Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wa barakatuh.
Pada hukum dasarnya, sentuhan kulit secara langsung antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram atau bukan suaminya sendiri, hukumnya haram.
Baik sentuhan itu diiringi dengan nafsu atau pun tidak dengan nafsu. Sebab yang menjadi ukuran bukan adanya nafsu atau tidak, melainkan sentuhannya itu sendiri. Ada banyak dalil di dalam sabda Rasulullah SAW tentang haramnya sentuhan ini, antara lain:
Dari Ma`qil bin Yasar dari Nabi saw., beliau bersabda, Sesungguhnya ditusuknya kepala salah seorang di antara kamu dengan jarum besi itu lebih baik daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya.
Hal ini dikuatkan lagi dari tindakan Rasulullah SAW yang tidak menjabat tangan perempuan ketika melakukan bai`at dengan para wanita. Padahal biasanya bai’at itu ditandai dengan jawab tangan.
Dari asy-Sya`bi bahwa Nabi saw. ketika membai`at kaum wanita beliau membawa kain selimut bergaris dari Qatar lalu beliau meletakkannya di atas tangan beliau, seraya berkata, Aku tidak berjabat dengan wanita.
Aisyah berkata: Maka barangsiapa di antara wanita-wanita beriman itu yang menerima syarat tersebut, Rasulullah saw. berkata kepadanya, Aku telah membai`atmu - dengan perkataan saja - dan demi Allah tangan beliau sama sekali tidak menyentuh tangan wanita dalam bai`at itu; beliau tidak membai`at mereka melainkan dengan mengucapkan, Aku telah membai`atmu tentang hal itu.
Sedangkan dalil yang terkuat dalam pengharaman sentuhan kulit antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram adalah menutup pintu fitnah . Dan alasan ini dapat diterima tanpa ragu-ragu lagi ketika syahwat tergerak, atau karena takut fitnah bila telah tampak tanda-tandanya.
Sedangkan dalil yang terkuat dalam pengharaman sentuhan kulit antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram adalah menutup pintu fitnah . Dan alasan ini dapat diterima tanpa ragu-ragu lagi ketika syahwat tergerak, atau karena takut fitnah bila telah tampak tanda-tandanya.
Pengecualian
Namun bila ada hal-hal mendesak yang tidak mungkin dihindari serta tidak ditemukanya alternatif lain, untuk sementara hal-hal yang hukumnya haram bisa berubah sesaat. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqhiyah, Adh-Dharuratul Tubihul Malhdzurat. Sesuatu yang darurat itu bisa membolehkan larangan.
Namun sifatnya lokal, sementara, parsial dan seperlunya saja. Begitu kadar kedaruratannya hilang, maka hukum keharamannya kembali lagi. Sesuai dengan kaidah: Adh-dharuratu Tuqaddar bi Qadriha, Sesuatu yang darurat itu harus diukur sesuai kadarnya.
Sesuai dengan kaidah-kaidah ini, kita pun bisa menyaksikan prakteknya di masa lalu. Di masa Rasulullah SAW, para wanita diperlukan peran sertanya di dalam peperangan. Karena peperangan memang sesuatu yang masuk dalam kategori darurat. Para wanita ditempatkandi bagian logistik dan juga perawatan korban perang. Para wanita shahabiyah berjibaku dengan para laki-laki dalam perang, terutama untuk mengobati orang-orang yang luka. Mereka merawat, mengobati serta menyembuhkan korban perang.
Dalam upaya mereka, pastilah terjadi sentuhan kulit, namun hal ini menjadi boleh untuk sementara waktu, karena sifatnya yang darurat.
Bahkan diriwayatkan bahwa karena alasan darurat, Rasulullah SAW mengizinkan seorang laki-laki untuk melakukan hijamah atas seorang pasien wanita.
Di dalam kitab Fathul Qadir jilid 8 halaman 98 disebutkan seorang shahabat Nabi, Abdullah ibnu Az-Zubair telah menyewa seorang wanita tua untuk merawat dirinya.
Ibnu Muflih dalam kitabnya Al-Adab Asy-Syar’iyah menyebutkan bahwa bila ada seorang wanita sakit, namun tidak ada yang bisa mengobatinya kecuali laki-laki, maka dibolehkan khusus buat laki-laki itu saja untuk melihat sebagian auratnya. Yaitu yang terkait denan penyakitnya itu saja. Dan demikian pula berlaku sebaliknya.
Rumah Sakit Islam
Namun semua yang disebutkan di atas hanya dibenarkan dalam tataran kedaruratan, bukan suatu hal yang bersifat rutin dan tiap hari terjadi. Adapun di masa damai seperti sekarang ini, di mana umat Islam mampu mengelola rumah sakit, perlu segera dipikirkan masalah yang Anda sampaikan.
Seharusnya di tiap rumah sakit, paling tidak yang berlabel Islam, sudah diterapkan komitmen untuk menjalankan semua sisi aturan Islam secara serius. Di masa mendatang, seharusnya bukan hanya ruang perawatan saja yang dipisahkan lokasinya antara laki-laki dan wanita, namun juga termasuk perawatnya. Jadi rumah sakit Islam itu jangan hanya namanya saja mencantumkan kata ‘ISLAM’, akan tetapi aplikasi syariat Islam pun harus ditegakkan. Rumah Sakit Islam bukanlah rumah sakit milik orang Islam, melainkan rumah sakit yang menegakkan aturan-aturan Islami dalam aktifitasnya.
Pasien laki-laki seharusnya hanya dirawat oleh dokter dan perawat laki-laki. Demikian juga dengan pasien wanita, seharusnya diurus oleh dokter dan perawat wanita. Agar tidak ada lagi masalah yang timbul seperti yang Anda sampaikan.
Sudah waktunya buat rumah sakit Islam, poliklinik, puskesmas bahkan para tenaga medis dari kalangan muslim untuk memikirkan masalah ini. Seharusnya Akademi Perawat harus mampu menampung jumlah mahasiswa laki-laki yang seimbang dengan prosentase pasien laki-laki di rumah sakit. Agar jangan selalu didominasi hanya oleh calon perawat perempuan saja. Sebab isi rumah sakit itu tidak melulu perempuan, tetapi banyak juga pasien laki-laki.
Sebaliknya, fakultas kedokteran wajib menutup lowongan untuk mahasiswa laki-laki yang ingin meneruskan ke spesialis kandungan. Sebab urusan kandungan sepenuhnya menjadi hak wanita. Sangat tidak layak bila ada kelahiran bayi, selalu dokter yang mengotak-atik kemaluan wanita justru dokter laki-laki. Memang tidak ada lagi dokter wanita di negeri ini? Memangnya pada ke mana wanita di negeri ini? Apakah semua kerja jadi kondektur bus, penjaga pompa bensin, sales promotion girl?
Sesungguhnya wanita wajib belajar ilmu kedokteran kandungan, di mana hukumnya fardhu kifayah. Artinya, hukumnya tetap fardhu hingga jumlah dokter kandungan mencukupi jumlah wanita yang butuh bantuan dokter kandungan wanita. Selama jumlah dokter kandungan wanita belum mencukupi, masih wajib untuk ditambah terus.
wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.
Ahmad Sarwat, Lc.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar