.

Rabu, 24 April 2013

Abbad bin Bisyr, Si Abid yang Gagah Berani



Abbad bin Bisyr adalah seorang sahabat yang tidak asing dalam sejarah dakwah Islam. Ia tidak hanya termasuk di antara para ‘abid (ahli ibadah), tapi juga tergolong kalangan para pahlawan yang gagah berani dalam menegakkan kalimah Allah. Tidak hanya itu, ia juga seorang penguasa yang cakap, berbobot dan dipercaya dalam urusan harta kekayaan kaum Muslimin.


Ketika Islam mulai tersiar di Madinah, Abbad bin Bisyr Al-Asyhaly masih muda. Dalam kegiatan sehari-hari dia memperlihatkan tingkah laku yang baik, bersikap seperti orang-orang yang sudah dewasa, kendati usianya belum mencapai dua puluh lima tahun.


Dia mendekatkan diri kepada seorang dai dari Makkah, yaitu Mush’ab bin Umair. Dalam tempo singkat, hati keduanya terikat dalam ikatan iman yang kokoh. Abbad mulai belajar membaca Al-Qur'an kepada Mush’ab. Suaranya merdu, menyejukkan dan menawan hati. Oleh karena itu, ia terkenal di kalangan para sahabat sebagai imam dan pembaca Al-Qur'an.


Pada suatu malam ketika Rasulullah Saw sedang melaksanakan shalat tahajud di rumah Aisyah yang berdempetan dengan masjid. Terdengar oleh beliau suara Abbad bin Bisyr membaca Al-Qur'an dengan suara yang merdu.

“Ya Aisyah, suara Abbad bin Bisyrkah itu?” tanya Rasulullah.

“Betul, ya Rasulullah!” jawab Aisyah.

Rasulullah berdoa, “Ya Allah, ampunilah dia!”

Abbad bin Bisyr turut berperang bersama Rasulullah Saw dalam tiap peperangan yang beliau pimpin. Dalam peperangan-peperangan itu dia bertugas sebagai pembawa Al-Qur'an.


Ketika Rasulullah kembali dari Perang Dzatur Riqa’, beliau beristirahat dengan seluruh pasukan Muslim di lereng sebuah bukit. Setibanya di tempat perhentian di atas bukit Rasulullah bertanya, “Siapa yang bertugas jaga malam ini?”


Abbad bin Bisyr dan Ammar bin Yasir berdiri, “Kami, ya Rasulullah!” kata keduanya serentak. Rasulullah telah menjadikan keduanya bersaudara ketika kaum Muhajirin baru tiba di Madinah.


Ketika keduanya keluar ke pos penjagaan, Abbad bertanya kepada Ammar, “Siapa di antara kita yang berjaga terlebih dahulu?”


“Aku yang tidur lebih dahulu,” jawab Ammar yang bersiap-siap untuk berbaring tidak jauh dari tempat penjagaan.


Dalam suasana malam yang tenang dan hening, Abbad shalat malam dan larut dalam manisnya ayat-ayat Al-Qur'an yang dibacanya. Dalam shalat itu ia membaca surat Al-Kahfi dengan suara memilukan bagi siapa saja yang mendengarnya. 


Ketika Abbad tenggelam dalam mahabbah dengan Rabb-nya, seorang laki-laki datang dengan tergesa-gesa dan melihat seorang hamba Allah sedang beribadah. Lelaki itu yakin bahwa Rasulullah ada di tempat itu dan orang yang sedang shalat itu adalah pengawal yang bertugas jaga.


Orang itu menyiapkan anak panah dan memanah Abbad dengan tepat mengenai tubuhnya. Abbad mencabut anak panah yang bersarang di tubuhnya sambil meneruskan bacaan dan tenggelam dalam shalat. Orang itu memanah lagi dan mengenai Abbad dengan jitu. Abbad kembali mencabut anak panah lalu meneruskan ibadahnya. Kemudian orang itu memanah lagi. Abbad mencabut lagi anak panah dari tubuhnya seperti dua anak panah terdahulu.


Giliran jaga bagi Ammar bin Yasir pun tiba. Abbad merangkak ke dekat saudaranya yang tidur, lalu membangunkannya seraya berkata, “Bangunlah! Aku terluka parah dan lemas.”


Sementara itu, melihat mereka berdua, si pemanah buru-buru melarikan diri. Ammar menoleh ke arah Abbad dan melihat darah bercucuran dari tiga luka di tubuhnya. “Subhanallah! Mengapa engkau tidak membangunkan aku ketika panah pertama mengenaimu?” tanyanya keheranan.


“Aku sedang membaca Al-Qur'an dalam shalat. Aku tidak ingin memutuskan bacaanku sebelum selesai. Demi Allah, kalaulah tidak karena takut akan menyia-nyiakan tugas jaga yang dibebankan Rasulullah, menjaga pos perkemahan kaum Muslimin, biarlah tubuhku putus daripada memutuskan bacaan dalam shalat,” jawab Abbad.


Ketika perang memberantas orang-orang murtad berkecamuk pada masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq, khalifah menyiapkan pasukan besar untuk menindas kekacauan yang ditimbulkan oleh Musailamah Al-Kadzab. Abbad bin Bisyr termasuk pelopor dalam pasukan tersebut.


Abbad dan pasukannya menyerbu dan memecah pasukan musuh, serta menebar maut dengan pedangnya. Kemunculannya menyebabkan pasukan Musailamah Al-Kadzab terdesak mundur dan melarikan diri ke Kebun Maut.


Di sana, dekat pagar tembok Kebun Maut, Abbad gugur sebagai syahid. Tubuhnya penuh dengan luka bekas bacokan pedang, tusukan lembing, dan panah yang menancap. Para sahabat hampir tak ada yang mengenalinya, kecuali setelah melihat beberapa tanda di bagian tubuhnya yang lain. 




Redaktur : cr01

Sumber : 101 Sahabat Nabi karya Hepi Andi Bastoni



Maksiat yg Melahirkan Penyesalan




“Maksiat yang melahirkan sikap hina dina di hadapan Allah itu lebih baik ketimbang ketaatan keapada Allah yang melahirkan sikap merasa mulia dan sombong.

” Sebesar apa pun kemaksiatan dan dosa seseorang, jika memasuki pintu taubat, Allah tetap menyambutnya dengan Pintu Ampunan yang agung, bahkan dengan kegembiraanNya yang Maha dahsyat kepadamu.
Karena sebesar langit dan bumi ini, jika anda penuhi dengan dosa-dosa anda, dikalikan lagi dengan lipatan jumlah penghuni planet ini, kelipatan dosa itu, sesungguhnya ampunan Allah masih lebih besar dan lebih agung lagi.

Oleh sebab itu Ibnu Athaillah membesarkan hati orang yang telah berbuat dosa agar tidak putus asa terhadap ampunan Allah, bahkan orang yang berdosa namun bertobat dengan penuh rasa hina dina dihadapan Allah itu dinilai lebih baik, dibanding orang yang ahli ibadah yang merasa hebat, merasa suci, merasa paling mulia dan merasa sombong dengan ibadahnya.


Mengapa ?

Karena ada dosa yang lebih tinggi lagi dibanding maksiat, yaitu dosanya orang takjub atau kagum pada diri sendiri. Bahkan Rasulullah saw. Bersabda :“Jikalau kalian tak pernah berbuat dosa, niscaya yang paling saya takutkan pada kalian adalah yang lebih dahsyat lagi, yaitu ‘ujub (kagum pada diri sendiri).”

Bahkan betapa banyak orang yang dulunya ahli maksiat lalu diangkat derajatnya menjadi manusia mulia di hadapan Allah Ta’ala. Begitu juga banyak ahli ibadah tetapi berakhir hina di hadapanNya gara-gara ia sombong dan merasa lebih dibanding yang lainnya.

Orang yang beramar ma’ruf nahi mungkar, apakah ia aktivis muslim, da’I, ustadz, kyai, ulama’, muballigh, ketika mereka menyerukan amar ma’ruf nahi mungkar, lantas dirinya merasa lebih baik dari yang lain, adalah wujud kesombongan yang hina pada dirinya.



Dibanding seorang preman yang bertobat, pelacur yang bertobat, maling yang bertobat dengan kerendahan jiwa di hadapan Allah, mereka yang merasa paling Islami itu justru menjadi paling hina, jika ia tidak segera bertobat.



Nabi Adam as, mendapatkan kemuliaan luar biasa sebagai Nabi, Rasul, Khalifah, Abul Basyar, justru ketika sudah turun di muka bumi, karena tindak dosanya di syurga. Namun Nabi Adam bertobat dalam remuk redam jiwanya dan hina dina hatinya di depan Allah, justru Allah mengangkat dan menyempurnakan ma’rifatnya ketika di dunia, bukan ketika di syurga dulu.

Nabi Adam as, menjadi Insan Kamil ketika di dunia, bukan ketika di syurga. Oleh sebab itu terkadang Allah mentakdirkan maksiat pada seorang hamba dalam rangka agar si hamba lebih luhur dan dekat kepada Allah. Wacana ini dilontarkan agar manusia tidak putus asa atas masa lalu dan nodanya di masa lampau, siapa tahu, malah membuat dirinya naik derajat.

Wacana ini pula tidak bias dipandang dengan mata hati, nafsu dan hasrat hawa. Misalnya, “Kalau begitu maksiat saja, siapa tahu, kita malah naik derajat....” Kalimat ini adalah kalimat yang muncul dari hawa nafsu!


Wacana mengenai naiknya derajat paska maksiat, hanya untuk orang yang sudah terlanjur maksiat, agar tidak putus asa dan tetap menjaga rasa baik sangka kepada Allah Ta’ala (husnudzon). Apalagi di akhir zaman ini, jika disurvey, membuktikan bahwa orang yang kembali kepada Allah dengan taubatnya, biasanya didahului oleh kehidupan yang hancur-hancuran, maksiat yang bernoda.
Akhir zaman ini juga banyak dibuktikan, khususnya di wilayah kota, betapa banyak orang yang merasa bangga diri dengan ahli ibadahnya, ketekunan dan taatnya, diam-diam ia ujub dan sombong, merasa lebih dibanding lainnya.

Sifat hina dina adalah wujud kehambaan kita. Manusia akan sulit mengakui kehambaannya manakala ia merasa mulia, merasa sombong, ujub, apalagi merasa hebat dibanding yang lainnya.


Karena itu rasa hina dina, apakah karena diakibatkan oleh kemaksiatan atau seseorang mampu menjaga rasa hina dina di hadapan Allah, adalah kunci terbukanya Pintu-pintu Allah Ta’ala, karena kesadaran seperti itu, membuat seseorang lebih mudah fana’ di hadapanNya.

Selasa, 16 April 2013

Pejabat Indonesia Dan Pejabat Jepang




Alkisah ada dua orang sahabat sedang bercerita karena telah lama tidak bertemu selepas kuliah dulu. Yang satu orang Indonesia dan yang satunya orang Jepang, mereka dulu sama-sama kuliah di Negeri Kincir Angin untuk memperdalam ilmu Arsitektur.

Setelah sekian lama tidak bertemu, mereka berdua telah menjadi pejabat di negaranya masing-masing.
Pejabat Indonesia : “Wah… lama ya tidak bertemu, sekarang kamu terlihat tambah hebat saja..”

Pejabat Jepang : Yah beginilah kalau kita bisa menikmati hasil kerja kita dengan mengembangkan ilmu yang kita dapat semasa kuliah dulu.. mampirlah ke rumahku bila kelak kamu traveling ke Jepang, akan aku perlihatkan hal lainnya yang pasti membuat kamu tambah tercengang..”

Pejabat Indonesia : “Oke lah, lain waktu aku akan mampir ke rumahmu..”
Lain waktu tibalah Pejabat Indonesia ini ke negara Jepang, tanpa pikir panjang dia langsung menanyakan hasil apa yang telah diperolehnya setelah lulus kuliah dan selama menjadi Pejabat. Lalu Pejabat Jepang tersebut membuka jendela rumahnya yang sangat megah dan berkata kepada Pejabat Indonesia, “Kamu lihat jembatan layang yang terbentang luas itu, 50% dari biaya pembangunan itu berasal dari rekening pribadiku..”

Pejabat Indonesia : “Wah hebat sekali kamu.. tapi aku tidak mau kalah dengan kamu, lain waktu mampirlah kamu ke Indonesia..”

Pejabat Jepang tersebut menepati janjinya kepada sahabatnya itu. Kemudian dia datang ke Indonesia. Pejabat Jepang ini sangat kagum dengan rumah sahabatnya yang seperti Istana Bogor, lalu berkata, “Kamu benar-benar sahabatku yang paling jenius, ternyata kamu sudah bisa mengalahkan aku, apa sih rahasianya.?”

Pejabat Indonesia : “Mari aku tunjukkan darimana saya mendapatkan semua ini..”
Pejabat Indonesia ini membuka jendela rumah dan berkata kepada sahabatnya, “Kamu pasti bisa melihat jembatan layang yang luas itu kan.?”

Pejabat Jepang : “Ya benar… lantas apa yang kamu banggakan dan apa yang telah merubah hidupmu seperti ini.?”

Pejabat Indonesia : “Begini.. 50% dari biaya pembangunan jalan layang itu masuk ke rekening pribadiku..”

Pejabat Jepang : “????!!!!”



Mari lawan FUTUR bersama-sama



“Perumpamaan ilmu dan hidayah yang Allah utus aku dengan membawanya seperti hujan yang lebat menyirami bumi” (Mutaffaqun ‘alaih)

Adakah petaka yang lebih bahaya selain kembali kepada kesesatan atau kejahilan setelah hidayah menyapanya?
Penyakit jenis apakah yang menyebabkan petaka ini?
Ya, salah satu penyebabnya adalah penyakit yang kita kenal dengan ‘FUTUR SINDROME’

Salah satu penyebab penyakit FUTUR adalah menjauhkan diri (menghilang) dari lingkungan penuh keimanan dalam waktu yang panjang.

Muhammad bin Husein Ya’qub mengatakan bahwa menjauh dari majelis ilmu dan pertemuan dengan para ikhwah serta menjauh dari kunjungan-kunjungan serta aktivitas dakwah dapat mengeraskan hati.

Al Hasan Al Bashri berkata: ” sahabat-sahabat kami lebih mahal daripada keluarga kami. Keluarga kami mengingatkan kami kepada dunia sedangkan sahabat-sahabat kami mengingatkan kami kepada akhirat.

Seorang syaikh berkata ketika ada muridnya yang absen dalam majelisnya, ”kabarkan kepadanya bahwa pertemuanmu dengan sahabat-sahabatmu akan menambah keimanan dalam hatimu lebih banyak daripada engkau membaca kitab seorang diri”

Seorang sahabat nabi berkata kepada temannya: ”bergabunglah bersama kami, kita meningkatkan keimanan sesaat”

Ikhwahfillah…
Engkau dahulu diterpa angin pagi yang segar…
Kekasih tidaklah berubah selamanya…
Akan tetapi merasuklah angin dingin futur dan engkau tidak mewaspadainya,,
Lalu engkau terserang demam kemalasan..

Engkau dahulu berada di barisan terdepan…
Lalu apa yang menyebabkan engkau mundur kebelakang?
Berhentilah di atas keprihatinan dan teruslah tangisi kemunduran ini…!

Ikhwahfillah..
Tidakkah engaku rindu untuk menyertai kaum mu’minin?
Tidakkah engkau rindu untuk bermain di taman orang-orang shalihin?
Tidakkah engkau rindu majelis orang-orang yang meneteskan air mata?
Tidakkah engkau ingat hari-hari putih bersih?
Hari-hari dalam halaqah-halaqah yang penuh persaudaraan
Hari-hari dalam aktivitas dakwah yang penuh keberkahan

Ikhwahfillah…
Umat membutuhkanmu…
Janganlah engkau menambah problematika umat..
Janganlah engkau menambah permasalahan yang harus ditangani oleh saudara-saudaramu sesama aktivis dakwah..
Janganlah engkau menambah bait-bait do’a yang sudah sangat panjang yang harus dipanjatkan oleh saudara-saudaramu..

Ikhwah fillah…
Tidakkah urat nadimu berdetak cepat..?
Tidakkah mukamu memerah marah ketika melihat orang-orang yang keji itu mengejek Rasulullah?
Tidakkah naik amarahmu ketika musuh-musuh islam berencana menghancurkan masjid Al Aqsha?
Tidakkah tergerak hatimu melihat mereka mencaci maki nabi?
Tidakkah terpancar kekuatanmu melihat mereka mengancam akan merobohkan masjid Rasulullah dan memindahkan Ka’bah?
Dimanakah kamu dari semua ini?
Kemudian sesudah itu engkau merasa menikmati kehidupan?
Merasa tenang pikiran?
Engkau tutup mata dari semua itu?
Makan, minum, dan beristirahat?

Ketika Al Quds dirampas.. pemilik negeri menjauhi kasurnya.. meninggalkan tidur.. menceraikan perhiasan dunia yang terkutuk.. mereka berseru, ”Selamatkan Al Quds!”
Lalu bagaimana dengan kita?

Ikhwahfillah..
Apakah setelah melihat semua kehinaan ini engkau masih mengaku bersama islam dan kaum muslimin?
Engkau masih mau memberikan punggungmu karena Allah?
Engkau masih rela berkorban waktu dan tenaga dalam dakwah dijalan Nya?
Manfaatkanlah masamu sejenak.. mendekatlah kepada Ar-Rahman dengan cinta-Nya, Dia tidaklah melupakanmu..

Jika engkau cinta maka dakwah adalah faham.
Mengerti tentang islam, risalah anbiya dan warisan ulama.
Hendaknya engkau fanatis dan bangga dengannya
Seperti mughirah bin Syu’bah di hadapan Rustum Panglima Kisra

Jika engkau cinta..
maka dakwah adalah ikhlas
Menghiasi hati, memotivasi jiwa untuk berkarya
Seperti kata abul Anbiya: ’sesungguhnya shalatku, ibadahku,hidup dan matiku semata bagi Rabb semesta alam’
Berikan hatimu untuknya! Katakanlah Allah Ghayyatuna!

Jika engkau cinta, maka dakwah adalah tsabat!
Hati dan jiwa yang tegar walau banyak rintangan
Buah dari sabar meniti jalan adalah teguh dalam barisan,
Istiqamah dalam perjuangan dengan kaki tak tergoyahkan
Berjalan lempang jauh dari penyimpangan.

Jika engkau cinta maka dakwah adalah ukhuwah!
Terikatnya hati dan ruhani dengan ikatan aqidah
Kekuatan ikatannya sebagaimana Harits bin Hisyam, Ikrimah bin Abu Jahl, dan Iyash bin Abi Rabiah memberi teladan di perang Yarmuk
Mementingkan saudaranya yang lain daripada dirinya sendiri sekalipun untuk seteguk air.

Jika engkau cinta..
Masukkanlah dirimu kedalamnya!
Sebagaimana Masyithoh bersama anaknya mencelupkan dirinya kedalam kuali
Masuk dalam air mendidih hanya untuk mempertahankan aqidah
Dari renggutan fir’aun yang zhalim

Jika engkau cinta
Berjalanlah tegak mengusungnya
Seperti bilal yang tetap tegak melawan congkaknya Abu Jahl
Hingga kemuliaan didapat olehnya
Karena
Tiada Kemuliaan Tanpa dakwah dan Jihad


dikutip dengan banyak perubahan dari buku “Futur Sindrome awal petaka+sumber lain

Minggu, 07 April 2013

Ketika Abu Nawas Berdoa Minta Jodoh


Ada saja cara Abu Nawas berdoa agar dirinya mendapatkan jodoh dan menikah. Karena kecerdasan dan semangat dalam dirinya, akhirnya Abu Nawas mendapatkan istri yang cantik dan shalihah.


Sehebat apapun kecerdasan Abu Nawas, ia tetaplah manusia biasa. Kala masih bujangan, seperti pemuda lainnya, ia juga ingin segera mendapatkan jodoh lalu menikah dan memi
liki sebuah keluarga.


Pada suatu ketika ia sangat tergila-gila pada seorang wanita. Wanita itu sungguh cantik, pintar serta termasuk wanita yang ahli ibadah. Abu Nawas berkeinginan untuk memperistri wanita salihah itu. Karena cintanya begitu membara, ia pun berdoa dengan khusyuk kepada Allah SWT.


"Ya Allah, jika memang gadis itu baik untuk saya, dekatkanlah kepadaku. Tetapi jika memang menurutmu ia tidak baik buatku, tolong Ya Allah, sekali lagi tolong pertimbangkan lagi ya Allah," ucap doanya dengan menyebut nama gadis itu dan terkesan memaksa kehendak Allah.


Abu Nawas melakukan doa itu setiap selesai shalat lima waktu. Selama berbulan-bulan ia menunggu tanda-tanda dikabulkan doanya. Berjalan lebih 3 bulan, Abu Nawas merasa doanya tak dikabulkan Allah. Ia pun introspeksi diri.


"Mungkin Allah tak mengabulkan doaku karena aku kurang pasrah atas pilihan jodohku," katanya dalam hati.


Kemudian Abu Nawas pun bermunajat lagi. Tapi kali ini ganti strategi, doa itu tidak diembel-embeli spesifik pakai nama si gadis, apalagi berani "maksa" kepada Allah seperti doa sebelumnya.


"Ya Allah berikanlah istri yang terbaik untukku," begitu bunyi doanya.


Berbulan-bulan ia terus memohon kepada Allah, namun Allah tak juga mendekatkan Abu Nawas dengan gadis pujaannya. Bahkan Allah juga tidak mempertemukan Abu Nawas dengan wanita yang mau diperistri. Lama-lama ia mulai khawatir juga. Takut menjadi bujangan tua yang lapuk dimakan usia. Ia pun memutar otak lagi bagaimana caranya berdoa dan bisa cepat terkabul.


Abu Nawas memang cerdas. Tak kehabisan akal, ia pun merasa perlu sedikit "diplomatis" dengan Allah. Ia pun mengubah doanya.


"Ya Allah, kini aku tidak minta lagi untuk diriku. Aku hanya minta wanita sebagai menantu Ibuku yang sudah tua dan sangat aku cintai Ya Allah. Sekali lagi bukan untukku Ya Tuhan. Maka, berikanlah ia menantu," begitu doa Abu Nawas.


Barangkali karena keikhlasan dan "keluguan" Abu Nawas tersebut, Allah pun menjawab doanya.


Akhirnya Allah menakdirkan wanita cantik dan salihah itu menjadi istri Abu Nawas. Abu Nawas bersyukur sekali bisa mempersunting gadis pujaannya. Keluarganya pun berjalan mawaddah warahmah.