan sekitarnya.

Rabu, 22 Februari 2012

Janganlah Kita Menjadi Warga yang Zalim




Hari ini berita mengenai tewasnya pemimpin Libya yang terkenal Muamar Khadafy menjadi head line di hampir seluruh surat-surat kabar maupun televisi, bagaimana mantan orang nomor satu di negeri Islam yang disegani oleh banyak negara dihabisi secara berutal dan sadis dalam keadaan tidak berdaya dieksekusi oleh bekas rakyatnya sendiri ditengah eforia kemenangan kaum pemberontak dan oposisi yang merebut kekuasaan sah.

Sesungguhnya perbuatan seperti yang dilakukan oleh rakyat sebagian besar rakyat Libya dan dibanyak negara-negara yang mayoritas penduduknya umat islam seperti Tunisia, Mesir, Suriah dan Yaman merupakan perbuatan yang dzalim terhadap penguasa atau pemimpin negaranya yang secara sah diangkat dan dipilih oleh rakyatnya.

Sebagai sesama muslim kita sepatutnya kecewa dan prihatin atas eksekusi terhadap Muamar Khadafy, terlepas bagaimana tingkah dan tindak tanduk yang bersangkutan selama 42 tahun menjadi Presiden Libya, kita patut sesalkan terjadinya tindakan pendzaliman yang dilakukan oleh sebagian orang-orang terhadap kepala negaranya sendiri, padahal mereka adalah orang-orang muslim.

Tulisan ini sengaja diketengahkan untuk mengingatkan kepada sesama saudara muslim dinegeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam, bahwa sebenarnya Islam memerintahkan kepada umatnya untuk taat tidak saja kepada Allah, Rasulullah tetapi juga taat kepada penguasa/pemimpin/pemerintah.Dan ketaatan kepada pemerintah ini merupakan salah satu prinsii yang agung dalam islam.
Allah Subhanahu Ta’ala telah memerintahkan kepada kaum muslimin untuk taat kepada penguasanya betapapun jelek dan dzalimnya mereka. Tentunya dengan syarat, selama para penguasa tersebut tidak menampakkan kekafiran yang juga memerintahkan agar kita bersabar menghadapi kedzaliman mereka dan tetap berjalan di atas sunnah.

Karena barangsiapa yang memisahkan diri dari jamaah dan memberontak kepada penguasanya maka matinya mati jahiliyyah. Yakni mati dalam keadaan bermaksiat kepada Allah seperti keadaan orang-orang jahiliyyah.1 (Lihat ucapan Al-Imam An-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim)
Dari Ibnu Abbas c, dia berkata: ”Rasulullah bersabda
Barangsiapa yang melihat sesuatu yang tidak dia sukai dari penguasanya, maka bersabarlah! Karena barangsiapa yang memisahkan diri dari jamaah sejengkal saja, maka ia akan mati dalam keadaan mati jahiliyyah.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Wajib taat kepada pemimpin/pemerintah walaupun jahat dan dzalim
Kewajiban taat kepada pemerintah ini, sebagaimana dijelaskan , adalah terhadap setiap penguasa, meskipun jahat, dzalim, atau melakukan banyak kejelekan dan kemaksiatan. Kita tetap bersabar mengharapkan pahala dari Allah dengan memberikan hak mereka, yaitu ketaatan walaupun mereka tidak memberikan hak kita.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud z, dia berkata: “Rasulullah bersabda :‘Akan muncul setelahku atsarah (orang-orang yang mengutamakan diri mereka sendiri dan tidak memberikan hak kepada orang yang berhak -red) dan perkara-perkara yang kalian ingkari’. Mereka (para shahabat -red) bertanya: ‘Apa yang engkau perintahkan kepada kami wahai Rasulullah?” Beliau berkata:“Tunaikanlah kewajiban kalian kepada mereka dan mintalah hak kalian kepada Allah.”(Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya)
Diriwayatkan pula dari ‘Adi bin Hatim z. Dia berkata: “Kami mengatakan: Wahai Rasulullaah kami tidak bertanya tentang ketaatan orang-orang yang takwa, tetapi orang yang berbuat begini dan begitu…(disebutkan kejelekan-kejelekan), maka Rasulullah bersabda :
‘Bertakwalah kepada Allah! Dengar dan taatlah!’ (Hasan lighairihi, diriwayatkan oleh Ibnu Abu ‘Ashim dalam As-Sunnah dan lain-lain. Lihat Al-Wardul Maqthuf, hal. 32)

Berkata Ibnu Taimiyyah rahimahulah : “Bahwasanya termasuk ilmu dan keadilan yang diperintahkan adalah sabar terhadap kedzaliman para penguasa dan kejahatan mereka, sebagaimana ini merupakan prinsip dari prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah dan sebagaimana diperintahkan oleh Rasulullah dalam hadits yang masyhur.” (Majmu’ Fatawa juz 28, hal. 179, cet. Maktabah Ibnu Taimiyyah Mesir)

Sedangkan menurut Al-Imam An-Nawawi rahimahullah: “Kesimpulannya adalah sabar terhadap kedzaliman penguasa dan bahwasanya tidak gugur ketaatan dengan kedzaliman mereka.” (Syarah Shahih Muslim, 12/222, cet. Darul Fikr Beirut)
Berkata Ibnu Hajar: “Wajib berpegang dengan jamaah muslimin dan penguasa-penguasa mereka walaupun mereka bermaksiat.” (Fathul Bari Bi Syarhi Shahihil Bukhari
Meskipun penguasa tersebut cacat secara fisik, Rasulullah memerintahkan kita untuk tetap mendengar dan taat. Walaupun hukum asal dalam memilih pemimpin adalah laki-laki, dari Quraisy, berilmu, tidak cacat, dan seterusnya, namun jika seseorang yang tidak memenuhi kriteria tersebut telah berkuasa -apakah dengan pemilihan, kekuatan (kudeta), dan peperangan- maka ia adalah penguasa yang wajib ditaati dan dilarang memberontak kepadanya. Kecuali, jika mereka memerintahkan kepada kemaksiatan dan kesesatan, maka tidak perlu menaatinya (pada perkara tersebut, red) dengan tidak melepaskan diri dari jamaah.
Diriwayatkan dari Abu Dzar z bahwa dia berkata:

Telah mewasiatkan kepadaku kekasihku agar aku mendengar dan taat walaupun yang berkuasa adalah bekas budak yang terpotong hidungnya (cacat)2” (Shahih, HR. Muslim dalam Shahih-nya, 3/467, cet. Daru Ihya-ut Turats Al-Arabi, Beirut. HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, hal. 54)

Juga diriwayatkan dari Suwaid bin Ghafalah z. Dia berkata: “Berkata kepadaku ‘Umar z: ‘Wahai Abu Umayyah, aku tidak tau apakah aku akan bertemu engkau lagi setelah tahun ini…, jika dijadikan amir (pemimpin) atas kalian seorang hamba dari Habasyah, terpotong hidungnya maka dengarlah dan taatlah! Jika dia memukulmu, sabarlah! Jika mengharamkan untukmu hakmu, sabarlah! Jika ingin sesuatu yang mengurangi agamamu, maka katakanlah aku mendengar dan taat pada darahku bukan pada agamaku, dan tetaplah kamu jangan memisahkan diri dari jamaah .

Beramar ma’ruf nahi munkar kepada Pemerintah
Allah adalah Dzat Yang Maha Adil. Dia akan memberikan kepada orang-orang yang beriman seorang pemimin yang arif dan bijaksana. Sebaliknya Dia akan menjadikan bagi rakyat yang durhaka seorang pemimpin yang dhalim.

Maka jika terjadi pada suatu masyarakat seorang pemimpin yang dhalim, sesungguhnya kedhaliman tersebut dimulai dari rakyatnya. Meskipun demikian apabila rakyat dipimpin oleh seorang penguasa yang melakukan kemaksiatan dan penyelisihan (terhadap syariat) yang tidak mengakibatkan dia kufur dan keluar dari Islam maka tetap wajib bagi rakyat untuk menasihati dengan cara yang sesuai dengan syariat.
Bukan dengan ucapan yang kasar lalu dilontarkan di tempat-tempat umum apalagi menyebarkan dan membuka aib pemerintah yang semua ini dapat menimbulkan fitnah yang lebih besar lagi dari permasalahan yang mereka tuntut.

Adapun dasar memberikan nasihat kepada pemerintah dengan sembunyi-sembunyi adalah hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Barangsiapa yang hendak menasihati pemerintah dengan suatu perkara maka janganlah ia tampakkan di khalayak ramai. Akan tetapi hendaklah ia mengambil tangan penguasa (raja) dengan empat mata. Jika ia menerima maka itu (yang diinginkan) dan kalau tidak, maka sungguh ia telah menyampaikan nasihat kepadanya. Dosa bagi dia dan pahala baginya (orang yang menasihati).”

Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad, Al Khaitsami dalam Al Majma’ 5/229, Ibnu Abi Ashim dalam As Sunnah 2/522, Abu Nu’aim dalam Ma’rifatus Shahabah 2/121. Riwayat ini banyak yang mendukungnya sehingga hadits ini kedudukannya shahih bukan hasan apalagi dlaif sebagaimana sebagian ulama mengatakannya. Demikian keterangan Syaikh Abdullah bin Barjas bin Nashir Ali Abdul Karim (lihat Muamalatul Hukam fi Dlauil Kitab Was Sunnah halaman 54).

Dan Syaikh Al Albani menshahihkannya dalam Dzilalul Jannah fi Takhriji Sunnah 2/521-522. Hadits ini adalah pokok dasar dalam menasihati pemerintah. Orang yang menasihati jika sudah melaksanakan cara ini maka dia telah berlepas diri (dari dosa) dan pertanggungjawaban. Demikian dijelaskan oleh Syaikh Abdullah bin Barjas.
Bertolak dari hadits yang agung ini, para ulama Salaf berkata dan berbuat sesuai dengan kandungannya. Di antara mereka adalah Imam As Syaukani yang berkata : “Bagi orang-orang yang hendak menasihati imam (pemimpin) dalam beberapa masalah –lantaran pemimpin itu telah berbuat salah– seharusnya ia tidak menampakkan kata-kata yang jelek di depan khalayak ramai.
Tetapi sebagaimana dalam hadits di atas bahwa seorang tadi mengambil tangan imam dan berbicara empat mata dengannya kemudian menasihatinya tanpa merendahkan penguasa yang ditunjuk Allah. Kami telah menyebutkan pada awal kitab As Sair : Bahwasanya tidak boleh memberontak terhadap pemimpin walaupun kedhalimannya sampai puncak kedhaliman apapun, selama mereka menegakkan shalat dan tidak terlihat kekufuran yang nyata dari mereka. Hadits-hadits dalam masalah ini mutawatir.
Akan tetapi wajib bagi makmur (rakyat) mentaati imam (pemimpin) dalam ketaatan kepada Allah dan tidak mentaatinya dalam maksiat kepada Allah. Karena sesungguhnya tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (As Sailul Jarar 4/556)

Imam Tirmidzi membawakan sanadnya sampai ke Ziyad bin Kusaib Al Adawi. Beliau berkata : “Aku di samping Abu Bakrah berada di bawah mimbar Ibnu Amir. Sementara itu Ibnu Amir tengah berkhutbah dengan mengenakan pakaian tipis. Maka Abu Bilal[3] berkata : “Lihatlah pemimpin kita, dia memakai pakaian orang fasik.”
Lantas Abu Bakrah berkata : “Diam kamu! Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : ‘Barangsiapa yang menghina (merendahkan) penguasa yang ditunjuk Allah di muka bumi maka Allah akan menghinakannya.’ ” (Sunan At Tirmidzi nomor 2224)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah menjelaskan tata cara menasihati seorang pemimpin sebagaimana yang dikatakan oleh Imam As Syaukani sampai pada perkataannya : “ … sesungguhnya menyelisihi pemimpin dalam perkara yang bukan prinsip dalam agama dengan terang-terangan dan mengingkarinya di perkumpulan-perkumpulan masjid, selebaran-selebaran, tempat-tempat kajian, dan sebagainya, itu semua sama sekali bukan tata cara menasihati. Oleh karena itu jangan engkau tertipu dengan orang yang melakukannya walaupun timbul dari niat yang baik. Hal itu menyelisihi cara Salafus Shalih yang harus diikuti. Semoga Allah memberi hidayah padamu.” (Maqasidul Islam halaman 395)

Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid bahwasanya beliau ditanya : “Mengapa engkau tidak menghadap Utsman untuk menasihatinya?” Maka jawab beliau : “Apakah kalian berpendapat semua nasihatku kepadanya harus diperdengarkan kepada kalian? Demi Allah, sungguh aku telah menasihatinya hanya antara aku dan dia. Dan aku tidak ingin menjadi orang pertama yang membuka pintu (fitnah) ini.” (HR. Bukhari 6/330 dan 13/48 Fathul Bari dan Muslim dalam Shahih-nya 4/2290)

Syaikh Al Albani mengomentari riwayat ini dengan ucapannya : “Yang beliau (Usamah bin Zaid) maksudkan adalah (tidak melakukannya, pent.) terang-terangan di hadapan khalayak ramai dalam mengingkari pemerintah. Karena pengingkaran terang-terangan bisa berakibat yang sangat mengkhawatirkan. Sebagaimana pengingkaran secara terang-terangan kepada Utsman mengakibatkan kematian beliau

K h a t i m a h
Dari ulasan berdasarkan dalil yang shahih sebagaimana diungkapkan diatas, maka umat islam sebenarnya diperintahkan untuk taat kepada pemimpin dalam hal ini pemerintah dan seyogyanya tidak melakukan upaya-upaya untuk merongrong dan berusaha menjatuhkan pemimpin/pemerintah seperti melakukan demonstrasi serta menghujat pemimpin lagi-lagi melakukan pemberontakan sehingga pemimpin terdzalimi sebagaimana di Negara-negara Timur Tengah yang notabene penduduknya mayoritas islam . 
( Walahu Ta’ala ‘alam )

Dalil dipetik/ diambil dari sumber : http://asysyariah.com 22 Oktober 2011

Yang berbahaya dilingkungan Kita.

1. BEKAS BOTOL AQUA

Mungkin sebagian dari Kita mempunyai kebiasaan memakai Dan memakai ulang Botol plastik (Aqua, VIT, etc) Dan menaruhnya di Mobil atau di kantor.
Kebiasaan ini tidak baik, karena bahan plastic botol (disebut juga sebagai Polyethylene terephthalate or PET) yang dipakai di botol2 ini mengandung Zat2 karsinogen (atau DEHA). Botol ini aman untuk dipakai 1-2 kali saja, Jika anda ingin memakainya lebih lama, tidak boleh lebih dari seminggu, Dan harus ditaruh ditempat yang jauh dari matahari. Kebiasaan mencuci ulang dapat membuat lapisan plastik rusak Dan zat karsinogen itu bisa masuk ke air yang Kita minum. Lebih baik membeli botol air yang memang untuk dipakai ber-ulang2, jangan memakai botol
Plastik.

2. PENGGEMAR SATE

Kalau Anda makan sate, jangan lupa makan timun setelahnya. Karena ketika kita makan sate sebetulnya ikut juga karbon dari hasil pembakaran arang yang Dapat menyebabkan kanker. Untuk itu Kita punya obatnya yaitu timun yang Disarankan untuk dimakan setelah makan sate. Karena sate mempunyai zat Karsinogen (penyebab kanker) tetapi timun ternyata punya anti Karsinogen. Jadi jangan lupa makan timun setelah makan sate.

3. UDANG DAN VITAMIN C

Jangan makan udang setelah Anda makan Vitamin C. Karena ini akan menyebabkan Keracunan dari racun Arsenik (As) yang merupakan proses reaksi dari Udang Dan Vitamin C di dalam tubuh Dan berakibat keracunan yang fatal dalam Hitungan jam.

4. MI INSTAN

Untuk para penggemar MI instan, pastikan Anda punya selang waktu paling tidak 3 (tiga) Hari setelah Anda mengkonsumsi MI instan, jika Anda akan mengkonsumsinya lagi, dari informasi kedokteran, ternyata terdapat lilin yang melapisi MI instan. Itu sebabnya mengapa MI instan tidak lengket satu Sama lainnya ketika dimasak. Konsumsi mie instan setiap hari akan meningkatkan kemungkinan seseorang terjangkiti kanker. Seseorang, karena begitu sibuknya dalam berkarir tidak punya waktu lagi untuk memasak, sehingga diputuskannya untuk mengkonsumsi mie instan setiap Hari. Akhirnya Dia menderita kanker. Dokternya mengatakan bahwa hal ini disebabkan karena Adanya lilin dalam MI instan tersebut. Dokter tersebut mengatakan bahwa Tubuh Kita memerlukan waktu lebih dari 2 (dua) Hari untuk membersihkan lilin Tersebut.

5. BAHAYA DIBALIK KEMASAN MAKANAN

Kemasan makanan merupakan bagian dari makanan yang sehari-Hari kita konsumsi. Bagi sebagian besar orang, kemasan makanan hanya sekadar bungkus makanan Dan cenderung dianggap sebagai "pelindung" makanan. Sebetulnya tidak Tepat begitu, tergantung jenis bahan kemasan.Sebaiknya mulai sekarang Anda cermat memilik kemasan makanan. Kemasan pada makanan mempunyai fungsi Kesehatan, pengawetan, kemudahan, penyeragaman, promosi, Dan informasi. Ada Begitu banyak bahan yang digunakan sebagai pengemas primer pada makanan, aitu kemasan yang bersentuhan langsung dengan makanan.Tetapi tidak semua Bahan ini aman bagi makanan yang dikemasnya. Inilah ranking teratas bahan Kemasan makanan yang perlu Anda waspadai.


A. Kertas.

Beberapa kertas kemasan Dan non-kemasan (kertas Koran Dan majalah) yang sering digunakan untuk membungkus makanan, terdeteksi mengandung timbal (Pb) Melebihi Batas yang ditentukan. Di dalam tubuh manusia, timbal masuk melalui Saluran pernapasan atau pencernaan menuju sistem peredaran darah Dan Kemudian menyebar ke berbagai jaringan lain, seperti: ginjal, hati, otak, Saraf Dan tulang. Keracunan timbal pada orang dewasa ditandai dengan gejala 3 P, yaitu pallor (pucat), pain (sakit) & paralysis (kelumpuhan) . Keracunan yang terjadipun bisa bersifat kronis Dan akut. Untuk terhindar dari makanan Yang terkontaminasi logam berat timbal, memang susah-susah gampang. Banyak Makanan jajanan seperti pisang goreng, tahu goreng Dan Tempe goreng yang Dibungkus dengan Koran karena pengetahuan yang kurang dari is penjual, Padahal bahan yang panas Dan berlemak mempermudah berpindahnya timbale keMakanan tsb. Sebagai usaha pencegahan, taruhlah makanan jajanan tersebut di Atas piring.

B.Styrofoam

Bahan pengemas Styrofoam atau polystyrene telah menjadi salah satu pilihan Yang paling populer dalam bisnis pangan. Tetapi, riset terkini membuktikan Bahwa Styrofoam diragukan keamanannya. Styrofoam yang dibuat dari kopolimer Styren ini menjadi pilihan bisnis pangan karena mampu mencegah kebocoran Dan Tetap mempertahankan bentuknya saat dipegang. Selain itu, bahan tersebut Juga mampu mempertahankan panas Dan dingin tetapi tetap nyaman dipegang, Mempertahankan kesegaran Dan keutuhan bahan yang dikemas, biaya murah, lebih Aman, serta ringan. Pada Juli 2001, Divisi Keamanan Pangan Pemerintah Jepang Mengungkapkan bahwa residu Styrofoam dalam makanan sangat berbahaya. Residu Itu dapat menyebabkan endocrine disrupter (EDC), yaitu suatu penyakit yang Terjadi akibat adanya gangguan pada system endokrinologi Dan reproduksi Manusia akibat bahan kimia karsinogen dalam makanan.

Selasa, 21 Februari 2012

Kebangkitan Umat Islam dimulai dari Indonesia

 
Hehe..
Main tebak-tebakan yuk..
Kenapa seorang Ulama Besar Imam Yusuf Qordowi bisa bilang kebangkitan dunia Islam akan
dimulai dari Indonesia?
Karena Indonesia negara muslim terbesar?
Karena di Indonesia sunni syiah nya akur?
Bla-bla-bla.. mungkin saja..
Kali ini saya mau mengajak kakak-kakak dari sudut pandang yang lain..
Lupakan sejenak Indonesia yang sedang catut marut, yuk kita naik ke
angkasa Indonesia.. teruuuus tinggi ke luar angkasa, sehingga Indonesia
terasa dikelilingi negara-negara yang lain seperti di bola dunia .

Lalu, mari kita lihat-lihat.. posisi Indonesia saat ini..
Lihat dari westernisasi..
Dengan klaim pengetahuan, maka Indonesia menerima pengaruh
westernisasi luar biasa dari dunia barat. Dalam hal ini paling dominan ya si
Amrik… western sendiri punya kepentingan dengan kekayaan alam Indonesia
yang luarbiasa banyaknya itu..
Saat ini, selain pengaruh teknologi, Indonesia kedodoran meng-counter
pengaruh social dari westernisasi ini.
Si Amrik ini seneng ributnya sama negara-negara Arab, apapun
dalih-dalih yang ada- inti sebenarnya ya karena minyaknya negara-negara Arab
ini.
Arab sebagai tempat lahirnya nabi Muhammad, lahirnya agama Islam,
punya ikatan emosional keagamaan dengan Indonesia, si negara dengan
penduduk muslim terbesar di dunia..
Maka, perang Amrik dan Arab ini di bawa ke Indonesia..
Militan arab masuk ke Indonesia, menjadikan Indonesia sebagai
‘brother’ nya gitu loh..
Disini, Indonesia kedodoran lagi meng-counter wajah militan yang
mulai mewarnai sebagian panduduknya yang Islam..
China, setelah Soviet bubaran, negara lain yang disegani ya China.
Yang lain ada juga, tapi ga sebesar China. Kenapa China disegani, karena
dulunya China punya paham sendiri dalam menghadapi dunia, yaitu
komunisme..
China yang bangkit, walau komunisme telah basi, tetap harus
diwaspadai..
Nah, Indonesia ini juga mendapat klaim negara dengan penduduk migran
etnis China terbesar di dunia..
Etnis China di Indonesia mulai concern dengan Islam karena konon
nenek moyang mereka yang datang ke Indonesia beragama Islam.. ini membentuk
ikatan emosional etnis China dengan sejarah dan penduduk asli
Indonesia..
Coba cermati..
Dari uraian di atas.., sesungguhnya Indonesia bisa merubah paradigma
dunia selama ini.. yang menjadikan Barat sebagai yang terbaik..
Potensi Indonesia besar dan signifikan.. punya ‘nilai tawar’ banyak
pada dunia..
Maka sesungguhnya, kenapa negara-negara lain senang Indonesia catut
marut.. ya karena jika Indonesia sadar tuk memainkan perannya.., repot
mereka..
Menurut saya ‘lokalitas’ Indonesia- lah yang sangat ditakuti..
jika kesadaran lokalitas ini muncul dan merata, membentuk kesadaran
utuh, maka Indonesia akan merapikan diri, bahkan mengusir pihak-pihak
yang selama ini merugikan Indonesia.. lalu tumbuh kembang sebagai
Indonesia yang utuh seperti konon jayanya di zaman Majapahit..
Dan kali ini berbasic agama Islam yang sempurna dan toleran, yang
cikal bakalnya telah ditanamkan para wali dulu..
perfecto..! walau ga semudah membalikkan telapak tangan..
Maka kelak, Indonesia bisa meraih tangan negara-negara Arab, meraih
tangan negara China, meraih dunia..
Indonesia bisa merubah paradigma dunia..
Percaya atau tidak? Ini memang masalah visi suatu bangsa..
Gajah Mada punya visi sampai bersumpah.. dan terbukti. Mewujudkan
visi tentu harus persuasif.. tentunya persuasif yang rasional ya..
nah, maukah Indonesia bervisi dan persuasif ke depan?

Ini prinsipnya ya,
realisasinya bisa diaturlah dengan ilmu manusia sekarang, lewat
perdagangan, teknologi, energi, budaya, dll dsb..
Nah, setelah melihat-lihat, mari kita turun dari angkasa dan kembali
ke bumi Indonesia yang sedang catut marut ini..
Sabar dan tawakal saja menjalani sepahit apa Indonesia dalam
menjalani akibat dari ‘kebodohan’nya selama ini..
agak serem juga loh, ga cuma aneka bencana, tadi pagi saya baca hama
belalang menghabiskan daun pohon kelapa sampai tinggal lidinya saja,
kaya cerita di kitab suci saja ya.. azabnya. na’udzubillah..
semua tentu harus dicatat sebagai pembelajaran mahal, tuk besok -
jika masih ada matahari di negara bernama Indonesia, mbok ya.. bangkit dan
mainkan peran aslinya.. lokalitasnya.. diri sejatinya..
jangan lagi seperti air di daun talas..
habis manis sepah dibuang..
dan duluan mana ayam dengan telur..
hehehe..

Minggu, 19 Februari 2012

Mencintaimu Karena Agama

Aku mencintaimu karena agama yang ada padamu, jika kau hilangkan agama dalam dirimu, hilanglah cintaku padamu [imam nawawi]

Pernah mendengar kalimat itu? Sering kita tertarik dengan orang yang cantik/tampan, pintar/cerdas, kaya, modis, lucu, dan lainnya, hal yang wajar… Namun apakah semua itu akan bertahan selamanya?
Cantik/tampan akan luntur dimakan usia, wajah akan berkerut dan keriput, gigi ompong, rambut penuh uban, tubuh penuh timbunan lemak, apakah setelah itu cinta akan hilang sama seperti hilangnya guratan kecantikan masa muda? Pintar/cerdas, saat mulai tua mulai pikun, lupa ini lupa itu, masihkan cinta bertahan hanya dengan itu? Roda kehidupan terus berputar, saat ini kayak besok bisa jadi miskin seketika, hilangkah cinta bersama hilangnya harta?
Bisa jadi kita tua, kehilangan harta, namun jangan sampai kehilangan agama. Hal yang lain boleh bertahan sementara, namun saat cinta karena Allah ta’ala dia akan bertahan selamanya.
Paling kuat tali hubungan keimanan ialah cinta karena Allah dan benci karena Allah [HR. Athabrani]
Terkadang kita juga mendengar kata :
Aku mencintaimu karena Allah
Bukan karena dirinya tampan/cantik, bukan karena dia pintar, bukan karena dia kaya, tapi karena keimanannya pada Allah SWT. Karena tampan/cantik, pintar, kaya pasti akan meredup, namun iman yang ada dihati masih akan terpancar.
Insya Allah, jika kita mencintai sesuatu karena Allah, tidak hanya indah dunia yang akan didapat, namun juga akherat. aamiin…
Ya Allah jika aku jatuh cinta, cintakanlah aku pada seseorang yang melabuhkan cintanya pada-Mu, sehingga bertambah kekuatanku untuk mencintai-Mu. [potongan bait puisi Jika Aku Jatuh Cinta]

Senin, 13 Februari 2012

Tentukan Target

 
Target, target dan target. Hidup harus selalu ada targetnya. Tanpa target yang jelas, arah program dan sasaran pekerjaan tidak fokus. Indikasi adanya target adanya perencanaan yang matang dan time schedule yang rapi. Pola kerja juga harus sistematis. Kapan mulai dan kapan berakhir serta goal seperti apa yang akan dicapai sudah tergambar sebelumnya. Beda dengan kerja acak-acakan, biasanya tidak mau repot. Ia berjalan apa adanya. Acuan kerja sekenanya. Tak ada konsep yang jelas dan dalam melakukan pekerjaan memakai pribahasa jawa “Alon-alon asal kelakon”.

Pribadi yang unggul tidak mau demikian. Mereka ingin mewujudkan pribahasa “Biar cepat asal selamat”. Jika ditanya apa yang akan dicapai, bisa menjawab cepat dengan perhitungan yang layak.

Jadi tidak berlama-lama berfikir mencari jawaban apa yang akan dicapai. Waktu adalah pedang, jika santai-santai akan terkenan penggal.

Dengan adanya target yang jelas, maka bekerjanya maksimal. Malah, ada obsesi baru, yaitu bukan hanya mencapai target kalau bisa melebihi target. Hambatan-hambatan yang terjadi diatas tanpa harus menunggu orang lain.

Pribadi unggul mendapat kepuasan kerja dari hasil pencapaian target. Kucuran keringat merupakan ukuran serius tidaknya berkarya


 http://outboundmalang.com/motivasi/

iltizam

Iltizam adalah suatu komitmen yang lahir dari dalam diri (wa’yu dzati) dan bukan sesuatu yang bersifat kamuflase (kepura-puraan)ataupun paksaan.

Menurut Fathi Yakan, iltizam adalah sebuah komitmen terhadap Islam dari hukum-hukumnya secara utuh dengan menjadikan Islam sebagai siklus kehidupan, tolak pikir dan sumber hukum dalam setiap tema pembicaraan dan permasalahan. Sebagaimana perintah Allah Taala dalam, QS. 2:208 agar seorang muslim masuk ke dalam Islam secara kaffah.

Jika seorang muslim telah menjadikan Islam sebagai titik tolak berfikir dalam segala hal maka sikap dan perilakunya bukan sekadar dibuat-buat melainkan dilakukan dengan kesadaran.

Dari ilmu dan pemahaman diharapkan menumbuhkan keyakinan dan iman yang kemudian mensibghah dan pada akhirnya membentuk sikap serta perilaku yang Islami.
Imam syahid Hasan Al-Bana membagi manusia ke dalam tiga kelompok berdasarkan pemahaman dan tingkatan akidahnya:

Kelompok yang menerima iman Islam secara doktrin atau dogmatis yang tidak disertai ilmu dan pemahaman yang memadai. Kualitas keyakinannya minim dan biasanya berubah menjadi keragu-raguan bila ada hal yang menimbulkan keraguan pada dirinya.
Kelompok yang menerima iman Islam karena sesuai dengan logika dan pemikiran bila diungkapkan dengan dalil-dalil berupa logika qurani, maka keimanan dan keyakinan semakin mantap dan bertambah kuat. Hanya saja amalnya masih kurang nampak atau belum terealisir secara baik. Jadi keyakinannya baru sampai tataran logika.

Kelompok yang menerima iman Islam karena memadukan unsur pikir, pemahaman dan ketaatan. Jadi semakin yakin ia akan semakin taat melaksanakan amal shaleh dan memperbaiki ibadahnya hatinya selalu diterangi cahaya Allah.

Indikasi-Indikasi Iltizam

Paling tidak harus ada dua indikator yang menunjukkan bahwa seseorang memiliki iltizam atau komitmen:

Ada indikator lahiriah yang jelas dan kongkrit. Misalnya seorang muslim yang shaleh akan hampir selalu terlihat shalat berjamaah di masjid atau muslimahnya menutup aurat dengan memakai jilbab. Jadi logikanya tidak bisa dibalik bahwa orang yang shalat di masjid belum atau muslimah berjilbab belum tentu baik. Hal tersebut di atas memang tidak bisa digeneralisir dan kita sulit mengatakan seseorang memiliki iltizam jika ia enggan shalat atau enggan ke masjid dan enggan menutup aurat.

Adanya muraqabah dzatiyah. Kita memang tidak boleh hanya mengandalkan muta ba’ah zhahiriyah, melainkan juga harus menumbuhkan muraqabah dzatiyah agar amal yang dilakukan tidak dinodai kepura-puraan, kamuflase, nifaq, dan riya. Artinya di manapun dan dalam situasi dan kondisi yang bagaimanapun apakah ada orang atau tidak, giat atau malas, suka atau tidak suka, dicaci atau di puji kita tetap konsisten dalam melakukan amal shaleh. Sebagaimana Rasulullah saw. berpesan kepada seorang sahabat yang belum mau pulang atau kembali ke daerah asalnya untuk berdakwah.

اتَّقِ اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ

“Bertakwalah kepada Allah di manapun kamu berada dan iringilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik. Dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.”

Urgensi Iltizam

Iltizam merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi seorang muslim apalagi bagi aktivis Islam atau para dai, karena iltizam merupakan indikasi amal yang sangat diperlukan dalam konteks kehidupan berjamaah.

Tidak mungkin ahdaful jamaah dapat terealisir tanpa ada junud atau anggota-anggota jamaah yang akan melaksanakan ahdaf dan beriltizam terhadap uslub untuk mencapai ahdaf tersebut.

Hasan Al-Bana menegaskan bahwa awal kesiapan seseorang untuk memasuki tahapan takwin dan tanfidz ialah jika ia memiliki at thaat kaamilah atau ketaatan yang sempurna. Oleh karena itu sasaran atau ahdaf dalam berjamaah tidak akan terwujud tanpa adanya junud yang komit atau berilitizam dalam melaksanakan uslub untuk mencapai ahdaf.
Padahal jamaah Islam sebagai sebuah harakah yang tertata memiliki ahdaf (tujuan-tujuan) dan berusaha untuk mencapainya ahdaf yang dimaksud ialah mendapatkan mardhatillah, meninggikan kalimat Allah, mengibarkan panji-panji Islam kemudian menegakkan Islam di seluruh muka bumi.

Dalam mencapai ahdaf tersebut jamaah memiliki aqayiz dan auzan (kriteria-kriteria dan aturan-aturan). Berdasarkan kriteria-kriteria dan aturan-aturan tersebut diseleksilah para dai dan aktivis yang layak untuk terlibat dalam jamaah (jadi memiliki pola taqwim). Beberapa di antara kriteria tersebut adalah thaat, iltizam, dan jiddiah (kesungguh-sungguhan).

Sehingga sekalipun ada seorang ulama yang paling bertaqwa atau wara’ namun tidak mau komit atau beriltizam, maka ia tidak layak masuk jamaah dan tidak dianggap sebagai anggota atau a’dha jamaah, melainkan sekadar sebagai seorang muslim yang dicintai jamaah.

Kualitas seorang a’dha dalam jamaah dapat dilihat dari sejauh mana kualitas iltizamnya. Semakin besar kadar keiltizamannya seseorang berdasarkan kriteria-kriteria tersebut di atas, maka semakin berbobot pula kualitas dirinya.

Dua Jenis Iltizam

Iltizam secara umum dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian yakni iltizam terhadap syariat dan iltizam terhadap jamaah.

Iltizam terhadap syariat meliputi aqidah salimah, ibadah shahihah, akhlaq hamidah, dakwah wal jihad, syumul wa tawazun. Sedangkan iltizam terhadap jamaah melingkupi bai’ah, ansyitah, wadzifah, infaq, qararat dan taat kepada pemimpin.
Dimilikinya kedua jenis iltizam tersebut dalam diri seseorang diharapkan akan membentuk manusia yang utuh (insan mutakamil).

1. Iltizam terhadap Syariat

Beriltizam atau memiliki komitmen terhadap aqidah shahihah. Yang dimaksud dengan aqidah salimah ialah akidah yang sehat, bersih dan murni terbebas dari segala unsur nifaq dan kemusyrikan. Dalam QS 2: 165 disebutkan bahwa ada orang–orang yang menjadikan tuhan-tuhan selain Allah sebagai tandingan bagi Allah. Dan mereka mencintai ilah-ilah tandingan tersebut sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang beriman amat sangat dicintainya kepada Allah, dari ayat tersebut terlihat bahwa kita tidak boleh mengambil sesuatu selain Allah sebagai Tuhan yakni sesuatu yang dicenderungi, dicintai, disembah dan mendominasi hidup kita. Demikian pula dalam segala hal prioritas cinta, kita harus meletakkan cinta kepada Allah dan kemudian jihad di jalan-Nya sebagai prioritas pertama dibanding dengan orang tua, anak, suami/istri, kerabat, harta perniagaan atau rumah kediaman (QS 9: 24), seperti nampak pada keikhlasan muhajirin meninggalkan segala-galanya yang ada di Makkah dan keridhaan para sahabat Anshar untuk menolong mereka. Bagi mereka ridha Allah dan Rasul-Nya di atas segala-galanya.

Beriltizam atau berkomitmen terhadap ibadah yang salimah dan istimrar (kontinyu). Seorang a’dha sebagai muslim memiliki kewajiban untuk melakukan ibadah yang shahih terbebas dari segala bid’ah dan khurafat. Dan ia terikat kepada kewajiban tersebut. Sayid Qutb pernah mengatakan bahwa kualitas iltizam seseorang pertama-tama diukur dari komitmennya terhadap shalat baik dari segi ketepatan waktu maupun kekhusyuannya. Shalahuddin Al-Ayyubi, pahlawan pembebasan Al-Quds selalu memantau di malam hari sebelum perang siapa-siapa saja yang tendanya terang karena menegakkan shalat malam dan tilawah Al-Quran dan mereka itulah yang kemudian diberangkatkan ke medan jihad keesokan harinya. Dan ada seorang ulama salafus shaleh yang memimpikan Junaid Al-Baghdadi setelah ia wafat. ketika ditanya apa yang diperhitungkan oleh Allah terhadapnya. Ia ternyata menjawab, “Hilang semua amalku tak ada yang memberi manfaat kecuali beberapa rakaat di waktu malam. Hal itu menunjukkan bobot nilai shalat tahajud.

Memiliki komitmen atau beriltiazam kepada akhlaq hamidah (akhlak terpuji). Akhlaq hamidah jelas harus dimiliki oleh seorang a’dha yang beriltizam. Dan akhlaq hamidah yang dimaksud tentu saja akhlak yang Islami dan qurani. Sebagaimana mana Rasulullah diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia dan dipuji Allah sebagai orang yang berbudi pekerti agung. (QS 68: 4) Aisyah ra. Mengatakan bahwa akhlak beliau adalah Al-Quran. Artinya jika ingin melihat bagaimana Al-Quran dijabarkan secara konkret dalam sikap, perilaku, dan tindak tanduk di segala aspek kehidupan, lihatlah diri Rasulullah. Rasulullah boleh dikatakan “the living quran” atau Al-Quran yang hidup. Bila seorang dai memiliki akhlak yang Islami ia akan mendapat manfaat antara lain bahwa dirinya patut menjadi teladan. Akhlak terpujinya itu juga menjadi daya tarik dakwah dan dirinya juga akan selalu terhindar dari fitnah. Rasulullah saw misalnya pernah dikatakan dukun, tukang sihir, gila dan sebagainya, tetapi akhirnya fitnah-fitnah itu terlepas dengan sendirinya melihat keutamaan pribadi Rasulullah. Begitu pula fitnah keji berupa tuduhan zina terhadap ummul mukiminin Aisyah ra yang dikenal dengan peristwa ‘haditsul ifki’. Beliau akhirnya mendapatkan pembelaan langsung dari Allah dalam surat An-Nur.

Komit atau memiliki iltizam terhadap dakwah wa jihad, dakwah dan jihad. Seorang a’dha yang memiliki komitmen terhadap jamaah dengan harakah, tentu saja harus memiliki iltizam terhadap dakwah dan jihad. Dakwah dan jihad memang tidak bisa dipisahkan satu sama lain seperti dua sisi mata uang. Dakwah adalah upaya untuk meraih keberuntungan di sisi Allah dengan jalan menyeru kepada kebaikan, menyuruh orang berbuat ma’ruf dengan mencegah yang mungkar (QS 3: 104). Sedangkan keutamaan jihad sudah tidak diragukan lagi. Bahkan dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang tidak pernah melakukan jihad dan tidak pernah berniat untuk berjihad, maka matinya dalam keadaan mati jahiliyah” jihad memang dapat dilakukan dengan berbagai bentuk seperti jihad bil mal, bil lisan, dan lain-lain, namun jihad tertinggi adalah qital. Ada konsekuensi logis ketika seseorang beriltizam pada jihad yakni ia juga harus beriltizam terhadap segala sesuatu yang merupakan persiapan untuk itu seperti tarbiah takwiniah yang istimrar dan lain-lain.

Berkomitmen atau beriltizam terhadap syumul wa tawazun. Dienul Islam ajaran yang syamil (integral, komprehensif) dan mutakamil (utuh) serta mutawazinah (seimbang). Pendek kata Islam adalah agama yang sempurna dan diridhai Allah (QS 5:3, 3:19) Sebagaimana alam semesta diciptakan sempurna, tidak ada kekurangan (QS 67: ) dan dalam harmoni tawazun (keseimbangan) seperti dalam (QS 55: 7-9), maka manusia pun bagian dari alam semesta diciptakan Allah dalam keadaan sebaik-baik rupa (QS 95: ). Umat Islam juga dikatakan sebagai “umatan wasatha’“ (umat pertengahan). Ajaran sarat dengan kesyumuliahan dan ketawazunan. misalnya ajaran Islam menyentuh seluruh aspek kehidupan mulai dari hal sepele sampai yang paling berat dan kompleks, (syamil). Kemudian Islam mengajarkan manusia berikhtiar maksimal (QS 13: 11) tetapi juga menyuruh bertawakal (QS 65: ). Islam melarang manusia kikir, tetapi juga tidak membolehkan berlaku boros, israf ataupun melakukan kemubadziran. Jadi seorang a’dha dalam Iltizamnya terhadap syariah harus memiliki komitmen pada syumuliatul dan ketawazunan Islam.

2. Al-Iltizam Bil Jamaah

a. Iltizam terhadap bai’ah.

إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ وَالْقُرْءَانِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (QS 9: 111)

Satu-satunya ayat Al-Quran yang berkaitan dengan masalah harta dan jiwa, tetapi mendahulukan jiwa adalah ayat di atas. Dan transaksi ‘jual-beli’ antara Allah sebagai pembeli dan mukmin sebagai penjual ini erat kaitannya dengan masalah bai’ah. Sikap iltizam terhadap bai’ah yang telah diucapkan nampak jelas pada tokoh Anshar, Nusaibah binti Ka’ab dan Habibi bin Zaid. Nusaibah dengan bai’ah Aqabah II, bertempur mati-matian melindungi dan menjadi perisai Rasulullah di perang Uhud tatkala kebanyakan tentara Islam lain kocar-kacir panik terhadap serangan balik mendadak Khalid bin Walid. Atau Habib bin Zaid yang disiksa Musailamah Al-Kadzab karena tidak mau mengakuinya sebagai nabi, tidak rela menodai bai’ah yang telah Habib bin Zaid diucapkannya walaupun untuk itu ia harus menebusnya dengan nyawa. Tubuhnya dicabik-cabik dan disayat-sayat selagi masih hidup. Sekali kita mengucapkan bai’ah seumur hidup kita terikat untuk beriltizam kepadanya.

b. Komit terhadap ansyithah (kegiatan-kegiatan) baik yang kharijiah (eksternal) maupun dakhiliyah (internal). Seorang a’dha seyogianya memiliki komitmen terhadap semua ansyithah (kegiatan) dalam jamaah baik yang bersifat dakhiliyah (internal) maupun kharijiah (eksternal). Kegiatan internal seperti berusaha selalu hadir dengan tepat waktu dalam acara rutin liqa’ usari dan liqa’ tatsqifi serta daurah-daurah pembekalan dan pengayaan seperti daurah siyasi, daurah murabbi, jalasah ruhiyah dan lain-lain yang diadakan secara berkala. Kemudian bila jamaah terutama dalam era hizbiyah/kepartaian ini banyak melakukan manuver-manuver keluar seperti bakti sosial di daerah-daerah bencana, pengerahan logistik berupa nasi bungkus untuk acara ‘muzhaharah’, penggalangan masa atau demo, tentu saja semuanya harus diikuti pula dengan penuh semangat. Intensitas keterlibatan kita yang tinggi dengan semua kegiatan jama’ah insya Allah akan membuat iltizam kita kepada jamaah semakin kokoh.

c. Beriltizam terhadap wazhifah (tugas-tugas) yang dibebankan jamaah kepadanya. Iltizam atau komitmen terhadap tugas yang dipikulkan pada kita merupakan aspek yang pokok dan mendasar dalam hubungan struktural tanzhim, seorang a’dha harus menyesuaikan diri dengan segala tugas yang dipikulkan ke pundaknya. Baik tugas itu disukai atau tidak dan baik ia sedang rajin maupun malas. Bukan tugas atau wadzhifah yang harus disesuaikan dengan kondisi dirinya, melainkan a’dha tersebut yang harus menyesuaikan diri dengan tugas-tugas yang diamanahkan kepadanya. Sikap seorang a’dha dalam masalah wadzhifah tanzhimiyah hendaklah bijak. Ia tidak akan pernah mencari-cari atau meminta jabatan ataupun wadzhifah tanzhimiyah, namun bila kemudian diamanahi, ia tidak boleh mengelak atau menolak. Seperti Said bin Amir yang dimarahi oleh Umar bin Khathab karena tidak mau mengemban amanah sebagai gubernur di Himsh (Suriah sekarang). “Celaka engkau hai Said, kau bebankan di pundakku beban yang berat (dibaiah sebagai amirul mu’minin), tetapi kau tak mau membantuku “ Akhirnya barulah Said bin Amir mau menerima amanah tersebut.

d. Iltizam atau komit terhadap infaq, baik yang wajib maupun yang sunnah. Sahabat ada yang pernah meminta cuti atau dispensasi (keringanan) dalam hal jihad dan infaq. Rasulullah pun menjawab dengan sangat tajam, “Wa la shadaqah wa la jihadu fiima tadkhulul jannata araan? “Tidak mau bersedekah dan tidak berjihad, jadi dengan apa kalian akan memasuki surga“. Keutamaan berinfaq atau berjuang dengan harta dan jiwa (QS 9: 111, 61:10-11) sangat sering diungkapkan dalam firman-firman Allah. Bahwa ia akan membalasnya dengan beratus-ratus kali lipat, bahkan dengan surga. Bahkan contoh-contoh keutamaan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdurahman bin Auf, Sa’ad bin Raby, Abu Thalhah dan Ummu Sulaim, Aisyah dan Asma binti Abu Bakar, Zainab binti Jahsy, Khadijah, dan lain-lain terukir indah dalam sejarah Islam. Maka suatu kewajaranlah bila kita yang telah berbaiat ini terikat untuk memenuhi kewajiban berinfaq, baik yang wajib maupun yang sunnah.

e. Beriltizam terhadap qararat (keputusan-keputusan) jamaah. Seorang a’dha muntadzim yang bukan hanya beriltizam terhadap syariat tetapi juga pada jamaah seharusnya selalu berada dalam shaf jamaah. Ia berusaha menjalankan tugasnya sebaik-baiknya di manapun ia diputuskan oleh jamaah untuk ditempatkan. Bahkan dalam hadits dikatakan, “Surga untuk seorang hamba jika ia mendapat bagian jaga ia berjaga dengan baik.” Ia pun akan komit pada kebijakan-kebijakan dan aturan-aturan jamaah dalam amal dan uslub dakwah. Ia terikat dengan keputusan-keputusan, kebijakan-kebijakan jamaah dengan perintah-perintah qiyadah. Sekalipun bertentangan dengan keinginan dan pendapat pribadi. Hendaknya kita harus selalu berprasangka baik bahwa keputusan tersebut adalah yang paling tepat untuk mendatangkan kemaslahatan. Kita bisa mengambil ibrah dari fiqhus shalat agar senantiasa taat dan husnuz zhan pada qiyadah. Dalam shalat bila kita sebagai ma’mum sedang membaca al-fatihah, tetapi imam sudah takbir akan ruku, kita harus segera mengikuti imam, walaupun kita belum siap atau belum selesai membaca al-fatihah.

f. Komit terhadap “tha’atul qiyadah” taat terhadap pemimpin. Ketaatan seorang muslim yang total, utuh dan bulat, memang hanya kepada Allah dan Rasul-Nya (QS 3: 31, 32, 132, 4: 59, 80). Namun di ayat 4: 59 itu pun disebutkan kewajiban taat kepada pemimpin atau ulil amri yang beriman sepanjang tidak dalam rangka kemaksiatan dijalan Allah. Karena laa thaata li makhluqin fi ma’siatil Khaliq’ (tidak ada kewajiban taat kepada makhluk dalam rangka maksiat kepada Sang Pencipta). Seorang a’dha yang telah mengucapkan bai’ah untuk taat dalam giat atau malas, suka atau tidak suka keadaan harus menaati qiyadahnya atau naqibnya sebagai sosok kepemimpinan dalam jamaah yang terdekat dengannya.

Untuk mengefektifkan iltizam seorang a’dha baik dalam ruang lingkup syar’i maupun tanzhimi, hendaknya seorang a’dha memiliki pemahaman yang baik tentang perjalanan yang benar dalam melakukan amal Islam yang kemudian keimanan dan ketakwaan yang senantiasa terjaga.

Iltizam kepada kewajiban-kewajiban syariah membuat seorang muslim menjadi syakhshiyah muslimah atau pribadi Islami. Segala sikap dan tindak–tanduknya tidak akan menyimpang dari koridor syar’i.

Dan bila ia kemudian memiliki cita-cita luhur tak hanya ingin menjadi shalih atau shalihah, namun juga berusaha membuat orang lain menjadi shalih (muslih), maka ia akan berjuang bersama dalam sebuah jamaah atau gerakan dakwah. Ia bergabung dengan harakah yang bertujuan membebaskan negeri-negeri Islam, menyadarkan umatnya dalam menyerukan kalimat-Nya di muka bumi. Bergabungnya ia dengan gerakan dakwah tersebut membuat ia terikat atau beriltizam dengan kewajiban-kewajiban yang ada dalam jamaah tersebut. Maka jadilah syaksiah harakiah atau pribadi yang haraki, dinamis bergerak dan berjuang.

Seorang a’dha yang dalam dirinya terdapat kedua jenis iltizam tadi, maka ia muncul menjadi syakhshiyah muslimah mutakamilah atau pribadi Islami yang utuh.
Semakin banyak orang yang terbentuk menjadi syakhshiyah muslimah mutakamilah insya Allah harapan Syahid Sayid Qutb, “A- Mustaqbal li haadza dien” (Masa Depan Di Tangan Islam) akan dapat terwujud. Amin
Wallahu a’lam
Iltizam Syari'at
Yang mosting: Mulki Rakhmawati
16 Juli 2009
Menurut Fathi Yakan, iltizam adalah komitmen terhadap Islam dan hukum2nya secara utuh dengan menjadikan Islam sebagai siklus kehidupan, tolak pikir, dan sumber hukum dalam setiap tema pembicaraan dan permasalahan. Sebagaimana perintah Allah ta’ala dalam QS 2: 208 agar seorang mukmin masuk ke dalam Islam secara kaffah.

Iltizam secara umum dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yakni terhadap syariat dan terhadap jamaah. Iltizam terhadap syariat meliputi aqidah salimah, ibadah shahihah, akhlaq hamidah, dakwah wal jihad, syumul wa tawazun. Sedangkan iltizam erhadap jamaah meliputi bai’ah, ansyitah, wadzifah, infaq, qararat, dan taat kepada pemerintah.

Iltizam terhadap aqidah salimah, aqidah yang sehat, bersih, dan murni terbebas dari segala unsure nifaq dan kemusyrikan. Daam 2: 165 disebutkan bahwa ada orang2 yang menjadikan tuhan2 selain Allah sebagai tandingan bagi Allah. Dan mereka mencintai ilah2 tandingan tersebut sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang2 berimana amat sangat dicintainya kepada Allah, dari ayat tersebut terlihat bahwa kita tidak boleh mengambil sesuatu selain Allah sebagai Tuhan yakni sesuatu yang dicenderungi, dicintai, disembah, dan mendominasi hidup kita. Demikian pula dalam segala hal prioritas cinta, kita harus meletakkan cinta kepada Allah dan kemudian jihad di jalanNya sebagai prioritas pertama dibanding dengan orang tua, anak, suami/ istri, kerabat, harta perniagaan, atau rumah kediaman (QS 9: 24), seperti nampak pada keikhlasan para muhajirin meninggalkan segala-galanya yang ada di Mekkah dan keridhoan para sahabat Anshor untuk menolong mereka. Bagi mereka ridho Allah dan RasulNya di atas segala2nya.

Beriltizam atau berkomitmen terhadap ibadah yang shahihah dan istimror (kontinyu). Seorang a’dha sebagai muslim memiliki kewajiban untuk melakukan ibadah shahih terbebas dari segala bid’ah dan kurafat. Dan ia terikat kepada kewajiban tersebut. Sayid Quthb pernah mengatakan bahwa kualitas iltizam seseorang pertama2 diukur dari komitmennya terhadap sholat baik dari segi ketepatan waktu maupun kekhusyuannya. Shalahuddin Al Ayyubi, pahlawan pembebasan Al-Quds selalu memantau di malam hari sebelum perang siapa2 saja yang tendanya terang karena menegakkan sholat malam dan tilawah Qur’an dan mereka itulah kemudian yang akan diberangkatkan ke medan jihad keesokan harinya. Dan ada seorang ulama salafus shaleh yang memimpikan Junaid Al Baghdadi setelah ia wafat, ketika ditanya apa yang diperhitungkan Allah kepadanya, ia ternyata menjawab, ”hilang semua amalku tak ada yang memberi manfaat kecuali beberapa rakaat di waktu malam. Hal ini menunjukkan bobot nilai shalat tahajud.”

Memiliki komitmen atau beriltizam kepada akhlak hamidah (akhlak terpuji). Akhlak hamidah jelas harus dimiliki oleh seorang a’dha yang beriltizam. Dan akhlak hamidah yang dimaksud tentu saja akhlak yang islami dan Qurani. Sebagaimana Rasulullah SAW diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia dan dipuji Allah sebagai orang yang berbudi pekerti agung (QS 68:4). Aisyah RA mengatakan bahwa akhlak beliau adalah Al-Qur’an. Artinya jika ingin melihat bagaimana Al-Quran dijabarkan secara konkret dalam sikap, perilaku, dan tindak-tanduk di segala aspek kehidupan, lihatlah diri Rasulullah. Rasulullah boleh dikatakan ”the living Quran”. Bila seorang da’i memiliki akhlak yang islami, ia akan mendapat manfaat antara lain bahwa dirinya patut menjadi teladan. Akhlak terpujinya itu juga menjadi daya tarik dakwah dan dirinya juga akan selalu terhindar dari fitnah. Rasulullah SAW, misalnya pernah dikatakan dukun, tukang sihir, gila, dan sebagainya, tetapi akhirnya fitnah-fitnah itu terlepas dengan sendirinya melihat keutamaan pribadi Rasulullah SAW. Begitu pula fitnah keji berupa tuduhan zina terhadap ummul mukminin, Aisyah RA, yang dikenal dengan peristiwa ”haditsul ifki”. Beliau akhirnya mendapatkan pembelaan langsung dari Allah dalam surat An-Nur.

Komit atau memiliki iltizam terhadap dakwah wa jihad. Seorang a’dha yang memiliki komitmen terhadap jamaah dengan harakah, tentu harus memiliki iltizam terhadap dakwah dan jihad. Dakwah dan jihad memang tidak bisa dipisahkan satu sama lain seperti dua sisi mata uang. Dakwah adalah upaya untuk meraih keberuntungan di sisi Allah dengan jalan menyeru pada kebaikan, menyuruh orang berbuat ma’ruf, dan mencegah yang mungkar (QS 3:104). Sedangkan keutamaan jihad sudah tidak diragukan lagi. Bahkan dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda, ”Barangsiapa yang tidak pernah melakukan jihad dan tidak pernah berniat berjihad, maka matinya dalam keadaan jahiliyah, jihad memang dapat dilakukan dalam berbagai bentuk seperti jihad bil mal, bil lisan, dll, namun jihad tertinggi adalah qital. Ada konsekuensi logis ketika seorang beriltizam pada jihad yakni ia juga harus beriltizam terhadap segala sesuatu yang merupakan persiapan untuk itu seperti tarbiyah takwiniah yang istimrar, dll.

Beriltizam atau berkomitmen terhadap syumul wa tawazun. Dienul Islam ajaran yang syamil (integral, komprehensif) dan mutakamil (utuh) serta mutawazinah (seimbang). Pendek kata, Islam adalah agama yang sempurna dan diridhai Allah (QS 3:19, 5:3). Sebagaimana alam semesta diciptakan sempurna, tidak ada kekurangan, dan dalam harmoni tawazun seperti dalam QS 55:7-9, maka manusia pun bagian dari alam semesta diciptakan Allah dalam keadaan sebaik-baik rupa. Umat Islam juga dikatakan sebagai umat wasatha/pertengahan. Ajaran sarat dengan kesyumuliahan dan ketawazunan, misalnya ajaran Islam menyentuh seluruh aspek kehidupan mulai dari hal sepele sa,pai yang paling berat dn kompleks. Islam melarang manusia kikir, tapi juga tidak membolehkan berlaku boros, israf atau melakukan kemubadziran. Jadi seorang a’dha dalam iltizamnya terhadap syari’ah harus memiliki komitmen pada syumuliatul dan ketawazunan Islam
Dalam tanzim jamaah muslimah, naqib ibarat tiang utama dalam struktur dan bangunan jamaah.
Naqib juga merupakan jantung yang terus berdenyut yang memberi al-hayah (kehidupan), al-hayawiyah (spirit) dan al-harakah (gerakan).
Naqib adalah munaffidz (pelaksana) asasi bagi berbagai proses:

1. Tarbawi (tarbiyah).
2. Tanzhimi (struktur), dan
3. Idari (management).
Pada saat yang sama, naqib ibarat nadi kepada harakah, padanya terdapat:
1. Taujih/khithab qiyadi (pengarahan pemimpin), dan
2. Amal tanfidzi (pelaksanaan amal).
Pada saat yang sama pula, naqib ibarat qanat (saluran) asasi antara qiyadah dan afrad. Melalui saluran inilah:
1. Berbagai awamir (perintah) dan taujihat (pengarahan) turun, dan
2. Berbagai berita dan iqtirahat (cadangan) naik.
Kerana inilah, sesungguhnya dengan membina naqib, membina qudrah (kemampuan)-nya dan membina berbagai karakternya, baik yang bersifat bawaan, maupun yang bersifat empiris merupakan pembinaan terhadap kemampuan berbagai marhalah jamaah dan terhadap kafa-ah-nya untuk ber-harakah dan melakukan intaj (produktiviti). Sesuai dengan kadar yang diperoleh oleh naqib, baik yang berupa sifat-sifat asasi, maupun tarbiyah yang berjaya, sesuai kadar itu pula terletak:
1. Kekuatan bangunan tanzimi.
2. Produktiviti ada’ idari (pelaksanaan management).
3. Kejayaan amaliyah tarbawiyah (proses tarbiyah), dan
4. Keberkatan ansyithah da’awiyah (berbagai aktiviti dakwah).
Mungkin posisi naqib dalam jamaah muslimah itu seperti titik pusat sebuah lingkaran, di mana posisi qiyadah berada di bahagian atas, posisi afrad berada di posisi bawah, sementara berbagai aktiviti yang berada di dalam lingkaran itu mesti melalui naqib yang menghubungkan antara qiyadah dengan afrad tadi. Tidak mungkin bahagian-bahagian dari lingkaran itu sampai kepada arah yang berlawanan, di manapun posisinya, kecuali melalui titik pusat (tengah) itu. Maksudnya: apapun arah sebuah kegiatan, baik dari qiyadah kepada afrad atau sebaliknya, maka naqib merupakan pusat kepada kegiatan itu, dan ia adalah pusat penyelaras kepada gerakan ini, dan darinyalah bertolak berbagai aktiviti.
Berikut ini adalah sebahagian dari aktiviti-aktiviti jamaah muslimah yang asasi -yang dalam gambaran di atas merupakan isi dari lingkaran- yang tidak boleh tidak naqib pasti menjadi pusat asasi dan pusat penghubungnya:
1. Al-‘Amaliyah At-Tarbawiyah (proses tarbiyah).
Hal ini mencakupi:
1. Dirasah Mabadi’ Jama’ah (kajian prinsip-prinsip jamaah).
2. Ta’allumul Fiqhid Da’awi (pembelajaran fiqih dakwah).
3. Thuruqud Da’wah wal Ittishal (metode dakwah dan komunikasi).
4. As-Siyasat Al-’Ammah lil Harakah (siyasat umum harakah).
5. Lawaihul Jama’ah (undang-undang jamaah).
6. Al-Mafahim At-Tarbawiyah (konsep-konsep tarbiyah).
7. Al-‘Ilmu bitarikhid da’wah al-islamiyah (pengetahuan sejarah dakwah Islam).
8. Ma’anil Badzli wat Tadh-hiyah (nilai-nilai infaq dan pengorbanan).
9. Tahammulul Masyaq (daya tahan dalam memikul berbagai kesulitan).
10. Membaca Al-Qur’an, dan mengkaji makna-maknanya.
Semua itu berjalan sesuai dengan manhaj jamaah, dan ta’limat qiyadah yang tidak mungkin sampai kepada afrad kecuali melalui naqib.
11. At-Tarbiyah bis-Suluk (tarbiyah dengan tingkah laku), dan
12. Al-Qudwah al-‘Amaliyah (teladan amali), yang memang menjadi kewajibannya.
Pada satu sudut, seorang naqib mengambil qudwah (teladan) yang baik dari para qiyadah, pada saat yang sama ia adalah teladan bagi saudara-saudaranya di bawah.
Dengan demikian, ia menjadi pihak yang menerima kebaikan, sekaligus menjadi penyebar kebaikan tadi.
Kerana gerakan Ikhwan adalah haqiqatun shufiyah (hakikat kesufian), maka naqib merupakan asas hakikat ini.
Di depan para qiyadah ia adalah seorang murid yang belajar, mempraktikkan dan meneladani, dan di hadapan saudara-saudaranya ia adalah seorang syeikh yang menjadi teladan.
Dengan demikian, naqib merupakan inti tarbiyah sulukiyah, penukil tarbiyah ini dan tali pengait yang menyambungkan hubungan antara generasi dakwah.
Dan jamaah dengan izin Allah terbebas dari berbagai bid’ah tasawwuf, dan manhajnya yang salafi mu’tadil (salafi sederhana) sudah amat dikenal, dan hal ini telah disebutkan oleh Imam Asy-Syahid dengan jelas. Beliau meminjam istilah tasawwuf dalam rangka memberikan isyarat kepada tawajjuh tarbawi al-akhlaqi (orientasi tarbiyah akhlaqi) yang sangat memperhatikan tazkiyatul qulub wal arwah (pensucian hati dan ruhani).
***
2. Al-Ansyithah Al-Idariyah (berbagai aktiviti pengurusan).
Yang demikian ini kerana jamaah sebagai hizb dan tanzhim memiliki berbagai aktiviti yang beranika ragam:
• Pengeluaran berbagai perintah dan penerapannya, dan
• Pengambilan berbagai keputusan dan pelaksanaannya.
Sebagaimana lazimnya sebuah lembaga sosial kemanusiaan mempunyai pengurusan dan anggota, ada ketua dan ada anak buah, ada pimpinan dan ada pengikut. Demikian juga halnya dengan jamaah muslimah, para qiyadah-nya tercermin pada para pimpinan pengurusannya, sementara personel jamaah ibarat anggota sebuah lembaga yang menunaikan kewajiban-kewajibannya dalam menjalankan berbagai qararat (keputusan), melaksanakan berbagai rencana serta komitmen terhadap berbagai taujihat (arahan).
Mereka juga berkewajiban menyampaikan berbagai berita, mengamati berbagai fenomena dan menulis taqrir (membuat laporan).
Termasuk dalam hal ini pula bahawa masing-masing dari qiyadah dan anggota mempunyai berbagai hak dan kewajiban, di mana pihak yang satunya berkewajiban melaksanakan hak-hak itu. Adakalanya hal itu adalah kewajiban syar’i, dan boleh jadi pula hal itu adalah buah dari ibadah. Semua itu bergantung kepada berbagai kemaslahatan yang menjadi titik tujuan didirikannya tanzim yang membantu tercapainya kemaslahatan-kemaslahatan diniyah.
Dalam aktiviti idariyah ini harus ada titik tengah dan titik ordinasi yang menjadi penghubung antara pimpinan puncak dengan basis massanya. Titik tangah ini ada pada naqib yang merupakan pusat nadi mengalirnya harakah idariyah (gerakan management). Ia ibarat pengikut di hadapan qiyadah dan ia ibarat imam di hadapan afrad. Atau dengan bahasa lain, ia adalah pimpinan dan yang dipimpin sekaligus.
Masalah ini tetap akan berterusan sehingga saat nasyath idari (aktiviti pengurusan) berubah menjadi nasyath askari (aktiviti askari), atau tanfidz siyasi (pelaksanaan politik).
Jadi, Naqib adalah seorang jundi yang taat dan pada masa yang sama ia adalah qaid (pimpinan) yang mengeluarkan perintah kepada saudara-saudaranya di bawah.
***
3. Al-Ansyithah Ats-Tsaqafiyah (berbagai aktiviti tsaqafiyah).
Jamaah muslimah sebagai harakah salafiyah (gerakan salaf) mengimani bahawa al-‘ilmu asasul ‘amal (ilmu adalah asas amal).
Jadi, di dalam usrah terdapat madrasah tsaqafiyah mutakamilah (sekolah terpadu tempat mengasah wawasan). Melalui usrah jamaah muslimah bersemangat untuk mengadakan:
• At-tastqif asy-syar’i (pengasahan wawasan syari’ah) dengan kepelbagaiannya, seperti:
• Belajar Al-Qur’an dan melakukan kajian terhadapnya.
• Ilmu hadis.
• Kajian dasar-dasar fiqih.
• Prinsip-prinsip aqidah, dan lain-lain.
• At-tastqif bist-tsaqafah al-‘ammah (pengasahan wawasan umum), seperti:
• Sejarah manusia.
• Sejarah Islam.
• Pelbagai skill kehidupan, dan lain-lain.
‘Amaliyah tsaqafiyah (proses pengasahan wawasan) ini –walaupun masih banyak tempat-tempat yang menjadi pilihan- namun, intinya, atau minima pelurusan dan penentuan alurnya dilakukan dalam ‘amaliyah tsaqafiyah yang diselenggarakan di dalam usrah. Hal ini mendorong –mau tidak mau- bagi:
Berjalannya fungsi naqib sebagai ustaz dan mu’allim di hadapan saudara-saudaranya.
Keharusan untuk selalu mendapatkan bekalan-bekalan secara berterusan dari para qiyadah da’wah dan para pemikirnya dalam menuntut ilmu, dan jadilah dia di hadapan mereka sebagai seorang siswa yang belajar.
Dengan demikian, secara automatik naqib juga menjadi:
Markaz wa jauhar al-‘amaliyah at-tarbawiyah (center dan inti dari proses tarbiyah),
Dia adalah titik sambung antara mengambil dan memberi.
Pihak yang secara istimrar (berterusan) berkewajiban menjadi siswa yang belajar yang terus menyerap ilmu dari pihak lainnya, dan pada saat yang sama..
Ia menjadi seorang yang aktif yang mampu memberi sebagai seorang mu’allim dan ustaz.
***
Salah satu kewajiban naqib yang sangat banyak itu, di samping perananya sebagai murabbi (pendidik), munazhzhim (pengorganisasian), dan mudir (pengurus), ia juga berperanan sebagai mu’allim (guru) yang menjalankan ‘amaliyatut-ta’lim ad-da’awi wal fikri (proses pengajaran dakwah dan fikrah) dalam ruang lingkup jamaah, melalui usrah atau di luar usrah melalui berbagai ceramah, kajian rutin dan pertemuan-pertemuan. Dan dia, saat menjalankan proses ini, bererti sedang menjalankan kewajiban syar’i yang sangat besar, sesuai dengan kemampuannya. Di hadapan saudara-saudaranya, ia adalah seorang guru, walaupun yang ia sampaikan hanya satu ayat dari Al-Qur’an, bagaimana halnya kalau dia menjadi guru pertama mereka dalam ilmu-ilmu syari’ah yang beraneka ragam itu. Ditambah lagi bahawa saudara-saudaranya juga mengambil daripadanya pelajaran fikr islami untuk pertama kalinya, bahkan, darinya terambil berbagai manhaj jamaah, pokok-pokoknya, prinsip-prinsip dakwah dan tradisi-tradisi dakwah. Kerana inilah, peranan naqib sangatlah besar dalam al-‘amaliyah at-ta’limiyah (proses pengajaran) dalam jamaah muslimah.
Kerana peranannya yang besar inilah, seorang naqib memerlukan pengetahuan dan komitmen terhadap pendekatan dalam al-‘amaliyah at-ta’limiyah (proses pengajaran) ini.
Justeru itu, kita boleh saja mengambil pelajaran dari aadabul muhaddits (pendekatan seorang ahli hadis) yang layak bagi seorang murabbi atau naqib, khususnya dalam usrah.
“… Seorang muhaddis (baca: murabbi atau naqib) berkewajiban meluruskan niat, membersihkan hatinya dari tujuan-tujuan duniawi … dan jangalah ia menolak melakukan tahdis atau proses periwayatan hadis (baca: tarbiyah dalam arti proses pembinaan) kepada seseorang dengan alasan seseorang itu tidak lurus niatnya, sebab, seseorang itu boleh diharapkan –melalui tahdis (baca: tarbiyah) kelurusan niatnya, dan hendaklah ia (muhaddits, baca: murabbi) bersemangat menyebar luaskan hadis (baca: bahan tarbiyah) dengan mengharapkan besarnya pahala yang akan diperoleh … hendaklah ia (muhaddits, baca: murabbi) membuka dan menutup majlisnya dengan hamdalah, shalawat kepada nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan doa yang tepat, hendaklah ia menyiapkan seorang pembaca Al-Qur’an yang bagus suaranya untuk membaca sedikit ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam meriwayatkan hadis (baca: menyampaikan bahan tarbiyah) janganlah melaluinya saja yang menyebabkan tidak difahaminya hadis (baca: bahan tarbiyah) itu atau sebahagiannya … dan hendaklah ia memohon kepada Allah -subhanahu wata’ala- agar mendapatkan taufiq (ketepatan), tasdid (pelurusan) dan taisir (kemudahan), dan hendaklah ia komitmen terhadap berbagai akhlaq dan pendekatan mulia, kemudian, hendaklah ia mengerahkan seluruh jerih payahnya dalam rangka menguasai hadis (baca: bahan tarbiyah) itu dan mengoptimumkan pemahamannya …”.
(Taqribun-Nawawi, sila rujuk pada tadribur-rawi syarah taqribun-nawawi, juz: 2 hal. 127 – 141)
Begitulah hendaknya seorang da’i dalam kapasitinya sebagai mu’allim boleh dikutip dari adabul muhaddits (pendekatan seorang ahli hadis) yang disebutkan oleh Imam Al-Ghazali –rahimahullah. Beliau menyebutkan bahawa adab seorang muhaddis adalah:
“… Bertujuan shidiq (benar), menjauhi dusta, meriwayatkan hadis yang masyhur serta meriwayatkan daripada orang-orang tsiqat (terpercaya) … tidak menyebutkan khilaf yang ada di antara sesama salaf, ma’rifatuz-zaman (mengenali zaman), menjaga diri agar tidak tersasul dan salah tulis, lahn (kesalahan baca ) dan tahrif (perubahan) … tetap komitmen dengan pekerti tawadhu’ dan sebahagian besar hadis yang diriwayatkannya membawa manfaat bagi kaum muslimin … dan tidak meriwayatkan hadis yang pada asalnya tidak diamalkan …”.
(Al-Adab fid-diin, karya Al Ghazali hal. 5)
Harap diperhatikan bahawa termasuk dalam pengertian al-hadis al-masyhur dalam perkataan Imam Al-Ghazali (dengan menggunakan metode qiyas (analogi) adalah segala hal yang bermanfaat dan dikenal oleh masyarakat, bukan:
• Masalah-masalah yang pelik-pelik.
• Hadis-hadis fitnah.
• Mencari berita-berita yang meresahkan.
Termasuk dalam pengertian komitmen untuk tidak menyebutkan khilaf antara sesama salaf –meskipun hal ini merupakan tuntutan- adalah:
• Menceritakan hal-hal yang masih khilaf.
• Hadis-hadis fitnah.
• Khilaf dan pertikaian antara sesama qiyadah da’wah.
Sedangkan yang dimaksud dengan ma’rifatuz-zaman adalah:
• Memperhatikan al-wa’yu al-hadhari al-‘am (kesedaran peradaban umum).
• Mengenali berbagai peristiwa yang sedang terjadi.
• Mengikuti berbagai perkembangan berita politik dan sosial.
Seorang naqib hendaklah selalu mengingat bahawa dia adalah seorang mu’allim murabbi (guru yang mendidik) yang menjalani peranan sebagai ad-da’iyah al-qudwah (dai teladan), yang mentarbiyah dengan suluk (perilaku), sebagaimana mentarbiyah dengan kata-kata, bukan sekadar mentarbiyah dengan ilmu yang melaksanakan risalatul ‘ilmi (misi ilmu) tanpa disertai hararatur-ruh (kehangatan rohani) dan melepaskan kendali tadris (pengajaran) tanpa disertai hati.
Perlu diketahui bahawa al-’amaliyah at-tarbawiyah (proses tarbiyah) dalam jama’ah muslimah adalah ‘amaliyah tarbawiyah yang menuntut adanya iltizam biqawa’idi rabbaniyyatit-ta’lim (komitmen terhadap kaedah-kaedah ke-rabbaniyan dalam ta’lim yang di antara kandungannya adalah:
• Ta’allumul mawazin wal qawa’id (mempelajari timbangan-timbangan dan kaedah-kaedah).
• Al-Bidayah bil ahamm la bil ashal (memulai dengan yang terpenting, bukan yang termudah).
• Tathbiqul mumarasat ash-shahihah wal badzli la jam’ul ma’lumat (pengamalan praktik yang benar dan semangat memberi bukan menginventasisasi informasi atau pengetahuan).
• At-Tamassuk bil jawahir la bil qushur (berpegang teguh kepada inti bukan kulit).
• Al-Iltizam bil auwlawiyat ‘inda tazahumidh-dharurat (komitmen dengan prioriti semasa terjadi desakan atau kepadatan berbagai keperluan semasa).
• Daf’ul mafasid ‘ala maqadiri rutabiha (menolak kerosakan sesuai dengan tingkatannya).
• Istihshalil mashalih hasba darajatiha (mengupayakan tercapainya berbagai kemaslahatan sesuai dengan derajatnya).
• Mura’atul isti’dadat an-nafsiyah (memperhatikan potensi-potensi kejiwaan).
• Akhdzul ‘ulum hasba maratibiha wa ahammiyyatuha (mengambil ilmu berdasarkan tingkatan dan urgensinya).
• Dan lain-lain yang telah dijelaskan panjang lebar di tempat lain.
***
Tidak diragukan lagi bahawa termasuk akhlaq seorang da’i yang objektif, dalam kapasitasnya sebagai mu’allim murabbi hendaklah ia menisbahkan ilmu kepada yang memilikinya dalam rangka:
• Menolak dugaan kesombongan.
• Mengembalikan keutamaan kepada pemiliknya.
• Memberikan irsyad (bimbingan) kepada para da’i untuk kembali kepada sumber-sumber ilmu.
• Al-wafa’ (kesetiaan) kepada ahlul ‘ilmi.
• Tatsbitul haqq (mengokohkan kebenaran), dan
• Menolak dan menghindari bahaya hasad (irihati).
Dalam hal ini Al-Imam As-Suyuthi berkata:
“… Di antara keberkatan ilmu dan syukur kepadanya adalah menisbahkan ilmu kepada yang mengatakannya, demikianlah perkataan Al-Hafizh Abu Thahir As-Salafi … (kemudian Imam Suyuthi menukil perkataan Abu Ubaid yang mengatakan): Di antara bentuk mensyukuri ilmu adalah engkau mengambil manfaat dari sesuatu, jika ada sesuatu disebutkan kepadamu engkau berkata: “Tidak jelas bagiku masalah ini dan ini, dan saya tidak memiliki pengetahuan dalam hal ini, sehingga si fulan memberikan faedah dalam hal ini begini dan begini” inilah bentuk mensyukuri ilmu … kerana inilah engkau tidak melihat diriku menyebut sesuatu dalam tulisan-tulisan saya satu huruf pun kecuali dalam keadaan tersandarkan kepada yang mengatakannya dari para ulama’ dengan menjelaskan nama kitab yang menyebutkan hal itu …”.
(Al-Muzhir fi ‘ulumi al-lughah, karya As-Suyuthi, juz: 2 hal. 164)
Al-Imam Al-Fasi menukil sebahagian kalam ini setelah memberikan prolog demikian:
“… Tidak syak lagi bahawa termasuk dalam al-madarik al-muhimmah fi bab ast-tashnif (pemahaman penting dalam menulis kitab) adalah menisbahkan berbagai faedah dan masalah serta nukat (masalah penting yang tidak semua orang mampu melihat dan mengetahuinya) kepada para pemiliknya dalam rangka membebaskan diri dari mengakui sesuatu yang bukan miliknya dan dalam rangka menjauhkan diri dari labisi tsaubai az-zur (memakai dua baju kepalsuan) … inilah kaedah kami yang berhasil kami himpun …”.
(Qawa’id ast-tahdits, karya Al-Qasimi, hal. 40)
Kaedah atau akhlaq yang dulunya menjadi komitmen para ulama’ ini sekarang mulai meredup, dan sudah menjadi semacam kebanggaan saat seseorang menyebutkan berbagai masalah indah tanpa menisbahkannya kepada para pemiliknya, atau sudah menjadi kepelitan dan kekikiran ilmiah kepada para pemiliknya, atau umumnya kerana kebodohan terhadap kaedah ini. Kerana inilah menjadi sebuah kemestian untuk mengingatkan hal ini sebagai salah satu akhlaq murabbi (dan naqib) katika ia menjalani al-‘amaliyah at-ta’limiyah (proses pengajaran), baik ketika berbicara maupun ketika berdiskusi atau ketika menulis dan mengarang buku.
***
Sebagaimana naqib berperanan sebagai titik fokus dalam al-‘amaliyyah at-tarbawiyah, kerananya ia juga menjadi markazul ‘amaliyah at-ta’limiyah (pusat proses pengajaran) dalam jama’ah, yang bererti ia berperanan sebagai mu’allim (guru) bagi orang lainnya, pada saat yang sama, ia adalah muta’allim (siswa) bagi orang lainnya, baik yang dimaksud dengan “orang lain” ini adalah orang-orang yang berada di dalam group yang ia pimpin, ataupun orang-orang yang berada di bawah ke-amir-annya, ataupun para ulama’, da’i dan fuqaha yang sama sekali tidak ada ikatan tanzimi dengannya, bahkan mereka berasal dari luar jama’ah, dan “persiswaan” ini ada dalam salah satu cabang pengetahuan, atau salah satu bahagian dari syari’ah, bahkan sampaipun hanya dalam satu masalah tertentu saja, mengingat bahawa ijtihad memang boleh dibahagi-bahagikan. Intinya bahawa sang naqib atau murabbi belajar dalam satu bidang tertentu, atau salah satu ilmu dari orang-orang yang berada di bawah ke-amir-annya, dan tidak ada malu dalam ilmu dan semua dimudahkan kepada apa yang ia dicipta untuknya.
Di atas semua itu, sang naqib atau murabbi juga berkewajiban mencari pengetahuan dan mengambilnya manapun juga, selama ia telah yakin mampu mencegahnya dari penyimpangan pemikiran atau inhiraf aqidi (penyimpangan aqidah), atau al-iltiwa’ al-haraki (penyimpangan harakah). Bahkan, seorang naqib atau da’i yang berjaya dan kokoh, dari sela-sela belajarnya, sekaligus ia bisa menjadi guru dan murabbi terhadap guru dan syeikh-nya, atau teman-teman sebayanya, melalui:
• Dialog konstruktif.
• Dan diskusi yang berjaya.
Bahkan ia dapat mempengaruhi melalui perilakunya yang “beda” dan akhlaqnya yang mantap.
Ditambah lagi bahawa proses belajar dari para masyayikh dan ulama’ di luar jama’ah akan membuka kesempatan kepada para da’i untuk berinteraksi dengan mereka, mengulas fikrah mereka, bahkan menarik simpati orang lain terhadap mereka, mempengaruhi mereka dan pandangan-pandangan mereka, dan sekaligus mengambil manfaat dari majlis dan murid-murid mereka dalam hal penyebaran fiqih da’wah, penyebaran pemikiran haraki, persiapan perluasan dokongan awam kepada da’wah dan menarik simpati unsur-unsur yang mengarah ke sana.
Sesungguhnya, proses belajarnya sang naqib dan sebahagian da’i kepada para masyayikh dan ulama’ sangatlah penting, bukan saja kerana adanya:
• Faedah-faedah ilmiah, dan
• Interaksi dengan orang ramai, bahkan hal ini juga merupakan....
Bermanfaat untuk simpanan tenaga besar jamaah dalam proses ilmiah. Sebab, biasanya, para masyayikh itu lebih banyak mempunyai waktu, terlebih lagi bahawa mereka lebih itqan terhadap sebahagian ilmu, misalnya: tajwid, tafsir, fiqih, hadis dan ilmu-ilmu bahasa, yang boleh jadi itqan seperti itu tidak dimiliki oleh personel jama’ah. Dan jika ada sebahagian personel jama’ah yang menguasainya secara itqan, namun, kewajibannya yang sangat banyak akan menghalanginya untuk melakukan proses pengajaran.
Belajar kepada masyayikh di luar jama’ah juga akan berdampak kepada kasbuts-tsiqah (menggapai tsiqah) mereka secara pribadi dari satu sisi dan pada sisi lain, jama’ah juga akan mendapatkan shibghah ijtima’iyah yang akan mencegah terselewengnya jama’ah serta menjauhnya masyarakat umum dari jama’ah.
Belajar kepada masyayikh di luar jama’ah juga berdampak kepada adanya dukungan para masyayikh dan ulama’ itu kepada jama’ah, bahkan boleh jadi mereka juga akan bergabung dengan jama’ah yang bererti akan semakin menambah kokohnya jama’ah itu, serta mampu menolak berbagai isu dan syubhat, dan pada saat yang sama akan mencegah ekploitasi gerakan-gerakan bid’ah, dan tasawuf yang menyimpang atau salafi yang berlebihan untuk kepentingan dan tujuan mereka yang kemungkinan tidak sesuai dengan tujuan-tujuan amal islami yang lurus.
***
Akan tetapi, di sini ada sejumlah adab yang menjadi kewajiban para da’i untuk komitmen dengannya ketika ia duduk di hadapan orang-orang yang memberikan pengajaran kepadanya.
“… Hendaklah ia mengagungkan gurunya dan orang-orang yang ia mendengar darinya, sebab hal ini termasuk pengagungan terhadap ilmu dan sebab-sebab mendapatkan manfaat dari ilmu, hendaklah ia meyakini keagungan dan keunggulan gurunya, berusaha meraih ridhanya, dan janganlah berlama-lama dengannya yang sekiranya menjadikannya tidak enak hati. Hendaklah ia berkonsultasi dengannya dalam berbagai urusan dan kesibukannya dan bagaimana cara mengoptimalnya berbagai hal tadi. Dan jika ia mendengar satu hadits, hendaklah ia membertahukan orang lain, sebab, menyembunyikan hal itu adalah sifat tercela, yang tidak terjerumus kepadanya selain para penuntut ilmu yang bodoh, dan jika menyembunyikan ilmu dikhawatirkan menjadi ilmu yang tidak bermanfaat, sebab, termasuk keberkahan sebuah hadits adalah jika ia disampaikan kepada orang lain, dan mempublikasikannya adalah keberkahan. Dan berhati-hatilah jangan sampai rasa malu dan rasa besar menghalanginya untuk berupaya secara maksimal dalam belajar dan mengambil ilmu dari orang yang lebih rendah darinya, baik dalam hal nasab maupun usia maupun dalam hal lainnya. Hendaklah ia bersabar atas kekasaran urusan. Hendaklah ia memperhatikan yang penting dan janganlah menyia-nyiakan waktu dalam memperbanyak guru hanya sekedar memperbanyak saja…”.
(At-Taqrib, karya Imam An-Nawawi, silahkan periksa Tadrib Ar-Rawi fi Syarh Taqrib An-Nawawi juz: 2 hal. 145)
Demikian.
(Terjemahan Majalah Al-‘Ain, juz: 2, hal. 166- 172)