Ada ulama menunda umur sampai 40 tahun baru menikah karena sibuk menjaga ilmu, kalau kita sibuk apa?
MUNGKIN ada di antara kita, punya fikiran sedang menimbang-nimbang menunda menikah. Atau sebaliknya, sudah pada tarap memutuskan segera menikah. Mengapa?
Entahlah, alasannya bermacam-macam. Ada yang berfikir masalah persiapan, baik finansial maupun batin. Ada juga, masih mau mengejar karier-nya, dsb dll.
Coba renungkan, Nabi Adam ‘alaihissalam ketika baru saja diciptakan oleh Allah. Kemudian ditempatkan di surga yang penuh dengan segala kenikmatan tak tertandingi. Namun dibalik kenikmatan agung itu, ternyata Nabi Adam masih saja membutuhkan yang namanya pendamping, Siti Hawa. Bagaimana lagi dengan kita yang hanya hidup di dunia fana, penuh fitnah ini?
Bahkan sekaliber Rasulullah Muhammad pun masih juga membutuhkan pendamping hidup. Padahal beliau adalah manusia terbaik di muka bumi ini.
Kita juga tidak seperti shalat malamnnya Nabi, ataupun puasanya sampai malam. Tetapi beliau-pun juga menikah.
Memang, ada orang seperti Imam Nawawi –rahimahullah- selama hidupnya tidak sempat menikah. Ataupun ulama lainnya sampai menunda umur 40 tahun baru menikah. Tapi itu karena beliau-beliau sibuk menuntut ilmu, meneliti, mengumpulkan hadits. Dan di zaman mereka juga fitnah tidak seperti saat ini. Kalau kita ini sibuk apa?
Abdullah Ibnu Mas’ud pernah mengatakan, “Sekiranya saya tahu jarak umurku dengan hari kiamat sisa sepuluh hari lagi. Dan masih bujang niscaya saya akan segera menikah karena takut akan fitnah wanita.”
Bayangkan, di masa beliau belum ada namanya internet, Facebook, twitter dan alat komunikasi canggih lainnya. Apa yang beliau katakan sekiranya hidup di zaman ini? Bisa jadi sepuluh hari tadi tinggal satu hari.
Hari ini sungguh adalah zaman fitnah. Terkhusus fitnah terhadap lawan jenis.
Tidak dipungkiri terutama di Kota-kota besar, buka-buka aurat, (maaf bahkan muda-mudia bermesraan, berciuman di mana saja, di depan umum tanpa malu), berkhalwat sudah menjadi sajian publik.
Apa kita masih bisa seperti Imam Bukhari menjaga hafalan di mana beliau kadang mendengar hadits di Bashrah lalu menulisnya di Kufah, atau sebaliknya. Sedang jarak antara Kufah dan Bashrah saat itu memakan waktu kurang lebih sebulan perjalanan.
Subahanallah begitu terjaga, kuatnya hafalannya, hadits yang beliau dengar sebulan lalu masih bisa ia ingat, hafal dengan baik. Bagaimana dengan kita?
Ilmu yang baru saja didengar kadang lupa. Mungkin baru saja keluar dari pengajian, yang melekat tinggal separuh. Ibarat seorang yang kuliah di Kota, nanti ketika sampai di kampung halamannya baru ia tulis semua ilmu yang didengarnya!
Karena, salah satu cara menjaga ilmu, hafalan adalah menjauhi maksiat.
Imam as-Syaafi’i mengatakan, “Aku bertanya pada waqi’ akan buruknya hafalanku. Maka beliau menasehatiku bahwasanya ilmu itu cahaya. Dan cahaya tidak akan masuk kepada orang yang bermaksiat.”
Lihatlah Imam as-Syafi’i, sekedar beliau ke pasar lantaran tidak sengaja melihat betis wanita hafalannya langsung melemah. Bagaimana lagi dengan kita yang mungkin tiap saat, sengaja maupun tidak sengaja melihat pemandangan melemahkan iman tiap saat? Berapa hafalan kita yang akan hilang? Jangan-jangan memang malah sudah habis.
Atau karena keseringan lantaran tidak punya lagi rasa sensitifme? Sebab, kebanyakan interaksi terhadap sesuatu justru akan menghilangkan kepekaan. Sehingga menganggap hal-hal maksiat seperti sudah biasa.
Fitnah syahwat dan wanita
Sekali lagi, hidup di zaman fitnah seperti ini sungguh membutuhkan keimanan yang kuat, terutama fitnah syahwat. Rasulullah Sallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah aku tinggalkan fitnah yang lebih besar bagi kaum lelaki melebihi fitnah wanita.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Tentu yang dimaksud dalam hal ini adalah fitnah lawan jenis. Baik perempuan terhadap laki-laki dan sebaliknya.
Begitupun “Sesungguhnya dunia ini indah dan mempesonakan. Sesungguhnya Allah menyerahkan dunia ini kepada kamu sekalian dan Allah akan melihat bagaimana kamu sekalian berbuat atas dunia ini. Maka berhati-hatilah kamu sekalian dalam masalah duniadan berhati-hati pulalah terhadap wanita.” (HR. Muslim).
Sa’id bin Al-Musayyab ulama tabi’in pernah mengatakan, “Tidak ada yang lebih berbahya bagiku kecuali fitnah wanita.” Dan beliau mengatakan hal ini di saat umurnya sudah 80 tahun. Sudah lansia tetapi tetap saja beliau berhati-hati akan fitnah wanita.
Bagaimana lagi dengan kita yang masih muda? Belum menikah lagi.
Dan di zaman beliau juga belum ada alat komunikasi, jejaring sosial se-canggih saat ini. Apa yang akan beliau katakan sekiranya hidup di zaman fitnah tersebar di mana-mana seperti saat ini?*/ Muhammad Scilta Riska
Tidak ada komentar:
Posting Komentar