Salah seorang teman saya yang usianya sekitar 28an tahun, sampai sekarang ini sekalipun belum pernah ziarah ke makam bapaknya yang telah meninggal sekitar 10 tahun yang lalu. Bahkan sampai lupa dimana letak persis pusara kuburan bapaknya itu. Ketika saya selidiki, sepertinya dia takut jika disebut sebagai KUBURIYYUN.
Padahal diantara faedah berziarah kubur adalah untuk melembutkan hati dan mengingat akhirat.
Akhir-akhir ini barangkali kita sering mendengar atau membaca istilah Kuburiyyun. Entah siapa yang mempopulerkan istilah itu, apa pengertiannya, siapakah yang disebut kuburiyyun dan maksud dari penamaan itu juga belum begitu jelas.
Sepanjang pembacaan penulis pribadi terhadap literatur kitab para Ulama’ salaf [secara zaman dan manhaj], belum pernah menemukan istilah itu dalam kitab-kitab mereka.Artinya, istilah ini istilah yang baru dalam literature keislaman.
Tapi, ketika penulis mencoba mencarinya di search engine dunia maya, bertebaranlah istilah itu dari beberapa website maupun blog. Begitu ramai istilah itu dibicarakan. Meskipun sebenarnya tulisannya hampir-hampir sama semua, kalo tidak hasil terjemah murni dari fatwa salah satu Lembaga fatwa di Arab atau copas dari hasil terjemahan itu. Tulisan itu berantai menyebar meski sumbernya itu-itu saja.
PENGERTIAN KUBURIYYUN
Cukup susah jika harus mendefinisakan arti kuburiyyun baik secara bahasa atau istilah. Karena penulis belum menemukan definisi yang jelas dari para pembuat istilah itu, “Apa itu Kuburiyyun dan siapa saja mereka”.
Tetapi jika dibaca dan disimpulkan dari tulisan-tulisan pembuat istilah, penulis dapat simpulkan bahwa Kuburiyyun adalah orang yang suka pergi ke Kubur. Entah ke kubur untuk menyembahnya, mencari wangsit untuk nomer togel, meminta pesugihan. Bahkan para pembuat istilah, orang yang datang ke kubur para wali dan orang shaleh juga dikategorikan sebagai kuburiyyun sehingga hukumnya sama. Entah, pembuat istilah itu memasukkan juga "tukang gali kubur" dalam pengertian kuburiyyun atau tidak WaAllahu a’lam.
MENARIK UNTUK DIBAHAS
Tentu ini menjadi topik yang sangat menarik untuk dibahas, kenapa? Karena disini ada generalisasi istilah Kuburiyyun, penyama rataan hukum kuburiyyun antara yang datang ke kubur untuk menyembahnya dan yang datang ke kubur para wali untuk mendo’akannya bukan meminta do’a. Oleh para pembuat istilah, sepertinya orang yang datang ke kubur wali, identik dengan meminta berkah dan meminta berkah itu identik dengan meminta sesuatu. Padahal meminta hanya kepada Allah subahanahu wa ta’ala semata. Karena dianggap bahwa ibadah dikubur itu sama dengan menyembah kubur.Maka mudahnya, para peziarah makam wali itu bisa saja telah MUSYRIK. wal iyadzu billah.
Tentu pembahasan yang sungguh menarik, karena menyangkut status keimanan seorang muslimyang telah bersyahadat tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad Rasul Allah. Karena menurut pengamatan penulis, ada beberapa pihak yang menyamakan ziarah ke makam wali itu seperti ziarahnya Umat Yahudi, Nahsrani, dan Konghuchu.
SECARA BAHASA
Sebelum kita membahas tentang hukum kuburiyyun, ziarah ke makam wali, mengadakan perjalanan untuk ziarah, perjalanan ziarah ke makam oleh para Ulama’ zaman dahulu, ada baiknya kita bahas istilah “Kuburiyyun” secara bahasa.
“Quburiyyun” ada bentuk nisbat dari kata “Qubur”. Dalam ilmu sharaf/morfologi, Qubur [qaf-ba’-wawu-ra’] adalah bentuk jama’/prular dari “Qabrun”[1]. Qabrun jama’nya Qubur, sedangkan Maqbarah jama’nya maqabir[2]. Jama’ ini namanya Jama’ Taksir.
Sebanarnya dalam ilmu nahwu/sintaksis, Ketika terjadi penisbatan[3]/ pemberian ya’ nisbat suatu kata ketika dalam bentuk jama’ maka harus dikembalikan kepada bentuk mufrad/ singularnya. Terlebih jika jama’nya adalah mudzakkar salim atau mu’annats salim.
Dalam bait Alfiyyah disebutkan:
وعلم التثنية احذف للنسب*** ومثل ذا في جمع تصحيح وجب
Sebagai contoh: Jama’ ”muslimuna” ketika dinisahkan menjadi “muslimiyya”.
Sebagaimana Jama’ Taksir juga. Dalam kasus istilah “Kuburiyyun” jika mengikuti kaedah kebahasaan yang benar seharusnya dikembalikan ke mufradnya dahulu.
Dalam bait Alfiyyah disebutkan dalam bab Nisbat:
[4] والواحد اذكر ناسبا للجمع *** إن لم يشابه واحدا بالوضع
Maka seharusnya penisbatan kata “Qubur” bukan Quburiyyun tapi “Qabriyyun”. Karena mufrad dari Qubur adalah Qabrun.
Meski Majma’ Lughah Al Arabiyyah Mesir pada tahun 1937 menyatakan boleh nisbat kepada jama’ taksir ketika dibutuhkan. Sebagai contoh: Anshar[jama taksir dari Nashir] boleh dikatakan Anshariyyu[5]. Tapi hal ini tidak dikenal para Ulama Ahli Nahwu masa lalu.
Memang secara bahasa sudah ada sedikit masalah. Tapi ya itu secara bahasa saja. Toh, pengingkut Imam Nu’man bin Tsabit disebut sebagai Hanafiyy bukan Nu’maniyy, pengikut Imam Muhammad bin Idris As Syafi’I disebut sebagai Syafi’iyy bukan Muhammadiyy, pengikut Imam Ahmad bin Hanbal disebut Hanbaliyy bukan Ahmadiyy.
Secara istilah, pengertian siapa Quburiyyun memang belum jelas. Asalnya istilah Quburiyyun adalah bebas nilai. Tetapi sekarang istilah itu lebih berkonotasi negatif, Yaitu mereka yang suka bepergian ke kubur untuk berdo’a, bertawassul atau sekedar ziarah.
Maka pada tulisan kali ini, penulis lebih fokuskan kepada hukum berziarah terkhusus ke kubur para Ulama’. Apakah benar bahwa orang yang berziarah ke makam para Ulama’ itu sama artinya dengan meminta kepada mereka.
MENGURAI BENANG KUSUT
Tentu masalah ini adalah masalah yang cukup sensitive. Disatu sisi, ada umat islam yang giat melaksanakan ziarah ke makam para Ulama’. Disisi lain ada umat islam yang menuduhnya sebagai pangkal dari kerusakan dunia, pendangkalan iman bahkan termasuk perbuatan syirik.
Alasan pertama mengapa ziarah para Ulama itu tidak disyariatkan karena adanya “Syaddu Ar rihal” atau bepergian disitu.
Dalilnya: Rasulullah shallaAllahu alaihi wa sallam bersabda:
وَلاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إلى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ، مَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى وَمَسْجِدِي
Artinya: “Dan tidak boleh syaddur rihal kecuali tiga masjid, yaitu Masjidil Haram, Masjid Al-Aqsha, dan masjidku.”[6]
Tidak boleh bepergian kecuali ke tiga masjid. Hadits ini selalu dijadikan dalil pelarangan bepergian, terkhusus ke kubur para Ulama’.
Jika dalil ini digunakan secara umum pelarangan bepergian, pastinya bepergian ke daerah lain untuk kunjungan, studi banding, belajar, bekerja atau hanya sekedar wisata juga dilarang.
Nyatanya hal-hal itu juga tidak dilarang bahkan oleh kalangan yang melarang ziarah makam Ulama’ sekalipun. Jika bepergian hanya sekedar wisata ke Eropa saja tidak dilarang, mengapa bepergian untuk ziarah kubur para Ulama’ itu dilarang.
Para Ulama’ memaknai hadits ini, bahwa Tidak ada bumi yang mulya untuk dikunjungi kecuali kepada tiga masjid tadi. Artinya tidak ada sejengkal bumi yang mulya yang mempunyai kemulyaan untuk dikunjungi kecuali ke tiga masjid tadi. Sebagaimana dikutip dari fatwa Daar Al Ifta’ Mesir fatwa No. 450.
Karena mustatsna itu ada dari jenisnya mustasna minhu. Artinya: yang dikecualikan adalah tiga masjid dari mustastna minhu masjid juga, maka tidak dibenarkan mengkhususkan bepergian kepada selain tiga masjid tadi karena keyakinan tempat itu mempunyai keutamaan.
Tetapi jika bepergian kepada suatu tempat bukan karena meyakini keutamaan tempatnya, tetapi orang yang menempati tempat itu maka hukumnya boleh. Sebagaimana pergi ke suatu masjid karena di masjid itu ada kajian seorang Ustadz atau karena silaturrahim maka hukumnya boleh[7].
Maka mengadakan bepergian untuk ziarah kubur Ulama’ hukumnya boleh. Ini berbicara tentang hukum mengadakan bepergiannya.
Sebagaimana Ibnu Hajar dalam kitabnya[8] berkata:
قوله : إلا إلى ثلاثة مساجد المستثنى منه محذوف،فإما أن يقدر عاماً فيصير:لا تشد الرحال إلى مكان في أي أمر كان إلا لثلاثة أو أخص من ذلك ،لا سبيل إلى الأول لإفضائه إلى سد باب السفر للتجارة وصلة الرحم وطلب العلم وغيرها، فتعين الثاني، والأولى أن يقدر ما هو أكثر مناسبة وهو : لا تشد الرحال إلى مسجد للصلاة فيه إلا إلى الثلاثة ، فيبطل بذلك قول من منع شد الرحال إلى زيارة القبر الشريف وغيره من قبور الصالحين ، والله أعلم
Artinya: Adapun sabda Nabi [tidak boleh bepergian kecuali kepada tiga masjid] maka mustatsna minhunya dibuang. Jika dikira-kirakan keumuman larangan itu, maka akan menjadi tidak boleh bepergian kemanapun kecuali ke tiga tempat itu. Maka hal itu akan menghalangi bolehnya bepergian untuk bisnis, silaturrahim, mencari ilmu dan lain sebagainya.
ZIARAHNYA NABI KE MAKAM IBUNYA, AMINAH.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ قَالاَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ كَيْسَانَ عَنْ أَبِى حَازِمٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ زَارَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ « اسْتَأْذَنْتُ رَبِّى فِى أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِى وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِى أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِى فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ
Artinya: Dari Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Zuhair bin Harb, mereka berdua berkata: Muhammad Bin ‘Ubaid menuturkan kepada kami: Dari Yaziid bin Kasyaan, ia berkata: Dari Abu Haazim, ia berkata: Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berziarah kepada makam ibunya, lalu beliau menangis, kemudian menangis pula lah orang-orang di sekitar beliau.
Beliau lalu bersabda: “Aku meminta izin kepada Rabb-ku untuk memintakan ampunan bagi ibuku, namun aku tidak diizinkan melakukannya. Maka aku pun meminta izin untuk menziarahi kuburnya, aku pun diizinkan. Berziarah-kuburlah, karena ia dapat mengingatkan engkau akan kematian” [HR. Muslim no.108, 2/671].
Diantara faedah dari hadits ini adalah bolehnya mengadakan ziarah ke makam orang tua. Bahkan Nabi Muhammad ShallaAllahu memerintahkan berziarah ke kubur, karena hal itu bisa mengingatkan kepada kematian.
Sudah banyak yang tahu bahwa Makam Aminah, ibu Nabi Muhammad ShallaAllahu alaihi wa sallam berada di sebuah desa bernama Abwa’. Daerah yang sekarang disebut dengan nama kharibah. Jarak dari Abwa’ ke Madinah adalah 180 Km, tulis salah satu artikel alarabiya.net[9].
Jarak 180 km zaman dahulu pasti bukan jarak yang pendek lagi. Dalam kitab fiqih disebutkan bahwa jarak bepergian yang dibolehkan safar diantaranya adalah sekitar 85 km. Artinya Nabi Muhammad telah mengadakan perjalanan untuk mengunjungi makam Ibunya.
HUKUM ZIARAH KUBUR DAN SYADDU AD DZARAI’
Hukum ziarah kubur pada asalnya boleh. Nabi Muhammad ShallaAllahu alihi wa sallam bersabda:
كنت نهيتكم عن زيارة القبور ألا فزوروها فإنها ترق القلب ، وتدمع العين ، وتذكر الآخرة ، ولا تقولوا هجرا
“Dulu aku pernah melarang kalian untuk berziarah-kubur. Namun sekarang ketahuilah, hendaknya kalian berziarah kubur. Karena ia dapat melembutkan hati, membuat air mata berlinang, dan mengingatkan kalian akan akhirat namun jangan kalian mengatakan perkataan yang tidak layak (qaulul hujr), ketika berziarah” [HR. Al Haakim no.1393]
Para Ulama’ ahli ushul fiqih berbeda pendapat mengenai Amar setelah Nahyi, perintah setelah larangan[10].
Pendapat pertama; amar setelah Nahyi berfaedah “Wajib”. Ini adalah pendapat sebagian Hanafiyyah, Syafi’iyyah, Ibnu Hazm.
Pendapat kedua; berfaedah “Mubah”. Ini adalah pendapat Malik, Syafi’i dan Hanbaliyah.
Pendapat ketiga, hukum dikembalikan kepada hukum awal sebelum adanya nahyi. Ini adalah pendapat Ibnu Taymiyyah.
Pendapat keempat; tawaqquf atau tidak menentukan sikap. Ini adalah pendapat Al Juwaini dan Al Amidi.
Artinya semua sepakat tidak ada larangan untuk ziarah kubur, baik kedua orang tua, saudara, teman termasuk kubur orang shalah.
Dalam Ushul Fiqih, dikenal kaedah:
أن للوسائل أحكام المقاصد
Artinya: Wasilah/perantara terhadap sesuatu itu hukumnya seperti tujuan sesuatu tersebut. Sebagai contoh sholat lima waktu hukumnya wajib, maka mengetahui masuknya waktu shalat hukumnya juga wajib[11].
Sebagaimana ziarah ke kubur itu hukumnya sunnah, ada yang mengatakan mubah. Maka mengadakan perjalanan untuk ziarah hukumnya mubah. Bagaimana bisa hukum ziarah kuburnya boleh atau sunnah, sedangkan wasilah untuk sampai ke tempat yang diziarahi hukumnya haram. Dan bepergian adalah wasilah untuk bisa sampai ke tempat tujuan ziarah.
Barangkali ada yang menggunakan dalil Saddu Ad Dzarai’ atau mencegah kerusakan yang lebih parah untuk melarang ziarah ke makam. Dengan alasan dikhawatirkan akan musyrik jika berziarah.
Perlu diketahui, Saddu ad Dzarai’ dalam kaitannya menjadi salah satu sumber hukum islam masih diperselisihkan diantara para Ulama’. Ada diantara Ulama’ yang mengharamkan sesuatu sebagai wujud kehati-hatian, sebagaimana diterangkan Ibnu Hazm dalam kitabnya[12].
Maka pengharaman sesuatu karena dalil Saddu Ad Dzarai’, dalam kekuatan hukum fiqihnya tidaklah seperti suatu hukum yang keharamannya telah ditentukan syara’ dengan nash.
ZIARAH KUBUR PARA WALI DALAM LITERATUR KITAB ULAMA’ SALAF
Disebutkan dalam kitab Tahdzibu At Tahdzib karya Imam Ibnu Hajar, ketika menulis sejarah Imam Ali bin Musa Ar Ridha disebutkan[13]:
قبر الإمام علي بن موسى الرضا زاره جماعة من علماء ومشايخ السنة وعلى رأسهم الحفظ الكبير إمام أهل الحديث في وقته محمد بن إسحاق بن خزيمة ، قال الحاكم في تاريخ نيسابور :
Artinya: Kubur Imam Ali bin Musa ar Ridha telah diziarahi oleh banyak Ulama’ dan Masyayikhu as sunnah, diantaranya adalah Imam besar Ahli Hadits [yang benar-benar Ahli dalam bidang Hadits] Ibnu Khuzaimah.
وسمعت أبا بكر محمد بن المؤمل بن الحسن بن عيسى يقول : خرجنا مع إمام أهل الحديث أبي بكر بن خزيمة ، وعديله أبي علي الثقفي ، مع جماعة من مشايخنا ، وهم إذ ذاك متوافرون إلى زيارة قبر علي بن موسى الرضا عليه السلام بطوس ، قال : فرأيت من تعظيمه يعني ابن خزيمة لتلك البقعة ، وتواضعه لها، وتضرعه عندها ما تحيرنا .
Disebutkan dalam kitab At Tsiqat karangan Ibnu Hibban[14] ketika mengomentari kubur Al Imam Ar Ridha sebagai berikut:
وقبره بسنا باذ خارج النوقان مشهور يزار بجنب قبر الرشيد قد زرته مرارا كثيرة وما حلت بي شدة في وقت مقامى بطوس فزرت قبر على بن موسى الرضا صلوات الله على جده وعليه ودعوت الله إزالتها عنى إلا أستجيب لي وزالت عنى تلك الشدة وهذا شيء جربته مرارا فوجدته كذلك أماتنا الله على محبة المصطفى وأهل بيته صلى الله عليه وسلم الله عليه وعليهم أجمعين.
Artinya: Saya telah mengunjungi kuburannya berkali-kali. Bahkan ketika saya mengalami kesulitan di Thus, saya datang ke kuburnya dan saya berdo’a kepada Allah agar dihilangkan kesusahan itu. Maka hilanglah kesulitan-kesulitan itu.
Disebutkan dalam kitab Tarikh Baghdad Karya al Imam al Hafizh Abu Bakr Ahmad bin Ali; yang lebih dikenal dengan al Khathib al Baghdadi[15] (w 463 H), sebagai berikut:
قبر سلمان الفارسي، قال الخطيب في ترجمته: وحضر فتح المدائن ونزلها حتى مات بها، وقبره الآن ظاهر معروف بقرب إيوان كسرى، عليه بناء، وهناك خادم مقيم لحفظ الموضع وعمارته، والنظر في أمر مصالحه، وقد رأيت الموضع، وزرته غير مرة.
Artinya: Al Khatib al Baghdadiy ketika menulis tentang Kubur Salman al Farisi berkata: Dia [Salman Al Farisi] ikut dalam fath al Madain sehingga meninggal disana. Kuburannya sekarang masih ada di dekat Iwan Kisra. Saya telah melihatnya dan mengunjunginya beberapa kali.
Disebutkan dalam kitab Masyahiru Ulama’ al Amshar karya Ibnu Hibban[16]
قبر الصحابي المعروف أبو الدرداء عويمر بن عامر بن زيد الأنصاري، قال الحافظ أبو حاتم بن حبان: وقبره بباب الصغير بدمشق مشهور يزار، قد زرته غير مرة.
Artinya: Ibnu Hibban ketika menulis tentang Seorang Shabat nabi Abu Darda’ al Anshari: Dan kuburnya di bab as Shaghir Damaskus yang telah masyhur dan banyak diziarahi, saya telah menziarahinya berkali-kali.
Disebutkan dalam kitab Thabaqat As Syafiiyyah karya Ibnu Qadhi Syuhbah sebagai berikut[17]:
قال أبو بكر أحمد بن محمد المعروف بابن قاضي شهبة الدمشقي الشافعي في ترجمة أحمد بن علي الهمداني : والدعاء عند قبره مستجاب . طبقات الشافعية لابن قاضي شهبة ج1 ص 158 رقم 14 ط. دار الندوة الجديدة / بيروت سنة 1407هـ - 1987م .
Artinya: Abu Bakar bin Muhammad ketika menuliskan biografi Ahmad bin Ali Al Hamdani berkata: Berdo’a di kuburnya termasuk mustajab.
Sebaimana disebutkan dalam kitab Siyaru a’lami an Nubala’ karya Ad Dzahabi[18] sebagai berikut:
والدعاء عند قبره مستجاب. سير أعلام النبلاء ج17 ص 76 ط. مؤسسة الرسالة / بيروت
Artinya: do’a di kuburnya termasuk mustajab.
Disebutkan oleh ad Dzahabi dalam kitab Siyaru a’lami an Nubala’[19] ketika berbicara tentang biografi Abu al Hasan Ali bin Humaid ad Dzahli:
وكان ورعاً تقياً محتشماً يتبرك بقبره. سير أعلام النبلاء ج18 ص 101
Artinya: Dia seorang yang bertakwa, ditabarruki kuburnya.
Disebutkan juga dalam kitab Takmilatul Ikmal karya Al Hafidz Abu Bakar Muhammad bin Abdul Ghani al Baghdadi dalam menyebutkan biografi Sa’id bin Abi Sa’id Al Jamidi[20]:
وكان شيخاً صالحاً وأبوه، يتبرك بقبره، مشهور بالزهد. تكملة الإكمال ج2 ص 331 ط. جامعة أم القرى / مكة المكرمة سنة 1410 هـ
Artinya: Sa’id bin Abi Sa’id dan bapaknya adalah seorang Syeikh yang shalih. Ditabarruki kuburnya, terkenal akan kezuhudannya.
Ad Dzahabi dalam kitab siyaru a’lami an Nubala’ berkata dalam biografi Abu al Hasan ali bin Humaid ad Dzuhali:
وكان ورعاً تقياً محتشماً يتبرك بقبره. سير أعلام النبلاء ج18 ص 101
Artinya: Dia seorang yang wara’ dan ditabarruki kuburnya.
Ibnu Khallikan menulis dalam kitabnya Wafayatul a’yan[21] ketika menulis biografi Ibnu Faurik:
ودفن بالحيرة، ومشهده بها ظاهر يزار، ويستسقى به، وتجاب الدعوة عنده. وفيات الأعيان ج4 ص 272 رقم 610 ط. دار الفكر / بيروت.
Artinya: Dia dikuburkan di al Hiirah, masyhadnya banyak diziarahi, istisqa dengannya dan diijabahi do’a disana.
Ibnu Al Ammad al Hanbali dalam kitabnya Syadzaratu Ad Dzahab ketika menuliskan biografi al Hafidz Shubhi bin Ahmad at Tamimi
والدعاء عند قبره مستجاب. شذرات الذهب ج3 ص 109 وفيات سنة ( 384هـ) ط. دار الكتب العلمية / بيروت .
Artinya: Berdo’a di kuburnya termasuk mustajab.
Sebagaimana Ibnu Ammad ketika menuliskan biografiAbu Ja’far bin Musa Abdul Khaliq bin Isa, Seorang Syeikh dari madzhab Hanbali:
... ولزم الناس قبره، فكانوا يبيتون عنده كل ليلة أربعاء ويختمون الختمات، فيقال إنه قريء على قبره تلك الأيام عشرة آلاف ختمة ... الخ. شذرات الذهب ج3 ص 337 وفيات عام ( 470هـ).
Artinya: Para manusia berdiam diri di kuburnya, mereka bermalam disana setiap malam Rabu dan mengkhatamkan al Qur’an beberapa khataman.
Sebagaimana Abu Ya’la al Hanbali dalam kitabnya Thabaqat Al Hanabilah ketika menuliskan biografi Abu al Hasan bin Ali bin Muhammad al Baghdadi:
ومات بآمد سنة سبع أو ثمان وستين وأربعمائة، وقبره هناك يقصد ويتبرك به. طبقات الحنابلة ج2 ص 234 رقم 670 ط. دار المعرفة / بيروت.
Artinya: Dia meninggal tahun 467 atau 468, kuburnya banyak didatangi dan ditabarruki.
KESIMPULAN SEMENTARA
Barangkali maksud tulisan ini bukanlah untuk mengajak datang ke kuburan. Tetapi minimal memberikan gambaran dan informasi yang berimbang dari beberapa pihak. Paling tidak penulis ingin memberikan sedikit informasi saja bahwa apa yang mereka sebut Kuburiyyun itu belum tentu melaksanakan sesuatu tanpa dalil dan tanpa ilmu. Apalagi sampai musyrik.
Tentu kesimpulan ini masih debatable dan banyak kekurangan. Paling tidak ada hal baru yang bisa menjadi pertimbangan sebelum menghukumi amalan kelompok lain.
Bisa saja dibantah, itu kan tidak dari Nabi, itu kan tidak ada haditsnya, itu kan haditsnya lemah, kita kan harus mengikuti salaf shaleh, jika itu baik pasti para salaf dahulu sudah melaksanakannya dan seterusnya.
InsyaAllah bersambung..
WaAllahu a’lam
Oleh : Luthfi Abdu Robbihi
FOOTNOTE:
[1] Audhahul Masalik, Jamaluddin Abdullah Al Anshari, bab Abniyatul katsrah. Ibnu Aqil Syarah Alfiyyah Ibnu Malik, Ibnu Aqil: 4/128
[2] Mukhtar As Shihah, lihat: http://www.almaany.com
[3] Nisbat dalam ilmu Nahwu dipahami sebagai penambahan huruf “ya’” nisbat diakhir kalimat sebagai tanda kebangsaan, karena menisbatkan/menyandarkan sesuatu kepada sesuatu yang lain. Sebagai contoh Mishriyyun: orang yang berbangsa Mesir, Jawiyyun: Orang Jawa.
[4] Alfiyyah Ibnu Malik Bab Nasab, lihat: An Nahwu Al Wafi, Abbas Hasan: 4/741, Syarah Asymuni ala Alfiyyah Ibni Malik, Asymuni: 2/14, Syarah Ibnu Aqil, Ibnu Aqil: 4/167
[5] http://www.reefnet.gov.sy/Arabic_Proficiency/138.htm
[6] HR. Al-Bukhari no. 1132 dari Abu Sa’id Al-Khudri dan Muslim No. 1397 dari Abu Hurairah
[7] Al Barmawi, Futuhat al Wahhab/ Hasyiyatul Jumal: 2/361. Lihat fatwa dari daar Ifta’ mesir di: http://www.dar-alifta.org/ViewFatwa.aspx?ID=450&LangID=1
[8] Ibnu Hajar, Fathu al bari: 3/66
[9] http://www.alarabiya.net/articles/2006/04/21/23037.html
[10] Lihat: Al Bahru al Muhith: 2/111, Al Mahshul: 1/202, Ahkamul Amidi: 3/398, Ahkam Ibn hazm: 1/404, Al Uddah: 1/175, Al Burhan: 1/87
[11] Lihat: Syarah Tanqihul Fushul: 449, I’lamul Muwaqqi’in: 3/135
[12] Ibnu Hazm, Al Ahkam: 6/745
[13] Ibnu Hajar, Tahdzibu At Tahdzib: 7/339
[14] Ibnu Hibban, At Tsiqat: 8/457
[15] al Khathib al Baghdadi (w 463 H), Tarikh Baghdad: 1/163
[16] Ibnu Hibban, Masyahiru Ulama’ al Amshar: 322
[17] As Subki, Thabaqat As Syafi’iyyah:
[18] Ad Dzahabi, Siyaru a’lami An Nubala’: 17/76
[19] Ad Dzahabi, Siyaru a;lami an Nubala: 18/101
[20] Al Hafidz Abu Bakar Muhammad bin Abdul Ghani al Baghdadi, Takmilatul Ikmal: 2/331
[21] Ibnu Khallikan, Wa fayatul A’yan: 4/272
Tidak ada komentar:
Posting Komentar