Suatu hari, Rasulullah saw sedang duduk
dengan air mata yang berurai. Melihat keadaan beliau, para sahabat pun
bertanya, "Apa yang membuatmu menangis, wahai Rasulullah? Beliau menjawab,
"Aku rindu kepada saudara-saudaraku?
"Bukankah kami ini
saudara-saudaramu, wahai Rasulullah," sergah para sahabat beliau.
"Bukan. Kalian adalah sahabatku. Sedangkan saudara-saudaraku adalah kaum
yang datang setelah (kepergian) ku, mereka beriman kepadaku dan tidak pernah
melihat aku," tegas Rasulullah saw. (Sirah Ibnu Hisyam)
Rasulullah saw telah menitikkan air mata
karena kerinduan beliau pada umatnya yang tak pernah dilihatnya, pada semua
manusia yang beriman kepada beliau hingga di akhir zaman, pada kita yang telah
bersaksi atas kerasulan dan kenabiannya. Namun, pernahkah kita membalas
kerinduan itu dengan deraian air mata? Adakah kita menitikkan air mata karena
merindukan pertemuan dengan beliau. Kapan terakhir kali mata kita basah dengan
air mata karena cinta dan rindu yang mendalam kepada beliau?
Beliau menangis karena rindu kepada
kita, tapi kita mungkin tak pernah sekali pun menangis karena rindu kepada
beliau. Bilal bin Rabah ra, sahabat beliau saw yang berasal dari negeri Etopia,
yang berkulit hitam namun berhati salju, punya banyak kenangan spesial pada
beliau mulia yang menjadi panutannya. Kenangan itu melekat dan mendarah daging
dalam dirinya, hingga jauh setelah Rasulullah saw wafat. Agar hatinya
taktercabik-cabik oleh kenangan bersama beliau, Bilal ra memutuskan untuk tak
lagi melantunkan adzan setelah kepergian beliau saw. Sampai suatu ketika, rindu
itu tak tertahankan, dan ia pun lalu mengumandangkan adzan.
Kisah itu diawali dengan cerita Bilal ra
tentang mimpinya di suatu malam, bertemu dengan lelaki terkasih itu. Lelaki yang
pernah jadi budak itu, melihat Rasulullah saw dalam tidurnya, bertemu
dengannya, dan mengatakan "Wahai Bilal, betapa rindu aku padamu.
Bilal menceritkan mimpi yang sangat
indah itu kepada seorang sahabat. Lalu, sahabat itu bercerita pula ke sahabat
yang lain. Dan selanjutnya, cerita itu terus berpindah dari satu orang ke orang
yang lain. Tak butuh waktu lama, cerita sudah merebak. Menjelang sore, nyaris
seluruh penduduk Madinah, kota yang sudah lama ditinggalkannya, tahu tentang
mimpinya itu. Maka penduduk Madinah pun bersepakat meminta Bilal ra untuk
mengumandangkan adzan di masjid Rasulullah saat waktu shalat Maghrib tiba.
Tak kuasa Bilal menolak keinginan
sahabat-sahabatnya. Di saat senja mulai memerah, Bilal mengumandangkan adzan,
dengan lantunan suaranya yang khas. Penduduk Madinah seketika tercekam
kerinduan. Rasa dalam dada membuncah, detik-detik bersama Rasulullah, manusia
tercinta itu, kembali terbayang di pelupuk mata. Akhirnya, pendudukMadinah pun
menitikkan air mata rindunya. Tak terkecuali Bilal ra, muadzin pertama
Rasulullah itu diliputi keharuan dan kerinduan pada kekasihnya, Muhammad saw,
nabi akhir zaman.
Dalam rindu pada Nabi saw ada pahala dan
ada tangis. Tapi kadang kita tak mampu menghadirkannya disini. Entah kapan
terkahir kali kita menitikkan air mata karena rindu kita pada Rasulullah.
Source: Tarbawi Edisi 235
telah diedit tanpa menghilangkan makna aslinya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar