Siti Hajar, istri Nabi Ibrahim adalah lambang wanita sejati yang taat kepada suami dan perintah Allah SWT. Segala kesulitan, kepahitan, keresahan yang ditempuh oleh Siti Hajar bersama anak kecilnya, Ismail ditengah-tengah padang pasir adalah lambang kesetiaan dan kepatuhan seorang istri kepada amanah suaminya. Sungguh ketaatan ibunda Hajar kepada Allah SWT dan suami memberi inspirasi bagi umat manusia di kemudian hari hingga diabadikan Allah SWT sebagai salah satu riual ibadah haji yaitu sa’i; lari-lari kecil antara bukit Shafa dan Marwa.
I’tibar kisah dari ibunda Hajar adalah suatu teladan bagi muslimah sejati, beliau sanggup menempuh berbagai kesulitan hidup semata-mata karena taat akan perintah Allah dan suaminya.
Paling tidak ada lima sifat dari pribadi Siti Hajar yang patut kita teladani:
1. Peduli
Kepedulian Siti Hajar ini meliputi kepedulian secara batin maupun lahir. Kepedulian secara batin maksudnya adalah menjaga perasaan orang lain. Hal ini terlihat tatkala beliau diperistri oleh Nabi Ibrahim sebagai istri kedua, kemudian Allah SWT memberikan kepadanya keturunan. Siti Sarah sebagai istri pertama Nabi IBRAHIM sudah sangat lama tidak mendapatkan keturunan. Tentu kondisi ini bisa membuat batin Siti Sarah tergoncang. Itulah kenapa Siti Hajar kemudian mengenakan stagen untuk menutupi kehamilannya, diantaranya adalah demi menjaga perasaan Siti Sarah.
Kepedulian secara lahir dari Siti Hajar nampak tatkala Allah mengaruniakan air zam-zam, kemudian rombongan bangsa jurhum menemuinya untuk meminta air, maka beliau mempersilahkannya. Beliau tidak memonopoli karunia Allah SWT tersebut untuk sendiri tapi berbagi dengan yang lain.
2. Ridho
Setelah melahirkan putranya yang bernama Ismail, Siti Hajar dibawa oleh Nabi Ibrahim ke Mekkah, lalu ditinggalkan disana. Semula Siti Hajar terus mendesak kepada Nabi Ibrahim dengan pertanyaan yang bernada gugatan: “Wahai Ibrahim, kemana engkau akan pergi, sedangkan kami engkau tinggalkan di lembah ini, yang tiada manusia dan apapun jua?” (HR. Bukhari)
Siti hajar mengulangi pertanyaan itu berkali-kali, tapi tidak ada jawaban dari Nabi Ibrahim. Tapi ma’rifahnya kepada Allah membuatnya menanyakan hal lain: “Apakah Allah yang memerintahkan hal ini kepadamu?” Ibrahim menjawab, “Ya”. Siti Hajar berkata, “Kalau begitu Allah tidak akan menyia-nyiakan kami” (HR. Bukhari)
Sikap ridha Siti Hajar juga terlihat ketika putranya semata wayang, Ismail harus disembelih karena perintah Allah. Padahal kita tahu bagaimana perjuangan beliau menyelamatkan Ismail dari kelaparan dan kehausan kemudian membesarkannya sendirian, tanpa bantuan sari sang suami, Nabi Ibrahim. Sebuah sikap ridha yang luar biasa terhadap ketentuan Allah SWT.
3. Yakin
Keridhaan Siti Hajar dengan ungkapan yang meyakinkan tersebut, memang lahir dari keyakinannya yang sangat tinggi terhadap Allah SWT. Keyakinan bahwa semua perintah Allah pasti baik, meskipun secara lahir Nampak buruk. Mata kita memang kadang tertipu dengan yang Nampak, padahal hakikatnya tidak seperti yang kita lihat.
4. Tegar
Setelah ridha dan yakin terhadap ketentuan Allah, Siti Hajar tidak berpangku tangan tatkala bekal persediaan dari makanan dan minuman telah habis. Bahkan air susunya juga sudah tidak menetes. Ia bangkit, tangis Ismail memberinya energi lain untuk lebih bersemangat mencari air di tengah gurun pasir yang gersang itu. Fatamorgana dibukit Shafa memberinya harapan akan adanya air, tapi ternyata nihil. Kembali bangkit harapannya tatkala melihat ke bukit Marwa, namun ternyata hanya fatamorgana. Begitu seterusnya sampai tujuh kali beliau bolak-balik Shafa-Marwa dengan lari-lari kecil (sa’i), namun beliau tidak menemukan air. Beliau telah berupaya dengan semestinya bahkan dengan bersemangat.
Akan tetapi, sesungguhnya Allah sudah mempersiapkan karunia-NYA yang tak terduga. Karunia yang akan menambah ridha dan keyakinannya kepada segala ketentuan Allah SWT. Allah mengirim malaikat-NYA untuk mengibaskan sayapnya demi membuka mata air terbaik yang ada di dunia ini, yaitu air zam-zam.
5. Sederhana
Tatkala air zam-zam itu memancar dengan derasnya, maka Siti Hajar hanya mencawuk air itu untuk diisikan ke dalam kantong air. Dalam kondisi yang tragis begitu, biasanya orang akan berlebihan dalam mengambilnya, tapi tidak begitu dengan Siti Hajar. Beliau tidak tamak, tapi memanfaatkan sesuai dengan keperluan, tidak berlebih-lebihan.
Mudah-mudahan napak tilas tentang peristiwa Siti Hajar bisa memberi dorongan bagi kita terutama bagi muslimah-muslimah dan istri-istri yang sholehah, atau bagi siapa saja dalam menerima ketentuan dari Allah SWT untuk bersabar, tetap ikhtiar dan tawakkal. Hal itu terutama dalam keadaan yang serba kekurangan di tengah-tengah derasnya terpaan materealistis yang selalu menggoda untuk mengambil “jalan pintas” dan menghalakan berbagai cara.
www.salimah.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar