.

Kamis, 07 November 2013

Kisah Sabar Yang Paling Mengagumkan….





Prof. Dr. Khalid al-Jubair penasehat spesialis bedah jantung dan urat nadi di rumah sakit al-Malik Khalid di Riyadh mengisahkan sebuah kisah pada sebuah seminar dengan tajuk Asbab Mansiah (Sebab-Sebab Yang Terlupakan). Mari sejenak kita merenung bersama, karena dalam kisah tersebut ada nasihat dan pelajaran yang sangat berharga bagi kita.
Sang dokter berkata:
Pada suatu hari -hari Selasa- aku melakukan operasi pada seorang anak berusia 2,5 tahun. Pada hari Rabu, anak tersebut berada di ruang ICU dalam keadaan segar dan sehat.

Pada hari Kamis pukul 11:15 -aku tidak melupakan waktu ini karena pentingnya kejadian tersebut- tiba-tiba salah seorang perawat mengabariku bahwa jantung dan pernafasan anak tersebut berhenti bekerja. Maka akupun pergi dengan cepat kepada anak tersebut, kemudian aku lakukan proses kejut jantung yang berlangsung selama 45 menit. Selama itu jantungnya tidak berfungsi, namun setelah itu Allah Subhanaahu wa Ta’ala menentukan agar jantungnya kembali berfungsi. Kamipun memuji Allah Subhanaahu wa Ta’ala .

Kemudian aku pergi untuk mengabarkan keadaannya kepada keluarganya, sebagaimana anda ketahui betapa sulit mengabarkan keadaan kepada keluarganya jika ternyata keadaannya buruk. Ini adalah hal tersulit yang harus dihadapi oleh seorang dokter. Akan tetapi ini adalah sebuah keharusan. Akupun bertanya tentang ayah si anak, tapi aku tidak mendapatinya. Aku hanya mendapati ibunya, lalu aku katakan kepadanya: “Penyebab berhentinya jantung putramu dari fungsinya adalah akibat pendarahan yang ada pada pangkal tenggorokan dan kami tidak mengetahui penyebabnya. Aku kira otaknya telah mati.”

Coba tebak, kira-kira apa jawaban ibu tersebut?
Apakah dia berteriak? Apakah dia histeris? Apakah dia berkata: “Engkaulah penyebabnya!”
Dia tidak berbicara apapun dari semua itu bahkan dia berkata: “Alhamdulillah.” Kemudian dia meninggalkanku dan pergi.
Sepuluh hari berlalu, mulailah sang anak bergerak-gerak. Kamipun memuji Allah Subhanaahu wa Ta’ala serta menyampaikan kabar gembira sebuah kebaikan yaitu bahwa keadaan otaknya telah berfungsi.

Pada hari ke-12, jantungnya kembali berhenti bekerja disebabkan oleh pendarahan tersebut. Kami pun melakukan proses kejut jantung selama 45 menit, dan jantungnya tidak bergerak. Maka akupun mengatakan kepada ibunya: “Kali ini menurutku tidak ada harapan lagi.” Maka dia berkata:

“Alhamdulillah, ya Allah jika dalam kesembuhannya ada kebaikan, maka sembuhkanlah dia wahai Rabbi.”

Maka dengan memuji Allah, jantungnya kembali berfungsi, akan tetapi setelah itu jantung kembali berhenti sampai 6 kali hingga dengan ketentuan Allah Subhanaahu wa Ta’ala spesialis THT berhasil menghentikan pendarahan tersebut, dan jantungnya kembali berfungsi.


Berlalulah sekarang 3,5 bulan, dan anak tersebut dalam keadaan koma, tidak bergerak. Kemudian setiap kali dia mulai bergerak dia terkena semacam pembengkakan bernanah aneh yang besar di kepalanya, yang aku belum pernah melihat semisalnya. Maka kami katakan kepada sang ibu bahwa putra anda akan meninggal. Jika dia bisa selamat dari kegagalan jantung yang berulang-ulang, maka dia tidak akan bisa selamat dengan adanya semacam pembengkakan di kepalanya.

Maka sang ibu berkata:

“Alhamdulillah.” Kemudian meninggalkanku dan pergi. Setelah itu, kami melakukan usaha untuk merubah keadaan segera dengan melakukan operasi otak dan urat syaraf serta berusaha untuk menyembuhkan sang anak. Tiga minggu kemudian, dengan karunia Allah Subhanaahu wa Ta’ala , dia tersembuhkan dari pembengkakan tersebut, akan tetapi dia belum bergerak.

Dua minggu kemudian, darahnya terkena racun aneh yang menjadikan suhunya 41,2oC. maka kukatakan kepada sang ibu: “Sesungguhnya otak putra ibu berada dalam bahaya besar, saya kira tidak ada harapan sembuh.” Maka dia berkata dengan penuh kesabaran dan keyakinan:

“Alhamdulillah, ya Allah, jika pada kesembuhannya terdapat kebaikan, maka sembuhkanlah dia.”

Setelah aku kabarkan kepada ibu anak tersebut tentang keadaan putranya yang terbaring di atas ranjang nomor 5, aku pergi ke pasien lain yang terbaring di ranjang nomor 6 untuk menganalisanya. Tiba-tiba ibu pasien nomor 6 tersebut menagis histeris seraya berkata:

“Wahai dokter, kemari, wahai dokter suhu badannya 37,6o, dia akan mati, dia akan mati.”

Maka kukatakan kepadanya dengan penuh heran: “Lihatlah ibu anak yang terbaring di ranjang no 5, suhu badannya 41,o lebih sementara dia bersabar dan memuji Allah.” Maka berkatalah ibu pasien no. 6 tentang ibu tersebut:

“Wanita itu tidak waras dan tidak sadar.”

Maka aku mengingat sebuah hadits Rasulullah Sholallohu ‘alaihi wa sallam yang indah lagi agung:
(طُوْبَى لِلْغُرَبَاِء) ”Beruntunglah orang-orang yang asing.” Sebuah kalimat yang terdiri dari dua kata, akan tetapi keduanya menggoncangkan ummat. Selama 23 tahun bekerja di rumah sakit aku belum pernah melihat dalam hidupku orang sabar seperti ibu ini kecuali dua orang saja.

Selang beberapa waktu setelah itu ia mengalami gagal ginjal, maka kami katakan kepada sang ibu: “Tidak ada harapan kali ini, dia tidak akan selamat.” Maka dia menjawab dengan sabar dan bertawakkal kepada Allah:

“Alhamdulillah.” Seraya meninggalkanku seperti biasa dan pergi.

Sekarang kami memasuki minggu terakhir dari bulan keempat, dan anak tersebut telah tersembuhkan dari keracunan. Kemudian saat memasuki pada bulan kelima, dia terserang penyakit aneh yang aku belum pernah melihatnya selama hidupku, radang ganas pada selaput pembungkus jantung di sekitar dada yang mencakup tulang-tulang dada dan seluruh daerah di sekitarnya. Dimana keadaan ini memaksaku untuk membuka dadanya dan terpaksa menjadikan jantungnya dalam keadaan terbuka. Sekiranya kami mengganti alat bantu, anda akan melihat jantungnya berdenyut di hadapan anda..

Saat kondisi anak tersebut sampai pada tingkatan ini aku berkata kepada sang ibu: “Sudah, yang ini tidak mungkin disembuhkan lagi, aku tidak berharap. Keadaannya semakin gawat.” Diapun berkata:

“Alhamdulillah.” Sebagaimana kebiasaannya, tanpa berkata apapun selainnya.

Kemudian berlalulah 6,5 bulan, anak tersebut keluar dari ruang operasi dalam keadaan tidak berbicara, melihat, mendengar, bergerak dan tertawa. Sementara dadanya dalam keadaan terbuka yang memungkinkan bagi anda untuk melihat jantungnya berdenyut di hadapan anda, dan ibunyalah yang membantu mengganti alat-alat bantu di jantung putranya dengan penuh sabar dan berharap pahala.

Apakah anda tahu apa yang terjadi setelah itu?
Sebelum kukabarkan kepada anda, apakah yang anda kira dari keselamatan anak tersebut yang telah melalui segala macam ujian berat, hal gawat, rasa sakit dan beberapa penyakit yang aneh dan kompleks?

Menurut anda kira-kira apa yang akan dilakukan oleh sang ibu yang sabar terhadap sang putra di hadapannya yang berada di ambang kubur itu? Kondisi yang dia tidak punya kuasa apa-apa kecuali hanya berdo’a, dan merendahkan diri kepada Allah Subhanaahu wa Ta’ala ?

Tahukah anda apa yang terjadi terhadap anak yang mungkin bagi anda untuk melihat jantungnya berdenyut di hadapan anda 2,5 bulan kemudian?

Anak tersebut telah sembuh sempurna dengan rahmat Allah Subhanaahu wa Ta’ala sebagai balasan bagi sang ibu yang shalihah tersebut. Sekarang anak tersebut telah berlari dan dapat menyalip ibunya dengan kedua kakinya, seakan-akan tidak ada sesuatupun yang pernah menimpanya. Dia telah kembali seperti sedia kala, dalam keadaan sembuh dan sehat.

Kisah ini tidaklah berhenti sampai di sini, apa yang membuatku menangis bukanlah ini, yang membuatku menangis adalah apa yang terjadi kemudian:

Satu setengah tahun setelah anak tersebut keluar dari rumah sakit, salah seorang kawan di bagian operasi mengabarkan kepadaku bahwa ada seorang laki-laki berserta istri bersama dua orang anak ingin melihat anda. Maka kukatakan kepadanya:

“Siapakah mereka?” Dia menjawab, “tidak mengenal mereka.”

Akupun pergi untuk melihat mereka, ternyata mereka adalah ayah dan ibu dari anak yang dulu kami operasi. Umurnya sekarang 5 tahun seperti bunga dalam keadaan sehat, seakan-akan tidak pernah terkena apapun, dan juga bersama mereka seorang bayi berumur 4 bulan.

Aku menyambut mereka, dan bertanya kepada sang ayah dengan canda tentang bayi baru yang digendong oleh ibunya, apakah dia anak yang ke-13 atau 14? Diapun melihat kepadaku dengan senyuman aneh, kemudian dia berkata:

“Ini adalah anak yang kedua, sedang anak pertama adalah anak yang dulu anda operasi, dia adalah anak pertama yang datang kepada kami setelah 17 tahun mandul. Setelah kami diberi rizki dengannya, dia tertimpa penyakit seperti yang telah anda ketahui sendiri.”

Aku tidak mampu menguasai jiwaku, kedua mataku penuh dengan air mata. Tanpa sadar aku menyeret laki-laki tersebut dengan tangannya kemudian aku masukkan ke dalam ruanganku dan bertanya tentang istrinya. Kukatakan kepadanya:

“Siapakah istrimu yang mampu bersabar dengan penuh kesabaran atas putranya yang baru datang setelah 17 tahun mandul? Haruslah hatinya bukan hati yang gersang, bahkan hati yang subur dengan keimanan terhadap Allah Subhanaahu wa Ta’ala .”

Tahukah anda apa yang dia katakan?
Diamlah bersamaku wahai saudara-saudariku, terutama kepada anda wahai saudari-saudari yang mulia, cukuplah anda bisa berbangga pada zaman ini ada seorang wanita muslimah yang seperti dia.

Sang suami berkata: “Aku menikahi wanita tersebut 19 tahun yang lalu, sejak masa itu dia tidak pernah meninggalkan shalat malam kecuali dengan udzur syar’i. Aku tidak pernah menyaksikannya berghibah (menggunjing), namimah (adu domba), tidak juga dusta. Jika aku keluar dari rumah atau aku pulang ke rumah, dia membukakan pintu untukku, mendo’akanku, menyambutku, serta melakukan tugas-tugasnya dengan segenap kecintaan, tanggung jawab, akhlak dan kasih sayang.”

Sang suami menyempurnakan ceritanya dengan berkata: “Wahai dokter, dengan segenap akhlak dan kasih sayang yang dia berikan kepadaku, aku tidak mampu untuk membuka satu mataku terhadapnya karena malu.” Maka kukatakan kepadanya: “Wanita seperti dia berhak mendapatkan perlakuan darimu seperti itu.” Kisah selesai.

Kukatakan:
Saudara-saudariku, kadang anda terheran-heran dengan kisah tersebut, yaitu terheran-heran terhadap kesabaran wanita tersebut, akan tetapi ketahuilah bahwa beriman kepada Allah Subhanaahu wa Ta’ala dengan segenap keimanan dan tawakkal kepada-Nya dengan sepenuhnya, serta beramal shalih adalah perkara yang mengokohkan seorang muslim saat dalam kesusahan, dan ujian. Kesabaran yang demikian adalah sebuah taufik dan rahmat dari Allah Subhanaahu wa Ta’ala .
Allah Ta’ala berfirman:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الأمْوَالِ وَالأنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ (١٥٥)الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (١٥٦)أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ (١٥٧
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 155-157)

Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَا يُصِيْبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ وَلاَ هَمٍّ وَلاَحُزْنٍ وَلاَ أَذىً وَلاَ غَمٍّ، حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلاَّ كَفَّرَ اللهُ بِهَا خَطاَيَاهُ
“Tidaklah menimpa seorang muslim dari keletihan, sakit, kecemasan, kesedihan tidak juga gangguan dan kesusahan, hingga duri yang menusuknya, kecuali dengannya Allah Subhanaahu wa Ta’ala akan menghapus kesalahan-kesalahannya.” (HR. al-Bukhari (5/2137))

Maka, wahai saudara-saudariku, mintalah pertolongan kepada Allah Subhanaahu wa Ta’ala , minta dan berdo’alah hanya kepada Allah Subhanaahu wa Ta’ala terhadap berbagai kebutuhan anda sekalian.

Bersandarlah kepada-Nya dalam keadaan senang dan susah. Sesungguhnya Dia Subhanaahu wa Ta’ala adalah sebaik-baik pelindung dan penolong.
Mudah-mudahan Allah Subhanaahu wa Ta’ala membalas anda sekalian dengan kebaikan, serta janganlah melupakan kami dari do’a-do’a kalian.

رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَتَوَفَّنَا مُسْلِمِينَ (١٢٦
“Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan berserah diri (kepada-Mu).” (QS. Al-A’raf: 126) (AR)*

Oleh: Mamduh Farhan al-Buhairi
Dari Kaset Asbab Mansiah (Sebab-Sebab Yang Terlupakan)

Dinukil dari: http://www.qiblati.com

MENJADI MALAIKAT KECIL





Menjadi kebiasaan, di hari Jumat seorang Imam dan anaknya yang berumur 11 tahun membagi brosur di jalan-jalan dan keramaian, sebuah brosur dakwah yang berjudul “thariiqan ilal jannah” (jalan menuju jannah).

Tapi kali ini, suasana sangat dingin ditambah rintik-rintik air hujan yang membuat manusia benar-benar malas untuk keluar rumah. Si anak telah siap memakai pakaian tebal dan jas hujan untuk mencegah dingin, lalu ia katakan,

“Saya sudah siap, Abi!”

“Siap untuk apa nak?”

“Abi, bukankah ini waktunya kita menyebar brosur ‘jalan menuju jannah’?”

“Udara di luar sangat dingin, apalagi gerimis.”

“Tapi Abi, tetap saja ada orang yang berjalan menuju neraka meski suasana sangat dingin.”

“Saya tidak tahan dengan suasana dingin di luar.”

“Abi, jika diijinkan, saya ingin menyebarkan brosur ini.”

Sang ayah diam sejenak lalu berkata
“Baiklah, tapi bawa beberapa brosur saja, jangan banyak-banyak.”

Anak itu pun keluar di jalanan kota untuk membagi brosur kepada orang yang dijumpainya, juga dari pintu ke pintu.

Setelah dua jam berjalan, dan brosur hanya tersisa sedikit saja. Jalanan sepi dan ia tak menjumpai lagi org di jalanan.

Lalu ia mendatangi sebuah rumah untuk membagikan brosur itu. Ia pencet tombol bel rumah….tapi tak ada yang menjawab.

Ia pencet lagi..dan tak ada yang keluar.

Hampir saja ia pergi, namun seakan ada suatu rasa yang menghalanginya.

Untuk kesekian kali ia kembali memencet bel, dan ia ketuk pintu dengan keras. Tak lama kemudian, pintu terbuka pelan. Ada wanita tua keluar dengan raut wajah yang menyiratkan kesedihan yang dalam berkata,

“Apa yang bisa saya bantu wahai anakku?”

Dengan wajah ceria, senyum yang bersahabat si anak berkata,

“Sayyidati (panggilan penghormatan utk seorg wanita), mohon maaf jika saya mengganggu Anda, saya hanya ingin mengatakan, bahwa Allah mencintai Anda dan akan menjaga Anda, dan saya membawa brosur dakwah utk Anda yg mengabarkan kepada Anda bagaimana mengenal Allah, apa yang seharusnya dilakukan manusia dan bagaimana cara memperoleh ridha-Nya.”

Anak itu menyerahkan brosurnya, dan sebelum ia pergi wanita itu sempat berkata, “Terimakasih, Nak..hayyaakallah




SEPEKAN KEMUDIAN…

Usai shalat Jumat, seperti biasa Imam masjid berdiri dan menyampaikan sedikit tausiyah, lalu berkata,

“Adakah di antara hadirin yg ingin bertanya, atau ingin mengutarakan sesuatu?”

Di barisan belakang, terdengar seorang wanita tua berkata,

“Tak ada di antara hadirin ini yang mengenaliku, dan baru kali ini saya datang ke tempat ini.

Sebelum Jumat yang lalu saya merasa blm mnjadi seorg muslimah, dan tidak berfikir untuk menjadi seperti ini.

Sekitar sebulan suamiku meninggal, padahal ia satu-satunya orang yang kumiliki di dunia ini.

Hari Jumat yangg lalu, saat udara sangat dingin dan diiringi gerimis, saya kalap, karena tak tersisa lagi harapan untuk hidup. Maka saya mengambil tali dan kursi, lalu saya membawanya ke kamar atas di rumahku.

Saya ikat satu ujung tali di kayu atap…saya berdiri di kursi…, lalu saya kalungkan ujung tali yg satunya ke leher, saya ingin bunuh diri karena kesedihanku…

Tapi, tiba-tiba terdengar olehku suara bel rumah di lantai bawah. Saya menunggu sesaat dan tdk menjawab, “paling sebentar lagi pergi”batinku.

Tapi ternyata bel berdering lagi, ditambah ketukan pintu yg makin kuat. Saya ragu, “Siap kira-kira yang datang ini, setahuku tak ada satupun orang yang mungkin memiliki keperluan atau perhatian terhadapku.” Lalu saya lepas tali yang melingkar di leher, dan saya turun untuk melihat siapa yang mengetuk pintu.

Saat kubuka pintu, kulihat seorang bocah yang ceria wajahnya, dengan senyuman laksana malaikat dan aku belum pernah mlihat anak seperti itu.

Dia mengucapkan kata-kata yang sangat menyentuh sanubariku,

“saya hanya ingin mengatakan, bahwa Allah mencintai Anda dan akan menjaga Anda.” Kemudian anak itu menyodorkan brosur kepadaku yang berjudul, “Jalan menuju jannah.”

Akupun segera menutup pintu, aku mulai membaca isi brosur. Setelah mmbacanya, aku naik ke lantai atas, melepaskan ikatan tali di atap dan menyingkirkan dan saya telah mantap untuk tidak memerlukan itu lagi selamanya.

Anda tahu…sekarang ini saya benar-benar merasa sangat bahagia, karena bisa mengenal Allah yang Esa, tiada ilah yang haq selain Dia.

Dan karena alamat markaz dakwah tertera di brosur itu, maka saya datang ke sini sendirian untuk mengucapkan pujian kepada Allah, kemudian berterimakasih kepada kalian, khususnya ‘malaikat’ kecil yang telah mendatangiku pada saat yang sangat-sangat tepat yang dengannya mudahmudahan menjadi jalan selamat saya dari kesengsaraan menuju jannah yang abadi.

Mengalirlah air mata para jamaah yang hadir di masjid, gemuruh takbir..Allohu Akbar..menggema di ruangan.

Sementara sang Imam turun dari mimbarnya, menuju shaf paling depan, tempat dimana puteranya yang tak lain adalah ‘malaikat’ kecil itu.

Sang ayah mendekap dan mencium anaknya diiringi tangisan haru…Allohu Akbar!



dari Abu Umar Abdillah


Minggu, 03 November 2013

Nikmatnya Perpisahan




“Aku memang sangat mencintainya. Tapi aku terpaksa ‘clash’ dengan dia..”

“Kenapa pulak?”

“Sebab aku selalu ingat dia sampai aku selalu lupa Allah.”

“Pergh.. terbaiklah bro! Alhamdulillah..”

Beruntung siapa dapat kekasih sepertinya. Bayangkanlah.. tentu dia sudah dapat merasai penangan cinta daripada Allah sehingga sanggup untuk berpisah dengan insan yang selalu disayanginya dengan cara yang salah.

Ya.. begitulah.. memilih untuk berpisah kerana Allah adalah keputusan yang sangat bijak. Itulah pilihan iman sebenarnya. Apabila menyedari diri sering terjebak dengan dosa ketika ber’couple’, iman yang ada dalam diri pasti akan menegur. Sangat terbaik orang yang sanggup menerima teguran daripada iman itu.

Cepat-cepatlah terima teguran iman di hati sebelum nafsu mengambil alih.

Sememangnya terbaik. Itulah keputusan yang membawa manfaat buat dirinya dan kekasihnya. Bercintalah. Tapi buatlah keputusan untuk tidak ber’couple’. Selepas keputusan itu dibuat, akan berkurang atau tiada lagi episod-episod berpegangan tangan, bersentuh-sentuhan, bermanja-manjaan, membuang masa bersama, tinggalkan solat bersama, dan macam-macam lagi yang tidak sepatutnya berlaku sebelum kahwin. Masing-masing terhindar daripada maksiat dan dosa.

Itu barulah ‘saling menyayangi’ namanya. Mahu berpegangan tangan hingga ke Syurga atau ke Neraka? Tiada siapa yang mahu bersama ke Neraka bukan? Namun siapa yang betul-betul mahu bersama hingga ke Syurga?


Kadang-kadang kita merasakan nikmat ber’couple’ itu terlalu indah. Lalu kita suka. Tapi sebenarnya itu hanya sangkaan. Mainan nafsu. Direct to the point, ber’couple’ (sebelum nikah) tidak baik untuk kita. Sebab itu Allah mengizinkan berlakunya ‘kehilangan’ atau perpisahan. Kerana ‘kehilangan’ atau perpisahan yang kita tidak suka itu sebenarnya baik untuk kita.

Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman;

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagi kamu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kamu.Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (Surah al-Baqarah ayat 216)

“Biarlah kita kehilangan si dia kerana Allah. Jangan kita kehilangan Allah kerana si dia.”

Marilah sama-sama kita renungkan… belum tentu pasangan kita itu adalah suami kita atau isteri kita. Kita ‘bercouple’ bagai nak rak, tiap malam bergayut dengan suara manja tanpa kita menyedarinya, waktu pagi bertemu berkepit ke hulu dan ke hilir tanpa rasa bersalah, semuanya hanya keindahan yang sementara.

Jika pasangan kita itu ditakdirkan menjadi suami atau isteri kita, keindahan yang selalu kita nikmati di fasa sebelum pernikahan semakin suram. Jika dulu hampir setiap hari bertemu, namun setelah berada di alam pernikahan pandang pun menjadi jemu. Segala keindahan alam perkahwinan yang sepatutnya dinikmati di fasa tersebut turut hambar kerana sudah pun dirasai sebelum akad termeterai. Tiada lagi kejutan mahupun ‘suprise’ yang membahagiakan kerana hampir kesemua telah kita hadam dan menjadi perkara biasa kepada kita.

Kesimpulannya, serahkan lah hati kita kepada Allah. Simpankan rasa itu semata-mata hanya untuk Allah SWT. Biarkan Allah temukan hati yang mencintai Allah itu dengan hati yang lain, yang mana hati itu juga turut mencintai Allah. Yakinlah, jika kita menghiaskan hati ini dengan cinta Allah, pasti cinta yang hadir itu sentiasa mekar dan tidak akan layu. Malah cinta itu pasti kekal sentiasa kerana sandarannya juga adalah Zat yang Maha Kekal.
Amalan Doa Nabi Daud

Marilah kita hayati dan amalkan doa ini. Semoga doa Nabi Daud A.s ini memberi kita semangat dan teguh dalam mencinta Allah SWT sepenuh hati kita melebihi cinta kepada makhlukNya.


“ Ya Allah, kurniakanlah daku perasaan cinta kepada-Mu, dan cinta kepada orang yang mengasihi-Mu, Dan apa sahaja yang membawa daku menghampiri cinta-Mu. Jadikanlah cinta-Mu itu lebih aku hargai daripada air sejuk bagi orang yang kehausan, Ya Allah, sesungguhnya aku memohon cinta-Mu, Dan cinta orang yang mencintai-Mu serta cinta yang dapat mendekatkan aku kepada cintaMu,

Ya Allah, apa sahaja yang Engkau anugerahkan kepadaku daripada apa yang aku cintai, Maka jadikanlah ia kekuatan untukku mencintai apa yang Engkau cintai. Dan apa sahaja yang Engkau singkirkan daripada apa yang aku cintai, Maka jadikanlah ia keredaan untukku dalam mencintai apa yang Engkau cintai, Ya Allah, jadikanlah cinta-Mu sesuatu yang paling aku cintai daripada cintaku kepada keluargaku, hartaku dan air sejuk pada saat kehausan.

Ya Allah, jadikanlah aku mencintai-Mu, mencintai malaikat-Mu, Rasul-Mu dan hamba-Mu yang soleh, Ya Allah, hidupkanlah hatiku dengan cinta-Mu dan jadikanlah aku bagi-Mu seperti apa yang Engkau cintai, Ya Allah, jadikanlah aku mencintai-Mu dengan segenap cintaku dan seluruh usahaku demi keredhaan-Mu.”

(Hadis riwayat At-Tarmizi)

Rasulullah SAW bersabda, “Inilah doa yang biasa dipanjatkan oleh Nabi Daud a.s.”


Editor: Aina Amidin

Sabtu, 02 November 2013

Urgensi Ikhlas dalam Realisasi Amal



Manusia atau makhluk mana yang tidak ingin dicintai oleh dzat yang menciptakannya, tentu semua makhluk Allah, terlebih manusia selaku makhluk yang paling sempurna di antara makhluk lain ingin dicintai oleh dzat yang menciptakannya, yaitu Allah swt, bahkan tidak heran untuk menggapai kemuliaan dan kecintaan disisi Allah ini mereka rela melakukan hal apapun, hingga pada hal yang tidak ada tuntunannya (bid’ah).

Dengan lebel dicintai Allah dan harapan agar dicintai Allah terkadang manusia salah menempatkan dan melakukan hal yang bersifat ibadah, mereka lupa bahwa salah satu faktor agar dicintai Allah adalah dengan mengikuti segala yang diajarkan oleh utusaNya Muhammad saw dan dengan mencintai Nabi Muhammad saw berarti mencintai Allah swt pula, sebagaimana firman Allah swt :

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ…

Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu (QS. al-Imran : 31)

Hadist di atas menunjukkan bahwa cinta kepada Allah itu dibangun di atas cinta kepada Nabi Muhammad saw, oleh karena itu barangsiapa yang meneladani dan mengikuti apa yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw sebagai pembawa risalah (Rasul), niscaya dia akan dicintai Allah dan mendapat pengampunan dari dosa yang pernah dia lakukan.

Mengenai cinta kepada Allah dan bagaimana cara menggapainya, marilah kita renungkan hadits qudsi di bawah ini :

عَنْ مُعَاذ بْنِ جَبَلٍ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْ لُ الله صلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : قَالَ اللهُ تَعَالَى : حَقَّتْ مَحَبَّتِي لِلْمُتَحَابِّينَ فِيَّ وَ حَقَّتْ مَحَبَّتِي لِلْمُتَوَاصِلِين فِيَّ وَ حَقَّتْ مَحَبَّتِي لِلْمُتَنَاصِحِيْنَ فِيَّ وَ حَقَّتْ مَحَبَّتِي لِلْمُتَبَاذِلِينَ فِيَّ ;الْمُتَحَابُّوْنَ فِيَّ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُوْرٍ يَغْبِطُهُمْ بِمَكَانِهِمُ النَّبِيُّوْنَ وَ الصِّدِّيْقُوْنَ وَ الشُّهَدَاءُ .

Dari Mu’adz bin Jabal –Radhiyallahu ‘anhu- beliau berkata: Telah bersabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam : “Allah Ta’ala berfirman : ‘Orang yang saling mencintai karena-Ku pasti diberikan cinta-Ku, orang yang saling menyambung kekerabatannya karena-Ku pasti diberikan cintaKu dan orang yang saling menasehati karena-Ku pasti diberikan cintaKu serta orang yang saling berkorban karena-Ku pasti diberikan cinta-Ku. Orang-orang yang saling mencintai karena-Ku (nanti di akhirat) berada di mimbar-mimbar dari cahaya. Para Nabi, shiddiqin dan orang-orang yang mati syahid merasa iri dengan kedudukan mereka ini’”

(HR. Imam Ahmad dalam kitab Al-Musnad dan dishahihkan al-Albani dalam kitab Shahih Jami’ ash-Shaghir no. 4198).

Hadist qudsi ini terdapat pula dalam kitab as-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqy ( h.233, no. 21599 ), Ittihaf al-Khoirat al-muharrat karya Ahmad bin Abu Bakr bin Isma’il ( h.105, no. 5428), Syarh musykil al-Atsar karya Abi Ja’far Ahmad bin Muhammad bin Salamah at-Thohawiy (h.37, no. 3895) dan Musnad al-Thoyalisi karya Sulaiman bin Dawud ( no. 577).

Sungguh besar makna dan ibrah (pelajaran) yang dapat diambil dari hadits qudsi di atas. Dalam hadits qudsi tersebut Allah swt memerintahkan kita untuk mewujudkan empat hal yang menjadi sebab kita menjadi hamba-Nya yang dicintai.

1) Perintah saling mencintai karena Allah, 2) Perintah saling menasehati karena Allah, 3) Perintah saling menyambung persaudaraan karena Allah, 4) Perintah saling berkorban karena Allah.

Inti dari semua amalan yang dapat menuai cinta Allah adalah ikhlas semata-mata mengharap ridha Allah swt tanpa disertai tendensi karena manusia atau makhuk yang lainnya. Oleh karena itu antara perbuatan yang didasari dengan keiklhlasan dan iman yang akan melahirkan kecintaan kepada Allah swt nampaknya memiliki hubungan yang erat.

Perbuatan adalah bentuk implementasi dari keimanan seseorang, maka tak heran jika amalan (perbuatan) bisa menjadi tolok ukur tinggi dan rendah, naik (yāzid) dan turun (yanqūs) keimanan seseorang. Sedangkan yang menjadi tolok ukur amalan itu sendiri adalah Iklhas. Maka ketika kita hendak mengerjakan suata amalan (perbuatan) hendaknya senantiasa kita landasi dengan rasa ikhlas, yaitu melakukan perbuatan semata-mata mencari keridhaan Allah swt dan memurnikan perbuatan dari segala bentuk kesenangan duniawi. Ikhlas juga merupakan dampak positif dari tauhid yang sejati, yaitu tindakan mengesakan Allah swt dalam peribadatan dan memohon pertolongan. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt dalam surat yang sering kita baca ketika shalat :

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ [١:٥]

Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.(QS. Al-Fātihah : 5).

Mengenai urgensi (pentingnya) ikhlas, Allah swt berfirman :

فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا [١٨:١١٠]

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”.(QS. Al-Kahfi : 110)

Dari firman Allah swt diatas dapat kita tarik sebuah pemahaman, bahwa ikhlas adalah suatau element yang urgen (penting) dalam melaksanakan segala amalan. Beramal tanpa ikhlas, ibarat melakukan pekerjaan yang tiada guna dan sia-sia belaka.

Selaku orang muslim, tentu sifat ikhlas ini harus benar-benar dimiliki dan menjadi satu komposisi dalam meracik ramuan amalan baik yang akan direalisasikan sebagai wujud keimanan kita kepada Allah swt. Jangan sampai dalam perjalananya semua amalan yang kita laksanakan sia-sia belaka seperti buih di lautan. Oleh karena itu Allah swt berfirman :

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ [١٦٢] لَا شَرِيكَ لَهُ ۖ وَبِذَٰلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ [١٦٣]

“Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”.(QS. al-An’am : 162-163)

Berdasarkan ayat di atas, tentu sebagai seorang muslim, kita harus memahami dan mampu mengaplikasikan semboyan : “Allah tujuan kita, Allah satu-satunya penolong kita dan hanya kepada Allah lah kita berserah diri” dalam segala perbuatan yang kita kerjakan.

Membersihkan dan memurnikan perbuatan dari segala macam kesenangan duniawi bukanlah persoalan ringan seperti diduga banyak orang. Perbuatan seperti ini memerlukan perjuangan sungguh-sungguh dengan mengalahkan sifat egois dan membabat habis segala kesenangan pribadi yang bersifat sementara. Selain itu, juga diperlukan pengawasan yang sangat ketat terhadap lubang yang bisa dimasuki oleh setan. Tapi bagi orang yang mampu mengkondisikan hatinya untuk tetap ikhlas dan tidak terpengaruh oleh bujuk-rayu setan dan gemerlap dunia yang fana, maka baginya kemudahan dan anugerah dari Allah. Hal ini dilukiskan oleh Rasulullah swt dalam sabdanya :

عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: بَشِّرْ هَذِهِ الْأُمَّةَ بِالتَّيْسِيرِ، وَالسَّنَاءِ، وَالرِّفْعَةِ فِي الدِّينِ، وَالتَّمْكِينِ فِي الْبِلَادِ، وَالنَّصْرِ، فَمَنْ عَمِلَ مِنْهُمْ عَمَلًا بِعَمَلِ الْآخِرَةِ لِلدُّنْيَا فَلَيْسَ لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ (رواه أحمد وابن حبان والبيهقي)

“Dari Ubay bin Ka’ab berkata, Rasulullah saw bersabda : Berilah kabar gembira bagi umat ini, bahwa mereka akan diberikan kemudahan oleh Allah swt, diberikan kejayaan dalam agama, diteguhkan kekuasaannya di Negerinya ini, dan diberikan kemenangan. Siapa diantara mereka yang beramal dengan amalan akhirat tetapi didasari keinginan mendapatkan kemewahan duniawi, maka tidak ada baginya bagian di akhirat” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban dan Baihaqi)

Hadis diatas memberikan pelajaran berharga bagi kita, agar tidak mendua dalam niat ketika mengerjakan amal perbuatan. Karena niat yang mendua (tidak fokus semata-mata karena dan hanya untuk Allah) dapat merusak esensi amal perbuatan yang kita kerjakan. Ibnu Athailah menegaskan bahwa amal perbuatan yang dilandasi dualisme niat tidak akan diterima oleh Allah, begitu juga hati yang mendua.

Setelah kita mengetahui urgensi (pentingnya) ikhlas dalam melakukan perbuatan. Marilah kita tanamkan mulai sekarang sifat ikhlas ini di dalam lubuk hati kita dan kita realisasikan dalam bentuk amal shaleh yang bermanfaat semata-mata mengharap ridha Allah swt, karena Allah swt akan menilai apa yang kita perbuat berdasarkan haati nurani kita, sebagaimana Rasulullah saw bersabda :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” إِنَّ اللهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَلَا أَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ إِنَّمَا يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ ” ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ(

Dari Abi Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhanya Allah tidak akan menilai bentuk fisik dan harta kamu, akan tetapi Allah hanya menilai hati nurani dan perbuatan kamu” (HR. Muslim).

Inti (natijah) yang dapat kita ambil dari pemaparan singkat di atas adalah kunci agar kita menjadi hamba yang dicintai oleh Allah adalah beribadah dan beramal dengan tendensi mencari keridhaan Allah swt semata, oleh karena itu tanamkanlah sifat ikhlas dalam segala hal, baik dalam beribadah dan beramal, karena dengan sifat inilah amalan yang kita lakukan tidak sia-sia. Wallahu a’lam bisshowab.

Oleh: Sukahar Ahmad Syafi’i, Alumni Ponpes Karangasem Muhammadiyah Paciran Lamongan dan Pendidikan Ulama’ Tarjih Muhammadiyah (PUTM) Yogyakarta serta Mahasiswa prodi Tafsir Hadits Universitas Ahmad Dahlan.

Cara Meraih Cinta dari Allah


Salah satu mahluk Tuhan yang paling indah bentuknya adalah manusia. Tak ada makhluk lain yang dapat menandingi keelokan tubuhnya. Disamping tubuhnya yang indah, manusia juga dikarunia akal dan nafsu Sementara, mahluk yang lain tidak demikian. Melalui akal dan nafsu manusia akan mulia di sisi-Nya dan akan terpuruk jua jika tidak bisa mengendalikannya.

Dibalik kesempurnaannya, manusia tidak akan pernah luput dari salah dan dosa. Siapa saja itu dan di manapun ia berada. Karena sejatinya, manusia lebih cenderung melakukan hal-hal yang dapat mengantarkannya ke sana. Jangankan manusia biasa, Nabi saja yang dikenal sebagai makhluk paling sempurna dan satu-satunya orang yang dima’shum, pernah mendapat teguran dari Allah ketika melakukan kesalahan. Yaitu ketika terjadi perbedaan pendapat antara Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar tentang tahanan yang berhasil ditangkap oleh kaum muslimin. Menurut Umar tahanan-tahanan itu dihabisi saja. Akan tetapi, Abu bakar berpendapat berbeda, menurutnya, tahanan-tahanan itu agar ditebus saja oleh pihak lawan. Dari dua pendapat sahabat ini ternyata Nabi lebih cenderung terhadap pendapatnya Abu bakar. Namun, keputusan ini tidak selaras dengan yang dikehendaki oleh Allah. Allah menghendaki pendapatnya Umar, seketika itu juga turunlah ayat 67 surat al-Anfal.

Keterangan di atas mengilustrasikan bahwa tak seorang pun yang bisa terhindar dari salah dan dosa. Sesosok Nabi pun pernah berbuat salah, lebih-lebih kita yang setiap saat jauh dari lindungan-Nya tentu akan lebih banyak lagi kesalahan yang diperbuat.

Berkenaan dengan hal di atas Allah berfirman dalam surat al-Kahfi, ayat 110 yang artinya “katakanlah wahai Muhammad: sesungguhnya aku manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepada ku”. Ayat ini menyinggung bahwa Nabi juga manusia biasa sama seperti manusia pada biasanya. Yang membedakan hanya Nabi mendapat wahyu dan yang lain tidak. Kaitannya dengan penafsiran ayat ini, dalam kitab Faid al-Qodr li Zaidi al- Munawi, juz 7 hal 229 dijelaskan bahwa Nabi berkata“ketika aku (Muhammad) memerintahkan kepadamu tentang urusan agama maka ikutilah, karena itu ‘haq’ dan senantiasa benar. Dan jika aku (Muhammad) memerintah kepadamu tentang urusan dunia maka ingatlah bahwa aku manusia biasa yang tidak akan luput dari salah dan lupa, karena manusia adalah tempatnya salah dan lupa”. Lebih detail lagi, apa yang datang dari Nabi tidak semuanya menjadi syari’at (tuntutan untuk dilakukan) bagi umatnya. Ada beberapa hal yang tidak wajib atau sunnah diikuti. Tetapi meski demikian, sebagai umatnya kita harus meyakini bahwa Nabi tidak dibiarkan untuk berbuat salah atau dengan kata lain dima’shum.


Berbuat salah dan dosa memang hal yang lazim bagi setiap manusia. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya penjara di dunia dan neraka di akhirat. Kedua tempat ini disediakan khusus bagi mereka yang selalu berbuat salah dan dosa. Agar salah dan dosa yang pernah dilakukan tidak membekas, yang pada ujungnya akan dimintai pertanggung jawaban kelak oleh Allah, hendaknya bertaubat. Meminta permohonan maaf kepada Allah atas segala khilaf yang pernah dilakukan. Dalam satu pendapat dikatakan bahwa permohonan maaf adalah paling agungnya permohonan dibandingkan permohonan-permohonan yang lain. Itu artinya Allah sangat menghargai taubat hambanya atas segala dosa yang pernah diperbuat. Keterangan ini sesuai dengan firman-Nya surat al-Baqoroh, ayat 222 yang artinya “sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang menyucikan diri”. Dalam Tafsir Jalalain dijelaskan bahwa Allah akan mengampuni dan memulyakan orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang menyucikan diri dari kotoran. Dalam tafsir yang lain dikutip bahwa yang dimaksud dengan ‘menyucikan diri’ adalah menyucikan diri dari maksiat dan dosa. Karena dosa menurut yang menafsiri demikian adalah najis ruhaniyah.

Taubat secara bahasa adalah kembalinya seorang hamba kepada Rabbnya, sedangkan menurut syara’ taubat berarti menyesal terhadap apa yang telah dilakukan, tidak mengulanginya kembali pada masa yang akan datang, dan bertekad kuat tidak akan melakukan hal yang serupa. Dengan demikian, ada tiga hal penting agar taubatnya seseorang diterima yaitu; menyesal, tidak akan mengulanginya kembali dan bertekad kuat tidak akan mengulangi hal yang serupa.

Dengan bertaubat seseorang akan kembali ke fitrahnya, suci dan bersih. Maka ketika itu, ia disebut layaknya anak kecil yang baru lahir dari rahim ibu. Semoga kita senantiasa bertaubat kepada Allah. Amin… wallahu a’lam semoga bermanfaat…

Author: Hafid Wahyudi (http://cyberdakwah.com)