.

Selasa, 26 Januari 2016

Apakah Sholat Tahajud harus Tidur Dulu?


Pertanyaan:

Ass. Apakah bisa sholat tahajud tanpa harus tidur terlebih dahulu. Karna saya insomnia.

Dari: Ricky Gery

Jawaban:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Pertama, ada dua istilah umum untuk menyebut kegiatan ibadah di malam hari,
Qiyam Lail
Tahajud

Para ulama menegaskan, qiyam lail lebih umum dari pada tahajud. Karena qiyam lail mencakup semua kegiatan ibadah di malam hari, baik berupa shalat, membaca Al-Quran, belajar mengkaji ilmu agama, atau dzikir. Selama ketaatan itu dilakukan di malam hari, sehingga menyita waktu istirahatnya, bisa disebut qiyam lail. Baik dilakukan sebelum tidur maupun sesudah tidur.

Dalam Maraqi Al-Falah dinyatakan,

معنى القيام أن يكون مشتغلا معظم الليل بطاعة , وقيل : ساعة منه , يقرأ القرآن أو يسمع الحديث أو يسبح أو يصلي على النبي صلى الله عليه وسلم

Makna Qiyam lail adalah seseorang sibuk melakukan ketaatan pada sebagian besar waktu malam. Ada yang mengatakan, boleh beberapa saat di waktu malam. Baik membaca Al-Quran, mendengar hadis, bertasbih, atau membaca shalawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 34/117).

Sementara tahajud hanya khusus untuk ibadah berupa sholat. Sementara ibadah lainnya, selain shalat, tidak disebut tahajud.

Kedua, apakah harus tidur dulu?

Ulama berbeda pendapat tentang syarat bisa disebut sholat tahajud, apakah harus tidur dulu ataukah tidak.

1. Tahajud harus tidur dulu

Ini merupakan pendapat Ar-Rafi’i – ulama madzhab Syafii –. Dalam bukunya As-Syarhul Kabir, beliau menegaskan,

التَّهَجُّدُ يَقَعُ عَلَى الصَّلَاةِ بَعْدَ النَّوْمِ ، وَأَمَّا الصَّلَاةُ قَبْلَ النَّوْمِ ، فَلَا تُسَمَّى تَهَجُّدًا

“Tahajud istilah untuk shalat yang dikerjakan setelah tidur. Sedangkan shalat yang dikerjakan sebelum tidur, tidak dinamakan tahajud.”

Setelah menyatakan keterangan di atas, Ar-Rafi’i membawakan riwayat dari katsir bin Abbas dari sahabat Al-Hajjaj bin Amr radhiyallahu ‘anhu,
<

يَحْسَبُ أَحَدُكُمْ إذَا قَامَ مِنْ اللَّيْلِ يُصَلِّي حَتَّى يُصْبِحَ أَنَّهُ قَدْ تَهَجَّدَ ، إنَّمَا التَّهَجُّدُ أَنْ يُصَلِّيَ الصَّلَاةَ بَعْدَ رَقْدِهِ ، ثُمَّ الصَّلَاةَ بَعْدَ رَقْدِهِ ، وَتِلْكَ كَانَتْ صَلَاةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Diantara kalian menyangka ketika melakukan shalat di malam hari sampai subuh dia merasa telah tahajud. Tahajud adalah shalat yang dikerjakan setelah tidur, kemudian shalat setelah tidur. Itulah shalatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ibnu Hajar dalam Talkhis Al-Habir mengatakan,

Sanadnya hasan, dalam sanadnya ada perawi yang bernama Abu Shaleh, juru tulis Imam Al-Laits, dan Abu Shaleh ada kelemahan. Hadis ini juga diriwayatkan At-Thabrani, dengan sanad dari Ibnu Lahai’ah. Dan riwayat kedua ini dikuatkan dengan riwayat jalur sebelumnya.

2. Tahajud TIDAK harus tidur dulu

Sholat tahajud adalah semua shalat sunah yang dikerjakan setelah isya, baik sebelum tidur maupun sesudah tidur. (Hasyiyah Ad-Dasuqi, 7/313).

Karena tahajud memiliki arti mujanabatul hajud (menjauhi tempat tidur). Dan semua shalat malam bisa disebut tahajud jika dilakukan setelah bangun tidur atau di waktu banyak orang tidur.

Ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أفشوا السلام، وأطعموا الطعام، وصلوا الأرحام، وصلوا بالليل والناس نيام تدخلوا الجنة بسلام

Sebarkanlah salam, berilah makanan, sambung silaturahmi, dan kerjakan shalat malam ketika manusia sedang tidur, kalian akan masuk surga dengan selamat. (HR. Ahmad, Ibn Majah, dan dishahihkan Syuaib Al-Arnauth)

Abu Bakr Ibnul ‘Arabi mengatakan,

في معنى التهجد ثلاثة أقوال (الأول) أنه النوم ثم الصلاة ثم النوم ثم الصلاة، (الثاني) أنه الصلاة بعد النوم، (والثالث) أنه بعد صلاة العشاء. ثم قال عن الأول: إنه من فهم التابعين الذين عولوا على أن النبي صلى الله عليه وسلم كان ينام ويصلي، وينام ويصلي . والأرجح عند المالكية الرأي الثاني

Tentang makna tahajud ada 3 pendapat: pertama, tidur kemudian shalat lalu tidur lagi, kemudian shalat. Kedua, shalat setelah tidur. Ketiga, tahajud adalah shalat setelah isya. Beliau berkomentar tentang yang pertama, bahwa itu adalah pemahaman ulama tabi’in, yang menyandarkan pada ketarangan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidur kemudian shalat, kemudian tidur, lalu shalat. Sedangkan pendapat paling kuat menurut Malikiyah adalah pendapat kedua. (Dinukil dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, 14/86)

Catatan:

Bagi anda yang dikhawatirkan tidak mampu bangun sebelum subuh untuk tahajud, dianjurkan untuk shalat sebelum tidur. Sekalipun tidak disebut tahajud oleh sebagian ulama, namun dia tetap terhitung melakukan qiyam lail, yang pahalanya besar.

Semoga Allah memberikan kekuatan kepada kita untuk bisa istiqamah dalam melakukan ketaatan.

Aamiin.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Senin, 25 Januari 2016

Prof. Nasarudin Umar yang saya kenal



Prolog

Dua hari belakangan, beredar broadcast di dunia maya mengenai kunjungan mantan Wakil Menteri Agama, Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA, ke negeri para mullah, Iran. Kunjungan itu kemudian dikaitkan dengan perhelatan muktamar sebuah ormas Syiah, Ahlul Bait Indonesia, yang kebetulan digelar di Auditorium H.M. Rasjidi, Gd. Kementerian Agama, Jakarta, Jumat (14/11).


Broadcast itu diakhiri dengan kesedihan atas ketidakpedulian umat atas kehancuran agama. Singkatnya, isi broadcast tersebut seperti ingin menunjukkan bahwa ada talian sistematis antara kunjungan Prof.Nasar ke Iran dengan Muktamar Syiah di Kemenag sebagai sebuah kebangkitan syiah di Indonesia dan ketidakpedulian umat Islam atas hancurnya agama.


Karena membawa tendensi agama, pesan viral itu menyebar demikian cepat. Bahkan, di “handphone layak pakai” saya, pesan serupa menyebar di sejumlah grup whatsapp. Sebagian meminta klarifikasi, sebagian menuding, lainnya menjapri saya utk meminta penjelasan.




Dua Hal Berbeda


Tulisan ini saya buat untuk semua rekan dari kelompok manapun, baik yang (barangkali) membela syiah, maupun menentangnya. Saya ingin mengatakan begini, 


Pertama, Muktamar Ahlul Bait Indonesia (ABI) di Gd.Kemenag itu tidak ada kaitannya dengan kunjungan Prof.Nasar ke Iran. Kegiatan ABI tersebut adalah kegiatan insidental, sementara jadwal perjalanan Prof.Nasar ke Iran sudah diagendakan jauh2 hari. Itu dua hal yang tidak saling berkaitan.


Kedua, terkait acara penganut syiah di Kemenag, perlu diketahui bahwa Kementerian Agama memang mengakomodasi semua agama dan aliran kepercayaan. Tugas Kementerian Agama adalah menjaga kerukunan intra dan inter penganut agama2. Untuk itulah regulasi2 mengenai kehidupan keberagamaan ditelurkan guna memfasilitasi dan menjaga keharmonian dan kerukunan antar umat beragama. Selain penganut syi’ah, penganut Baha’i, Konghucu, Islam wetutelu, Kristen, Hindu, Buddha, Rahayu, dll., merupakan warga yang berkepentingan dengan Kemenag. Urusan pinjam meminjam tempat tidak mesti diangap sebagai justifikasi, terkadang alasannya bersifat teknis karena ruangan yang dianggap representatif, seperti penggunaan auditorium Kemenag pada "Sidang Kode Etik Pemilu" lalu, atau alasan2 lain dimana Kemenag sebagai pemerintah perlu memberikan fasilitas bagi warga negara.


Ketiga, perjalanan Prof.Nasar ke Iran adalah sebagai peserta aktif sekaligus menjadi narasumber dalam Konferensi Thabataba’i. Bagi para cendekiawan, menjadi narasumber dalam dialog lintas agama atau madzhab adalah hal yang sangat lazim. Jika rekan-rekan sempat berkunjung ke UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, atau kampus2 Islam lain, maka dialog antar madzhab atau agama merupakan hal yang tidak sulit dijumpai. Prof.Nasaruddin Umar dan Prof. Din Syamsuddin adalah dua dari sekian tokoh yang rutin menjadi narasumber dalam international interfaith dialogue di sejumlah negara.


Keempat, selain ke Iran, beliau juga kerap menjadi narasumber di negara2 lain, seperti Turki, Amerika, Negara2 Eropa, dan seterusnya. Saat ini (20/11) beliau sedang berada di Mesir, apakah akan diisukan pula bahwa kunjungan itu merupakan dukungan Prof.Nasar terhadap rezim kudeta As-Sissy? Beberapa waktu lalu beliau lakukan kunjungan ke Hongkong, menjadi tamu kehormatan Master Chin Kung, apakah akan dikatakan pula bahwa beliau adalah pendukung salahsatu aliran Agama Buddha tersebut? Tentu saja tidak. Hanya saja, sebagian orang yang memosisikan dirinya sebagai “analis” terkadang mengaitkan dua hal tak relevan seolah2 saling berkaitan. Rekan tentu tahu bagaimana cara pengamat mengait2kan hal yang tidak relevan menjadi nampak saling berkait.


Kelima, Prof.Nasar saat ini bukan lagi Wakil Menteri Agama. Kapasitas Guru Besar Ilmu Tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu dalam kunjungan ke Iran hanyalah sebagai cendekiawan. Oleh karena itu mengaitkan Muktamar Ahlul Bait Indonesia di Kemenag dengan kunjungan beliau sebagai akademisi yang tidak punya otoritas apa2 lagi di Kemenag adalah pandangan yang terlalu dipaksakan. 


Nasaruddin Umar yang Saya Kenal


Perlu sahabat sekalian ketahui, Prof. Nasaruddin Umar terlibat sangat aktif dalam berbagai kegiatan dakwah Islam. Saya seringkali mendampingi beliau dalam berbagai acara, bahkan saya makan di rumah beliau, juga kerap ditawarkan menginap di rumahnya jika pulang terlalu malam.

Selama di mobil sepanjang perjalanan untuk mengisi ceramah atau agenda2 di berbagai tempat, rutinitas pimpinan pondok pesantren al –Ikhlash di Bone, Sulawesi Selatan, dan Kendari, Sulawesi Tenggara, itu hanya hanya empat:

Membaca al-Quran sepanjang perjalanan dengan mushaf ukuran saku, mendengarkan murattal As-Sudais di TV mobil, berdizkir sambil memilin biji2 tasbih (ada sekitar tiga untai tasbih di mobil), atau menerima telepon. Kitab2 turats di rumahnya lengkap dari berbagai golongan dan madzhab menjadikan pemikiran beliau amat kaya. Belum lagi kitab2 kontemporer.


(Satu Sisi Kamar Prof. Nasar yang dipenuhi kitab2 berbahasa Arab)


Saya ingin gambarkan Rutinitas keseharian beliau seperti ini:

Beliau bangun sekira pkl 02.00 untuk shalat tahajjud, dan hanya tidur tiga jam setiap harinya. Selepas Shalat Tahajjud menjelang Shubuh, ia sempatkan menulis sekitar 10 halaman di kamar depan yang dindingnya tak terlihat karena dipenuhi buku. Jika sedang bermalam di kediaman, beliau selalu memipin Shalat Shubuh yang dilanjutkan dengan Kultum Shubuh di Masjid Baitul Makmur, 500m dari kediamannya di Ampera, Jakarta Selatan.

Jamaah kajian rutinnya di Masjid Sunda Kelapa ribuan orang setiap Senin dan Kamis malam. Belum lagi jamaahnya di Masjid at-Tin, Jakarta Timur, Masjid Raya Bintaro, Masjid Bintaro Jaya, dan sejumlah masjid lain.

Beliau adalah sosok yg sangat sabar. Tidak banyak bicara. Jika tidak menyukai sesuatu beliau diam sehingga kami tahu jika beliau sedang tidak berkenan terhadap sesuatu. Satu hal yang perlu sahabat ketahui, beliau senantiasa shaum Senin Kamis sekalipun dalam perjalanan yg sangat jauh, ke Eropa, misalnya.

Sebagai atasan, beliau selalu menasihati kami agar selalu membiasakan shalat berjamaah, jangan sampai menomorduakan Shalat hanya karena pekerjaan, begitu selalu. Beliau yang juga menjabat sebagai Rektor Perguruan Tinggi Ilmu al-Quran itu juga selalu menyeru kami untuk dekat kepada al-Quran, mendirikan shalat malam, dan juga merutinkan shaum Senin Kamis.

Pernah dalam sebuah kesempatan ceramah, beliau bilang: "saya disebut2 sebagai bagian dari Jaringan Islam Liberal (JIL), padahal saya sama sekali tak punya kaitan dengan kelompok tsb". 

Tapi beliau tak pernah memusingkan hal yg remeh. Biarkan tudingan itu menjadi urusan mereka dengan Tuhan. Doktor terbaik UIN Jakarta yang masuk dalam 500 Most Influental Muslims in the World itu tak pernah fikirkan pandangan manusia terhadap dirinya.

Dalam beberapa kesempatan saya mendengarkan ceramah beliau, seringkali mengkritik JIL yg dianggapnya terlalu berfikir bebas. Belum lama, di hadapan enam ribuan mahasiswa IAIN Palembang beliau ulang kembali, bahwa umat ini lemah karena terpecah, dan beliau tak bersetuju dengan liberalisme dalam pemikiran Islam. Katanya, Islam lemah karena terpecah dalam titik2 ekstrem. Baik yang liberal maupun yang jumud dalam memahami agama.











(sisi lain kamar depan rumah beliau yang dipenuh buku)




Rekan2, perlu diketahui bahwa beliau memang ulama tasawuf, dan tidak banyak orang memahami alur berfikir kalangan sufi. Orang yg tak memahaminya kerap menuding sesat tanpa landasan yg kokoh. Padahal ia dekat dengan seluruh ulama. Baik dengan Ulama Timur Tengah seperti Wahbah Zuhaili, Yusuf al Qaradhawy, dst.. maupun ulama Nusantara.

Apakah rekan2 cinta kepada KH.Ali Mustafa Yaqub, KH.Hasyim Muzadi, ust.Hidayat Nurwahid, KH.Syukran Makmun, jika iya, saya ingin sampaikan beliau seringkali bertemu mereka, mereka sangat akrab dan kerap berbicara dalam forum2 keagamaan, atau dalam undangan2 di kedutaan negara timur tengah. Belum lama beliau juga menerima dengan akrab ketua LPPI, Ustadz Amin Djamaluddin, yang dikenal cukup keras. Demikian pula dengan Pelajar Islam Indonesia, Syarikat Islam, dll. Bahkan, Ormas Gerakan Reformis Islam yang dikenal “keras” (mohon perhatikan tanda kutip) pun bertamu kepada beliau. 

Beliau adalah sosok sahaja yg sangat cinta kepada ulama. Pernah dalam satu agenda yg berbenturan, beliau amat berat meninggalkan acara bersama ulama2 sepuh di Jawa Tengah karena berbenturan dengan agenda kedinasan.

Beliau yg merendah mengatakan: "para ulama, para sesepuh, bimbinglah kami yg dhaif ini", padahal siapa yg meragukan kapasitas keilmuan beliau yg oleh ketua Umum MUI, Prof. Din Syamsuddin disebut "sangat paham agama"?

Dalam sebuah acara di Madinah, beliau diundang sebagai tamu kehormatan kerajaan karena keimuannya di mata ulama dan penguasa Saudi, beliau juga mendapat secara khusus potongan kain Kiswah dari Pemerintah Arab sebagai sebentuk ihtiram.

Apakah antum cinta kepada Ust.Amir Faishal Fath dan Ust.Adian Husaini, saya menjadi saksi betapa beliau dihormati oleh ust.Amir, berpelukan ketika bertemu dan saling bertanya kabar dalam bahasa arab. Beliau juga acap dijadwalkan sebagai penceramah bareng dengan ustadz Firanda Andirja di Masjid Kementerian Pertanian, bersama Ust.Syafiq Riza Basalamah.


Menerima Penghargaan dari Presiden SBY


Dengan Ust.Adian Husaini juga tak berbeda. Kedua tokoh itu terlibat sebagai juri pada perhelatan Islamic Book Fair 2014. Mantan Dirjen Bimas Islam itu memang selalu menjadi Dewan Pembina IBF dari tahun ke tahun. Sebuah pagelaran yang sangat bermanfaat dan dinanti2kan ummat termasuk kalangan aktivis Islam, yg ironisnya karena ketidaktahuan kerap menstigmatisasi beliau sebagai bagian dari kelompok JIL. Padahal waktu2 beliau terpakai untuk rapat demi rapat IBF. Beliau juga merupakan penggagas dan kontibutor pembangunan Masjid Ground Zero, bekas reruntuhan menara WTC di Amerika sana. 


Beliaulah yang berdarah2 memperjuangkan RUU Jaminan Produk Halal (JPH) sejak masih menjabat Dirjen Bimas Islam, sebuah RUU yang pembahasannya sangat panjang dan alot bahkan sampai menghabiskan dua kali masa sidang. Ada baiknya rekan2 ketahui, satu hari sebelum RUU JPH itu diundangkan, tak seperti biasa beliau terlihat sangat gelisah di kantor karena mendengar ada upaya penjegalan lagi terhadap UU yang melindungi ratusan juta umat Islam itu. Penebar Broadcast kemarin sudah melakukan apa?


Jika kebencian dan apriori sudah menguasai hati, maka celah sekecil apapun yang bisa dimanfaatkan untuk ditebar sembari merasa telah membela agama. Padahal ia tak tahu hal tersebut bisa menjadi sandunganbaginya di akhirat kelak.

Beliau pula yang berjuang sangat keras untuk diundangakannya UU Perbankan Syariah, hingga pulang demikian larut malam dan lelah, demi payung hukum bernama UU yang melindungi kehidupan ekonomi ummat atas dasar Islam itu. Saat ini pun beliau masih aktif dalam Komite Pengembangan Jasa Keuangan Syariah (KPJKS), dan masih aktif sebagai narasumber dalam kajian2 yang diadakan oleh MES (Masyarakat Ekonomi Syariah). Selain itu beliau juga duduk sebagai Dewan di BAZNAS dan Badan Wakaf Indonesia.

Akankah perjuangan yang sedemikian rupa akan dilakukan oleh orang2 JIL yang acapkali nyinyir terhadap segala sesuatu yang berbau syariah? 


( Bersama puluhan ribu anggota komunitas One Day One Juz)


Selain itu...
Beliau sebetulnya mendapatkan fasilitas rumah dinas, tapi beliau tidak mau mengisi rumah dinas itu karena, sebagaimana disampaikan pada kami dalam sebuah obrolan, beliau khawatir ada aset negara digunakan utk kepentingan pribadi. Baginya, lebih baik rumah pribadinya yg digunakan untuk kepentingan negara. Rumah Dinas itu pun akhirnya digunakan oleh seorang pejabat eselon satu di Kemenag.

Saat pengarahan rutin bulanan kepada para staff, beliau katakan: "jika waktu makan siang, jangan terlalu menyediakan makanan yg mewah. Saya ini santri. Cukup makanan sederhana saja." Bahkan pernah beliau makan nasi kotak di dalam mobil ketika hendak ke istana. Sebuah episode langka yg sangat jarang kita dapati di kalangan para pejabat.

Rekan2, percayalah hanya orang besar yg bisa menghormati orang besar. Jangankan seorang Nasaruddin Umar, Yusuf Qaradhawy saja disebut sebagai agen Islam liberal oleh Charles Kurzman, silakan rekan2 baca bukunya "Liberal Islam" yg tebal itu dan lihat pada urutan berapa Qardhawy disebut sebagai ulama Islam liberal.

Sahabat sekalian, orang2 besar tak pernah tanggapi berlebihan tudingan2 thd mereka. Bukan karena sesuai dengan apa yang dituduhkan, tetapi karena tugas mereka terlalu banyak dari sekadar menanggapi hal2 yg remeh temeh. Ummat yg punya bashirah yg akan memahaminya.

Bukankah yg nyaring bunyinya adalah tong yang kosong, yg hanya krn membaca buku "50 tokoh Islam liberal di indonesia" lantas menjadikan buku itu selayak 'kitab suci', lalu merasa sudah bisa memvonis seorang ulama yg waktunya dihabiskan utk khidmat kpd ummat. Yang hanya karena membaca wawancara di islib.com sertamerta menuding tokoh ini JIL tokoh itu JIL?

Mereka merasa sudah menyelam ke lautan dalam, padahal sebetulnya mereka masihlah di tepian pantai. Uang receh memang berisik bunyinya.

Biarkan saya yg menjelaskan, karena saya yg punya waktu lebih banyak. Beliau bukan lagi Wakil Menteri, sehingga rekan2 tak perlu ragu akan ketulusan saya menulis artikel ini. Sementara Prof.Nasaruddin waktunya terlalu sibuk. Senin dan kamis malam beliau mengisi pengajian di Masjid Agung Sunda Kelapa. Beberapa waktu di Jumat malam mengisi kajian Tanwirul Qulub di kantor Kemenag. Tiap Ahad Shubuh beliau rutin kajian Shubuh di Masjid Bintaro, Sabtu pekan kedua ceramah di Masjid at-Tin dan PW Muslimat NU DKI. Belum lagi ceramah2 rutin lain di sekolah2, kampus, masjid pasar, hingga majlis taklim kaum ibu. Selama ada waktu masih tersisa beliau tak pernah bedakan jamaah kaum elit maupun pengajian di kampung2. Dan beliau tak pernah tanyakan honor ceramah, karena sebagaimana yg beliau sering katakan, dirinya sudah ia wakafkan untuk umat. Tulisan2 tasawufnya di media massa bahkan tanpa bayaran sebab beliau ikhlaskan utk pegawai yang bekerja di perusahaan media itu.



Satu hari ust.Yusuf Mansur melihat Prof.Nasar di bandara, lalu segeralah ust.YM bergegas menghampiri, ucapkan salam dan dan merendah selayaknya santri kpd kyai. pertanyaannya: "Apakah mungkin seorang Ust.YM berlaku sedemikian kepada seorang tokoh Liberal?"


Ust.Arifin Ilham pernah meminta Prof.Nasar utk sampaikan taushiyah bagi ribuan jamaah dzikir rutin bulanan adz Dzikra di Sentul. Saya sendiri yg mengonfirmasi utk make sure waktu dan tempat ke ust.Arifin Ilham. Apakah tega kita katakan: "ust.Arifin Ilham pernah meminta tokoh Liberal agar memberi nasihat kepada ribuan umat Islam di jamaah dzikirnya?

Tentu saja tidak.. Baik ust.YM maupun Ust.Arifin, tahu bahwa beliau bukan tokoh liberal. Maka beliau berdua simpan ihtiram kpd Prof.Nasar


Rekan2 kenal Prof.Dr.KH.Didin Hafidhuddin? Prof.Nasaruddin Umar bersahabat dekat dengan ulama Bogor tsb. Bersama Ketua MUI KH.Ma'ruf Amin, kedua tokoh itu duduk bersama sebagai Dewan Pembina Lembaga Training ESQ 165

Sedemikian dekatnya, sampai2 Ketua Umum Baznas itu jauh2 hari meminta Prof. Nasaruddin Umar agar berkenan menyampaikan taushiyah pada pernikahan putri beliau. Mungkinkah seorang Pimpinan Pondok Pesantren Ulul Albaab Bogor, KH.Didin Hafidhuddin, mantan calon presiden Partai Keadilan, meminta seorang tokoh JIL utk menyampaikan taushiyah pada pernikahan putri tercintanya?

Mungkinkah Ketua MUI, KH.Ma’ruf Amin yg menfatwakan sesat atas liberalisme Islam duduk satu meja dalam sebuah Dewan Pembina dengan Prof.Nasaruddin Umar seandainya beliau adalah tokoh JIL?

Sahabat, kita boleh berbeda pemikiran dalam berislam, tapi jangan mudah menuding. Ibnu Rusyd dan Imam Ghazali juga berdebat soal agama, tapi sama sekali tak mengurangi nama besar mereka di hadapan ummat.

Imam Bukhari bahkan tak meriwayatkan satu pun hadits dari Imam Syafi'i karena dipandang tak penuhi syarat. Tapi keduanya tetap besar di mata ummat.

Syaikh bin baz pernah berdebat dg Syaikh Alwi al-Maliki tapi keduanya tetaplah ulama..

Lalu siapa kita di antara mutiara dan lautan ilmu mereka2?

Kebanyakan kita adalah para Thalib yg dhaif. Selayaknya kita merendah hati, membeningkan jiwa. Bahwa perbedaan pandangan di kalangan para ulama adalah lumrah dari zaman ke zaman. Kita memang tak perlu selalu sependapat dengan seorang ulama, tapi bukan berarti hal tersebut membolehkan kita berlaku lancang kepada mereka.

Mari buka mata, buka hati, hikmah itu tersebar dan terhampar dimana2.. alhikmatu dallatul mukmin.. fa aina wajadaha, fa hua ahaqqu biha..

Wallahu a'lam 
http://mistersigit.blogspot.co.id/