Setiap gerakan manapun di dunia ini membutuhkan musuh, untuk dijadikan motivasi, orientasi, serta sumber energi dukungan internal, bahkan juga sebagai perekat keretakan internal.
Di zaman perang dingin, Amerika dan sekutunya membutuhkan keberadaan Uni Sovyet untuk dijadikan sparing partner, baik dalam rangka perlombaan meraih puncak super power dunia, dan tentunya juga untuk mendapatkan dukungan internal rakyat di dalam negeri.
Begitu komunisme runtuh dan Uni Sovyet bubar, Gedung putih merasa seperti kehilangan motivasi, penurunan tenaga dan dis-orientasi. Sebagian kalangan berpandangan bahwa perlu diciptakan musuh baru, yaitu Timur Tengah alias Islam. Setidaknya begitulah yang dianalisa oleh Samuel Huntington dalam Class of Civilization-nya.
Dalam dunia sepak bola, kalau cuma sekedar latihan dan bola sekedar ditendang sana atau disundul sini, sama sekali tidak seru. Tetapi begitu dibuatkan pertandingan, ada lawan yang harus ditaklukkan, barulah serasa ada semangat main bola.
Bayangkan kalau kesebelasan lawan menyatakan kalah WO dan tidak mau turun ke lapangan hijau untuk bertanding, maka semangat kesebelasan sendiri pun ikut hilang juga. Dan penonton pun ikut kecewa.
Ketika sebelumnya rezim Orde Baru masih bersikap represif, umat Islam di negeri kita saat itu punya kekuatan dan perekat bersama, yang didapat dari tekanan rezim. Ada yang dimata-matai, ada yang ditangkap, ada juga yang dibeli dan dipelihara untuk jadi pengkhianat perjuangan.
Namun tatkala rezim itu tumbang, umat seolah kehilangan musuh bersama. Perekat yang semula menyatukan barisan perlahan mulai mengendor dan disana-sini muncul keretakan yang mengkhawatirkan.
Malah satu per satu mulai jalan sendiri-sendiri, mendirikan bendera masing-masing, mengumpulkan masa dan pendukung masing-masing, membangun kekuatan internal masing-masing.
Amat disayangkan pada gilirannya malah satu dengan yang lain saling menjadi saingan, bahkan sampai ke level saling cakar satu dengan yang lain.
Apalagi ketika datang godaan untuk masuk ke dalam sistem yang dibumbui dengan anggapan dapat mengubah sistem itu dari dalam, maka aroma permusuhan itu semakin menyengat. Salah satu sebabnya adalah bahwa pekerjaan itu ternyata dilakukan secara sendiri-sendiri tanpa mengajak elemen lain untuk melakukan pekerjaan besar ini secara bersama-sama,
Akibatnya yang terjadi justru perpecahan dan fitnah dalam tubuh umat. Sesuatu yang sebenarnya sudah sejak awal terprediksi dan ditakutkan untuk terjadi. Dan sayangnya memang terjadi secara nyata.
Posisi rezim Orde Baru yang dahulu jadi musuh bersama, kini berada di tangan sebagian kelompok kecil, dimana kelompok-kelompok yang lain sisanya ternyata tetap berada di luar sistem.
Berada di luar sistem ini ada banyak penyebabnya. Bisa karena faktor idealisme untuk menjaga jarak dengan pusat kekuasaan, bisa juga karena faktor 'kekalahan' dalam perebutan jatah kursi. Bahkan bisa pula karena keyakinan bahwa perubahan sistem tidak mungkin dilakukan dengan jalan masuk dan mengubah dari dalam.
Maka entah siapa yang mulai duluan, tiba-tiba pemandangan yang kita lihat semua sudah saling tikam. Yang di luar sistem itu 'menyerang' atau menghabisi yang di dalam sistem. Dan yang di dalam pun juga menyerang balik dan meladeni untuk membalas memusuhi juga.
Apalagi ada kesenjangan dan perbedaan nyata dari sisi 'pendapatan' dan kemakmuran secara individu, antara yang di dalam dan di luar. Maka jurang perbedaan itu semakin menganga.
Setelah umat Islam kehilangan musuh bersama, akhirnya satu sama lain merasa perlu untuk menciptakan musuh baru, agar bisa tetap punya energi dari saling bermusuhan.
Setiap elemen umat berusaha membangun stigma ke dalam tubuhnya masing-masing bahwa elemen lain yang tidak sejalan itu adalah musuh. Apesnya, doktrin seperti itulah yang disunntikkan kepada setiap pengikut dan langsung masuk ke alam bawah sadar mereka.
Kadang untuk mendapatkan power internal, musuh harus 'diciptakan'. Ah, sayang sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar