.

Kamis, 30 Januari 2014

Merindukan Sultan Abdurrahman di Sumenep




Sultan Abdurrahman (Pakunataningrat) adalah salah satu raja Sumenep pada abad 19. Dia dikenal sebagai penguasa yang adil dan merakyat. Dalam dunia spiritualitas, Sultan Abdurrahman disetarakan dengan wali, orang suci dalam tradisi sufisme. Makamnya di Asta Tinggi dikunjungi secara berkala oleh masyarakat Sumenep sampai kini karena dianggap penuh berkah serta sebagai wujud apresiasi atas pengabdiannya terhadap Sumenep.


Kepemimpinan gaya Sultan Abdurrahman memang perlu untuk diterapkan oleh para pemimpin Sumenep masa depan. Hal ini terletak pada keunikan Sultan Abdurrahman yang berpadu didalamnya ororitas spiritual sekaligus birokrasi. Keunikan lainnya adalah ketika sultan melakukan terobosan politik pemerintahan di tengah kungkungan kolonialisme Belanda dan hegemoni Mataram Islam sekaligus. Politik cerdik telah dilakukan Sultan Abdurrahman guna menyelamatkan posisi rakyat dan pemerintahan Sumenep dari intervensi lebih jauh politik Jawa dan Belanda dalam kehidupan politik Sumenep. Demi mengimbangi hegemoni Mataram yang waktu itu diwakili oleh kesultanan Yogyakarta dan keraton Surakarta, Sultan Abdurrahman mengangkat dirinya sebagai sultan meski dengan restu Belanda semata. Dalam kacamata Islam, boleh jadi apa yang dilakukan Sultan Abdurahman merupakan politik hipokrasi dan pelanggaran terhadap konvensi politik Islam Internasional yang mensyaratkan gelar Sultan harus diberikan otoritas spiritual Syarif Husein di Mekkah.

Namun, Sultan Abdurrahman tak melakukan itu. Sejarah tak pernah bercerita bahwa gelar sultan yang melekat pada diri Abdurrahman merupakan gelar resmi yang diberikan Syarif Husein serta dilegalisasi Turki Usmani. Sejarah bahkan menegaskan bahwa gelar sultan itu diberikan oleh gubernur Jenderal Van Der Capellen atas jasa Sultan Abdurrahman dalam Perang Diponegoro sebagai partner militer Belanda. Hal yang lagi-lagi ironis, karena pangeran Diponegoro sebagaimana disebutkan Peter Carey dalam The Power Of Prophecy (2008) adalah pangeran Jawa keturunan tokoh Madura, Cakraningrat kedua.

Dalam kacamata Jawa boleh jadi Sultan Abdurrahman dianggap tidak nasionalis. Tapi, seumpama Menakjinggo-Damar Wulan, Sultan Abdurrahman boleh jadi tokoh hipokrit dalam kacamata Jawa namun tidak menurut perspektif Sumenep. Apa yang dilakukan sultan Abdurrahman pada dasarnya sebuah strategi politik jangka panjang untuk memberikan ruang segar bagi masyarakat Sumenep agar bisa berdiri tegak otonom di hadapan eks kekuatan Mataram maupun Belanda sendiri. Baik Belanda maupun dinasti Mataram pada dasarnya adalah dua entitas yang secara politis ekonomis merugikan Sumenep. Sumenep harus menyerahkan upeti berkala terhadap Mataram sebagai otoritas kekuasaan tertinggi sebagaimana hal itu dilakukan juga terhadap Belanda. Dengan mengangkat dirinya sebagai sultan, otoritas politik Sumenep ingin menegaskan bahwa Sumenep bukan vasal Jawa. ‘Politik main mata’ dengan Belanda inipun ternyata juga membuahkan hasil yaitu terkuranginya porsi kolonialisasi Belanda di Sumenep. Kesultanan Sumenep ingin membebaskan dirinya secara eksplisit dari dominasi pribumi dan secara implisit dari kolonialisasi asing.

Politik ekonomi yang mandiri terhadap dominasi asing yang didukung pribumi inilah yang seharusnya menjadi spirit pemerintahan baru Sumenep terutama ketika Madura menjejak industrialisasi. Bukan tidak mungkin tantangan serupa yang dihadapi sultan Abdurrahman akan melanda Sumenep dalam wajah lain. Sumenep dan Madura pada dasarnya segera akan dihadapkan oleh exposure (keterbukaan) terhadap intervensi ekonomi pribumi luar Madura dan juga modal kapitalisme asing yang berkoalisi satu sama lain. 

Selama ini, ekonomi nasional mengidap penyakit kronis yang disebut Dutch Disease (penyakit Belanda), yaitu paradoksnya penghasilan sumber daya alam dengan realitas social welfare yang didapat atau menurut Lin Che Wei (2001) sebagai “kemiskinan di tengah kekayaan”. Intervensi dan dominasi ekonomi yang tak ramah terhadap rakyat merupakan “selingkuh legal” antara penguasa pribumi dan asing. Pembangunan ekonomi di Sumenep dan juga daerah-daerah lain di Indonesia pada dasarnya dihadapkan pada kebijakan Jakarta sebagai sentral kebijakan ekonomi nasional dan koalisinya dengan korporasi atau perusahaan asing. Dua kekuatan ini, yaitu otoritas politik ekonomi nasional dan perusahaan asing mirip dengan hegemoni Mataram dan Belanda pada masa lalu. Meski Sumenep kaya dengan lumbung migas, tapi tetesan migas tersebut tak pernah benar-benar membasahi kerongkongan rakyat akibat koalisi kebijakan ekonomi nasional dengan korporasi asing.

Pilkada 2010 ini dimenangkan oleh pasangan Abussidik. Dalam diri Abussidik berpadu dua kekuatan penting, Islam (PKB) dan nasionalis (PDI-P). Pada keduanya juga bertemu keulamaan dan kepemerintahan. Ini merupakan kapital penting untuk membendung laju kapitalisme dan kolonialisme ekonomi yang pasti akan menghinggapi Sumenep masa mendatang. Sinergitas Abussidik mutlak diperlukan agar industrialisasi dan kapitalisme yang bisa jadi merupakan kombinasi antara kapitalis asing dan pengusaha nasional bermental kapitalis tak lagi memakan porsi ekonomi rakyat kecil. Maka, menjadikan jiwa dan strategi sultan Abdurrahman sebagai spirit pemerintahan merupakan sesuatu yang terasa amat dibutuhkan.

Sejarah Singkat Sultan Fatah Demak



Pada tanggal 4 Mei 2012 bertepatan tanggal 13 Jumadil Akhir 1433 H diadakan Haul Akbar Sultan Fatah yang ke 509H. Pada kesempatan itu dibacakan manaqib(sejarah) singkat beliau. Pembacaan sejarah ini dilakukan oleh KH. Drs. M. Asyik ketua MUI Demak, beliau juga Wakil Bupati Demak periode 2006 - 2010. Di bawah ini adalah teks bacaan sejarah singkat Sultan Fatah. Adapun rekaman suaranya dapat diunduh di sini (host di 4shared.com) atau di sini (mediafire.com)

Raden Fatah lahir pada tahun 1448 M bertepatan dengan 1570 Saka. Ibunya lebih senang memanggil dengan nama Yusuf. Raden Fatah adalah seorang trah bangsawan dari raja Majapahit yang ke 11 yaitu Raden Kerta Bumi atau Prabu Brawijaya ke 5. Nama ibunya Putri Campa. Nama kecil Raden Fatah adalah Pangeran Jimbun, dan oleh Adipati Ario Jamas atau Sapu Alam di Palembang diberi nama baru Raden Hasan, Pada saat usia 14 tahun dia berkelana merantau ke Pulau Jawa dan bertemu seorang, serta berguru dengan para wali khususnya Kanjeng Sunan Ampel di Surabaya sehingga dia diberi nama Raden Fatah.

Atas petunjuk dan bimbingan para wali, Raden Fatah bersama santri serta masyarakat membangun sebuah masjid yang sekaligus menjadi pesantren di wilayah Glagah Wangi Bintoro. Sehingga menjadi cikal bakal berdirinya Masjid Agung Demak dengan ditandai Candra Sengkala atau prasasti yang bermakna tahun 1475 M. Pada saat itu pula Raden Fatah ditunjuk sebagai mubaligh menggantikan Syaikh Maulana Jumadil Kubra yang wafat dan dimakamkan di Trowulan Mojokerto Jawa Timur.

Prabu Brawijaya ke 5 dari kerajaan Majapahit yang berkuasa pada saat itu memberi anugrah jabatan kepada Raden Fatah sebagai Adipati dengan gelar Adipati Nata Praja yang berkedudukan di Glagah Wangi Bintoro tahun 1477 M.

Raden Fatah selaku Adipati Nata Praja di Glagah Wangi Bintoro oleh para wali dinilai sangat berhasil dalam membangun pemerintahan dan menjadi panutan dan abdi seorang satria yang tampan cerdas santun serta bersahaja dan halus budi pekertinya.

Di samping dengan cepat dapat menguasai berbagai disiplin ilmu yang diajarkan para wali. Oleh karena itu Majlis wali 9 secara bulat mengambil fatwa dan memutuskan untuk mengangkat Raden Fatah serta mengijinkan menduduki tahta kerajaan Islam di Pulau Jawa, yang berkedudukan di Bintoro Demak pada tahun 1478 M dengan gelar atau sebutan Sultan Raden Abdul Fatah Al Akbar Sayyidin Pranotogomo. Tahta kerajaan Islam ini berjalan dengan lancar dan tidak menimbulkan reaksi dari Kerajaan Majapahit.

Pada tahun 1479 M setelah setahun menduduki kerajaan Islam di Jawa, beliau membersihkan Purnapugar Kesultanan Bintoro yang sekarang diberi nama Masjid Agung Demak dengan ditandai prasasti bergambar bulus. Ini merupakan Candra Sengkolo Memet “Sariro Sunyi Kiblating Gusti”, bermakna tahun 1401 Saka atau 1479 M .

Sultan Raden Abdul Fatah Sayyidin Pranotogomo adalah Amirul Mukminin yang alim, adil serta bijaksana. Beliau memegang pemerintahan selama 40 tahun mulai 1478 sampai 1518 M . Setelah wafat dilanjutkan Pangeran Patiunus putra pertama Raden Fatah pada tahun 1518 - 1521 M atau selama 3 tahun .Selanjutnya pemerintahan dilanjutkan oleh adiknya yaitu Raden Trenggono yang memerintah selama 25 tahun terhitung dari tahun 1521 - 1546 M.

Kemudian setelah selama 14 tahun Kesultanan Bintoro terjadi kekosongan kepemimpinan krn terjadi perselisihan kerluarga, yang akhirnya Raden Hadiwijaya memegang tampuk pemerintahan mulai 1560 sampai 1582 M. Atas dasar nasehat wali songo guna mengakhiri konflik keluarga disarankan agar pusat pemerintahan dipindah di Pajang.maka oleh Sultan Hadi Wijaya, pemerintahan atau Kerjaan Demak akhirnya dipindahkan ke daerah Pajang.

Adapun keturunan Raden Fatah: 1. Pangeran Patiunus 2. Pangeran Purwa Wiyata biasa disebut Pangeran Sekar Sido Lepen, 3. Ratu Emas Panembahan Banten 4. Istri Raden Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. 5. Pangeran Trenggono, yang menjabat Sultan Demak ke tiga.

Demikianlah sejarah singkat Sultan Abdul Fatah Al Akbar Sayyidin Pranotogomo berserta keluarganya, semoga Allah swt memberikan Rahmat Taufik serta hidayahnya kepada beliau. Dan kita sebagai generasi penerus dapat melanjutkan dan mempertahankan nilai sejarah yang beliau tinggalkan / wariskan sehingga Demak sebagai kota wali menjadi sentral kemajuan bangsa Indonesia amin ya robbal alamin.

NB: Jika ada kesalahan penulisan ulang dari suara rekaman, mohon dikoreksi karena saya terkadang kurang jelas mendengar pada bagian-bagian tertentu. Terima kasih

Sunan Gunung Jati




Dari perkawinannya Syarif Abdullah dengan Syarifah Muda'im (Nyai Larasantang), mempunyai anak dua orang, di antaranya masing-masing ialah: Syarif Hidayat lahir pada tahun 1370 Saka (1448 Masehi). dan Syarif Nurullah namanya.


Sesudah Syarif Hidayat menjadi pemuda, baru berusia dua puluh tahun, bersikap saleh dan ingin menjadi guru agama islam. Oleh karena itu pergi dari Mekah. Di sana berguru kepada Syekh Tajuddin al-Kubri, lamanya dua tahun. Pada waktu itulah, dari Syekh Athoillah as-Sakandary as-Syadzili, ia mengetahui nama anutan madzhab Imam Syafi'i. Selesai dua tahun.


Selanjutnya pergi ke kota Bagdad. Di sana berguru tasawuf Rasul dan tinggal di pesantren saudara ayahnya. Selanjutnya pulang ke negeri Mesir. Syarif Hidayat sudah mendapatkan banyak nama, yaitu Sayid Kamil, Syekh Nuruddin Ibrahim ibnu Maulana Sultan Mahmud al-Khibti nama lainnya.


Kemudian Syarif Hidayat pergi ke Pulau Jawa. Dalam perjalanannya, singgah di Gujarat. Tinggal lamanya di sana tiga tahun.


Ketika singgah di Gujarat, Syarif Hidayat bertemu dengan Dipati Keling, bersama 98 anak buahnya, kemudian masuk agama Islam dan menjadi muridnya. Kemudian mereka berlayar bersama-sama, menuju Pulau Jawa.


Dalam perjalanan ke Pulau Jawa, singgah di negeri Pasai. Di sana Syarif Hidayat tinggal di Pesantren saudaranya, yaitu Sayid Ishak yang menjadi guru agama Islam di negeri Pasai, Sumatera. Di negeri Pasai ini, Syarif Hidayat tinggal selama dua tahun.


Selanjutnya Syarif Hidayat alias Sayid Kamil, singgah di Banten tepatnya di Banten pesisir, mengajarkan agama Islam di sana, berjodoh dengan puteri Adipati Banten, Nyai Kawung Anten. Alasan sesungguhnya Syarif Hidayat singgah di Banten ini ingin bertemu dengan Ali Rakhmatullah.


Setelah ada habar bahwa yang bersangkutan berada di lain tempat, maka Syarif Hidayat pergi ke Ampel, naik perahu orang jawa timur. Pada waktu itu para Wali ada di sana, masing-masing mengemban tugas yang di amanatkan.


Syarif Hidayat bersilaturahmi dan berkenalan dengan para Wali yang berada di Jawa Timur. Selanjutnya, Syarif Hidayat atau Sayid Kamil bersama Dipati Keling dan anak buahnya, berlayar menuju Cirebon. Kunjungan ke Cirebon ini dalam rangka untuk mengunjungi uwanya (kakak ibunya), Sang Tumenggung Sri Mangana Pangeran Cakrabuana Haji Abdullah Iman, penguasa Kerajaan Islam Pakungwati Cirebon.


Di sini Syarif Hidayat menemui uwanya, dan alangkah sukacitanya Sri Mangana, ketika di temui oleh anak adiknya (suwannya) itu.


Begitu pula Syarif Hidayat sangat gembira, dapat bertemu dengan uwanya yang telah berhasil mendirikan Kerajaan Islam pertama, di Kerajaan Sunda. Akhirnya Syarif Hidayat bersama bersama Dipati Keling serta 98 anak buahnya, di tempatkan di Giri Sembung Amparan Jati (Gunung Jati). Syarif Hidayat di beri jabatan sebagai Guru Agama Islam di Pondok Quro Amparan Jati, sebagai pengganti Syekh Datuk Kahfi. Syarif Hidayat berjodoh dengan kakak sepupunya, Nyai Mas Pakungwati.


Di Giri Sembung, Syarif Hidayat disebut Maulana Jati atau Syekh Jati sebutan lainnya. Selanjutnya mengelola pesantren itu. Setelah beberapa lama kemudian, semua penduduk berguru kepada Sayid Kamil. Adapun Syarif Hidayat, yaitu Sayid Kamil, kemudian lebih dikenal dengan sebutan Susuhunan Jati atau Sunan Cirebon nama lainnya. Sembilan tahun sudah ia berada di Pulau Jawa.


Sang Tumenggung Sri Mangana Pangeran Cakrabuana Haji Abdullah Iman, mempunyai penilaian tersendiri kepada Syarif Hidayat. Demi untuk kepentingan penyebaran Islam, Sang Tumenggung mewariskan tahtanya, kepada suwan yang sekaligus menantunya, Syarif Hidayat.


Syarif Hidayat dilantik menjadi Raja Cirebon oleh uwanya Pangeran Cakrabuana, sebagai Tumenggung Kerajaan Cirebon, dengan gelar Susuhunan Jati.


Syarif Hidayat menjadi raja mahardika, memerdekakan diri dari naungan Sunda Pajajaran di bumi Jawa Barat. Pada waktu itu, para Wali Sanga di Jawa Timur, menyambut gembira menyerukan pujian atas penobatannya, dan semua memberikan dukungan.


Semua pimpinan masyarakat desa di Cirebon sangatlah sukacita. Pejabat penguasa daerah, pesta meriah, mengadakan syukuran di Paseban Keraton Pakungwati.


Untuk mengukuhkan penobatan Susuhunan Jati, dilakukan oleh para Wali dari Jawa Timur, yang dihadiri pula oleh Raden Fatah sebagai Sultan Demak. Mereka hadir di Keraton Pakungwati Cirebon, disertai armada laut dan balatentara Kesultanan Demak, yang dipimpin oleh Panglima Fadhillah Khan.


Kemudian Wali Sanga menganugrahi gelar kekuasaan kepada Susuhunan Jati menjadi Panetep Panatagama rat Sunda i Bhumi Jawa Kulwan (Panetep Panatagama kawasan Sunda di Bumi Jawa Barat) berkedudukan di negeri Cirebon.


Karena tanpa persetujuan pemerintahan pusat (Pakuan Pajajaran), Sri Baduga Maharaja mengutus Tumenggung Jagabaya bersama pasukan pengawalnya, untuk menertibkan dan mengatasi keadaan di Cirebon.


Ketika Tumenggung Jagabaya beserta pasukan pengawalnya tiba di Cirebon, mereka disergap di Gunung Sembung oleh pasukan gabungan Cirebon-Demak yang dipimpin oleh Senapati Demak Fadhillah Khan. Tumenggung Jagabaya dan pasukan pengawalnya, akhirnya masuk agama Islam.


Karena Tumenggung Jagabaya serta pasukan pengawalny, lama tidak kembali ke Pakuan, Sri Baduga Maharaja segera mempersiapkan angkatan perang besar Kerajaan Sunda Pajajaran. Akan tetapi, niatnya untuk menyerang Pakungwati Cirebon, dapat dicegah oleh penasihatnya Ki Purwagalih.


Ki Purwagalih mengungatkan kepada Prabu Siliwangi, bahwa:
Syarif Hidayat, adalah cucunya sendiri dari Larasantang.
Syarif Hidayat, adalah menantu Walangsungsang, atas pernikahannya dengan Pakungwati.
Penobatan awal Syarif Hidayat, atas kehendak Pangeran Cakrabuana, puteranya sendiri.


"Betapa tidak terpujinya, Sang Kakek memerangi cucunya," Inilah yang dinasihatkan oleh Ki Purwagalih kepada Sri Baduga Maharaja.


Syekh Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayat, berpulang ke Rahmatullah pada tanggal 26 Rayagung tahun 891 Hijriah atau bertepatan dengan tahun 1568 Masehi. Tanggal Jawanya adalah 11 Krisnapaksa bulan Badramasa tahun 1491 Saka. Di makamkan di Cirebon tepatnya di Gunung Sembung/Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat pada usia 120 tahun.


Beliau mempunyai beberapa istri diantaranya:

Nyai Kawunganten puteri Sang Surasowan (Bupati Banten dari Pajajaran, yang berada di Banten Pesisir) atau adik Sang Surajaya, menikah sekitar pada tahun 1470-1480 Masehi dan berputera: Ratu Wulung Ayu/Ratu Winangon yang lahir tahun 1477 Masehi & Maulana Hasanuddin atau Pangeran Sabakinkin, lahir 1478 Masehi.
Dewi Pakungwati, puteri Walangsungsang (uwanya Syekh Syarif Hidayat) alias Ki Samadullah atau Ki Cakrabumi atau Haji Abdullah Iman atau Sri Mangana Pangeran Cakrabuana dengan Nyai Indang Geulis puteri Ki Danuwarsih.
Nyai Babadan berputra Pangeran Turusmi.
Syarifah Baghdad atau Syarifah Fatimah, puteri Syekh Datuk Kahfi dari istri bernama Khadijah, berputera: Pangeran Jaya Lelana/Pangeran Jaya Kelana – Lahir 1486 Masehi & Pangeran Bratakelana – Lahir 1490 Masehi.
Nyai Gedeng Tepasan berputra Pangeran Pasarean atau Pangeran Muhammad Arifin, Nyai Ratu Ayu – Lahir 1493 Masehi & Ratu Wanawati Raras – Lahir 1525 Masehi.
Tien Nio Ong/Ong Tien/Nyai Rara Sumanding mempunyai keturunan namun telah meninggal waktu bayi – Lahir 1498 Masehi.

Para Putera-puteri:

Ratu Ayu Pembayun bersuami Fadhilah Khan.
Pangeran Pasarean atau Pangeran Muhammad Arifin dari istri bernama Nyai Gedeng Tepasan, beristri dengan Ratu Nyawa atau Ratu Ayu Wulan, janda mendiang Pangeran Bratakelana, berputera Pangeran Suwarga.
Pangeran Jaya Lelana.
Maulana Hasanuddin.
Pangeran Bratakelana menikah dengan Ratu Nyawa (Ratu Ayu Wulan).
Ratu Winangon/Ratu Wulung Ayu.
Pangeran Turusmi.

Senin, 27 Januari 2014

Berikut ini daftar karya tulis Kiai Sahal Mahfudz




Ada kejadian menyentuh hati saat Rais Aam PBNU KH MA Sahal Mahfudh menghadapi sakaratul maut pada Kamis (23/1) hingga ajal menjemput pada Jumat dini hari.


Inilah Kesaksian "Merinding" Dokter yang Menunggui Kiai Sahal Menjelang Wafat


Dokter H Imron Rosyidi yang menungguinya mengaku baru kali ini merasa takut menunggui orang yang hendak meninggal. Ia bahkan sampai merinding dan bulu kuduknya berdiri. 

“Baru kali ini saya takut ketika menunggui orang yang mau meninggal. Bukan apa-apa, bacaan beliau yang jelas itulah yang membuat bulu kuduk saya berdiri. Terus terang, kalau ingat pengalaman tadi malam masih suka merinding,” ujar Imron berkaca-kaca.

Seperti dilansir NU Online, dalam keadaan mata terpejam, Mbah Sahal tiada henti melafalkan aneka macam doa, tahlil, hingga surat-surat pendek. Dari Kamis malam hingga Jum'at dini hari. Meski terdengar berat, bacaan ulama kharismatik ini terdengar jelas dan terang. 

Kiai Sahal lahir pada17 Desember 1937. Kiai yang sejak muda telah mengasuh Pondok Pesantren Mathali' ini merupakan salah satu tokoh NU berpengaruh, kerap terlibat dalam penyusunan dan penetapan penerapan hukum Islam baik klasik maupun kontemporer.

Buku (kumpulan makalah yang diterbitkan): 

1. Thariqatal-Hushul ila Ghayahal-Ushul, (Surabaya: Diantarna, 2000)
2. Pesantren Mencari Makna, (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999) 
3. Al-Bayan al-Mulamma' 'an Alfdz al-Lumd", (Semarang: Thoha Putra, 1999) Telaah Fikih Sosial, 
4. Dialog dengan KH. MA. Sahal Mahfudh, (Semarang: Suara Merdeka, 1997) Nuansa Fiqh Sosial (Yogyakarta: LKiS, 1994) 
5. Ensiklopedi Ijma' (terjemahan bersama KH. Mustofa Bisri dari kitab Mausu'ah al-Ij ma'). (Jakarta; Pustaka Firdaus, 1987). 
6. Al-Tsamarah al-Hajainiyah, I960 (Nurussalam, t.t) 
7. Luma' al-Hikmah ila Musalsalat al-Muhimmat, (Diktat Pesantren Maslakul Huda, Pati). 
8. Al-Faraid al-Ajibah, 1959 (Diktat Pesantren Maslakul Huda, Pati)

Risalah dan Makalah (tidak diterbitkan):

1. Tipologi Sumber Day a Manusia Jepara dalam Menghadapi AFTA 2003 (Workshop KKNINISNU Jepara, 29 Pebruari 2003). 
2. Strategi dan Pengembangan SDM bagi Institusi Non-Pemerintah, (Lokakarya Lakpesdam NU, Bogor, 18 April 2000). 
3. Mengubah Pemahaman atas Masyarakat: Meletakkan Paradigma Kebangsaan dalam Perspektif Sosial (Silarurahmi Pemda II Ulama dan Tokoh Masyarakat Purwodadi, 18 Maret 2000). 
4. Pokok-Pokok Pikiran tentang Militer dan Agama (Halaqah Nasional PB NU dan P3M, Malang, 18 April 2000) 
5. Prospek Sarjana Muslim Abad XXI, (Stadium General STAI al-Falah Assuniyah, Jember, 12 September 1998) 
6. Keluarga Maslahah dan Kehidupan Modern, (Seminar Sehari LKKNU, Evaluasi Kemitraan NU-BKKBN, Jakarta, 3 Juni 1998) 
7. Pendidikan Agama dan Pengaruhnya terhadap Penghayatan dan Pengamalan Budi Pekerti, (Sarasehan Peningkatan Moral Warga Negara Berdasarkan Pancasila BP7 Propinsi Jawa Tengah, 19 Juni 1997) 
8. Metode Pembinaan Aliran Sempalan dalam Islam, (Semarang, 11 Desember 1996) 
9. Perpustakaan dan Peningkatan SDM Menurut Visi Islam, (Seminar LP Ma'arif, Jepara, 14 Juli 1996)
10. Arah Pengembangan Ekonomi dalam Upaya Pemberdayaan Ekonomi Umat, (Seminar Sehari, Jember, 27 Desember 1995)
11. Pendidikan Pesantren sebagai Suatu Alternatif Pendidikan Nasional, (Seminar Nasional tentang Peranan 
12. Lembaga Pendidikan Islam dalam Peningkatan Kualitas SDM Pasca 50 tahun Indonesia Merdeka, Surabaya, 2 Juli 1995) 
13. Peningkatan Penyelenggaraan Ibadah Haji yang Berkualitas, (disampaikan dalam Diskusi Panel, Semarang, 27 Juni 1995) 
14. Pandangan Islam terhadap Wajib Belajar, (Penataran Sosialisasi Wajib belajar 9 Tahun, Semarang 10 Oktober 1994)
15. Perspektif dan Prospek Madrasah Diniyah, (Surabaya, 16 Mei 1994) 
16. Fiqh Sosial sebagai Alternatif Pemahaman Beragama Masyarakat, (disampaikan dalam kuliah umum IKAHA, Jombang, 28 Desember 1994) 
17. Reorientasi Pemahaman Fiqh, Menyikapi Pergeseran Perilaku Masyarakat, (disampaikan pada Diskusi Dosen Institut Hasyim Asy'ari, Jombang, 27 Desember 1994) 
18. Sebuah Releksi tentang Pesantren, (Pati, 21 Agustus 1993) 
19. Posisi Umat Islam Indonesia dalam Era Demokratisasi dari Sudut Kajian Politis, (Forum Silaturahmi PP Jateng, Semarang, 5 September 1992). 
20. Kepemimpinan Politik yang Berkeadilan dalam Islam, (Halaqah Fiqh Imaniyah, Yogyakarta, 3-5 Nopember 1992) 
21. Peran Ulama dan Pesantren dalam Upaya Peningkatan Derajat Kesehatan Umat, (Sarasehan Opening RSU Sultan Agung, Semarang, 26 Agustus 1992). 
22. Pandangan Islam Terhadap AIDS, (Seminar, Surabaya,1 Desember 1992)
23. Kata Pengantar dalam buku Quo Vadis NU karya Kacung Marijan, (Pati, 13 Pebruari 1992)
24. Peranan Agama dalam Pembinaan Gizi dan Kesehatan Keluarga, Pandangan dari Segi Posisi Tokoh Agama, Muallim, dan Pranata Agama, (Muzakarah Nasional, Bogor, 2 Desember 1991) 
25. Mempersiapkan Generasi Muda Islam Potensial, (Siaran Mimbar Agama Islam TVRI, Jakarta, 24 Oktober 1991) 
26. Moral dan Etika dalam Pembangunan, (Seminar Kodam IV, Semarang, 18-19 September 1991) 
27. Pluralitas Gerakan Islam dan Tantangan Indonesia Masa Depan, Perpsketif Sosial Ekonomi, (Seminar di Yogyakarta, 10 Maret 1991) 
28. Islam dan Politik, (Seminar, Kendal, 4 Maret 1989) 
29. Filosofi dan Strategi Pengembangan Masyarakat di Lingkungan NU, (disampaikan dalam Temu Wicara LSM, Kudus, 10 September 1989) 
30. Disiplin dan Ketahanan Nasional, Sebuah Tinjauan dari Ajaran Islam, (Forum MUIII, Kendal, 8 Oktober 1988) 
31. Relevansi Ulumuddiyanah di Pesantren dan Tantangan Masyarakat, (Mudzakarah, P3M, Mranggen, 19-21 September 1988) 
32. Prospek Pesantren dalam Pengembangan Science, (Refreshing Course KPM, Tambak Beras, Jombang 19 Januari 1988) 
33. Ajaran Aswaja dan Kaitannya dengan Sistem Masyarakat, (LKL GP Anshor dan Fatayat, Jepara 12-17 Februari 1988) 
34. AIDS dan Prostisusi dari Dimensi Agama Islam, (Seminar AIDS dan Prostitusi YAASKI, Yogyakarta, 21 Juni 1987) 
35. Sumbangan Wawasan tentang Madrasah dan Ma'arif, (Raker LP Ma'arif, Pati, 21 Desember 1986) 
36. Program KB dan Ulama, (Pati, 27 Oktober 1986) 
37. Hismawati dan Taman Gizi, (Sarasehan gizi antar santriwati, 
38. Administrasi Pembukuan Keuangan Menurut Pandangan Islam, (Latihan Administrasi Pembukuan dan Keuangan bagi TPM, Pan, 8 April 1986) 
39. Pendekatan Pola Pesantren sebagai Salah Satu Alternatif membudayakan NKKBS, (Rapat Konsultasi Nasional Bidang, KB, Jakarta, 23-27 Januari 1984) 
40. Pelaksanaan Pendidikan Kependudukan di Pesantren, (Lokakarya Pendidikan Kependudukan di Pesantren, (Jakarta, 6-8 Januari 1983) 
41. Tanggapan atas Pokok-Pokok Pikiran Pembaharuan Pendidikan Nasional, (27 Nopember 1979) 
42. Peningkatan Sosial Amaliah Islam, (Pekan Orientasi Ulama Khotib, Pati, 21-23 Pebruari 1977) 
43. Intifah al-Wajadain, (Risalah tidak diterbitkan) 
44. Wasmah al-Sibydn ild I'tiqdd ma' da al-Rahman, (Risalah tidak diterbitkan) 
45. I'dnah al-Ashhdb, 1961 (Risalah tidak diterbitkan) 
46. Faid al-Hija syarah Nail al-Raja dan Nazhdm Safinah al-Naja, 1961 (Risalah tidak diterbitkan) Al-Tarjamah al-Munbalijah 'an Qasiidah al-Munfarijah, (Risalah tidak diterbitkan)

[AM/NU/SantriPegon]

Minggu, 19 Januari 2014

Akhirnya, Salafi pun Bolehkan Pemilu



Perubahan pemikiran yang dianut komunitas Muslim yang menyatakan diri mereka sebagai pengikut salaf atau Salafi, semakin mencolok pasca terjadinya “revolusi Mesir”. Bukan hanya mengoreksi ulang pendapat mereka mengenai demonstrasi dan menyampaikan kritik secara terang-terangan kepada penguasa (baca artikel sebelumnya, Tatkala Salafi Memilih Berdemonstrasi), namun pendapat fiqih yang berkenaan dengan masalah pemilu juga tudak luput dari koreksi.

Pada hari Jumat (18/2), sebagaimana dilansir oleh situs berita lokal Mesir, Al Yaum As Sabi’ (19/2), komunitas ini melaksanakan muktamar di Manshurah, Mesir. Awalnya muktamar ini merupakan bentuk dukungan agar UU Pasal 2, yang menyatakan bahwa syari’at adalah sumber hukum Mesir, agar tidak diutak-atik. Namun pembicaraan juga berisi seruan untuk meninjau ulang pandangan mengenai pemilu.

Syeikh Muhammad Hasan selaku salah satu pembicara menyatakan,”Saya meminta kepada para syeikh kita untuk meninjau kembali, terhadap hal-hal yang telah diterima pada tahun-tahun sebelumnya, seperti masalah pencalonan dalam parlemen dan syura, serta (pencalonan) presiden dan pemerintahan. Saya meminta kepada para syeikh kita untuk berkumpul untuk mengurai masalah ini, agar para pemuda kita terhindar dari fitnah dan bercerai berai.”

Sepertinya, usulan Syeikh Muhammad Hasan kepada para tokoh Salafi untuk mengoreksi ulang pendapat mengenai hukum mengikuti pemilu, mendapatkan sambutan. Syeikh Ahmad Farid, yang juga salah satu tokoh komunitas Salafi Iskandariyah juga menyatakan bahwa pembentukan partai politik masih merupakan kemungkinan-kemungkinan. Demikian dikutip Al Mafkarah (6/3), dari Koran As Syuruq. Hal ini menunjukkan tekad komunitas ini berpartisipasi dalam pemilu.

Respon terhadap usulan itu semakin besar dengan berkumpulnya para tokoh Salafi yang tergabung dalam jama’ah Anshar As Sunnah Al Muhammadiyah untuk membahas hukum berpartisipasi dalam pemilu. Akhirnya, pada tanggal 12 Maret 2011 Anshar As Sunnah Al Muhammadiyah Pusat secara resmi mengumumkan pandangan mereka dalam situs resminya, elsunna.com. Salah satu poin dari keputusan menyebutkan,”Kami tidak melihat adanya larangan syar’i untuk berpartisipasi dalam perpolitikan, baik di parlemen, syura, serta parlemen lokal, karena hal itu merupakan wasilah dakwah kepada masyarakat umum.”

Demikian juga, mereka menyarankan agar para dai tidak mencalonkan diri, hingga menyebabkan aktivitas dakwah terganggu. Disamping itu, himbauan ditujukan kepada umat Islam agar dalam pemilu penentuan presiden, mereka memilih calon yang paling memiliki perhatian kepada urusan umat Islam. Keputusan ini hasil dari musyawarah Ahli Syura jama’ah ini, diantaranya adalah Dr. Abdullah Syakir, Syeikh Muhammad Husein Ya’kub, Syeikh Muhammad Hasan, Dr. Jamal Al Murakibi, Syeikh Musthafa Al Adawi, Syeikh Abu Bakr Al Hanbali, Syeikh Wahid Abdussalam Bali, serta Syeikh Jamal Abdurrahman.

Menurut sebagian komunitas Salafi, mereka ikut pemilu agar jangan sampai posisi penting diduduki ahlul bid’ah yang bisa mengancam Ahlu Sunnah.

Sebelum diturunkannya berita mengenai bolehnya mengikuti pemilu oleh dua tokoh Salafi Yordan, Masyhur Hasan Salman dan Ali Al Halabi, oleh Al Jazeera, beberapa komunitas yang juga mengaku sebagai Salafi telah memilih berpartisipasi dalam pemilu, dan mencalonkan diri sebagai anggota perlemen, walau sebelumnya mereka menolak.
Adalah Tajammu Al Islami As Salafi, komunitas Salafi Kuwait, telah memilih bergabung dalam parlemen. Sebelumnya, komunitas Salafi Kuwait yang saat itu diwakili oleh Jama ah Ihya At Turats menolak mengikuti pemilu pada tahun 1981, dengan alasan bahwa parlemen tidak berhak membuat hukum. Hanya Allah lah yang menentukan hukum, namun setelah itu mereka memilih masuk perlemen sebagaimana tercatat dalam profil peserta pemilu Kuwait yang dipublikasikan oleh koran Al Qabas (11/4/2009).

Akan tetapi, Khalid Sulthan, salah satu anggota parlemen dari At Tajammu` menyatakan bahwa organisasi itu bukan sayap politik Ihya At Turats. Namun, menurutnya, kedua-duanya adalah Salafi yang tidak bertentangan satu sama lain, sebagaimana dipublikasikan dalam situs resminya, alislami.org.

Masih menurut koran Al Qabas, salah satu pijakan yang digunakan oleh komunitas ini dalam mengikuti pemilu adalah fatwa yang menyatakan bolehnya mengikuti pemilu. Menurut fatwa itu, dengan mengikuti pemilu, beberapa posisi penting tidak diduduki oleh orang-orang yang tidak benar dan ahlul bid ah, di mana mereka bisa memaksakan kekuasaan kepada ahli Sunnah dan pihak-pihak yang melakukan perbaikan. Hal ini adalah ancaman yang membahayakan orang-orang baik.

Sebagaimana ditulis dalam situs resminya, alislami.org, organisasi ini bercita-cita mewujudkan perbaikan dalam masyarakat Kuwait, dengan Al Qur`an dan As Sunnah sesuai dengan manhaj salaf as shalih. Dalam pemilu tahun 2008 Tajammu Al Islami As Salafi tercatat memperoleh 4 kursi di parlemen Kuwait.

Selain, At Tajammu , komunitas Salafi di Bahrain, Jam iyah Al Ashalah Al Islamiah, juga mendirikan organisasi politik yang dipimpin oleh Syaikh Adil Al Mu awidah, seorang tokoh Salafi. (sumber: Hidayatullah.com)

Dianut Tokoh Salafi Yordan

Sebenarnya, pendapat bolehnya mengikuti pemilu bukan hanya pandangan sejumlah tokoh Salafi Mesir pasca revolusi saja. Sebelumnya beberapa tokoh Salafi di luar Mesir juga telah meninjau ulang pendapat yang mereka anut mengenai pemilu. Dua tokoh Salafi Yordan yang saat ini masih dijadikan rujukan sebagian komunitas Salafi Indonenesia, yakni Syeikh Ali Al Halabi dan Syeikh Masyhur Hasan Ali Salman telah menyatakan bahwa berpartisipasi dalam pemilu merupakan hal yang dibolehkan, sebagaimana dilansir Al Jazeera (26/10).

“Sesungguhnya Salafiyin tidak mendukung pencalonan untuk Pemilu, namun mereka memandang bahwa memilih siapa yang lebih utama dan lebih baik serta paling banyak positifnya dan paling minim negatifnya untuk maslahat umum adalah hal yang diperbolehkan.” Kata Syeikh Ali Hasan kepada Al Jazeera.

Masih menurut Syeikh Al Halabi, “Syeikh Al Albani juga memiliki pendapat membolehkan berpertisipasi dalam Pemilu, di saat itu beberapa muridnya menyeselisihi dengan dengan menggunakan adab.Hari ini, sebagai dampak dari perkembangan pemikiran dan memandang sebagai maslahat umum, kami kembali kepada pendapat Syeikh Al Albani, tentang bolehnya mengikuti pemilu parlemen.” Ungkap Al Halabi

Demikian pula Syeikh Masyhur Hasan Ali Salman menyatakan, “Pemerintah telah meminta kepada kalian untuk mengikuti Pemilu, dan hal itu bukanlah keharaman. Janganlah kalian melakukan pemboikotan. Pemboikotan bukanlah ibadah. Adalah orang yang salah jika ia berfikir melakukan ibadah kepada Allah dengan melakukan pemboikotan”

Namun, perubahan pendapat beberapa tokoh Salafi Mesir dan Yordan masih terhitung “lambat” dibanding saudara-saudara mereka di Kuwait dan Bahrain. Di KuwaitAt Tajammu’ As Islami As Salafi telah bergabung dengan parlemen. Sebelumnya, tahun 1981 komunitas Salafi yang saat itu diwakili Ihya’ At Turats memboikot pemilu, namun setelah itu mereka bergabung dalam parlemen.

Walau dalam situs resminya ( alislami.org), Khalid Sulthan, salah satu anggota parlemen dari At Tajammu` menyatakan bahwa organisasi itu bukan sayap politik Ihya At Turats. Namun, menurutnya, kedua-duanya adalah Salafi yang tidak bertentangan satu sama lain.

Sedangkan di Bahrain, komunitas Salafi juga sudah bergabung dengan parlemen. Di bawah komando Syeikh Adil Al Mua’wwidah, pada 6 Mei 2002, didirikanlah Al Ashalah Al Islamiyah, organisasi politik yang pada pemilu tahun 2010 lalu memperolah 4 kursi.

Berhadapan dengan Realita

Yang dialami Salafi sebenarnya pernah juga dialami oleh Al Ikhwan Al Muslimun di masa awal, dimana akhirnya mereka terjun ke wilayah politik walau sebelumnya menolak. Keputusan itu diambil ketika idealisme yang mereka miliki terpaksa harus berhadapan dengan realita, seperti dikatakan oleh pengamat gerakan Salafi Timur Tengah, Bassam Nashir, sebagaimana dikutip Al Jazeera (26/10)

Syeikh Al Qaradhawi sendiri, sebagaimana dilansir situs resmi beliau, qaradawi.net (22/12), juga pernah menyinggung mengenai perubahan pendangan fiqih komunitas Salafi, khususnya dalam masalah pemilu.

Beliau memandang perubahan ini terjadi karena beberapa faktor,”Tidak diragukan lagi, bahwa realitalah yang mengharuskan mereka berubah. Termasuk di dalamnya, karena persinggungan dengan dunia luar dan keluarnya mereka ke nagara-negara di dunia, setelah sebelumnya banyak dari mereka tidak keluar dari negara-negara mereka, yang menyebabkan tidak adanya perubahan dan pemikiran menuju perubahan.”

Beliau melanjutkan,“Ketika Salafi keluar dan berbaur dengan berbagai bangsa, ia akan mengitropeksi diri. Sebagaima ada yang memperluas bacaannya dan menelaah kitab-kitab yang tidak sempat ditelaah sebelumnya. Manusia bukanlah batu, ada hal-hal yang bisa memberi bekas kepada peribadi seseorang.”

Walhasil, pasca jatuhnya Mubarak, semakin banyak barisan tokoh-tokoh Salafi yang akhirnya setuju dengan pemilu. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa ada juga sebagian tokoh komunitas ini yang masih memandang bahwa berpartisipasi dalam pemilu merupakan perkara yang diharamkan. (sumber: Hidayatullah.com)

Sabtu, 18 Januari 2014

Doa perlindungan dari bencana yang datang bertubi-tubi




Sesuai namanya, bulan Januari tahun ini benar-benar menjadi bulan “hujan sehari-hari”. Hujan lebat dalam waktu berjam-jam telah mengguyur sebagian besar wilayah negeri ini. Di ibukota Jakarta, hujan telah mengakibatkan banjir yang merendam banyak wilayah. Sarana transportasi dan kegiatan warga banyak yang lumpuh total oleh banjir dan genangan air yang bertahan selama berhari-hari.

Beberapa jalur transportasi kereta api, bis dan angkot lumpuh karena banjir. Pasar tradisional, pabrik, sekolah dan perkantoran tak bisa melangsungkan aktivitasnya karena sebab serupa. Beberapa orang dilaporkan meninggal terseret banjir, sementara puluhan ribu warga lainnya harus dievakuasi. Masyarakat Transportasi Nasional pada Kamis (17/1/2013) memperkirakan kerugian akibat lumpuhnya kegiatan ekonomi di Jakarta mencapai dua miliar rupiah per jam. Sebuah angka yang sangat tinggi.

Selain berusaha maksimal untuk menanggulangi dampak lanjutan dari bencana banjir yang saat ini melanda, tiada yang bisa kita lakukan selain memperbanyak doa kepada Allah Ta’ala. Kita harus senantiasa berdoa kepada-Nya semoga bencana banjir ini tidak bertambah parah. Semoga Allah memberikan kesabaran dan ketegaran kepada kita untuk menjalani musibah ini.

Salah satu doa yang selayaknya kita sering baca dalam kondisi saat ini adalah doa berikut ini:

اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ جَهْدِ البَلاَءِ، وَدَرَكِ الشَّقَاءِ، وَسُوءِ القَضَاءِ، وَشَمَاتَةِ الأَعْدَاءِ

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari musibah yang tidak kuat aku tanggung, sebab-sebab datangnya kebinasaan, takdir yang membawa akibat buruk dan kegembiraan musuh atas penderitaanku.”

Doa ini berasal dari sebuah hadits yang shahih berikut ini: 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: «كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَعَوَّذُ مِنْ جَهْدِ البَلاَءِ، وَدَرَكِ الشَّقَاءِ، وَسُوءِ القَضَاءِ، وَشَمَاتَةِ الأَعْدَاءِ»

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam berlindung (kepada Allah Ta’ala) dari musibah yang tidak kuat ditanggung, sebab-sebab datangnya kebinasaan, takdir yang membawa akibat buruk dan kegembiraan musuh.” (HR. Bukhari no. 6347 dan Muslim no. 2707)

Syaikh Muhammad Fuad Abdul Baqi rahimahullah dalam catatan kakinya atas Shahih Muslim memberikan penjelasan atas makna hadits di atas sebagai berikut:

جَهْدِ البَلاَءِ : Musibah atau kesulitan yang manusia tidak mampu menanggungnya dan ia tidak mampu menolaknya dari dirinya sendiri.

دَرَكِ الشَّقَاءِ : Tertimpa penderitaan dan kesulitan serta terjadinya sebab-sebab kebinasaan.

سُوءِ القَضَاءِ : Takdir yang telah ditetapkan Allah yang tidak disenangi oleh manusia.

شَمَاتَةِ الأَعْدَاءِ : Musuh gembira atas penderitaan yang menimpa kita atau musuh sedih atas kegembiraan yang kita rasakan.

Wallahu a’lam bish-shawab.


Doa kesucian jiwa dan perlindungan dari empat bencana

Zaid bin Al-Arqam radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku tidak mengatakan kepada kalian kecuali sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa salam. Beliau berdoa:


«اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ، وَالْكَسَلِ، وَالْجُبْنِ، وَالْبُخْلِ، وَالْهَرَمِ، وَعَذَابِ، الْقَبْرِ اللهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا، وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا، اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لَا يَنْفَعُ، وَمِنْ قَلْبٍ لَا يَخْشَعُ، وَمِنْ نَفْسٍ لَا تَشْبَعُ، وَمِنْ دَعْوَةٍ لَا يُسْتَجَابُ لَهَا»

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan, kepengecutan dan kekikiran, usia jompo dan azab kubur.

Ya Allah, berikanlah ketakwaan kepada jiwaku, sucikanlah jiwaku, karena Engkaulah sebaik-baik yang menyucikan jiwa, Engkaulah Yang Menguasai dan melindungi jiwa.

Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyu’, hawa nafsu yang tidak pernah puas dan doa yang tidak dikabulkan.”(HR. Muslim no. 2722)

Doa yang agung ini biasa dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam. Meski ringkas, doa ini telah mencakup perlindungan dari semua bentuk musibah dan kerusakan:

1. Perlindungan dari kelemahan dan kemalasan. Kelemahan adalah tiadanya kemampuan fisik untuk melakukan hal yang bermanfaat atau menjauhi hal yang membawa bahaya. Kemalasan adalah kelemahan tekad dan semangat untuk melakukan hal yang bermanfaat atau menjauhi hal yang membawa bahaya.

2. Perlindungan dari kepengecutan dan kekikiran. Kepengecutan adalah rasa takut dan keenganan seseorang untuk mengorbankan jiwanya demi memperjuangkan agama Allah. Adapun kekikiran adalah keenganan seseorang untuk mengorbankan sebagian hartanya demi mempejuangkan agama Allah.

3. Perlindungan dari usia jompo dan azab kubur. Dalam usia jompo, seseorang begitu lemah, tak berdaya dan terkadang pikun. Hal itu lebih buruk lagi jika tidak diisi dengan amal ketaatan, sehingga berakhir dengan su-ul khatimah dan azab di alam kubur.

4. Ya Allah, berikanlah ketakwaan kepada jiwaku, sucikanlah jiwaku, karena Engkaulah sebaik-baik yang menyucikan jiwa, Engkaulah Yang Menguasai dan melindungi jiwa. Ini merupakan permohonan kepada Allah Sang Penguasa dan Pemilik hati atau jiwa, Yang membolak-balikkan hati atau jiwa manusia. Ini merupakan permohonan agar Allah memberikan jiwa kita kecenderungan untuk menempuh jalan ketakwaan dan pensucian diri, dijauhkan dari jalan kemaksiatan dan penistaan diri.

6. Perlindungan dari ilmu yang tidak bermanfaat, yaitu ilmu yang tidak membawa manfaat di dunia maupun akhirat. Itulah ilmu berbahaya yang dilarang untuk dipelajari oleh syariat Islam seperti ilmu sihir, atau ilmu yang diperintahkan untuk dipelajari oleh syariat Islam namun tidak diamalkan oleh orang yang telah mengetahuinya, sehingga ilmu tersebut tidak memperbaiki ucapan, perbuatan dan jiwa orang tersebut ke arah ketakwaan.

7. Perlindungan dari hati yang tidak khusyu’.

8. Perlindungan dari jiwa atau hawa nafsu yang tidak pernah puas. Hati yang tidak pernah puas dengan karunia Allah akan senantiasa dipenuhi oleh keluh kesah, ketamakan dan kecintaan yang berlebihan kepada kenikmatan dunia.

9. Perlindungan dari doa yang tidak dikabulkan. Ada banyak sebab sebuah dosa tidak dikabulkan oleh Allah. Misalnya, makanan atau minuman atau pakaian yang berasal dari harta yang haram. Wallahu a’lam bish-shawab.

Sumber: Muhib almajdi/arrahmah.com

Sabtu, 11 Januari 2014

Burung Beo yang berzikir




lkisah di sebuah pesantren, Seorang Ustadz memiliki burung sejenis Beo yang terlatih untuk berdzikir seperti : Assalamu'alaikum, Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar, dan lainnya

Suatu hari, pintu kurungan terbuka & burung itu terbang bebas. Sontak para santri mengejar burung milik guru mereka, sementara si burung terbang tidak terkontrol dan tertabrak kendaraan yang melintas dengan kencang hingga terkapar sekarat lalu meninggal

Sang Ustadz terlihat berbeda usai burungnya mati, nampak sekali sedih hingga seminggu lamanya. Para santri yang melihatnya pun mengira Ustadz nya bersedih karena burungnya mati, mereka berkata:

"Ustadz, jika hanya burung yang membuat ustadz sedih, kami sanggup menggantinya dengan yang bisa berdzikir juga. Tak perlu ustadz bermurung hingga sedemikian lamanya!"Sang Ustadz menjawab: 

"Aku bukan bersedih karena burung itu."

Para Santri: "Lantas kenapa ustadz?"

Sang Ustadz: "Kalian melihat bagaimana burung itu sekarat setelah tertabrak?"

Para Santri: "Ya, kami melihatnya."

Sang Ustadz: "Burung itu hanya bersuara KKKKAAKK, KKKKHHEEK, KKKKAAKK, KKKKHHEEK,,, padahal sudah terlatih berdzikir sedemikian rupa, namun saat merasakan PERIHNYA sakaratul maut menjemput, hanya perih yang terasa.Lalu aku teringat diriku, yang setiap hari terbiasa berdzikir, 

JANGAN-JANGAN NASIBKU SAMA SEPERTI BURUNG ITU, TAK KUAT MENAHAN SAKARAT LALU BUKAN DZIKIR YANG KUUCAPKAN.

Padahal burung itu tidak diganggu setan saat sakaratul maut, sedangkan manusia diganggu setan saat sakaratul maut. Tidak ada yang tahu bagaimana keadaan kita mati, husnul khotimah ataukah su'ul khotimah?"

Para Santri pun terdiam dan membenarkan Sang Ustadz, dan mereka pun ikut murung memikirkan hal yang serupa dengan Ustadz-nya.:Lalu bagaimana keadaan kita saat menjemput sakaratul maut nanti ?

SUBHANALLAH

Sabda Nabi SAW, Ilmu itu milik Allah, barangsiapa menyebarkan ilmu demi kebaikkan Insya Allah, Allah akan menggandakan,aamiin..

Sumber : http://www.resepkuekering.net

Selasa, 07 Januari 2014

Sabar dan Tsabat dalam Menghadapi Rintangan Dakwah


Dalam kehidupan sehari-hari, banyak kita dapati kejadian yang membutuhkan kesabaran. Sebab, hidup itu sendiri, memang, merupakan perjuangan yang tidak lepas dari segala macam tantangan. Dan sikap yang terbaik untuk menghadapinya adalah bersabar dan tidak gegabah.


Sabar atau tsabat timbul karena adanya tantangan. Sejauh seseorang dapat bersabar, sejauh itu pula ia berhasil menghadapi suatu tantangan. Dengan kata lain,kesabaran adalah buah kemenangan yang dicapai oleh seseorang dalam bertempur menghadapi tantangan. Hal ini sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW, bahwa orang yang kuat adalah orang yang dapat menundukkan dirinya ketika ia hendak marah, mampu bersabar mengekang hawa nafsunya.


Manusia yang diciptakan Allah SWT di muka bumi ini sejak dari Nabi Adam AS telah dipertemukan oleh Allah dengan pokok tantangan yaitu syaitan, yang juga sebagai musuh utama manusia. Hal demikian dimaksudkan oleh Allah untuk memilih dari seluruh menusia yang diciptakan-Nya, manusia-manusia yang akan menjadi khalifah-Nya di muka bumi.


Tugas khalifah, tugas untuk memimpin dan mengatur dunia, inilah yang dibebankan oleh Allah SWT kepada manusia. Karena tugas khalifah di muka bumi ini merupakan tugas yang berat dan besar maka Allah SWT menghendaki khalifah-Nya yang mengemban tugas tersebut adalah mereka yang mampu menghadapi tantangan-tantangannya dan mampu bertahan, sabar, dan tetap berpegang teguh pada tali-tali ajaran-Nya.


Sabar adalah ekhususan manusia.


Telah disebut di muka bahwa sabar atau tsabat timbul karena adanya tantangan. Dan timbulnya tantangan karena adanya suatu kekuatan dan kehendak yang kebanyakan saling berbeda. Maka, suatu hal yang janggal apabila dikatakan bahwa seekor lalat sangat sabar, atau seekor kerbau sangat tabah dan sabar tatkala datang musim kering sehingga tidak ada suatu rumput pun yang tumbuh, umpamanya.


Yang demikian itu karena lalat dan kerbau itu mempunyai banyak kekurangan. Keduanya tidak mempunyai akal untuk berfikir dan memberikan pertimbangan-pertimbangan mengatakan kelaparan. Segala yang mereka perbuat hanya berdasarkan syahwat hayawaniyah dan karena insting semata.


Juga suatu hal yang sulit diterima, apabila dikatakan bahwa para malaikat itu sabar dan tabah. Sebab, para malaikat diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk yang selalu taat dan patuh manjalankan perintah-perintah-Nya dan tidak pernah berbuat maksiat sekalipun.


Para malaikat tersebut tidak dikuasai oleh syahwatnya yang akan membelokkannya dari kepatuhan dan taatnya kepada Allah SWT sehingga terjadi pergolakan dalam diri para malaikat. Atau, menimbulkan adanya tantangan bagi para malaikat dan menuntut untuk bersabar menghadapinya. Tidak demikian halnya karena yang ada pada para malaikat tersebut hanyalah satu hal, yaitu kepatuhan dan tidak maksiat.


Dengan demikian, maka kesabaran ini menjadi kekhususan bagi manusia saja. Sebab, dalam diri manusia selalu terjadi dua hal yang saling bertolak belakang. Manusia telah dibekali dengan setumpuk petunjuk Allah untuk menghadapi segala macam tantangan, mulai dari petunjuk instink, panca indera, akal, sampai kepada agama--petunjuk yang paling sempurna. Tetapi, Allah tidak membiarkan manusia begitu saja menggunakan petunjuk-petunjuk-Nya tadi. Allah SWT masih akan mengujinya dengan berbagai macam bentuk ujian.


Allah berfirman, “Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan, “kami telah beriman “ sedang mereka tidak diuji lagi, dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang belum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang dusta.”


Syaitan sebagai musuh bebuyutan manusia selalu menggodanya melalui nafsunya, akalnya, bahkan agamanya sekalipun. Di sinilah terjadinya tantangan dan pergolakan dalam diri manusia. Hanya manusia-manusia yang tetap tegak, tsabatdan istiqamah dalam garis-garis Allah SWT yang akan memperoleh kemenangan.





Rasulullah SAW dan para sahabatnya adalah contoh konkret.


Pada dasarnya risalah yang dibawa oleh Rasulullah SAW dan para nabi sebelumnya adalah sesuai dengan fitrah manusia. Hal demikian menghendaki risalah yang dibebani oleh Allah SWT kepada Rasulullah SAW, akan diterima dengan mudah oleh umat manusia. Memang demikianlah halnya bagi orang-orang yang suci hatinya. Bersih dari penyakit kekufuran, kedengkian dan kebancian.


Dengan segala lapang dada mereka menerima risalah yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Hal ini bisa dilihat pada orang-orang terdekatnya, Khodijah binti Khuwailid, Abu Bakar Shiddiq, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Saad bin Abi Waqqas, dan lainnya. Tetapi, sunnatullah dalam berdakwah, menyiarkan kebenaran, menunjukan kenyataan lain.


Ketikan Rasulullah mulai bergerak menyiarkan dakwahnya secara terang-terangan di bukit Shofa, justru tantangan pertama kali datang dari paman beliau, Abu Jahal yang mengatakan kepada Rasulullah: “Celakalah engkau wahai Muhammad, hanya untuk inikah kiranya engkau mengumpulkan kami.”


Tantangan yang dihadapi oleh Rasulullah SAW tidak berhenti sampai disitu. Orang-orang Quraisy mengingkari dakwah Rasulullah SAW dengan dalih bahwa mereka tidak bisa meninggalkan agama warisan nenek moyang mereka yang telah mendarah daging. Semakin lama Rasulullah SAW menyiarkan risalahnya dan semakin tampak cahaya benderang, semakin gencar pula tantangan yang dihadapinya. Para sahabat beliau pun tidak luput dari gangguan orang musyrikin Quraisy.


Satu contoh ketabahan dan tsabat, dapat kita temui pada Rasulullah SAW. Pada suatu ketika Rasulullah SAW sedang berjalan di sebuah lorong kota Mekkah. Datanglah ejekan, bahkan penghinaan dari beberapa orang.


Mereka menaburkan pasir di atas kepala Rasulullah SAW. Beliau meneruskan perjalanan sampai kembali ke rumahnya dan kepala Rasulullah SAW masih kotor dengan pasir. Melihat demikian, salah seorang putri Rasulullah beranjak hendak membersihkan pasir tersebut sambil menangis. Dengan penuh ketabahan Rasulullah SAW berkata kepada putrinya, “Wahai putriku, janganlah engkau menangis, karena sesungguhnya Allah yang akan melindungi bapakmu.”


Disamping Rasulullah sabar menghadapi segala cobaan ujian dan penganiyaan, beliau juga tetap tsabat, terus menekuni tugas sucinya (menyampaikan risalah) dengan berbagai macam usaha. Berdakwah siang dan malam, baik secara sembunyi dan terang-terangan, mendatangi para kaum ke tempat-temapat perkumpulan mereka.


Pada setiap musim haji Rasulullah SAW secara aktif menyampaikan kegiatan dakwahnya, menyampaikan kalimat Allah SWT yang haq kepada setiap orang yag ditemuinya, besar-kecil, kaya-miskin, hamba sahaya dan orang merdeka, mengajak mereka untuk menjadi pembela ajarannya, dan bagi mereka yang mau mengikuti Rasulullah SAW dijanjikan belasan syurga


Setiap Rasulullah SAW berhadapan dengan tantangan dakwah, beliau selalu menunjukkan sikapnya yang tetap tabah dan tsabat. Orang-orang Quraisy telah melakukan segala cara menghalangi dakwah Rasulullah SAW, tetapi semuanya tidak menunjukan hasil yang mereka inginkan, semuanya berakhir dengan sia-sia. Suatu ketika mereka hendak membujuk Rasulullah SAW datang kepada paman beliau, Abu Thalib. Mereka meminta tolong agar Abu Thalib bisa mempengaruhi Rasulullah SAW untuk meninggalkan dakwahnya. Rasulullah SAW menjawab dengan tegas.


Ketegaran dan ketabahan Rasulullah SAW dalam menghadapi segala tantangan dakwah ini, tercermin pula pada diri para sahabatnya. Bilal bin Rabah, diterlentangkan di bawah terik sinar matahari dan perutnya ditimbun dengan batu yang besar, dipaksa disuruh menyembah Latta dan Uzza dan meninggalkan ajaran Muhammad. Bilal menolak, dan tetap mengatakan, ”ahad, ahad” isyarat bahwa ia enggan menyembah, kecuali Tuhan yang satu/tunggal.


Ammar bin Yasir dan keluarganya disiksa kaum musyrikin di tengah padang pasir yang sangat panas. Ketika Rasulullah SAW mendapati mereka, beliau berkata, “Bersabarlah wahai keluarga Yasir.” Samiyyah yang dibunuh oleh Abu Jahal karena menolak segala permintaannya, kecuali satu, yaitu Islam.


Sebenarnya, para musuh dakwah tersebut tidak mengingkari akan kebenaran ajaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Akan tetapi, karena adanya rasa dengki dan hasad dalam hati mereka dengan segala cara berusaha menghalangi perjalanan dakwah beliau.


Sabar dan tsabat mutlak diperlukan dalam dakwah.


Kehidupan dunia yang sangat kompleks dan sarat dengan berbagi ragam keadaan, membuat manusia tidak pernah sepi dari kemungkinan adanya bencana yang akan menimpanya. Berapa banyak manusia yang kandas cita-citanya, terserang penyakit, kehilangan harta, dan seterusnya. Ini merupakan sunnatullah di dunia yang penuh keanekaragaman


Kalaulah sunnatullah dalam kehidupan dunia dan pada diri manusia menghendaki demikian. Maka para pengemban dakwah akan lebih besar kemungkinannya untuk tertimpa kesusahan. Mereka adalah orang-orang yang mengajak kepada ajaran Allah SWT. Dalam waktu yang sama mereka akan mendapatakan perlawanan dari kaum thaghut.


Mereka mengajak kepada kebenaran, maka musuhnya adalah orang-orang yang mengajak berbuat batil. Ketika mereka menyuruh kepada hal-hal yag ma’ruf, mereka akan berhadapan dengan penyeru kemungkaran. Sunnatullah menghendaki terciptanya Adam dengan Iblis, Nabi Ibrahim dan raja Namrud, Musa dan Fir’aun, Muhammad SAW dan Abu Jahal. Allah menegaskan dalam firmannya, “Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap Nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan dari jenis manusia, dan dari jenis jin, sebagai mereka membisikan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan indah untuk menipu.” (Q.S. 6/Al-An’am: 112)


Begitulah keadaan para nabi, para pewarisnya, dan siapa saja yang berdakwah di jalan-Nya. Namun, orang-orang mukmin yang yakin dan mengetahui umurnya di dunia sangat pendek, yang menyadari sunnatullah pada para rasul dan nabi serta para pengemban dakwah yang mengikuti jalan-Nya, merekalah orang-orang yang akan sabar menghadapi cobaan, tabah menerima ujian. Seperti disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.


Mereka yakin sepenuhnya bahwa segala apa yang menimpanya adalah sesuai dengan kadar yang telah tercatat. Segala cobaan yang menimpanya mereka pandang sebagai pelajaran yang berharga, pendidikan yang akan membuat jiwa dan keimanan semakin matang Walhasil, ketika mereka baru keluar dari penjara, umpamanya, bagaikan emas yang baru disepuh.


Maka hendaknya demikianlah halnya para pengemban dakwah, tidak akan pernah putus asa dan kehilangan harapan. Di dalam dirinya tertanam akidah yang kuat dan sejuta simpanan sebagai bekal dakwah dan senjata untuk menghadapi pergolakan hidup yang penuh tantangan. Wallahu a’lam bishshawab.

http://syahydra.blogspot.com/2008/02/sabar-dan-tsabat-dalam-menghadapi.html