Cyber Sabili-Bogor. Matahari baru saja terbit. Daun-daun baru saja menggeliat. Udara masih menyisakan dingin yang menusuk tulang. Air sumur ikut membekukan tulang belulang. Kami jarang mandi sepagi ini. Tapi hari ini berbeda. Indok (ibu) membangunkan kami dengan tangisannya yang terisak-isak sisa semalam. Ia menangis bukan tanpa sebab.
Semalam, seorang lelaki berkulit hitam legam macam arang, datang mengetuk pintu kontrakan yang terbuat dari tripleks. Dari mulutnya keluar berita duka. Ia mengabarkan kalau Bak (ayah) telah meninggal dunia. Mendengar itu, Indok menangis tiada henti. Aku dan Abang berlinangan air mata. Hanya si kecil Pualam yang gelisah, meliat-liat dalam gendongan Indok.
Selepas lelaki itu pergi, Indok terdiam sebentar. Tak lama, ia meraung-raung macam harimau kumbang. Dari mulutnya keluar keluhan dan sederet sumpah serapah yang ditujukan pada Bak.
“Itulah penghabisan lanang (laki-laki) tak bertanggung jawab! Masuk nerako tu lah balasannyo!”
-------------
Suara pelayat membaca Yaasin terdengar nyaring di tengah lalu-lalang orang. Kami berjalan melewati gang sempit, melewati rumah-rumah kecil yang saling berhadap-hadapan.
Indok mengucapkan salam dengan lantang. Seluruh pelayat yang sedang membaca Yaasin mendadak terdiam sebentar, memandang Indok dan tentu saja aku dan Abang, sebelum menjawab salam.
Kami duduk di pinggir pintu. Ruangan 3 x 3 meter itu terasa amat sempit. Jasad Bak terbujur kaku, dibungkus kain putih. Abang menghampiri jasad Bak dan mendaratkan sebuah kecupan di keningnya. Ia menangis tertahan. Bahunya bergetar. Mendadak ada rasa sedih menyerangku. Air mataku berlinang lagi. Mata Indok mendelik ke arahku. Ia mencubit kakiku. Itu tanda bahwa ia mengingatkan aku untuk tidak menangis.
Seorang lelaki tua meminta agar proses pemakaman segera dilakukan, tak usah menunda-nunda lagi. Tak baik, katanya. Jasad Bak diangkut masuk keranda. Abang ikut membopong jasad Bak untuk terakhir kalinya. Matanya memerah. Kutahan-tahan air mataku sampai perih dadaku. Semua orang seakan berhenti bernafas melepaskan kepergian jasad itu. Bak akan dikuburkan di kuburan dekat Nala. Abang ikut mengantarkan Bak ke peristirahatan terakhirnya. Aku dan Indok serta ibu-ibu lain menunggu di ruang tamu.
“Marlina, kami pamit dulu, yo? Sabar … orang sabar disayang Tuhan.”
Begitu kata ibu-ibu silih berganti saat berpamitan pada perempuan yang ternyata bernama Marlina itu.
Indok mendekati perempuan itu. Aku ikut-ikutan menggeser pantatku mendekati Indok. Indok berdehem sebentar dan berkata, “Macam mano kejadiannyo semalam?”
Perempuan yang bibirnya sangat menarik perhatianku itu menjawab, “Abang mati karena kebanyakan minum,” ucapnya sambil sesenggukan.
Indok tampak mafhum.
“Ayuk ini bini tuo Abang, yo?”
Indok mengangguk.
“Saya minta maaf atas nama Bang Yunus, kalau selama ini Abang banyak berbuat salah.”
Perempuan itu terisak-isak. Aku terus saja menatap bibirnya. Alangkah elok bibirnya itu. Tak pernah kulihat Indok pakai bangbibir (lipstik) macam itu. Baru kutahu kalau lelaki macam Bak memang lebih suka dengan perempuan berbibir merah macam bibir Marlina ini.
-----------
Rumah Datuk yang di Sambe Baru merupakan rumah panggung dari kayu. Ukurannya amat panjang. Di rumah panjang ini tinggallah Datuk, Poyang Tino, dan seorang perempuan paruh baya yang kupanggil Bik Nur. Perempuan ini masih sepupu dengan Indokku. Bik Nur belum pernah menikah seumur hidupnya. Dari dulu ia tinggal bersama keluarga Datuk dan Poyangku. Orangnya baik. Perawakannya pendek. Rambutnya panjang. Hidungnya pesek.
Datuk amat garang. Ia memaksaku bekerja keras membanting tulang. Sebenarnya sejak dulu aku tahu perangai Datuk itu. Tapi baru sekarang kualami sendiri. Pagi-pagi buta aku dibangunkan. Padahal udara masih amat dingin. Selepas shalat Subuh dan sarapan, diajaknya aku ke ladang.
Di ladang, datuk mengajarkanku cara memanjat batang kopi, dan yang paling memberatkan adalah membawa bersisir-sisir pisang dalam baronang (Keranjang dari bambu untuk mengangkat hasil panen). Sambil membawa baronang yang disampirkan dengan ikat kepala itu, kami menuruni tebing yang curam.
Besok harinya, jam satu dini hari Datuk sudah mengajakku ke Pasar Ate menjual hasil ladang. Begitu terus dari waktu ke waktu. Kami juga memetik jagung dan sayur-mayur. Melihat hasil panen Datuk yang terus menerus aku merasa heran jika ia dan keluarganya hidup dalam kemiskinan.
“Petani akan tetap miskin, Nilam. Yang kaya itu penjualnya. Petani macam Datuk ini harus membeli pupuk, obat-obatan, dan bibit yang harganya selangit. Belum lagi kalau kami jual pada rentenir. Harganya jadi lebih rendah,” kata datuk padaku.
Mendengar kata rentenir, aku langsung terbayang lelaki tambun dengan kumisnya yang lebat. “Kalau begitu mengapa Datuk menjual ke rentenir?”
“Datuk dan petani di sini sudah banyak dibantunya. Apalagi kalau ingin pinjam uang. Jadi tak enak kalau tak menjual hasil ladang padanya,” katanya lagi.
------------
Itulah penggalan novel “Senja di Bukit Kaba” ini. Novel ini menceritakan tentang sosok Nilam, gadis dusun yang sederhana tapi cerdas. Lahir dari keluarga miskin di Kota Bengkulu. Di usianya yang belia, harus menghadapi kehidupan pahit; ditinggal ayahnya dan menjalani kehidupan serba sulit bersama ibu dan kedua saudaranya. Ia dan keluarganya terpaksa pulang kampung dari perantauan.
Di Curup, ia berkarib dengan Darmi sahabatnya sesama anak petani di sekolah, juga dengan Nurlela, anak seorang pejabat lokal. Ketimpangan dan perbedaan gaya hidup selalu mewarnai kisah pertemanan ”Tiga Gadis Curup” ini.
Nurlela dikaruniai kecantikan alami, berkulit putih bagaikan kapas, berwajah jelita, dan berpenampilan selalu periang, tapi tak selalu berniat baik pada kedua sahabatnya.
Darmi, hanya anak seorang petani kecil, berkulit legam, bergigi kuning, tapi selalu menunjukkan ketulusan hatinya meski ia bebal dalam belajar.
Dalam dada Nilam selalu berkobar semangat untuk sekolah setinggi langit. Tapi, seringkali keadaan tak memungkinkan untuk mewujudkan mimpinya.
Mampukah Nilam meniti jalan hidup yang penuh onak dan duri ini? Bagaimana dengan kedua temannya, Darmi dan Nurlela? Bagaimana kisah studinya? Apakah pertemanan mereka akan langgeng?
Semalam, seorang lelaki berkulit hitam legam macam arang, datang mengetuk pintu kontrakan yang terbuat dari tripleks. Dari mulutnya keluar berita duka. Ia mengabarkan kalau Bak (ayah) telah meninggal dunia. Mendengar itu, Indok menangis tiada henti. Aku dan Abang berlinangan air mata. Hanya si kecil Pualam yang gelisah, meliat-liat dalam gendongan Indok.
Selepas lelaki itu pergi, Indok terdiam sebentar. Tak lama, ia meraung-raung macam harimau kumbang. Dari mulutnya keluar keluhan dan sederet sumpah serapah yang ditujukan pada Bak.
“Itulah penghabisan lanang (laki-laki) tak bertanggung jawab! Masuk nerako tu lah balasannyo!”
-------------
Suara pelayat membaca Yaasin terdengar nyaring di tengah lalu-lalang orang. Kami berjalan melewati gang sempit, melewati rumah-rumah kecil yang saling berhadap-hadapan.
Indok mengucapkan salam dengan lantang. Seluruh pelayat yang sedang membaca Yaasin mendadak terdiam sebentar, memandang Indok dan tentu saja aku dan Abang, sebelum menjawab salam.
Kami duduk di pinggir pintu. Ruangan 3 x 3 meter itu terasa amat sempit. Jasad Bak terbujur kaku, dibungkus kain putih. Abang menghampiri jasad Bak dan mendaratkan sebuah kecupan di keningnya. Ia menangis tertahan. Bahunya bergetar. Mendadak ada rasa sedih menyerangku. Air mataku berlinang lagi. Mata Indok mendelik ke arahku. Ia mencubit kakiku. Itu tanda bahwa ia mengingatkan aku untuk tidak menangis.
Seorang lelaki tua meminta agar proses pemakaman segera dilakukan, tak usah menunda-nunda lagi. Tak baik, katanya. Jasad Bak diangkut masuk keranda. Abang ikut membopong jasad Bak untuk terakhir kalinya. Matanya memerah. Kutahan-tahan air mataku sampai perih dadaku. Semua orang seakan berhenti bernafas melepaskan kepergian jasad itu. Bak akan dikuburkan di kuburan dekat Nala. Abang ikut mengantarkan Bak ke peristirahatan terakhirnya. Aku dan Indok serta ibu-ibu lain menunggu di ruang tamu.
“Marlina, kami pamit dulu, yo? Sabar … orang sabar disayang Tuhan.”
Begitu kata ibu-ibu silih berganti saat berpamitan pada perempuan yang ternyata bernama Marlina itu.
Indok mendekati perempuan itu. Aku ikut-ikutan menggeser pantatku mendekati Indok. Indok berdehem sebentar dan berkata, “Macam mano kejadiannyo semalam?”
Perempuan yang bibirnya sangat menarik perhatianku itu menjawab, “Abang mati karena kebanyakan minum,” ucapnya sambil sesenggukan.
Indok tampak mafhum.
“Ayuk ini bini tuo Abang, yo?”
Indok mengangguk.
“Saya minta maaf atas nama Bang Yunus, kalau selama ini Abang banyak berbuat salah.”
Perempuan itu terisak-isak. Aku terus saja menatap bibirnya. Alangkah elok bibirnya itu. Tak pernah kulihat Indok pakai bangbibir (lipstik) macam itu. Baru kutahu kalau lelaki macam Bak memang lebih suka dengan perempuan berbibir merah macam bibir Marlina ini.
-----------
Rumah Datuk yang di Sambe Baru merupakan rumah panggung dari kayu. Ukurannya amat panjang. Di rumah panjang ini tinggallah Datuk, Poyang Tino, dan seorang perempuan paruh baya yang kupanggil Bik Nur. Perempuan ini masih sepupu dengan Indokku. Bik Nur belum pernah menikah seumur hidupnya. Dari dulu ia tinggal bersama keluarga Datuk dan Poyangku. Orangnya baik. Perawakannya pendek. Rambutnya panjang. Hidungnya pesek.
Datuk amat garang. Ia memaksaku bekerja keras membanting tulang. Sebenarnya sejak dulu aku tahu perangai Datuk itu. Tapi baru sekarang kualami sendiri. Pagi-pagi buta aku dibangunkan. Padahal udara masih amat dingin. Selepas shalat Subuh dan sarapan, diajaknya aku ke ladang.
Di ladang, datuk mengajarkanku cara memanjat batang kopi, dan yang paling memberatkan adalah membawa bersisir-sisir pisang dalam baronang (Keranjang dari bambu untuk mengangkat hasil panen). Sambil membawa baronang yang disampirkan dengan ikat kepala itu, kami menuruni tebing yang curam.
Besok harinya, jam satu dini hari Datuk sudah mengajakku ke Pasar Ate menjual hasil ladang. Begitu terus dari waktu ke waktu. Kami juga memetik jagung dan sayur-mayur. Melihat hasil panen Datuk yang terus menerus aku merasa heran jika ia dan keluarganya hidup dalam kemiskinan.
“Petani akan tetap miskin, Nilam. Yang kaya itu penjualnya. Petani macam Datuk ini harus membeli pupuk, obat-obatan, dan bibit yang harganya selangit. Belum lagi kalau kami jual pada rentenir. Harganya jadi lebih rendah,” kata datuk padaku.
Mendengar kata rentenir, aku langsung terbayang lelaki tambun dengan kumisnya yang lebat. “Kalau begitu mengapa Datuk menjual ke rentenir?”
“Datuk dan petani di sini sudah banyak dibantunya. Apalagi kalau ingin pinjam uang. Jadi tak enak kalau tak menjual hasil ladang padanya,” katanya lagi.
------------
Itulah penggalan novel “Senja di Bukit Kaba” ini. Novel ini menceritakan tentang sosok Nilam, gadis dusun yang sederhana tapi cerdas. Lahir dari keluarga miskin di Kota Bengkulu. Di usianya yang belia, harus menghadapi kehidupan pahit; ditinggal ayahnya dan menjalani kehidupan serba sulit bersama ibu dan kedua saudaranya. Ia dan keluarganya terpaksa pulang kampung dari perantauan.
Di Curup, ia berkarib dengan Darmi sahabatnya sesama anak petani di sekolah, juga dengan Nurlela, anak seorang pejabat lokal. Ketimpangan dan perbedaan gaya hidup selalu mewarnai kisah pertemanan ”Tiga Gadis Curup” ini.
Nurlela dikaruniai kecantikan alami, berkulit putih bagaikan kapas, berwajah jelita, dan berpenampilan selalu periang, tapi tak selalu berniat baik pada kedua sahabatnya.
Darmi, hanya anak seorang petani kecil, berkulit legam, bergigi kuning, tapi selalu menunjukkan ketulusan hatinya meski ia bebal dalam belajar.
Dalam dada Nilam selalu berkobar semangat untuk sekolah setinggi langit. Tapi, seringkali keadaan tak memungkinkan untuk mewujudkan mimpinya.
Mampukah Nilam meniti jalan hidup yang penuh onak dan duri ini? Bagaimana dengan kedua temannya, Darmi dan Nurlela? Bagaimana kisah studinya? Apakah pertemanan mereka akan langgeng?