Seseorang dapat merasa selamanya hidup gagal dan mencap dirinya sendiri seakan terlahir dan sepantasnya untuk menjadi manusia sial, pecundang dan gagal. Demikian pula penilaian dan cara pandangnya terhadap segala hasil usaha dan pencapaian orang lain akan selalu gagal, negatif dan pokoknya mengecewakan. Hal itu lahir dari sikap diri negatif yang mendorongnya untuk melihat diri dan dunia luar dengan kacamata kuda yang gelap dan picik dari satu arah, sehingga hampir tak terlihat sisi pandang lain secara jernih sekalipun sebenarnya yang ia pandang adalah positif ataupun terdapat sisi dan unsur positif.
Dalam konteks ini, patut kita hayati hadits qudsi yang meriwayatkan titah Allah bahwa keputusan takdir-Nya terhadap garis hidup manusia tergantung bagaimana ia berfikir dan berprasangka tentang-Nya. John Maxwell dalam The Winning Attitude: Your Key to Personal Success (1993) dalam salah satu dari 6 teori dan aksioma tentang sikap menyimpulkan bahwa sikap sangat menentukan keberhasilan dan kegagalan mengacu para prinsip “slight-edge” Menurutnya, sikap kita apakah tetap sabar untuk mencapai tujuan atau cepat menyerah akan menentukan kita untuk sukses atau gagal (berhenti usaha).
Paul J Meyer pernah mengatakan bahwa 90 % orang-orang yang gagal sebetulnya belum tentu gagal, hanya saja mereka cepat menyerah. Sebagai ilustrasi rahasia sunnatullah sukses dan gagal ini dapat kita lihat pada fenomena air yang dimasak sampai mendidih. Air tidak akan mendidih meskipun telah mencapai 99,9 derajat celsius sebab air hanya akan mendidih pada 100 derajat celsius dan bukan pada 99,9 derajat meskipun hanya kurang 0,01 derajat celsius saja.
Dalam manajemen keberhasilan dan kegagalan, diperlukan seni menetapkan pola keberhasilan melalui proses yang terdiri dari lima langkah sebagaimana tips sukses yang ditawarkan Art Mortell dalam The Courage to Fail (1993) yaitu;
1. Tentukan atau kenali rasa takut yang melemahkan diri kita;
2. beritahu orang lain tentang sebab-sebab kebingungan Anda, yang dapat membantu membebaskan diri Anda dari rasa takut;
3. putuskan bagaimana kita bisa berhenti bila upaya kita menimbulkan kekecewaan yang sangat sampai kita yakin bahwa kita dapat mengendalikan situasi;
4. mulailah dengan perlahan-lahan sampai kita bisa menghadapi tantangan dengan baik dan mengurangi bahaya timbulnya kepanikan;
5. bayangkan diri kita sedang berada di tempat yang menyenangkan, sehingga rasa takut digantikan oleh emosi yang positif dan mampu menggunakannya untuk mendorong kreativitas.
Kalau kita memandang kegagalan diri dan orang lain di dunia ini sebagai sesuatu yang ‘gatot’ (gagal total), kiamat dan tamat riwayat, maka kita akan berhenti pada kegagalan dan tidak akan pernah melihat keberhasilan. Dalam hidup, yang dikenang orang bahkan yang kita ingat sebenarnya keberhasilan kita, dan bukannya pengalaman kegagalan kita. Mereka yang berhasil adalah yang mampu membuat sebuah pondasi yang kokoh dari batu-bata yang dilemparkan orang lain padanya. Jarang orang yang menyadari bahwa Isaac Newton pernah lemah prestasi belajarnya ketika di sekolah dasar, Henri Ford pernah gagal dalam bisnis dan bangkrut sebanyak 5 kali, Dale Carnegie pernah depresi dahsyat dan sempat terlintas untuk bunuh diri, Winston Churchill pernah tidak naik kelas enam, Abraham Lincoln pernah diturunkan pangkatnya menjadi prajurit biasa sebagaimana Khalid bin Walid pernah dilengserkan Umar bin Khathab dari posisi komandan menjadi prajurit biasa, Nabi Yusuf sempat menjadi budak yang diperjualbelikan, dan Nabi Muhammad saw. pernah tidak berjaya pada perang Uhud, pernah terusir, dihina, terlukai dan tidak dihiraukan.
Keberhasilan merupakan bola salju yang bermula dari ukuran kecil yang terus bergulir untuk terus membesar. Cara kita menyikapi setiap pencapaian, hasil dan anugerah (nikmat) hidup adalah pola kita memperlakukan bola salju. Bila kita remehkan dan tidak kita hargai sehingga cenderung mengabaikannya, maka tidak akan tumbuh besar, bahkan justru akan mencairkan dan melenyapkannya. Itulah ekspresi jiwa dalam mensyukuri dan menghargai hasil betapapun adanya. Bukankah Nabi saw bersabda bahwa orang yang tidak pandai menghargai dan berterima kasih orang lain maka ia tidak akan dapat bersyukur kepada Allah. Beliau juga berpesan agar kita tidak meremehkan suatu kebaikan pun. (QS.An-Naml:19, 40, Ibrahim:7)
Hargailah proses dan usaha betapapun hasilnya untuk dapat meraih keberhasilan yang hakiki. Orang yang pandai bersyukur adalah orang yang pandai berterimakasih, dan orang yang pandai berterima kasih adalah orang yang pandai menghargai dan orang tidak akan dapat menghargai apapun bila tidak memahami, menyadari dan menghargai proses serta usaha. Karakter utama orang shalih adalah menggunakan akal pikiran untuk memahami proses (Ulul Albab) termasuk segala ciptaan Allah di semesta alam, sehingga segala ucapan, sikap dan komentarnya selalu positif, menyejukkan, memotivasi, membersitkan inspirasi, dan penuh kearifan. Refleksi spontan imani Ulul Albab berupa komentar “Rabana ma khalaqta hadza bathilan” (Ya Tuhan Kami, tidaklah apapun yang Engkau ciptakan ini sia-sia, Maha suci Engkau… QS. Ali Imran:191) sebagai bentuk apresiasi dan penghargaan terhadap proses dan sumber kebaikan, apapun hasil takdir-Nya.
Tipe wanita yang pandai menghargai pencapaian suami bagaimanapun kondisinya sebagai bagian dari manajemen keberhasilan adalah Ummul Mukminin Khadijah. Di saat-saat Rasulullah merasa sangat cemas, kesepian, ketakutan, dan merasa ditinggalkan, maka Khadijah justru mengungkit sisi-sisi kebaikan sosial dan pencapaian moral Nabi saw yang begitu tinggi sehingga mampu membangkitkan kembali motivasi Nabi saw. Demikian pula tipe suami yang pandai menghargai istri adalah Rasulullah saw dimana beliau tidak pernah mencela makanan maupun masakan sebagai penghargaan terhadap proses usaha dan sumbernya yang Maha Pemberi. Beliau juga tidak mencela kondisi fisik istrinya Aisyah yang tidak langsing lagi sebagai penghargaan beliau terhadap usaha dan pengorbanan Aisyah untuk tetap setia menghibur dan mendampingi Nabi saw, sehingga beliau cukup menyiratkan pentingnya pemeliharaan tubuh melalui olahraga lari.
Di saat sahabat merasa gagal mempertahankan kualitas iman dan spiritualitas, Nabi saw memberikan penghargaan terhadap adanya kesadaran untuk merawat spiritualitas dan beliau memberikan motivasi bahwa kondisi keimanan seseorang memang fluktuatif sehingga dapat naik dan turun, naiknya dengan ketaatan dan turunnya dengan ketidakpatuhan. Namun sebaliknya di saat para sahabat merasa terlalu yakin dengan pencapaian dan prestasi amalnya, beliau mengingatkan bahwa surga tidak ditentukan oleh amal, melainkan murni karena rahmat Allah semata termasuk nasib beliau. Hal itu agar para sahabat tidak berhenti beramal sehingga Allah meridhai dan merahmati mereka.
Kata-kata bijak dan prinsip-prinsip kearifan yang menumbuhkan motivasi dan memacu inspirasi sangat diperlukan dalam seni manajemen keberhasilan dan kegagalan bagi diri dan orang lain. Kung-fu-tze pernah ditanya tentang apa yang akan dilakukan jika ia menjadi kaisar Cina. Tanpa ragu-ragu ia menjawab, “Aku akan mendidik rakyatku dengan kata-kata yang penuh inspirasi, semoga dengan menggunakan kata-kata itu mereka akan menjadi generasi bangsa yang gagah perkasa.”
Keberhasilan perlu disongsong, dibangun dan dijaga sebagaimana kegagalan perlu diantisipasi, dihindari dan dilawan. Don Gabor dalam Big Things Happen (1997) memberikan 7 daftar pemeriksaan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam membangun sukses yaitu;
1. tetap berusaha dan bekerja untuk membuat kemampuan ada lebih menonjol dari sebelumnya;
2. gunakan bakat Anda dalam banyak cara sedapat mungkin;
3. beri diri Anda kesan dan citra positif untuk mencapai tujuan;
4. cari manfaat dan hikmah dari keberhasilan Anda;
5. periksalah arsip tentang rencana dan program yang belum diselesaikan atau impian yang belum kesampaian;
6. masukkan sebanyak mungkin pengetahuan dari keberhasilan dan kegagalan Anda sebisa Anda;
7. dapatkan orang-orang yang bisa Anda ajak berbagi pengalaman dan pengetahuan Anda.
Orang tidak akan dapat menghargai setiap pencapaian, prestasi dan hasil diri sendiri maupun orang lain kalau tidak menyadari dan menghargai proses dan usaha serta mengingat Allah sebagai sumber segala karunia. Wallahu A’lam Wa Billahit Taufiq Wal Hidayah. []