Sudah lebih dari setengah abad sejak runtuhnya sistem khilafah islamiyah oleh Kemal Ataturk di Turki. Tata nilai Islam yang semakin lama bergeser dan tergantikan oleh penyakit sekulerisme yang mewabah di kalangan umat. Dengan “gagah”-nya, kapitalisme ekonomi dan liberalisasi peradaban terus menerus menggerus pemikiran generasi harapan. Akibatnya, penyakit sekulerisme seolah menjadi tata nilai yang ideal. Dengan alasan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM), integrasi sosial dan nasionalisme, serta apapun itu, penyakit ini telah menipu mata manusia. Ketika penetrasi sistem terus menerus dilakukan, wajah Islam terus menerus dinodai. Masalah inilah yang menjadi tugas besar umat Islam untuk membela keagungandien Allah yang mulia ini.
Kampus sebagai institusi pendidikan, memiliki posisi strategis dalam sistem peradaban manusia. Dari sinilah para intelektual lahir dan mengintervensi kehidupan dunia. Sumber ilmu pengetahuan seperti filsafat, sosial-politik, sains dan teknologi sebagian besar terpusat pada kehidupan kampus. Tidak hanya itu, sosialisasi nilai akan sangat dirasakan para sivitas akademi di kampus manapun. Maka, kampus menjadi sarana efektif dalam mencetak manusia-manusia unggul.
Ketika tarbiyah dipenetrasikan, semua berlangsung secara perlahan dan berproses secara panjang. Proses itulah yang telah mencetak kader-kader yang berafiliasi pada Islam melalui mihwar tanzhimi ini. Dari sana juga, dakwah kampus lahir untuk melawan arus sekularisme yang tumbuh subur di kampus. Perjalanan tarbiyah kampus yang diawali dengan usrah dan berkembang pesat sehingga menjadi lembaga formal adalah kabar baik bagi kemenangan Islam.
Membandingkan dakwah kampus dulu dengan masa kini, terdapat perbedaan khususnya pada luasnya ruang gerak dan kondisi musuh yang dihadapi. Ketika sistem politik otoritarian berlangsung, dakwah kampus pada saat itu terasa “sesak”. Ruang gerak yang sempit sebagai akibat dari pemerintahan yang represif. Keuntungannya adalah masa-masa itu telah banyak melahirkan kader-kader dakwah yang militan. Berbeda dengan masa kini yang cenderung demokratis dan ruang gerak dakwah yang lebih luas, tetapi melahirkan kader-kader yang lemah. Kebanyakan dari mereka tertipu pada kenikmatan duniawi dan seringkali lupa pada diri sendiri.
Tantangan inilah yang menjadi penghalang dalam memenangkan misi dakwah Islam khususnya di kampus. Apa yang dirasakan oleh dakwah kampus saat ini adalah kejenuhan dan disorientasi tujuan. Tidak mengherankan, banyak para dai yang meruntuhkan dakwah di tangannya. Keruntuhan yang tidak disadari karena proses yang lembut dan menipu. Dalam menghadapi tantangan ini, tarbiyah harus direfleksikan sebagaimana orientasi dari visi gerakan ini. Dua tantangan yang dihadapi dakwah kampus adalah sistem nilai sekuler dan individu kader dakwah itu sendiri.
Menjawab Tantangan Sistem Nilai yang Sekuler
Sistem nilai yang dihadapi dakwah kampus saat ini merupakan tantangan dan musuh besar yang tidak mudah untuk dikalahkan. Persoalannya adalah penyakit sekulerisme sudah mengakar dalam kehidupan kampus. Musuh ini memang tidak terlihat dan hampir tidak dapat dirasakan. Kemudian tarbiyah seharusnya berperan dalam menjawab tantangan ini. Oleh karena itu, diperlukan sistem dakwah kampus yang menyeluruh sebagaimanasyumuliatul Islam itu sendiri.
Imam Hasan Al Banna dalam risalah pergerakan Ikhwanul muslimin mengatakan bahwa karakter spesifik dari dakwah adalah Rabbaniyah ‘alamiyah (Ketuhanan Universal). Karakteristik inilah merupakan jawaban atas tantangan sistem nilai bagi dakwah kampus. Penetrasi nilai keislaman kepada seluruh kalangan warga kampus dengan mengambil peran pada setiap aspek yang ada seperti aspek politik kampus dan bidang keilmuan. Dengan bersikap paripurna, nilai keislaman dapat diperkenalkan secara paripurna juga. Tentunya dakwah yang memperkenalkan Allah SWT dan mengajak manusia untuk membangun hubungan spiritual serta Islam yangsyamil, kamil wa mutakamil (menyeluruh, sempurna dan menyempurnakan).
Karakter Rabbaniyah ‘alaiyah seharusnya disadari oleh para Aktivis Dakwah Kampus (ADK), bahwa dakwah yang diserukan bukan karena golongan. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “bukan termasuk golonganku orang yang menyeru kepada ashabiyyah (fanatisme golongan) dan bukan dari golonganku orang yang mati karena (membela) ashabiyyah.” (HR. Imam Ahmad, dari Jubair bin Muthim RA)
Persoalan Individu Kader Dakwah yang Lemah
Persoalan ini sesungguhnya merupakan ancaman yang akan berdampak pada lemahnya aktivitas dakwah kampus itu sendiri, sebaik apapun sistem yang sudah dibuat. Jika kader-kader yang di dalamnya lemah, akan sia-sia jalannya sistem dakwah itu sendiri. Lemah yang dimaksudkan bukan lemah secara fisik melainkan lemah pemikiran. Kebanyakan mereka yang berada dalam lingkaran kenyamanan pada akhirnya “mati” termakan keadaan. Dampaknya adalah sikap apatis atau tidak mengerti esensi mengapa ada dakwah kampus.
Penyakit parah lainnya yang melanda kader dakwah kampus adalah disorientasi. Tujuan dari dakwah untuk menyeru kepada Allah SWT semakin lama bergeser. Terkadang, kebanyakan kader termakan oleh tata nilai sehingga kepentingan duniawi mencemari dakwah Islam yang mulia ini. Jika kondisi ini terus dibiarkan, akan semakin parah dan lebih membuka peluang bagi musuh untuk menyerang Islam.
Refleksi tarbiyah Islam adalah mendidik para kader agar mereka menjadi sadar dan terbangun bahwa tugas dakwah adalah tidak main-main dan hanya untuk mencapai ridha Allah SWT. Oleh karena itu, hal utama yang harus dimiliki oleh ADK adalah kemantapan aqidah dan ibadah yang benar. Keduanya merupakan kunci pembuka bagi pintu-pintu amal yang lain. Wallahu’alam.
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook
Tidak ada komentar:
Posting Komentar