Ikhtiar, Tawakal, dan Pasrah (Kajian Kitab Ihya Ulumuddin)
Tawakal itu bertingkat-tingkat, yaitu: Pertama, tawakalnya orang awam seperti kita kebanyakan. Kedua, tawakalnya orang khawas yang sudah jauh anak tangganya ke atas. Dan yang ketiga, tawakalnya khawasul khawas, yaitu orang yang sudah mencapai pada tingkat puncak.
Namun demikian, tawakal juga sering disalahpahami oleh sebagian di antara kita, seolah-olah orang yang tawakal itu pasrah. Apakah maksud dari pasrah?
Terkadang orang menyangka bahwa makna tawakal itu meninggalkan usaha dengan badan, meninggalkan pengaturan dengan hati dan jatuh di atas bumi bagaikan daging di atas landasan tempat memotong daging. Lihatlah daging di atas dapur tempat pemotongan itu! Bukanlah seperti ini seharusnya seorang muslim bertawakal, yaitu seperti daging yang tergeletak, tak ada usaha sama sekali. Ini adalah sangkaan orang-orang yang bodoh.
Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali (dalam kitab Ihya Ulumuddin) memberikan klarifikasi terhadap kita, bahwa yang dimaksud dengan tawakal bukanlah seperti itu, bukanlah hanya dengan berdoa saja, yang pokoknya semua denyut jantungnya diserahkan kepada Tuhan. Bukanlah ini yang disebut tawakal. Malah dikatakan, bahwa hal seperti ini tak lain merupakan sangkaan orang-orang yang bodoh, karena yang demikian itu diharamkan oleh syari’ah kita. Sebaliknya, kita wajib untuk bergerak. Banyak sekali ayat-ayat Alquran yang membahas mengenai hal ini. Allah berfirman:
Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu’min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”. (Q.S. At-Taubah: 105)
Kita tidak disuruh hanya berdiam diri saja. Malahan Allah bersumpah:
(1) Demi masa. (2) Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, (3) kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (Q.S. Al-’Ashr: 1-3)
Jadi, jangan ada yang beranggapan bahwa semakin tinggi tingkat kepasrahan seseorang jika ia hanya berdoa saja, meninggalkan keramaian, menelantarkan anak cucu dan keluarga. Hal ini justru berdosa.
Rasulullah pernah menegur tiga komponen sahabatnya berkenaan dengan hal ini. Ketika itu ada yang menyatakan, “Ya Rasulullah, alhamdulillah, ibadahku sudah meningkat, tak pernah lagi melakukan hubungan suami-isteri. Semua itu kulakukan demi untuk berkonsentrasi penuh terhadap cintaku kepadamu lebih dari cintaku kepada istri. Cintaku tak boleh lagi berbagi selain kepadamu.”
Mendengar ini, Rasulullah setengah marah. Beliau pun berkata kepada orang itu, “Aku ini seorang rasul, tetapi juga mempunyai isteri dan anak. Haknya isteri ada pada kita, begitu juga haknya anak.”
Kemudian ada lagi yang datang, lalu menyatakan, “Ya Rasulullah, aku berbahagia, karena aku tak pernah lagi tidur malam. Waktu sepenuhnya aku gunakan untuk salat, serta puasa sepanjang hari.”
Mendengar ini, Rasulullah kemudian berkata, “Bukanlah begitu seharusnya, karena badan ini juga ada haknya.”
Sesungguhnya, pembekasan tawakal itu nampak dalam gerak-gerik seorang hamba. Bekas-bekas ketawakalan bisa dilihat jika orang tersebut berusaha dengan ikhtiarnya. Jadi, ikhtiar itu adalah usaha. Seseorang yang sakit wajib hukumnya untuk berobat. Kita tidak boleh berpasrah diri begitu saja ketika sakit. Orang yang mati dalam keadaan tidak berikhtiar, maka sama saja orang tersebut mati bunuh diri.
Ada kalanya usaha tersebut dilakukan untuk menarik manfaat, yaitu seperti bekerja. Jika kita bekerja di kantor misalkan yang itu ada gajinya, maka hal ini merupakan usaha (ikhtiar) untuk hidup. Kalau kita sudah memperoleh manfaat, kemudian kita pelihara manfaat itu, maka ini adalah bagian dari tawakal. Dalam hal ini harus pula diingat, bahwa kita jangan bersikap mubazir. Memelihara manfaat atau harta yang kita peroleh itu adalah dengan menyimpannya, sebagian kita simpan untuk keperluan darurat. Janganlah jika kita hari ini mendapatkan rezeki yang hari itu juga akan habis. Kita dianjurkan untuk menghemat.
Jika suatu waktu harta kita itu hilang, maka janganlah khawatir, karena kita sudah melakukan ikhtiar. Jika terjadi seperti ini, maka camkanlah di dalam hati, bahwa Tuhan pasti menyimpan sesuatu yang tidak berkah di dalam harta itu, sehingga Tuhan kemudian mengambilnya melalui orang lain. Janganlah bersedih jika suatu waktu kita mengalami kehilangan harta. Yakinlah, bahwa pasti ada sesuatu yang tidak bermanfaat seandainya harta itu tetap tinggal bersama kita. Tak usah meratapi barang yang hilang, sebab apa yang telah hilang itu belum tentu akan kembali.
Ikhtiar juga dilakukan untuk memelihara dari kemelaratan, yaitu seperti menolak orang-orang yang menyerang, menolak pencuri, ataupun menolak binatang buas. Dalam hal ini, kita tidak boleh berpasrah saja jika menghadapi hal-hal tersebut. Selain itu, ikhtiar juga dilakukan untuk menghindari dari penyakit, yaitu seperti meminum obat. Jika kita sakit, lalu kita kemudian tak mengobatinya, maka hal ini bukanlah tawakal, melainkan kita telah melakukan dosa.
Jadi, gerak-gerik hamba tidak terlepas dari empat hal:
Pertama, menarik kemanfaatan, yaitu seperti bekerja. Kita bertawakal, tapi kita juga bekerja. Menarik manfaat maksudnya kita berusaha yang dari usaha itu ada hasilnya. Hasilnya itu kita gunakan untuk hidup sejahtera, untuk membiayai anak-anak bersekolah, digunakan untuk menjadikan anak kita sebagai anak yang saleh.
Kedua, memelihara kemanfaatan, yaitu seperti menyimpan harta. Jika pada yang pertama tugas kita adalah mencari harta tersebut, maka yang kedua tugas kita adalah menyimpannya.
Ketiga, menolak kemelaratan. Kita tidak boleh menjadi orang yang melarat, juga menjaga dari ancaman luar. Maksudnya, jika kita sudah tahu bahwa pola hidup kita itu ujung-ujungnya akan melarat, maka hindarilah jalan itu, carilah jalan yang lain. Seandainya pun juga ada dua cabang yang itu tidak ada pilihan hidup, misalkan jika kita bertahan pada suatu pendirian maka kita akan mati kelaparan. Tapi kalau kita mengambil jalan yang lain yang itu hasilnya adalah haram, maka pilihlah yang haram itu, seandaikan memang sudah tak ada pilihan yang lain. Di dalam Alquran disebutkan, bahwa babi pun dibolehkan untuk dimakan jika dalam keadaan tak ada pilihan seperti ini. Tapi harus memang dalam keadaan yang betul-betul darurat, sehingga tak ada dosa kita melakukan itu. Darurat itu membolehkan yang tidak boleh.
Keempat, memotong kemelaratan. Misalkan, jika kita sedang sakit, maka kita harus memotong jangan sampai sakit tersebut terlalu lama. Jika flu tanpa diobati, biasanya flu tersebut baru sembuh setelah lima hari ataupun sepuluh hari. Tetapi dalam hal ini kita tahu kondisi diri kita. Biasanya jika kita meminum obat, maka flu tersebut akan begitu cepat sembuh, yaitu paling-paling hanya tiga hari. Jadi, kemelaratan tersebut harus dipotong. Jangan membiarkan diri kita begitu saja tanpa ada usaha mengobati. Memotong kemelaratan juga adalah untuk memberikan peluang kepda ibadah-ibadah yang lain. Jika kita sehat, tentunya banyak ibadah yang bisa kita lakukan, serta ibadah tersebut bisa kita lakukan secara khusyu’ dibandingkan jika kita berada dalam keadaan sakit.
Rasulullah bersabda:
Jika kamu bertawakal kepada Allah dengan tawakal yang sesungguhnya, niscaya Allah memberikan rezeki kepadamu sebagaimana Allah memberikan rezeki kepada burung yang keluar dari sarangnya pagi-pagi dengan perut lapar dan kembali pada sore harinya dengan perut kekenyangan setiap hari. Dan lenyaplah gunung-gunung penghalang dengan sebab doanya.
Tawakal yang benar adalah tawakal seperti yang disabdakan oleh Rasulullah itu. Siapa yang bekerja ataupun berikhtiar kemudian berdoa, maka inilah tawakal yang benar. Kalau hal ini konsisten dilakukan, betul-betul fokus kepada Allah dalam menyerahlan dirinya, maka Allah akan menjamin rezeki orang tersebut. Hal ini merupakan suatu mu’jizat, ada misteri di situ, yaitu misteri keikhlasan, misteri tawakal.
Jika kita telah melakukan pekerjaan secara baik dan maksimum, mungkin setelah itu ada perasaan takut dan khawatir. Janganlah takut terhadap atasan kita jika kita telah melakukan sesuatu itu dengan baik dan maksimum, yang penting kita bekerja (berikhtiar) secara baik menurut kemampuan kita. Dalam hal ini, perlu adanya ketenangan. Jangan memberi kesempatan keraguan itu muncul dalam batin kita. Inilah tawakal.
Kita mungkin pernah merasakan tidak percaya diri setelah melakukan sesuatu, padahal apa yang telah kita lakukan itu sudah cukup baik. Ada rasa takut dan bersalah, seakan-akan yang telah kita lakukan itu tidak maksimal. Orang yang selalu digelisahkan oleh keraguannya sendiri, maka itu bukanlah tawakal. Orang yang tawakal, maka dia akan percaya pada dirinya sendiri. Dia telah berikhtiar, selebihnya diserahkan kepada Allah.
Kalau memang standard atasannya melebihi dari apa yang dilakukannya, maka ia akan menyerahkan kepada Allah, sebab Allah hanya menciptakan kadarnya seperti itu. Hingga kita tetap bisa bersikap tenang ketika dimarahi. Kalau memang kita bisa bersikap seperti ini, maka di saat yang lain mungkin atasan kita itu akan meminta maaf kepada kita. Mungkin juga kita akan dicari, karena walaupun terdapat kekurangan pada pekerjaan kita itu, tetapi istiqamahnya ternyata yang dibutuhkan oleh atasan kita, daripada dibandingkan dengan yang lain, sempurna tetapi munafik.
Ini adalah hal yang sangat penting untuk kita semua. Tidak perlu memaksakan diri untuk melakukan sesuatu yang sangat sempurna menurut standardnya orang lain, apalagi hal itu di luar kemampuan kita. Misalkan, kita hanya S1, tetapi kemudian ditantang untuk melakukan sesuatu seperti yang dilakukan oleh orang yang sudah S3. Bukanlah tawakal namanya jika kita tetap memaksakan untuk melakukan sesuatu yang di luar kemampuan kita.
Tawakal itu jika kita bekerja sesuai dengan apa adanya yang ada pada diri kita, bukan bagaimana seharusnya yang diinginkan oleh atasan kita. Karena, kalau kita selalu terbayangi oleh standardnya atasan kita ataupun standardnya orang lain, maka kita pasti selalu takkan pernah percaya diri. Sebaik apapun pekerjaan kita, ternyata itu masih ada kurangnya, karena di atas langit masih ada langit lagi. Orang yang seperti ini adalah orang yang tidak berperasaan tawakal. Orang yang berperasaan tawakal adalah orang yang apapun terjadi, maka itulah dirinya. Tapi hal ini harus konsisten dilakukan.
Kalaupun ada persoalan, misalkan dimarahi ataupun dicela, pada saat-saat seperti ini kita perlu tuma’ninah sebentar. Endapkanlah sebentar, kemudian kita berdoa kepada Allah bahwa ikhtiar kita itu sudah cukup tetapi atasan kita masih menganggapnya kurang. Kita serahkan diri kita kepada Allah, laa hawlawala quwwata illa billah. Insya Allah nantinya akan ada kemu’jizatan (keajaiban). Namun persoalannya selama ini, bahwa kita jarang sekali mau bertuma’ninah setelah melakukan ikhtiar.
Kita sudah melakukan kerja yang maksimum, tetapi kita dimarahi, seolah-olah kita terpengaruh, bahwa memang kita yang salah. Padahal dengan seperti ini, berarti kita telah menafikan kerja maksimum yang telah kita lakukan menurut kemampuan kita. Wakafkanlah diri kita kepada Allah pada saat-saat ini. Ingatlah Allah sambil kita berpasrah di dalam hati. Yakinlah, bahwa nantinya pasti akan ada jawaban. Tidak akan ada orang yang jatuh jika ia telah berikhtiar dan berdoa lalu menyerahkan dirinya kepada Allah.
Ingatlah ada dua istilah, yaitu menyerahkan diri dan pasrah. Kita sudah berikhtiar melakukan yang secara maksimum sesuai dengan kemampuan kita. Kemudian setelah itu serahkanlah hasil kerja kita tersebut kepada Tuhan. Setelah itu barulah kita pasrah. Menyerahkan diri berbeda dengan pasrah. Pasrah adalah puncak dari semua usaha yang kita lakukan itu. Jadi, anak tangganya adalah ikhtiar (berusaha), sesudah itu tawakal (menyerahkan), sesudah itu barulah pasrah. Janganlah kita langsung pasrah tanpa melewati dua anak tangga di bawahnya, yaitu tak ada ikhtiar dan tawakal.
Ketika kita sedang menghadapi suatu problem, maka ingatlah Allah pada saat itu. Pada kondisi ini, baik itu atasan ataupun orang lain, apakah mereka mampu melawan Tuhan? Pada waktu itu, kita sudah berada di dalam genggaman Tuhan. Masih adakah kekuatan lain yang akan merampas kita yang sudah berada di dalam genggaman Tuhan? Jawabannya, tidak ada yang mampu merampas kita jika kita sudah berada di dalam genggaman Tuhan. Tapi ini harus dilakukan dengan haqqul yaqin, yaitu jangan setengah-setengah. Pada umumnya, pasrahnya kita itu setengah-setengah (tanggung).
Janganlah kita takut dipecat. Justru kalau kita takut, malahan mungkin akan dipecat. Dalam hal ini, jadilah seperti baja, yaitu istiqamah, sehingga si pemecat itu akan kalah. Kalau kita menyerahkan diri ini sepenuhnya kepada Allah, maka hukum alam (sunnatullah)nya yang berlaku adalah pasti Tuhan akan melindungi kita. Tapi kalau kita ragu, maka sama saja kita sudah bersikap syirik, yaitu pada satu sisi kita percaya Tuhan, tetapi pada sisi yang lain kita selalu dirundung rasa takut.
Berani membunuh keraguan, itulah yang dicari oleh orang banyak. Tapi sangat sedikit yang bisa mencapai pada tingkatan tersebut. Bagaimanakah membunuh keraguan? Caranya, kita harus haqqul yaqin.
Sebagian para ulama mengatakan, bahwa semua hamba itu berada dalam rezeki Allah. Akan tetapi sebagian dari mereka itu memakan dengan kehinaan, yaitu seperti meminta-minta. Maksudnya, karakter orang tersebut memang suka meminta-minta. Memang dahulunya ketika miskin kebiasaannya adalah meminta-minta. Tetapi ketika sudah kaya, kebiasaan meminta-minta itu masih ada. Ironisnya, kalau tempat ia meminta itu lebih rendah daripada dirinya sendiri.
Tidak pantas jika ada atasan yang meminta kepada bawahannya, melainkan dialah seharusnya yang memberi kepada bawahannya. Jika ada yang seperti ini, maka yakinlah, apa yang didapatnya itu tak ada keberkahannya. Sekalipun ia memiliki banyak harta, tetapi jika semuanya itu diperoleh dari meminta-minta, maka tak ada keberkahan di dalamnya.
Tangan yang di atas itu lebih baik daripada tangan yang di bawah. Meminta itu hanyalah kepada Allah, bukanlah kepada makhluk. Tidak usah menambah rezeki jika jalannya adalah dengan meminta-minta. Mintalah kepada Allah, hindarilah meminta kepada sesama manusia. Meminta yang dimaksud adalah potong kompas (jalan pintas). Orang yang menjadi tempat meminta-minta itu mendapatkan harta dengan bermandikan keringat, tetapi kita seenaknya saja meminta. Meminta tersebut bentuknya juga bermacam-macam: ada yang berbentuk proposal, dan berbagai macam bentuk lainnya. Apalagi kalau memang memintanya itu dilakukan di pinggir jalan, yaitu sengaja mendramatisir dirinya sebagai orang miskin, padahal ternyata dia bukanlah orang yang pantas untuk meminta-minta. Tak ada keberkahan yang didapatkan melalui cara seperti ini. Lebih baik kita hidup dalam kesederhanaan tetapi memiliki harga diri, dibandingkan hidup berkecukupan tetapi dengan cara menjual harga diri.
Sebagian dari mereka dengan jerih payah dan menunggu seperti para pedagang. Ini mungkin lebih baik, karena ada usahanya. Sebagian lagi dari mereka dengan membuka usaha seperti perajin (tukang), jadi lebih terprogram rutinitasnya, prediksi-prediksinya, dengan menggunakan sistem yang rapi, ada tenaga kerja (karyawan), bukan spontanitas dirinya sendiri yang mendapatkan keuntungan, tetapi ini sudah menggunakan sistem yang rapi. Dan sebagian dari mereka itu dengan kemuliaan, seperti para ahli tasawuf yang menyaksikan kepada Allah Yang Maha Mulia, kemudian mereka itu mengambil rezeki mereka dari kekuasaan-Nya, mereka tidak melihat perantaraannya.
Jadilah pedagang yang sufi. Kita boleh banyak memiliki cabang-cabang usaha, tetapi pada sisi lain kita juga harus dekat kepada Allah. Orang yang seperti ini membuat orang lain menjadi iri. Dunianya kaya, akhiratnya juga kaya. Orang yang diberi kemuliaan seperti ini harus lebih banyak bersyukur dibandingkan yang lain. Bersyukurnya tidak hanya sekedar tahmid. Kalau tahmid hanya sekedar mengucapkan Alhamdulillah, sedangkan bersyukur dilakukan dengan disertai tindakan nyata.
Bagaimanakah gaya sufi yang dimaksud? Yaitu menarik manfaat, misalkan memiliki perusahaan, memiliki cabang-cabang usaha yang banyak, pekerjaan di mana-mana, tetapi ia memelihara yang bermanfaat itu. Menyimpan harta dengan baik. Barang siapa yang memperoleh harta, baik itu yang merupakan warisan, ataupun memang hasil kerja dan jerih payahnya, atau dengan sebab apapun juga, maka yang harus dilakukan oleh orang tersebut adalah hanya mengambil sekedar kebutuhannya ketika itu.
Orang kaya yang sufistik seperti inilah modelnya. Ia makan apabila lapar. Jangan mentang-mentang kaya, lalu bersikap boros. Salah satu hikmah kita berpuasa adalah kita tidak lagi terlalu tergila-gila dengan jenis makanan apapun. Ia memakai pakaian jika ia telanjang. Kalau tidak ada lagi pakaiannya, barulah ia membeli yang baru. Dan ia membeli tempat tinggal yang sederhana. Bagi mereka, tidak perlu lagi rumah mewah. Dan jika ia memiliki kelebihan, maka akan dibaginya kepada yang membutuhkan. Besar ataupun kecil yang dibaginya itu tergantung dia, karena kondisi kehidupan kita juga harus dihitung. Ia tidak mengambilnya dan tidak pula menimbunnya.
Ingatlah, bahwa yang kita bawa ketika mati hanyalah kain kafan. Menurut Rasulullah, bahwa ada tiga hal yang akan menyertai ketika seseorang meninggal dunia. Tetapi yang paling dicintainya justru itulah yang paling pendek mengantarnya hingga ke kuburan. Yang paling kita cintai adalah istri atau suami kita. Secinta apapun seorang istri terhadap suaminya, atau seorang suami terhadap istrinya, dia tidak akan mau menemani pasangan hidupnya itu di dalam liang lahat.
Sesudah istri, anak, ataupun keluarga, barulah harta. Harta ini masih lumayan, karena masih mau menyertai kita dalam bentuk tujuh lapis kain kafan. Tapi yang paling sering kita benci, justru itulah yang paling lama mengawal kita, bahkan tanpa batas. Itulah yang disebut dengan amal. Jarang sekali amal yang dilakukan itu kita laksanakan dengan nikmat, melainkan lebih banyak membebani kita. Tetapi justru yang paling membebani kita inilah justru yang paling abadi menyertai kita.
Yang paling kita cintai paling hanya sampai di permukaan (atas) kuburan menyertai kita. Harta yang kita miliki paling hanya sampai di dalam kuburan (itupun hanya berbentuk kain kafan). Sedangkan amal yang kita lakukan akan selamanya menyertai kita, bahkan hingga di hari akhir, di padang mahsyar, bahkan hingga di dalam surga. []
Disarikan dari Pengajian Tasawuf yang disampaikan oleh Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, M.A.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar