.

Jumat, 29 Juni 2012

Tanda Ikhlas...

Pertama: Menyembunyikan Amalan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِىَّ الْغَنِىَّ الْخَفِىَّ
“Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, hamba yang hatinya selalu merasa cukup dan yang suka mengasingkan diri.”[1] Mengasingkan diri berarti amalannya pun sering tidak ditampakkan pada orang lain.
Ibnul Mubarok mengatakan, “Jadilah orang yang suka mengasingkan diri (sehingga amalan mudah tersembunyi, pen), dan janganlah suka dengan popularitas.”
Az Zubair bin Al ‘Awwam mengatakan, “Barangsiapa yang mampu menyembunyikan amalan sholihnya, maka lakukanlah.”
Ibrahim An Nakho’i mengatakan, “Kami tidak suka menampakkan amalan sholih yang seharusnya disembunyikan.”
Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan bahwa Abu Hazim berkata, “Sembunyikanlah amalan kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan amalan kejelekanmu.”
Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Sebaik-baik ilmu dan amal adalah sesuatu yang tidak ditampakkan di hadapan manusia.”
Basyr Al Hafiy mengatakan, “Tidak selayaknya orang-orang semisal kita menampakkan amalan sholih walaupun hanya sebesar dzarroh (semut kecil). Bagaimana lagi dengan amalan yang mudah terserang penyakit riya’?”
Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Sudah sepatutnya bagi seorang alim memiliki amalan rahasia yang tersembunyi, hanya Allah dan dirinya saja yang mengetahuinya. Karena segala sesuatu yang ditampakkan di hadapan manusia akan sedikit sekali manfaatnya di akhirat kelak.”[2]
:: Contoh para salaf dalam menyembunyikan amalan mereka ::

Pertama: Menyembunyikan amalan shalat sunnah
Ar Robi bin Khutsaim –murid ‘Abdullah bin Mas’ud- tidak  pernah mengerjakan shalat sunnah di masjid kaumnya kecuali hanya sekali saja.[3]
Kedua: Menyembunyikan amalan shalat malam
Ayub As Sikhtiyaniy memiliki kebiasaan bangun setiap malam. Ia pun selalu berusaha menyembunyikan amalannya. Jika waktu shubuh telah tiba, ia pura-pura mengeraskan suaranya seakan-akan ia baru bangun ketika itu. [4]
Ketiga: Bersedekah secara sembunyi-sembunyi.
Di antara golongan yang mendapatkan naungan Allah di hari kiamat nanti adalah,

وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ

Seseorang yang bersedekah kemudian ia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya.[5] Permisalan sedekah dengan tangan kanan dan kiri adalah ungkapan hiperbolis dalam hal menyembunyikan amalan. Keduanya dipakai sebagai permisalan karena kedekatan dan  kebersamaan kedua tangan tersebut.[6]
Contoh yang mempraktekan hadits di atas adalah ‘Ali bin Al Husain bin ‘Ali. Beliau biasa memikul karung berisi roti setiap malam hari. Beliau pun membagi roti-roti tersebut ke rumah-rumah secara sembunyi-sembunyi. Beliau mengatakan,

إِنَّ صَدَقَةَ السِّرِّ تُطْفِىءُ غَضَبَ الرَّبِّ عَزَّ وَ جَلَّ

Sesungguhnya sedekah secara sembunyi-sembunyi akan meredam kemarahan Rabb ‘azza wa jalla.” Penduduk Madinah tidak mengetahui siapa yang biasa memberi mereka makan. Tatkala ‘Ali bin Al Husain meninggal dunia, mereka sudah tidak lagi mendapatkan kiriman makanan setiap malamnya. Di punggung Ali bin Al Husain terlihat bekas hitam karena seringnya memikul karung yang dibagikan kepada orang miskin Madinah di malam hari. Subhanallah, kita mungkin sudah tidak pernah melihat makhluk semacam ini di muka bumi ini lagi.[7]
Keempat: Menyembunyikan amalan puasa sunnah.
Dalam rangka menyembunyikan amalan puasa sunnah, sebagian salaf senang berhias agar tidak nampak lemas atau lesu karena puasa. Mereka menganjurkan untuk menyisir rambut dan memakai minyak di rambut atau kulit di kala itu. Ibnu ‘Abbas mengatakan,
إِذَا كَانَ صَوْمُ أَحَدِكُمْ فَلْيُصْبِحْ دَهِينًا مُتَرَجِّلاً

“Jika salah seorang di antara kalian berpuasa, maka hendaklah ia memakai minyak-minyakan dan menyisir rambutnya.”[8]
Daud bin Abi Hindi berpuasa selama 40 tahun dan tidak ada satupun orang, termasuk keluarganya yang mengetahuinya. Ia adalah seorang penjual sutera di pasar. Di pagi hari, ia keluar ke pasar sambil membawa sarapan pagi. Dan di tengah jalan menuju pasar, ia pun menyedekahkannya. Kemudian ia pun kembali ke rumahnya pada sore hari, sekaligus berbuka dan makan malam bersama keluarganya.[9] Jadi orang-orang di pasar mengira bahwa ia telah sarapan di rumahnya. Sedangkan orang-orang yang berada di rumah mengira bahwa ia menunaikan sarapan di pasar. Masya Allah, luar biasa trik beliau dalam menyembunyikan amalan.
Begitu pula para ulama seringkali membatalkan puasa sunnahnya karena khawatir orang-orang mengetahui kalau ia puasa. Jika Ibrohim bin Ad-ham diajak makan (padahal ia sedang puasa), ia pun ikut makan dan ia tidak mengatakan, “Maaf, saya sedang puasa”.[10] Itulah para ulama, begitu semangatnya mereka dalam menyembunyikan amalan puasanya.
Kelima: Menyembunyikan bacaan Al Qur’an dan dzikir
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْجَاهِرُ بِالْقُرْآنِ كَالْجَاهِرِ بِالصَّدَقَةِ وَالْمُسِرُّ بِالْقُرْآنِ كَالْمُسِرِّ بِالصَّدَقَةِ
Orang yang mengeraskan bacaan Al Qur’an sama halnya dengan orang yang terang-terangan dalam bersedekah. Orang yang melirihkan bacaan Al Qur’an sama halnya dengan orang yang sembunyi-sembunyi dalam bersedekah.[11]
Setelah menyebutkan hadits di atas, At Tirmidzi mengatakan, “Hadits ini bermakna bahwa melirihkan bacaan Qur’an itu lebih utama daripada mengeraskannya karena sedekah secara sembunyi-sembunyi lebih utama dari sedekah yang terang-terangan sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama. Mereka memaknakan demikian agar supaya setiap orang terhindar dari ujub. Seseorang yang menyembunyikan amalan tentu saja lebih mudah terhindar dari ujub daripada orang yang terang-terangan dalam beramal.”
Yang dipraktekan oleh para ulama, mereka sampai-sampai menutupi mushafnya agar orang tidak tahu kalau mereka membaca Qur’an. Ar Robi’ bin Khutsaim selalu melakukan amalan dengan sembunyi-sembunyi. Jika ada orang yang akan menemuinya, lalu beliau sedang membaca mushaf Qur’an, ia pun akan menutupi Qur’annya dengan bajunya.[12] Begitu pula halnya dengan Ibrohim An Nakho’i. Jika ia sedang membaca Qur’an, lalu ada yang masuk menemuinya, ia pun segera menyembunyikan Qur’annya.[13] Mereka melakukan ini semua agar amalan sholihnya tidak terlihat oleh orang lain.
Keenam: Menyembunyikan tangisan
Sufyan Ats Tsauri mengatakan, “Tangisan itu ada sepuluh bagian. Sembilan bagian biasanya untuk selain Allah (tidak  ikhlas) dan satu bagian saja yang biasa untuk Allah. Jika ada satu tangisan saja dilakukan dalam sekali setahun (ikhlas) karena Allah, maka itu pun masih banyak.”[14]
Dalam rangka menyembunyikan tangisnya, seorang ulama sampai pura-pura mengatakan bahwa dirinya sedang pilek karena takut terjerumus dalam riya’. Itulah yang dicontohkan oleh Ayub As Sikhtiyaniy. Ia pura-pura mengusap wajahnya, lalu ia katakan, “Aku mungkin sedang pilek berat.” Tetapi sebenarnya ia tidak pilek, namun ia hanya ingin menyembunyikan tangisannya.[15]
Sampai-sampai salaf pun ada yang pura-pura tersenyum ketika ingin mengeluarkan tangisannya. Tatkala Abu As Sa-ib ingin menangis ketika mendengar bacaan Al Qur’an atau hadits, ia pun pura-pura menyembunyikan tangisannya (di hadapan orang lain) dengan sambil tersenyum.[16]
Mu’awiyah bin Qurroh mengatakan, “Tangisan dalam hati lebih baik daripada tangisan air mata.”[17]
Ketujuh: Menyembunyikan do’a
‘Uqbah bin ‘Abdul Ghofir mengatakan, “Do’a yang dilakukan sembunyi-sembunyi lebih utama 70 kali dari do’a secara terang-terangan. Jika seseorang melakukan amalan kebaikan secara terang-terangan dan melakukannya secara sembunyi-sembunyi semisal itu pula, maka Allah pun akan mengatakan pada malaikat-Nya, “Ini baru benar-benar hamba-Ku.”[18]
Amalan-amalan apa saja yang mesti disembunyikan? [19]
 
Para ulama ada yang menjelaskan bahwa untuk amalan sunnah –seperti sedekah sunnah dan shalat sunnah-, maka lebih utama dilakukan sembunyi-sembunyi. Melakukan seperti inilah yang lebih mendekatkan pada ikhlas dan menjauhkan dari riya’. Sedangkan amalan wajib –seperti zakat yang wajib dan shalat lima waktu-, lebih utama dengan ditampakkan.[20]
Namun kadang amalan sholih juga boleh ditampakkan jika memang ada faedah, misalnya agar memotivasi orang lain untuk beramal atau ingin memberikan pengajaran kepada orang lain.
Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Kaum muslimin sudah mengetahui bahwa amalan yang tersembunyi itu lebih baik. Akan tetapi amalan tersebut kadang boleh ditampakkan jika ada faedah.”
Yang pantas menampakkan amalan semacam ini agar bisa sebagai contoh atau uswah bagi orang lain adalah amalan para Nabi ‘alaihimus sholaatu wa salaam.

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab: 21) Yang semisal dengan para Nabi yang pantas menjadi uswah (teladan) adalah para Khulafaur Rosyidin, pewaris Nabi yaitu ulama dan da’i serta setiap orang yang menjadi uswah (teladan).
Imam Al-Iz bin ‘Abdus Salam telah menjelaskan hukum menyembunyikan amalan kebajikan secara lebih terperinci. Beliau berkata, “Ketaatan  (pada Allah) ada tiga:
Pertama: Amalan yang disyariatkan untuk ditampakkan seperti adzan, iqomat, ucapan takbir ketika shalat, membaca Qur’an secara jahr dalam shalat jahriyah (Maghrib, Isya’ dan Shubuh, pen), ketika berkhutbah, amar ma’ruf nahi mungkar, mendirikan shalat jum’at dan shalat secara berjamaah, merayakan hari-hari ‘ied, jihad, mengunjungi orang-orang yang sakit, dan mengantar jenazah, maka amalan semacam ini tidak mungkin disembunyikan. Jika pelaku amalan-amalan tersebut takut berbuat riya, maka hendaknya ia berusaha keras untuk menghilangkannya hingga dia bisa ikhlas dalam beramal. Sehingga dengan demikian dia akan mendapatkan pahala amalannya dan juga pahala karena kesungguhannya menghilangkan riya’ tadi, karena amalan-amalan ini maslahatnya juga untuk orang lain.
Kedua: Amalan yang jika diamalkan secara sembunyi-sembunyi lebih utama daripada jika ditampakkan. Contohnya seperti membaca Qur’an dengan sir (lirih) dalam shalat siriyah (zhuhur dan ashar, pen), dan berdzikir dalam solat secara perlahan. Maka dengan perlahan lebih baik daripada jika dijahrkan.

Ketiga: Amalan yang terkadang disembunyikan dan terkadang ditampakkan seperti amalan sedekah. Jika dia kawatir tertimpa riya’ atau dia tahu bahwasanya biasanya kalau dia nampakan amalannya dia akan riya’, maka amalan (sedekah) tersebut disembunyikan lebih baik daripada jika ditampakkan. Karena Allah Ta’ala berfirman,

وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ

Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu.” (QS. Al Baqarah: 271)

Adapun orang yang aman dari riya’ maka ada dua keadaan sebagai berikut.
Pertama: Dia bukanlah termasuk orang yang jadi uswah (jadi contoh), maka lebih baik dia menyembunyikan sedekahnya, karena bisa jadi dia tertimpa riya’ tatkala menampakkan amalannya.
Kedua: Dia adalah orang yang jadi uswah, maka menampakan amalan –seperti amalan sedekahnya- lebih baik karena hal itu akan membuat lebih akrab dengan orang miskin dan dia pun bisa jadi uswah bagi orang lain. Dia telah memberi manfaat kepada fakir miskin dengan sedekahnya dan dia juga bisa mendorong orang-orang kaya untuk bersedekah pada fakir miskin karena mencontohi dia, dan dia juga telah memberi manfaat pada orang-orang kaya tersebut karena mengikuti dia beramal soleh.”
Termasuk point ketiga ini adalah menjahrkan atau mensirkan bacaan surat pada shalat malam (shalat tahajud). Yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah terkadang mengeraskan bacaan dan terkadang melirihkan bacaan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah shalat ketika bersama Abu Bakr beliau memelankan suaranya dan ketika bersama Umar beliau mengeraskan suaranya. Suatu saat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan Abu Bakr untuk mengeraskan suara dan memerintahkan ‘Umar untuk melirihkan suaranya.[21]
An Nawawi mengatakan, “Terdapat berbagai hadits yang menjelaskan keutamaan mengeraskan suara ketika membaca al Qur’an dan juga terdapat hadits yang menjelaskan keutamaan melirihkan bacaan. Dari sini, para ulama menjelaskan bahwa kompromi dari hadits-hadits tersebut yaitu: melirihkan bacaan jadi lebih utama pada orang yang khawatir tertimpa riya’. Jika tidak khawatir demikian, maka bacaannya boleh dikeraskan asalkan tidak mengganggu orang lain yang sedang shalat atau tidur.”[22]
Bagaimana dengan dosa dan maksiat yang pernah dilakukan? Apakah boleh ditampakkan?
Setelah kita mengetahui dari penjelasan di atas, untuk amalan ketaatan diberi keringanan dalam beberapa kondisi untuk ditampakkan semisal untuk amalan wajib dan amalan sunnah (dalam beberapa keadaan). Sedangkan untuk maksiat sudah sepatutnya untuk disembunyikan.
Menyembunyikan dosa dan tidak menampakkan aib-aibnya pada manusia, itu malah terpuji dilihat dari beberapa sebab.
Pertama: Kita diperintahkan untuk menutup maksiat yang kita lakukan dan tidak perlu membuka kejelekan-kejelekan diri kita. Disebutkan dalam hadits,
اِجْتَنِبُوْا هَذِهِ القَاذُوْرَةَ الَّتِي نَهَى اللهُ عَنْهَا ، فَمَنْ أَلَمَّ فَلْيَسْتَتِرْ بِسَتْرِ اللهِ

Jauhilah dosa yang telah Allah larang. Siapa saja yang telah terlajur melakukan dosa  tersebut, maka tutuplah rapat-rapat dengan apa yang telah Allah tutupi.[23]
Juga jika kita tidak suka dengan maksiat, maka kita pun hendaklah tidak suka orang lain mengetahuinya atau sampai melakukan hal yang sama. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

Seseorang di antara kalian tidak dikatakan beriman (dengan iman yang sempurna) hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.[24]

 Kebalikannya (mafhumnya) adalah jika engkau tidak suka sesuatu pada dirimu, maka engkau haruslah tidak suka hal itu menimpa saudaramu. Oleh karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menafikan iman dalam hadits ini, maka menunjukkan bahwa hal tersebut wajib dilakukan[25]. Sehingga menutup dosa dan maksiat adalah wajib.
Kedua: Agar jangan sampai ‘aib tersebut terbuka dan terkoyak di hadapan orang lain. Karena jika seseorang sudah merasa takut ‘aibnya terbuka di dunia, maka niscaya ‘aib tersebut sampai di akhirat akan terus tertutup. Oleh karena itu, orang-orang sholih seringkali berdo’a: “Ya Allah, sebagaimana engkau menutupi ‘aib-‘aibku di dunia, maka janganlah buka ‘aib-‘aibku di akhirat.”
Ketiga:Agar orang lain tidak ikut-ikutan melakukan maksiat yang telah dilakukan dan agar maksiat tersebut tidak tersebar luas di muka bumi. Oleh karena itu, sudah sepantasnya ‘aib atau maksiat ditutupi sampai pula pada orang terdekat kita (misalnya kerabat dan orang tua).
Keempat: Agar kita lebih mudah mendapatkan ampunan dari Allah dan tidak termasuk orang-orang yang dicela dan tidak diterimanya taubatnya karena memamerkan maksiat yang ia lakukan.
كُلُّ أُمَّتِى مُعَافَاةٌ إِلاَّ الْمُجَاهِرِينَ وَإِنَّ مِنَ الإِجْهَارِ أَنْ يَعْمَلَ الْعَبْدُ بِاللَّيْلِ عَمَلاً ثُمَّ يُصْبِحُ قَدْ سَتَرَهُ رَبُّهُ فَيَقُولُ يَا فُلاَنُ قَدْ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ فَيَبِيتُ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ

“Setiap umatku akan diampuni kecuali orang yang melakukan jahr. Di antara bentuk melakukan jahr adalah seseorang di malam hari melakukan maksiat, namun di pagi harinya –padahal telah Allah tutupi-, ia sendiri yang bercerita, “Wahai fulan, aku semalam telah melakukan maksiat ini dan itu.” Padahal semalam Allah telah tutupi maksiat yang ia lakukan, namun di pagi harinya ia sendiri yang membuka ‘aib-‘aibnya yang telah Allah tutup.”[26]
Kelima: Agar ia termasuk orang-orang yang memiliki rasa malu. Rasa malu inilah yang akan menghalangi dirinya menampakkan maksiat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْحَيَاءُ لاَ يَأْتِى إِلاَّ بِخَيْرٍ

Rasa malu tidaklah datang kecuali membawa kebaikan.[27]
Keenam: Agar ia tidak mendapat ejekan atau celaan dari manusia. Karena celaan biasanya akan menusuk ke hati. Sedangkan hukuman had hanya akan menyakiti anggota badan.
Demikian pembahasan tanda ikhlas yang pertama.
Hanya Allah yang memberi taufik untuk berbuat ikhlas.
Semoga Allah memudahkan kita untuk membaca posting lanjutan dari pembahasan tanda ikhlas yaitu tidak 
mencari ketenaran dan merasa diri selalu kurang dalam beramal.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com


[1] HR. Muslim no. 2965, dari Sa’ad bin Abi Waqqash.
[2] Lihat Ta’thirul Anfas min Haditsil Ikhlas, Sayyid bin Husain Al ‘Afaniy,hal. 230-232,Darul ‘Afani, cetakan pertama, 1421 H.
[3] Az Zuhud, Imam Ahmad, 5/60, Mawqi’ Jami’ Al Hadits.
[4] Hilyatul Auliya’, Abu Nu’aim Al Ash-bahaniy, 3/8, Darul Kutub Al ‘Arobiy, Beirut.
[5] HR. Bukhari no. 1423 dan Muslim no.1031,dari Abu Hurairah.
[6] Syarh Muslim, 3/481.
[7] Lihat Hilyatul Auliya’, 3/135-136.
[8] Disebutkan oleh Al Bukhari dalam kitab Shahihnya tanpa sanad (secara mu’allaq).
[9] Lihat Shifatus Shofwah, Ibnul Jauziy, 3/300, Darul Ma’rifah, Beirut, cetakan kedua, 1399 H.
[10] Lihat Ta’thirul Anfas,hal. 246
[11] HR. Abu Daud no. 1333 dan At Tirmidzi no. 2919, dari ‘Uqbah bin ‘Amir Al Juhaniy. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[12] Lihat Hilyatul Awliya’, 2/107, Darul Kutub ‘Arobiy, cetakan keempat, 1405 H.
[13] Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 246.
[14] Hilyatul Awliya’, 7/11.
[15] Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 248.
[16] Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 251.
[17] Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 252.
[18] Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 253.
[19] Diringkas dari Ta’thirul Anfas, hal. 263-267.
[20] Syarh Muslim, An Nawawi, 3/481, Mawqi’ Al Islam.
[21] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik, 1/410-411, Al Maktabah At Taufiqiyah.
[22] Dinukil dari footnote Faidul Qodir, Al Munawi, 3/354, Al Maktabah At Tijariyah Al Kubro, Mesir, cetakan pertama, tahun 1356 H.
[23] HR. Al Hakim, dari ‘Abdullah bin ‘Umar. Al Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih sesuai dengan syarat Bukhari-Muslim.
[24] HR. Bukhari no. 13 dan Muslim no. 45, dari Anas bin Malik.
[25] Faedah dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Kitab Al Iman.
[26] HR. Bukhari no. 6069 dan Muslim no. 2990, dari Abu Hurairah.
[27] HR. Bukhari no. 6117  dan Muslim no. 37, dari ‘Imron bin Hushain.

Kamis, 28 Juni 2012

Nazarudin n' Alumni Gizi


Nazarudin (Bendahara partai Demokrat) difoto tampak samping disela-sela persidangan sedang menahan ketawa sepertinya...

Taufiq maryusman (Teman saya diangkatan 2005 POLTEKKES JAKARTA II tapi beliau jurusan GIZI) difoto dari depan terlihat sedang galau :-) (afwan akhi... )



SEPUTAR IKHTILATH DAN HIJAB





Secara lughawi, ikhtilath berarti percampuran. Dalam penggunaan bahasa sehari-hari, kata ikhtalatha sering digunakan untuk menyatakan ungkapan semisal “Susu dan kopi itu bercampur”. Secara istilahiy, ikhtilath sering diartikan sebagai percampuran antara orang-orang yang berlainan jenis - bukan antara suami dan istri-istrinya, bukan pula sesama mahram – tanpa adanya hijab. Jadi ikhtilath dihindari dengan cara memakai hijab. Para ulama berbeda pendapat mengenai bagaimanakah hijab itu?

Secara menyeluruh, hijab tidaklah hanya bermakna hijab zhahiriy, namun juga mencakup hijab maknawiy. Hijab maknawiy adalah hakikat yang dituju, sementara hijab zhahiriy adalah sarana yang dipakai untuk bisa memiliki hijab maknawiy. Hijab maknawiy yang dimaksud adalah kesucian hati akibat keter-hijab-annya terhadap keinginan yang hina dan keji. Kesucian hati merupakan ‘illah pensyariatan hijab yang disebutkan (manshushah) dalam Al-Qur’an (Ayat Hijab). Jadi apabila hijab zhahiriy tidak dibarengi dengan terciptanya hijab maknawiy maka hal itu masih belum memenuhi tuntutan syariat.

Dalam hal hijab zhahiriy, terdapat berbagai pendapat. Secara singkat berbagai pendapat tersebut bisa disimpulkan menjadi bahwasanya hijab mungkin berupa pemisah fisik dan atau jarak yang memisahkan. Jika hijab tersebut adalah pemisah fisik (dinding, kain, dan sebagainya) maka persoalannya sudah jelas. Namun, apabila hijab tersebut berupa jarak pemisah maka harus dipastikan agar setiap orang bisa menjaga pandangannya.Ayat tentang hijab (QS Al-Ahzab: 53) diturunkan dengan khithab ditujukan kepada istri-istri Nabi.

“Dan apabila kalian meminta sesuatu kepada mereka (istri-istri Nabi) maka mintalah kepada mereka dari balik hijab. Yang demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka”.

Syaikh ‘Abd al-‘Aziz ibn ‘Abdullah ibn Baz dalam sebuah makalahnya yang berjudul “Hukm al-Sufur wa al-Hijab”menyatakan bahwa ayat ini tertuju kepada seluruh kaum mukminah, bukan semata-mata untuk para istri Nabi.

Namun apabila kita cermati ayat 53 surat Al-Ahzab tersebut secara keseluruhan maka akan kita dapati bahwa konteks ayat itu adalah antara keluarga Nabi dan para sahabat. Apalagi, kalau kita bandingkan antara ayat ini dengan ayat 59 pada surat yang sama maka kita akan mendapatkan suatu perbandingan yang istimewa. Pada ayat 59, disamping menyeru para istri Nabi, Allah juga menyeru anak-anak perempuan beliau dan para wanita beriman pada umumnya.

Kalau memang dengan hanya menyeru para istri Nabi, seruan sudah secara otomatis tertuju pada seluruh kaum mukminah, buat apa Allah melakukan penghambur-hamburan kata dengan menyebut secara khusus kaum mukminah? Dengan melihat fenomena ini maka penulis berpendapat – wa al-Lah a’lam – bahwa seruan pada ayat 53 memang hanya tertuju pada para istri Nabi, sehingga perintah meminta sesuatu melalui hijab hanyalah berlaku terhadap para istri Nabi.



Kekhususan ini wajar karena para istri Nabi adalah pribadi-pribadi yang istimewa, tidak sama dengan kebanyakan mukminah (QS Al-Ahzab: 32). Apabila para istri Nabi melakukan kebaikan maka pahalanya akan dilipatgandakan dua kalinya (QS Al-Ahzab :31). Demikian pula sebaliknya, apabila mereka melakukan perbuatan keji maka dosanya akan dilipatgandakan dua kalinya (QS Al-Ahzab: 30). Adapun terhadap kaum mukminah pada umumnya maka Allah melarang adanya ikhtilath dengan para pria (untuk menghindari fitnah) melalui ayat-ayat yang lain.

Pola pemahaman terhadap khithab seperti yang penulis kemukakan diatas adalah seperti pemahaman yang dipakai oleh Ibn Taimiyyah. Beliau mengatakan bahwa ketika Allah memberikan khithab kepada para istri Nabi (azwaj al-Nabiy, nisa’ al-Nabiy) maka hamba sahaya (al-ima’) tidak termasuk disitu. Hamba sahaya baru akan ter-khithab apabila disebutkan secara spesifik. (Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyyah, jilid 15: kitab Tafsir, hal. 448)

Pola pemahaman semacam ini sebetulnya didasarkan pada tradisi bahasa (al-‘urf), tentu saja pada saat Al-Qur’an diturunkan. Karena itu, khithab terhadap laki-laki berarti pula khithab terhadap perempuan. Namun, khithab terhadap perempuan tidak mencakup laki-laki. Begitulah tradisi bahasa Arab. Sementara, apabila khithab ditujukan kepada laki-laki dan perempuan sekaligus maka tujuannya adalah untuk penegasan atas persamaan (al-musawah).

Kamis, 21 Juni 2012

SINERGY Leadership center




SINERGY Leadership center (HI=IQ+EI+SI)

SINERGY Leadership Center adalah lembaga pelatihan yang bergerak dalam bidang pengembangan SDM yang berkualitas, unggul, cakap, terampil, berdedikasi, amanah, dan jujur ditingkat instansi/perusahaan negeri dan swasta, baik di ormas dan perkumpulan masyarakat.

SLOGAN
SINERGY Leadership Center yaitu “My HEART See My GOD” (Hatiku Melihat Tuhanku)

TUJUAN PELATIHAN

Membangun kesadaran etos kerja yang produktif, sehingga tercipta iklim kerja yang harmonis, penuh semangat, dan mampu melahirkan komitmen, loyalitas dalam bekerja.

Membentuk pribadi pekerja yang saling menghargai antar sesama (pegawai/karyawan) apapun statusnya dengan mengembangkan sikap yang jujur, adil, bijaksana, dan tanggung jawab.

Meningkatkan kualitas kerja SDM (manusia) terkait dengan keinginan bersama untuk menciptakan sistem pelayanan Publik yang baik dan etos kerja yang diridhoi Tuhan YME (Alloh SWT).


UNDANGAN GRATIS

(Lumayan Gratis Biasanya mahal lho... :-)

Hari Sabtu 23 Juni 2012, Pk 08.00-12.00 WIB

Tempat: Auditorium Pusdiklat DEPARTEMEN SOSIAL

Alamat: Jl. Margaguna Raya No 1 Radio Dalam (deket pertigaan Haji Nawi, Sebelah Pondok Indah Mall)


NB:

1. Disediakan Dorprise HP hingga tiket Umroh Gratis

2. Tersedia untuk DPRa Gunung termasuk DKM Al Fajar tiket Gratis untuk 50 peserta, besuk pagi tiketnya akan dianter ke Hammas MAF

3. Oiya ini acara yang ngadain berkat kerjasama dengan PKS ya...:-)



Selasa, 19 Juni 2012

SHALAWAT TARHIM




Rasa haru perlahan-lahan menyelinap ke dalam hati ketika ingatan saya mendadak terbang melayang ke masa silam sekitar 20 tahun lalu saat saya beserta temen-temen dan orang tua bermukim di Kabupaten Bantul, Yogyakarta.

Tanpa terasa kelopak mata saya basah saat mendengar ulang dan meresapi kalimat demi kalimat Shalawat yang indah serta begitu menyentuh hati ini. Konon, seperti kake' saya pernah bilang, Shalawat ini sangat masyhur khususnya di kota Surabaya dan sekitarnya.


Shalawat ini dikumandangkan menjelang Subuh di radio Masjid Agung Sunan Ampel Surabaya, dan di akses oleh hampir seluruh masjid di Surabaya dan sekitarnya hingga ke pelosok-pelosok Jawa timur, khususnya masjid-masjid di kalangan Nahdhiyyin.

Shalawat ini juga dikumandangkan dengan lantang dari Mesjid Desa. Suara Shalawat Tahrim kerap disuarakan menjelang azan subuh. Di bulan Ramadhan, saya menikmati keindahan lantunan Shalawat ini bersama langkah-langkah kaki saya yang mantap menuju Masjid. Saya sudah memperkirakan, tepat ketika shalawat ini selesai, saya sudah tiba di depan gerbang Mesjid Raya tepat ketika azan subuh dikumandangkan.


Setiap langkah saya ke mesjid diiringi oleh Shalawat ini yang tidak hanya digemakan dari Mesjid Raya namun juga dari Mesjid-Mesjid disekitarnya. Begitu syahdu dan membuat batin terharu. Langit pagi seakan bergemuruh melantunkan asma Allah dan shalawat untuk baginda tercinta Rasullullah Muhammad SAW. Dan hati saya kian bersemangat menuju ke mesjid bersujud ke hadirat Allah SWT sang pencipta yang Maha Agung.



Terkejut sekali, sudah 9 tahun tinggal dijakarta ini saya jarang mendengarkan lagi shalawat Tarhim bergema. Tapi di subuh pagi ketika saya merindukan saat-saat subuh dimasa lalu, saat dingin pagi tak mampu melerai keinginan menghadap kepadaNya, melembutkan hati yang keras dan menyingkirkan rasa lalai untuk tak segera bangun dari tidur. Di masjid ini (Masjid Alfajar.red) terdengar suara lantunan Shalawat Tarhim di pengeras suara masjid, suara yg lirih namun memecah kesunyian.



Cobalah simak keindahan syair shalawat ini:

Ash-shalaatu was-salaamu ‘alaayk
 Yaa imaamal mujaahidiin yaa Rasuulallaah
 Ash-shalaatu was-salaamu ‘alaayk
 Yaa naashiral hudaa yaa khayra khalqillaaah
 Ash-shalaatu was-salaamu ‘alaayk
 Yaa naashiral haqqi yaa Rasuulallaah
 Ash-shalaatu was-salaamu ‘alaayk
 Yaa Man asraa bikal muhayminu laylan nilta maa nilta wal-anaamu niyaamu
 Wa taqaddamta lish-shalaati fashallaa kulu man fis-samaai wa antal imaamu
 Wa ilal muntahaa rufi’ta kariiman
Wa ilal muntahaa rufi’ta kariiman wa sai’tan nidaa ‘alaykas salaam
Yaa kariimal akhlaaq yaa Rasuulallaah
Shallallaahu ‘alayka wa ‘alaa aalika wa ashhaabika ajma’iin

Shalawat dan salam semoga tercurahkan padamu
 duhai pemimpin para pejuang, ya Rasulullah
 Shalawat dan salam semoga tercurahkan padamu
 duhai penuntun petunjuk Ilahi, duhai makhluk yang terbaik
 Shalawat dan salam semoga tercurahkan atasmu
 Duhai penolong kebenaran, ya Rasulullah
Shalawat dan salam semoga tercurahkan padamu
 Wahai Yang Memperjalankanmu di malam hari Dialah Yang Maha Melindungi
 Engkau memperoleh apa yang kau peroleh sementara semua manusia tidur
 Semua penghuni langit melakukan shalat di belakangmu
 dan engkau menjadi imam
 Engkau diberangkatkan ke Sitratul Muntaha karena kemulianmu
 dan engkau mendengar suara ucapan salam atasmu
Duhai yang paling mulia akhlaknya, ya Rasulullah
Semoga shalawat selalu tercurahkan padamu, pada keluargamu dan sahabatmu

Sabtu, 16 Juni 2012

Arti Orang Tua...




Konon di Jepang dulu pernah ada tradisi membuang orang yang sudah tua ke hutan. Mereka yang dibuang adalah orang tua yang sudah tidak berdaya sehingga tidak memberatkan kehidupan anak-anaknya.

Pada suatu hari ada seorang pemuda yang berniat membuang ibunya ke hutan, karena si Ibu telah lumpuh dan agak pikun. Si pemuda tampak bergegas menyusuri hutan sambil menggendong ibunya. Si Ibu yang kelihatan tak berdaya berusaha menggapai setiap ranting pohon yang bisa diraihnya lalu mematahkannya dan menaburkannya di sepanjang jalan yang mereka lalui.

Sesampai di dalam hutan yang sangat lebat, si anak menurunkan Ibu tersebut dan mengucapkan kata perpisahan sambil berusaha menahan sedih karena ternyata dia tidak menyangka tega melakukan perbuatanini terhadap ibunya.

Justru si Ibu yang tampak tegar, dalam senyumnya dia berkata,"Anakku, Ibu sangat menyayangimu. Sejak kau kecil sampai dewasa Ibu selalu merawatmu dengan segenap cintaku. Bahkan sampai hari ini rasa sayangku tidak berkurang sedikitpun. Tadi Ibu sudah menandai sepanjang jalan yang kita lalui dengan ranting-ranting kayu. Ibu takut kau tersesat, ikutilah tanda itu agar kau selamat sampai di rumah..."

Setelah mendengar kata-kata tersebut, si anak menangis dengan sangat keras, kemudian langsung memeluk ibunya dan kembali menggendongnya untuk membawa si Ibu pulang ke rumah. Pemuda tersebut akhirnya merawat Ibu yang sangat mengasihinya sampai Ibunya meninggal.


Orang tua bukan barang rongsokan yang bisa dibuang atau diabaikan setelah terlihat tidak berdaya. karena pada saat engkau Sukses atau saat engkau dalam keadaan Susah, hanya orang tua yang mengerti kita dan batinnya akan menderita kalau kita susah.


Orang tua kita tidak pernah meninggalkan kita, bagaimanapun keadaan kita, walaupun kita pernah kurang ajar kepada orang tua... Namun Bapak dan Ibu kita tetap mengasihi kita.



Mulai sekarang mari kita lebih mengasihi orang tua kita selagi mereka masih hidup.

Menjemput Jodoh Impian


Siapakah jodoh kita, kapan waktunya tiba, di mana akan dipertemukan, apakah ia benar-benar orang shaleh?.
Semua itu rahasia Allah Swt..

1. Jodoh adalah Taqdir Allah Swt.

Allah Swt menetapkan tiga bentuk taqdir dalam masalah jodoh..
Pertama, cepat mendapatkan jodoh..
Kedua, lambat mendapatkan jodoh, tapi suatu ketika pasti mendapatkannya di dunia..
Ketiga, menunda mendapatkan jodoh sampai di akhirat kelak..
Apapun pilihan jodoh yang ditentukan Allah adalah hal terbaik untuk kita..

Allah Swt berfirman:
" Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui "
(QS. Al Baqarah: 216).

Kita harus terikat aturan Allah..
Kita juga dibekali akal untuk memahami aturan-Nya..
Ketika kita memutuskan untuk taat atau melanggar aturanNya adalah pilihan kita sendiri..
Bagaimana cara kita untuk mendapatkan jodoh adalah pilihan kita..
Dengan jalan yang diridhoiNya atau tidak..
Tetapi hasil akhirnya Allah yang menentukan..

2. Kriteria Pasangan Ideal.

Nabi bersabda:
" Apabila datang kepada kalian lelaki yang kalian ridhai agama dan akhlaknya,maka nikahkanlah ia (dengan puteri kalian)..
Sebab jika tidak, maka akan terjadi fitnah dibumi dan kerusakan yang besar "

Lelaki yang bertaqwa akan mencintai dan memuliakan istrinya..
Jika ia marah tidak akan menzhalimi istrinya..
Kaum jahiliyah menikah dengan melihat kedudukan, kaum Yahudi menikah dengan melihat harta, kaum Nasrani menikah dengan melihat rupa, sedangkan umat Islam menikahkan dengan melihat agama..

Nabi bersabda:
" Sesungguhnya dunia seluruhnya adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita (isteri) yang sholehah "
Beliau juga bersabda:
" Wanita dinikahi karena empat faktor, yakni karena harta kekayaannya, karena kedudukannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya..
Hendaknya pilihlah yang baik agamanya agar berkah kedua tanganmu "

Sulit mencari jodoh bisa jadi karena kriteria terlalu muluk..
Janganlah kita menginginkan kesempurnaan orang lain, padahal diri kita tidak sempurna..

3. Memperluas Pergaulan Sesuai Syar’i.

Seringlah bersilaturrahim ke tempat saudara atau mengikuti pengajian..
Ustadz, teman, orang tua, saudara, keluarga, dll bisa diminta bantuan..

4. Haram berpacaran.

" Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji..
Dan suatu jalan yang buruk "
(QS. Al Israa’: 32).
Kita dilarang berkhalwat, memandang lawan jenis dengan syahwat, wanita bepergian sehari semalam tanpa muhrim, dll..

Orang pacaran selalu menutupi kekurangannya dan menampilkan yang baik-baik saja..
Cari informasi dari orang dekatnya (saudara, teman, tetangganya)..
Perlu juga penilaian dari orang tua dan keluarga kita..
Biasanya kita tidak dapat melihat kekurangan orang yang kita cintai..

5. Introspeksi diri.

Jika kita ingin mendapatkan jodoh yang shalih, maka kita harus menjadi orang yang shalihah juga..
Allah Swt berfirman:
" Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula} "
(QS. An Nuur: 26).

Rasulullah Saw bersabda:
" Sesungguhnya Allah SWT tidak melihat pada bentuk-bentuk (lahiriah) dan harta kekayaanmu, tapi Dia melihat pada hati dan amalmu sekalian "
(HR. Muslim, Hadits no. 2564 dari Abu Hurairah).
Jadi, lelaki atau wanita yang baik menurut pandangan Allah itu adalah lelaki atau wanita yang baik iman dan amalnya..

Secara lahiriah kita perlu menjaga kebersihan, kerapihan dan menjaga bau badan. Bukan berdandan berlebihan (tidak Islami), tapi tampil menarik..

6. Jangan Mencintai Manusia Secara Berlebihan.

" Barangsiapa memberi karena Allah, menolak karena Allah, mencintai karena Allah, membenci karena Allah, dan menikah karena Allah, maka sempurnalah imannya.."
(HR. Abu Dawud)

Jika kita mencintai manusia lebih daripada Allah, niscaya hati kita akan hancur dan putus asa jika ditinggalkan..
Jika kita mencintai Allah di atas segalanya, niscaya kita akan selalu tegar dan tabah karena kita yakin bahwa Allah itu Maha Hidup dan Abadi serta selalu bersama hamba yang Sholeh..

7. Jika Gagal Berusaha Lagi.

Jika kita gagal, jangan putus asa dan minder..
Kita harus sabar dan tetap berusaha mendapatkan yang lebih baik lagi..
Yakinlah ada yang lebih baik yang sedang dipersiapkan Allah untuk kita..
Para sahabat besarpun mengalaminya..
Contohnya Utsman ra yang melamar putri Abu Bakar ditolak, lalu melamar putri Umar juga ditolak, akhirnya malah menjadi menantu Rasulullah Saw..

8. Masa Penantian Jodoh.

Jodoh tidak akan lari dan akan datang pada waktunya..
Bersabarlah dan sibukkan diri dengan amal sholeh..
Hadapilah dengan sikap tenang, santai, tidak mudah emosi/sensitif, tidak larut dalam kesedihan, tidak berputus asa dan tetap bersemangat..

Rasulullah Saw bersabda:
" Sungguh menakjubkan kondisi seorang mukmin..
Segala keadaan dianggapnya baik, dan hal ini tidak akan terjadi, kecuali bagi seorang mukmin..
Apabila mendapat kesenangan ia bersyukur, maka itu tetap baik baginya dan apabila ditimpa penderitaan ia bersabar maka itu tetap baik baginya "
(HR Muslim)

Gunakan energi kita untuk lebih mendekatkan diri dan mencintai Allah Swt., orang tua, dan umat. Yakinlah dengan keadilan-Nya bahwa setiap manusia pasti memiliki jodoh masing-masing..
Yakinlah bahwa semua kondisi adalah baik, berguna, dan berpahala bagi kita..

9. Siap Menerima Taqdir Allah.

Hidup adalah ujian..
Bisa saja, takdir jodoh kita bukan orang shaleh..
Allah Swt berfirman:
" Wahai orang-orang yang beriman..
Sesungguhnya di antara pasanganmu dan anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka..
Sesungguhnya hartamu dan anakmu, hanyalah ujian bagimu, dan di sisi Allah pahala yang besar "
(Q.S. At-Taghaabuun: 14-15)

Hal tersebut tetap bisa menjadi kebaikan apabila dijadikan sebagai lahan amal shaleh dan batu ujian untuk meningkatkan keimanan, tawakal, dan kesabaran..

10. Wanita Melamar Lelaki.

Bukan hal yang dilarang jika wanita menemukan lelaki sholeh dan berinisiatif menawarkan diri dalam pernikahan melalui peran orang yang dipercaya..
Khadijah ra melalui pamannya melamar Nabi Muhammad Saw setelah mengetahui akhlak dan agama beliau..

11. Taqarrub Ilallah.

Perburuan jodoh secara syar’i adalah dengan mendekati Allah super ekstra..
Caranya dengan bertawasul amal-amal shaleh, tidak hanya ibadah wajib (berbakti kepada orangtua, sholat wajib), juga ibadah sunnah (shoum sunnah, sholat tahajjud/taubat/istikhoroh/hajat/witir/dhuha, tilawah Al Qur’an, istighfar, infaq, dll).
Semakin dekat dengan Allah, iman bertambah dan do’a kita semakin terkabul..
Usaha yang konsisten, optimis dan prasangka baik akan memudahkan jalan kita..

12. Tidak Putus Asa Berdoa.

Bacalah doa:
" Ya Rabb kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa "
(QS. Al Furqon: 74).

Doa lebih terkabul pada tempat mustajab, waktu mustajab dan memperhatikan adab berdoa..
Berdoalah menurut apa yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya..
Tempat mustajab: masjid, majlis ta’lim, Arafah, Hajar Aswad, Hijr Ismail, di atas sajadah, dll..

Waktu mustajab: sepertiga malam yang akhir, selesai sholat wajib/tahajjud/hajat, saat sujud/I’tidal terakhir dalam sholat, sedang berpuasa, berbuka puasa, dalam perjalanan, selesai khatam qur’an, hari Jum’at, baru mulai hujan, diantara azan dan iqamat, ketika minum air zamzam, bulan ramadhan/lailatul qodar, antara zuhur dan ashar juga antara ashar dan maghrib, selesai sholat subuh, dalam kesulitan, sedang sakit, sedang ada jenazah..

Adab berdoa: menjauhkan hal yang haram, ikhlas, diawali dan diakhiri tahmid/sholawat, menghadap kiblat, suci dari hadats dan najis, khusyu’ dan tenang, menengadahkan kedua tangan, dengan suara rendah dan pengharapan sepenuh hati, mengulangi berkali-kali, tidak berputus asa, menghadirkan Allah dalam hati, tidak meninggalkan sholat wajib, tidak melakukan dosa besar, tidak minta sesuatu yang dilarang Allah, sambil menangis..

Nabi Musa as berdoa setelah menolong dua perempuan penggembala kambing:
" Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku "
(QS 28:24)

Allah swt memahami keperluan dan prioritasnya, sehingga tidak saja memberi makanan, tapi juga memberi jodoh, tempat tinggal dan pekerjaan..

Ingat !!!,
Pacaran Bukan Sarana Mengenal, tetapi sarana syetan menjerumuskan manusia kedalam kehinaan zina, zina mata, zina hati, zina mulut, zina telinga, zina kaki, zina tangan, dan zina kemaluan..

Jika ingin mengenal orang yang kamu cintai / sukai, maka ta'aruf dengan datang kerumahnya, mengenal ia dan keluarganya, mengetahui dengan menanyakan apa saja yang ingin engkau ketahui..
Jika setelah Ta'aruf dirasa cocok, maka bisa dilanjut dengan proses khitbah atau langsung walimah..
Sesungguhnya dengan seperti itu izzah & iffah keduanya lebih terjaga..

Selamat berjuang memperbaiki diri, selamat berjuang meraih jodoh terbaik dari ALLAH SWT..

Wallahu’alam bishawab..

Kitab Takdir



1. Proses penciptaan manusia dalam perut ibunya dan penentuan rezeki, ajal dan amalnya serta nasibnya sengsara ataukah bahagia

Hadis riwayat Abdullah bin Masud ra., ia berkata:
Rasulullah saw. sebagai orang yang jujur dan dipercaya bercerita kepada kami: Sesungguhnya setiap individu kamu mengalami proses penciptaan dalam perut ibunya selama empat puluh hari (sebagai nutfah). Kemudian menjadi segumpal darah selama itu juga kemudian menjadi segumpal daging selama itu pula. Selanjutnya Allah mengutus malaikat untuk meniupkan roh ke dalamnya dan diperintahkan untuk menulis empat perkara yaitu: menentukan rezekinya, ajalnya, amalnya serta apakah ia sebagai orang yang sengsara ataukah orang yang bahagia. Demi Zat yang tiada Tuhan selain Dia, sesungguhnya salah seorang dari kamu telah melakukan amalan penghuni surga sampai ketika jarak antara dia dan surga tinggal hanya sehasta saja namun karena sudah didahului takdir sehingga ia melakukan perbuatan ahli neraka maka masuklah ia ke dalam neraka. Dan sesungguhnya salah seorang di antara kamu telah melakukan perbuatan ahli neraka sampai ketika jarak antara dia dan neraka tinggal hanya sehasta saja namun karena sudah didahului takdir sehingga dia melakukan perbuatan ahli surga maka masuklah dia ke dalam surga. (Shahih Muslim No.4781)


Hadis riwayat Anas bin Malik ra.:
Sesungguhnya Allah Taala mengutus seorang malaikat di dalam rahim. Malaikat itu berkata: Ya Tuhan! Masih berupa air mani. Ya Tuhan! Sudah menjadi segumpal darah. Ya Tuhan! Sudah menjadi segumpal daging. Manakala Allah sudah memutuskan untuk menciptakannya menjadi manusia, maka malaikat akan berkata: Ya Tuhan! Diciptakan sebagai lelaki ataukah perempuan? Sengsara ataukah bahagia? Bagaimanakah rezekinya? Dan bagaimanakah ajalnya? Semua itu sudah ditentukan dalam perut ibunya. (Shahih Muslim No.4785)

Hadis riwayat Ali ra., ia berkata:
Kami sedang mengiringi sebuah jenazah di Baqi Gharqad (sebuah tempat pemakaman di Madinah), lalu datanglah Rasulullah saw. menghampiri kami. Beliau segera duduk dan kami pun ikut duduk di sekeliling beliau yang ketika itu memegang sebatang tongkat kecil. Beliau menundukkan kepalanya dan mulailah membuat goresan-goresan kecil di tanah dengan tongkatnya itu kemudian beliau bersabda: Tidak ada seorang pun dari kamu sekalian atau tidak ada satu jiwa pun yang hidup kecuali telah Allah tentukan kedudukannya di dalam surga ataukah di dalam neraka serta apakah ia sebagai seorang yang sengsara ataukah sebagai seorang yang bahagia. Lalu seorang lelaki tiba-tiba bertanya: Wahai Rasulullah! Kalau begitu apakah tidak sebaiknya kita berserah diri kepada takdir kita dan meninggalkan amal-usaha? Rasulullah saw. bersabda: Barang siapa yang telah ditentukan sebagai orang yang berbahagia, maka dia akan mengarah kepada perbuatan orang-orang yang berbahagia. Dan barang siapa yang telah ditentukan sebagai orang yang sengsara, maka dia akan mengarah kepada perbuatan orang-orang yang sengsara. Kemudian beliau melanjutkan sabdanya: Beramallah! Karena setiap orang akan dipermudah! Adapun orang-orang yang ditentukan sebagai orang berbahagia, maka mereka akan dimudahkan untuk melakukan amalan orang-orang bahagia. Adapun orang-orang yang ditentukan sebagai orang sengsara, maka mereka juga akan dimudahkan untuk melakukan amalan orang-orang sengsara. Kemudian beliau membacakan ayat berikut ini: Adapun orang yang memberikan hartanya di jalan Allah dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar. (Shahih Muslim No.4786)

Hadis riwayat Imran bin Hushain ra., ia berkata:
Rasulullah saw. ditanya: Wahai Rasulullah! Apakah sudah diketahui orang yang akan menjadi penghuni surga dan orang yang akan menjadi penghuni neraka? Rasulullah saw. menjawab: Ya. Kemudian beliau ditanya lagi: Jadi untuk apa orang-orang harus beramal? Rasulullah saw. menjawab: Setiap orang akan dimudahkan untuk melakukan apa yang telah menjadi takdirnya. (Shahih Muslim No.4789)

2. Tentang perdebatan antara Adam as. dan Musa as.

Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata:
Rasulullah saw. bersabda: Pernah Adam dan Musa saling berdebat. Kata Musa: Wahai Adam, kamu adalah nenek moyang kami, kamu telah mengecewakan harapan kami dan mengeluarkan kami dari surga. Adam menjawab: Kamu Musa, Allah telah memilihmu untuk diajak berbicara dengan kalam-Nya dan Allah telah menuliskan untukmu dengan tangan-Nya. Apakah kamu akan menyalahkan aku karena suatu perkara yang telah Allah tentukan empat puluh tahun sebelum Dia menciptakan aku? Nabi saw. bersabda: Akhirnya Adam menang berdebat dengan Musa, akhirnya Adam menang berdebat dengan Musa. (Shahih Muslim No.4793)

3. Ketentuan nasib manusia terhadap zina dan lainnya

Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:
Bahwa Nabi saw. bersabda: Sesungguhnya Allah telah menentukan kadar nasib setiap manusia untuk berzina yang pasti akan dikerjakan olehnya dan tidak dapat dihindari. Zina kedua mata ialah memandang, zina lisan (lidah) ialah mengucapkan, sedangkan jiwa berharap dan berkeinginan dan kemaluanlah (alat kelamin) yang akan membenarkan atau mendustakan hal itu. (Shahih Muslim No.4801)

4. Pengertian tentang setiap orang dilahirkan dalam keadaan fitrah serta hukum anak-anak kafir dan anak-anak muslim yang meninggal dunia

Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata:
Rasulullah saw. bersabda: Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi seorang Yahudi, seorang Nasrani maupun seorang Majusi. Sebagaimana seekor binatang yang melahirkan seekor anak tanpa cacat, apakah kamu merasakan terdapat yang terpotong hidungnya?. (Shahih Muslim No.4803)

Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:
Bahwa Rasulullah saw. pernah ditanya tentang anak orang-orang musyrik, lalu beliau menjawab: Allah lebih tahu tentang apa yang pernah mereka kerjakan. (Shahih Muslim No.4808)

Beda Ujian dan Azab



Mungkin ada dari kita yang bertanya-tanya, bagaimana membedakan antara ujian dan azab?

Musibah atau bencana yang menimpa orang yang beriman yang tidak lalai dari keimanannya, sifatnya adalah ujian dan cobaan. Allah ingin melihat bukti keimanan dan kesabaran kita. Jika kita bisa menyikapi dengan benar, dan mengembalikan semuanya kepada Allah, maka Allah akan memberikan pertolongan dan rahmat sesudah musibah atau bencana tersebut.

Sebaliknya bagi orang-orang yang bergelimang dosa dan kemaksiatan, bencana atau musibah yang menimpa, itu adalah siksa atau azab dari Allah atas dosa-dosa mereka. Apabila ada orang yang hidupnya bergelimang kejahatan dan kemaksiatan, tetapi lolos dari bencana/musibah, maka Allah sedang menyiapkan bencana yang lebih dahsyat untuknya, atau bisa jadi ini merupakan siksa atau azab yang ditangguhkan, yang kelak di akhirat-lah balasan atas segala dosa dan kejahatan serta maksiat yang dilakukannya.

Sebenarnya yang terpenting bukan musibahnya, tetapi apa alasan Allah menimpakan musibah itu kepada kita. Untuk di ingat, jika musibah itu terjadi, disebabkan dosa-dosa kita, maka segera-lah bertobat kepada Allah. Kalau musibah yang terjadi karena ujian keimanan kita, maka kuatkan iman dan berpegang teguhlah kepada Allah. 

Siapa saja berbuat kebaikan, maka manfaatnya akan kembali kepadanya. Sedangkan siapa saja berbuat kejahatan, maka bencananya juga akan kembali kepada dirinya sendiri. Bisa dibalas didunia atau di akhirat.

Perhatikan firman Allah SWT berikut ini : ”Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka dia tidak akan dibalas melainkan sebanding dengan kejahatan itu. Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab”. (QS. Al Mukmin [40] : 40).

Perhatikan juga dengan seksama firman Allah SWT berikut ini : “Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.” (QS. An Nissa [4] : 79)

Ibnu Katsir mengatakan bahwa makna “Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah” adalah dari karunia dan kasih sayang Allah SWT. Sedangkan makna “dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” Berarti dari dirimu sendiri dan dari perbuatanmu sendiri.

Berikut beberapa contoh : 

1. Musibah bisa jadi sebagai peringatan 

Musibah ini diberikan kepada kaum mukmin yang merosot keimanannya. Peringatan ini karena kasih sayang Allah SWT. Misalnya seseorang yang berada dalam kesempitan rezki. Kemudian ia bermunajat di malam hari agar Allah memberikannya keluasan rezeki. Shalat tahajud, shalat Dhuha, puasa sunah senin kamis dan perbaikan ibadah lainnya dengan semaksimal mungkin. Hingga Allah SWT memberikan jalan keluar. Bisnisnya berkembang, karyawan bertambah, kesibukan semakin meningkat. Tapi justru dikarenakan sibuknya, satu persatu ibadah sunahnya mulai ia tinggalkan. Shalat-shalatnya pun semakin tidak khusyu’. Seharusnya bertambahnya nikmat, membuat ia bertambah syukur dan semakin dekat dengan Allah, tetapi yang terjadi adalah sebaliknya, nikmat bertambah malah membuatnya semakin jauh dari Allah.

Orang ini sebenarnya sedang mengundang datangnya musibah atau azab Allah. Musibah yang datang kepadanya sebagai peringatan untuk meningkatkan kembali keimanannya yang merosot itu. Bisa saja terjadi tiba-tiba usahanya macet dan banyak mengalami kerugian. Akibatnya ia terlilit hutang. Dalam keadaan bangkrut tadi tidak ada yang mau menolongnya. Ketika itulah ia kembali kepada Allah untuk memohon pertolongan dengan cara memperbaiki ibadah-ibadahnya yang selama ini sudah tidak ia perhatikan lagi.Tercapailah tujuan musibah yaitu pemberi peringatan.

Musibah juga bisa sebagai penggugur dosa-dosa kita. Perhatikan sabda Rasulullah SAW berikut ini: “Tak seorang muslim pun yang ditimpa gangguan semisal tusukan duri atau yang lebih berat daripadanya, melainkan dengan ujian itu Allah menghapuskan perbuatan buruknya serta menggugurkan dosa-dosanya sebagaimana pohon kayu yang menggugurkan daun-daunnya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Perhatikan dengan seksama firman Allah SWT berikut ini : “Dan Sesungguhnya kami merasakan kepada mereka sebahagian azab yang dekat (di dunia) sebelum azab yang lebih besar (di akhirat), Mudah-mudahan mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. As Sajdah : 21)

Jadi sebenarnya, Allah SWT menurunkan musibah atau azab pada kita di dunia ini, sebagai peringatan bagi kita, untuk kembali pada kebenaran.

2 Musibah sebagai ujian keimanan

Musibah ini adalah tanda kecintaan Allah SWT pada seseorang hamba. Semakin tinggi derajat keimanan dan kekuatan agama seseorang, justru ujian (musibah) yang menimpanya akan semakin berat. Perhatikan sabda Nabi SAW berikut ini : Dari Mush’ab bin Sa’d dari ayahnya. Ayahnya berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah SAW,” Manusia manakah yang paling berat ujiannya?” Rasulullah SAW menjawab,” Para Nabi, kemudian disusul yang derajatnya seperti mereka, lalu yang di bawahnya lagi. Seseorang diuji sesuai keadaan agamanya. Jika agamanya itu kokoh maka diperberatlah ujiannya. Jika agamanya itu lemah maka ujiannya pun disesuaikan dengan agamanya. Senantiasa ujian menimpa seorang hamba hingga ia berjalan di muka bumi tanpa dosa sedikit pun.” (HR. al-Ahmad, al-Tirmidzi dan Ibn Majah,berkata al-Tirmidzi: hadits hasan shahih)

Sedangkan bala atau cobaan maupun ujian juga telah disebutkan didalam Al Qur’an seperti tertulis dalam firman Allah SWT : “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (QS. Al Anbiya [21] : 35)

Cobaan atau ujian yang menimpa setiap orang, bisa berupa keburukan atau kebaikan, kesenangan atau kesengsaraan, sebagaimana disebutkan pula didalam firman-Nya yang lain yaitu : “ Dan Kami bagi-bagi mereka di dunia ini menjadi beberapa golongan; di antaranya ada orang-orang yang saleh dan di antaranya ada yang tidak demikian. Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran) (QS. Al A’raf [7] : 168).

Sekarang coba tanyakan dengan jujur pada diri sendiri, bagaimana keimanan kita terhadap Allah SWT ? Apabila kita termasuk orang yang lalai, maka jawaban atas musibah yang menimpa, adalah sebagai azab dan peringatan atas kelalaian kita, agar kita sadar dari kelalain kita selama ini. Dan segeralah bertobat.

Dan kalau kita bukan hamba-Nya yang lalai, maka segala ujian yang terjadi menimpa kita, adalah sebagai suatu ujian, dimana dengan ujian itu, Allah telah menyiapkan tingkat keimanan yang lebih tinggi untuk kita. Seperti menjadikan kita hamba pilihan-Nya yang sabar. Dan pahala orang yang sabar sungguh tanpa batas. Seperti tertulis dalam firman-Nya : “…..Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas (Az Zumar [39] : 10) 

 Dengan kesabaran, akan bisa meraih ridha Alloh SWT, dan ridha Alloh SWT adalah segalanya.

Sabtu, 02 Juni 2012

Virus-Virus Cinta

Virus Al-Isyq (Virus-Virus Cinta) Terjangkit Melalui Syahwat Karena Hati Yang Lengah Dari Ajaran Syar’i Dan Tipisnya Iman Kepada ALLAH Ta’ala



Virus Cinta

Virus yang bernama al isyq (cinta), itulah virus yang merugikan kamu dari kebanyakan. Dan sebahagian besar di antara kamu telah banyak yang luput dari syaria’at agama atas apa – apa yang diperintahkan oleh Allah Azza wa Jalla atas kamu dan Rasul-Nya. Engkau mengetahui bahwa banyak di antara pemuda yang melanggar lagi bersuka ria dengan budaya barat ( pacaran) hingga kemudian di akhiri dengan zinah dan adapula yang baru separuh jalan menjalaninya kemudian berpisah dengan hubungan yang tiada jelasnya antara yang bukan mahramnya.

Rasulullah Shalallaahu ‘alaihi wasalam bersabda :

“berhati – hatilah kamu dari berbicara dengan wanita, oleh karena sesungguhnya tiadalah seorang laki – laki bersendirian dengan wanita yang bukan mahramnya melainkan hendak berzinah daripadanya”. HR. Al Hakim

Sabda Rasulullah Shalallaahu ‘alaihi wasalam yang lain bahwa Allah berfirman yaitu :

“pengelihatan (melihat wanita) adalah sebagai panah iblis yang sangat beracun, maka barang siapa di antara kamu kamu yang meninggalkannya karena takut kepada-Ku, maka Aku akan menggantikannya dengan iman yang tiada putus-putus dalam hatinya”. ( HR. Al Hakim dan Ath Thabarani).Hingga tiadalah jarang bagi pendengaranmu mendengar bahwa terdapat seorang pemuda yang mati bunuh diri karena putus cinta atau seumpama Qeiz yang tergila – gila kepada Laila. Kisah cinta yang bermula sedari mereka kecil mengembala domba sampai mereka dewasa hingga kemudian Qeiz benar – benar gila karena Laila dipersunting oleh orang lain yang selain daripadanya.Ibnul Qayyim berkata, “Gejolak cinta merupakan jenis penyakit hati yang memerlukan penanganan khusus disebabkan berbeda dengan penyakit lain, baik dari segi bentuk, penyebab, maupun terapinya. Jika telah menggerogoti kesucian hati manusia dan mengakar di dalam hati, sulit bagi para dokter mencarikan obat penawarnya dan penderitanya sulit disembuhkan.”Alloh Subhanahu wa Ta’ala mengisahkan penyakit ini dalam Al Qur’an tentang dua tipe manusia, pertama, wanita dan kedua, kaum homoseks yang cinta kepada mardan (anak laki-laki yang rupawan).

Alloh Subhanahu wa Ta’ala mengisahkan bagaimana penyakit ini telah menyerang istri Al Azis (Gubernur Mesir) yang mencintai Nabi Yusuf Alaihis Salam, dan menimpa kaum Luth Alaihis Salam.

Alloh mengisahkan kedatangan malaikat ke negeri Luth Alaihis Salam, yang artinya: “Dan datanglah penduduk kota itu (ke rumah Luth) dengan gembira (karena) kedatangan tamu-tamu itu. Luth berkata, “Sesungguhnya mereka adalah tamuku; maka janganlah kamu memberi malu (kepadaku), dan bertakwalah kepada Alloh dan janganlah membuat aku terhina.” Mereka berkata, “Dan bukankah kami telah melarangmu dari (melindungi) manusia?” Luth berkata, “Inilah puteri-puteri (negeri) ku (kawinlah dengan mereka), jika kamu hendak berbuat secara yang halal).” (Alloh berfirman), “Demi umurmu (Muhammad), sesungguhnya mereka terombang–ambing di dalam kemabukan (kesesatan).” (QS: Al Hijr: 67-72).

KRITERIA MANUSIA YANG BERPOTENSI TERJANGKIT PENYAKIT AL ISYQ

Penyakit al isyq akan menimpa orang-orang yang hatinya kosong dari rasa mahabbah (cinta) kepada Alloh, selalu berpaling dari-Nya dan dipenuhi kecintaan kepada selain-Nya. Hati yang penuh cinta kepada Alloh dan rindu bertemu dengan-Nya pasti kebal terhadap serangan virus ini, sebagaimana yang terjadi dengan Yusuf Alaihis Salam. “Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih….” (QS: Yusuf: 24).

Maka hendaknya.. jauhilah olehmu segala gejala – gejala penyakit al isyq ini, sebab tiadalah seorang juapun di antara kamu yang sanggup melainkan atas orang – orang yang beriman kepada Allah dengan ikhlas dan sabar karena Allah semata. Akan tetapi teramat jaranglah gerangan orang – orang yang sedemikian ini di antara kamu selain daripada orang – orang yang beroleh petunjuk karena daya dan upayamu jua.

dari Abu Hurairah dan Ibn Abbas Radhiallahu anhu bahwa Rasulullah Shalallaahu ‘alaihi wasalam bersabda :

“Kedua mata itu dapat melakukan zinah, kedua tangan dapat melakukan zinah, kedua kaki bisa melakukan zinah sedang sekalian daripadanya akan dibenarkan ataupun diingkari oleh alat kelamin”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah Shalallaahu ‘alaihi wasalam bersabda :

“tercatat dari anak Adam nasibnya dari perzinahan sedang ia pasti mengalamininya, kedua mata zinahnya melihat, kedua telinga zinahnya adalah mendengar, kedua tangannya zinahnya adalah memaksa dengan keras ataupun menggenggamnya dan kaki zinahnya adalah melangkah lagi hati yang berhasrat dan berharap sedang kesekaliannya itu dibenarkan oleh kelamin atau digagalkannya”. (HR. Bukhari)

Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman mengenai ibu Nabi Musa Alaihis Salam, yang artinya: “Dan menjadi kosonglah hati ibu Musa Alaihis Salam. Sesungguhnya ia hampir menyatakan rahasia tentang Musa, seandainya tidak kami teguhkan hatinya. Supaya ia termasuk orang-orang yang percaya (kepada janji Alloh).” (QS Al Qashas : 10).

Yaitu kosong dari segala sesuatu, kecuali Musa; karena sangat cintanya kepada Musa dan bergantungnya hatinya kepada Musa

BAGAIMANA VIRUS INI BISA BERJANGKIT?

Penyakit al isyq terjadi karena dua sebab. Pertama, karena menganggap indah apa-apa yang dicintainya. Kedua, perasaan ingin memiliki apa yang dicintai. Jika salah satu dari dua faktor ini tak ada, niscaya virus tidak akan berjangkit. Walaupun penyakit kronis ini telah membingungkan banyak orang dan sebagian pakar berupaya memberikan terapinya, namun solusi yang diberikan belum mengena.

(Sumber Rujukan: Zadul Ma’ad, Ibnul Qayyim)