Pertama: Menyembunyikan Amalan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِىَّ الْغَنِىَّ الْخَفِىَّ
“Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, hamba yang hatinya selalu merasa cukup dan yang suka mengasingkan diri.”[1] Mengasingkan diri berarti amalannya pun sering tidak ditampakkan pada orang lain.
Ibnul Mubarok mengatakan, “Jadilah orang yang suka mengasingkan diri
(sehingga amalan mudah tersembunyi, pen), dan janganlah suka dengan
popularitas.”
Az Zubair bin Al ‘Awwam mengatakan, “Barangsiapa yang mampu menyembunyikan amalan sholihnya, maka lakukanlah.”
Ibrahim An Nakho’i mengatakan, “Kami tidak suka menampakkan amalan sholih yang seharusnya disembunyikan.”
Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan bahwa Abu Hazim berkata,
“Sembunyikanlah amalan kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan
amalan kejelekanmu.”
Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Sebaik-baik ilmu dan amal adalah sesuatu yang tidak ditampakkan di hadapan manusia.”
Basyr Al Hafiy mengatakan, “Tidak selayaknya orang-orang semisal kita
menampakkan amalan sholih walaupun hanya sebesar dzarroh (semut kecil).
Bagaimana lagi dengan amalan yang mudah terserang penyakit riya’?”
Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Sudah sepatutnya bagi seorang alim
memiliki amalan rahasia yang tersembunyi, hanya Allah dan dirinya saja
yang mengetahuinya. Karena segala sesuatu yang ditampakkan di hadapan
manusia akan sedikit sekali manfaatnya di akhirat kelak.”[2]
:: Contoh para salaf dalam menyembunyikan amalan mereka ::
Pertama: Menyembunyikan amalan shalat sunnah
Ar Robi bin Khutsaim –murid ‘Abdullah bin Mas’ud- tidak pernah
mengerjakan shalat sunnah di masjid kaumnya kecuali hanya sekali saja.[3]
Kedua: Menyembunyikan amalan shalat malam
Ayub As Sikhtiyaniy memiliki kebiasaan bangun setiap malam. Ia pun
selalu berusaha menyembunyikan amalannya. Jika waktu shubuh telah tiba,
ia pura-pura mengeraskan suaranya seakan-akan ia baru bangun ketika itu.
[4]
Ketiga: Bersedekah secara sembunyi-sembunyi.
Di antara golongan yang mendapatkan naungan Allah di hari kiamat nanti adalah,
وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ
“Seseorang yang bersedekah kemudian ia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya.”[5] Permisalan sedekah dengan tangan kanan dan kiri adalah ungkapan hiperbolis dalam hal menyembunyikan amalan. Keduanya dipakai sebagai permisalan karena kedekatan dan kebersamaan kedua tangan tersebut.[6]
Contoh yang mempraktekan hadits di atas adalah ‘Ali bin Al Husain bin
‘Ali. Beliau biasa memikul karung berisi roti setiap malam hari. Beliau
pun membagi roti-roti tersebut ke rumah-rumah secara sembunyi-sembunyi.
Beliau mengatakan,
إِنَّ صَدَقَةَ السِّرِّ تُطْفِىءُ غَضَبَ الرَّبِّ عَزَّ وَ جَلَّ
“Sesungguhnya sedekah secara sembunyi-sembunyi akan meredam kemarahan Rabb ‘azza wa jalla.” Penduduk Madinah tidak mengetahui siapa yang biasa memberi mereka makan. Tatkala ‘Ali bin Al Husain meninggal dunia, mereka sudah tidak lagi mendapatkan kiriman makanan setiap malamnya. Di punggung Ali bin Al Husain terlihat bekas hitam karena seringnya memikul karung yang dibagikan kepada orang miskin Madinah di malam hari. Subhanallah, kita mungkin sudah tidak pernah melihat makhluk semacam ini di muka bumi ini lagi.[7]
Keempat: Menyembunyikan amalan puasa sunnah.
Dalam rangka menyembunyikan amalan puasa sunnah, sebagian salaf
senang berhias agar tidak nampak lemas atau lesu karena puasa. Mereka
menganjurkan untuk menyisir rambut dan memakai minyak di rambut atau
kulit di kala itu. Ibnu ‘Abbas mengatakan,
إِذَا كَانَ صَوْمُ أَحَدِكُمْ فَلْيُصْبِحْ دَهِينًا مُتَرَجِّلاً
“Jika salah seorang di antara kalian berpuasa, maka hendaklah ia memakai minyak-minyakan dan menyisir rambutnya.”[8]
Daud bin Abi Hindi berpuasa selama 40 tahun dan tidak ada satupun
orang, termasuk keluarganya yang mengetahuinya. Ia adalah seorang
penjual sutera di pasar. Di pagi hari, ia keluar ke pasar sambil membawa
sarapan pagi. Dan di tengah jalan menuju pasar, ia pun
menyedekahkannya. Kemudian ia pun kembali ke rumahnya pada sore hari,
sekaligus berbuka dan makan malam bersama keluarganya.[9]
Jadi orang-orang di pasar mengira bahwa ia telah sarapan di rumahnya.
Sedangkan orang-orang yang berada di rumah mengira bahwa ia menunaikan
sarapan di pasar. Masya Allah, luar biasa trik beliau dalam menyembunyikan amalan.
Begitu pula para ulama seringkali membatalkan puasa sunnahnya karena
khawatir orang-orang mengetahui kalau ia puasa. Jika Ibrohim bin Ad-ham
diajak makan (padahal ia sedang puasa), ia pun ikut makan dan ia tidak mengatakan, “Maaf, saya sedang puasa”.[10] Itulah para ulama, begitu semangatnya mereka dalam menyembunyikan amalan puasanya.
Kelima: Menyembunyikan bacaan Al Qur’an dan dzikir
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْجَاهِرُ بِالْقُرْآنِ كَالْجَاهِرِ بِالصَّدَقَةِ وَالْمُسِرُّ بِالْقُرْآنِ كَالْمُسِرِّ بِالصَّدَقَةِ
“Orang yang mengeraskan bacaan Al Qur’an sama halnya dengan orang
yang terang-terangan dalam bersedekah. Orang yang melirihkan bacaan Al
Qur’an sama halnya dengan orang yang sembunyi-sembunyi dalam bersedekah.”[11]
Setelah menyebutkan hadits di atas, At Tirmidzi mengatakan, “Hadits
ini bermakna bahwa melirihkan bacaan Qur’an itu lebih utama daripada
mengeraskannya karena sedekah secara sembunyi-sembunyi lebih utama dari
sedekah yang terang-terangan sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama.
Mereka memaknakan demikian agar supaya setiap orang terhindar dari
ujub. Seseorang yang menyembunyikan amalan tentu saja lebih mudah
terhindar dari ujub daripada orang yang terang-terangan dalam beramal.”
Yang dipraktekan oleh para ulama, mereka sampai-sampai menutupi
mushafnya agar orang tidak tahu kalau mereka membaca Qur’an. Ar Robi’
bin Khutsaim selalu melakukan amalan dengan sembunyi-sembunyi. Jika ada
orang yang akan menemuinya, lalu beliau sedang membaca mushaf Qur’an, ia
pun akan menutupi Qur’annya dengan bajunya.[12]
Begitu pula halnya dengan Ibrohim An Nakho’i. Jika ia sedang membaca
Qur’an, lalu ada yang masuk menemuinya, ia pun segera menyembunyikan
Qur’annya.[13] Mereka melakukan ini semua agar amalan sholihnya tidak terlihat oleh orang lain.
Keenam: Menyembunyikan tangisan
Sufyan Ats Tsauri mengatakan, “Tangisan itu ada sepuluh bagian.
Sembilan bagian biasanya untuk selain Allah (tidak ikhlas) dan satu
bagian saja yang biasa untuk Allah. Jika ada satu tangisan saja
dilakukan dalam sekali setahun (ikhlas) karena Allah, maka itu pun masih
banyak.”[14]
Dalam rangka menyembunyikan tangisnya, seorang ulama sampai pura-pura
mengatakan bahwa dirinya sedang pilek karena takut terjerumus dalam
riya’. Itulah yang dicontohkan oleh Ayub As Sikhtiyaniy. Ia pura-pura
mengusap wajahnya, lalu ia katakan, “Aku mungkin sedang pilek berat.”
Tetapi sebenarnya ia tidak pilek, namun ia hanya ingin menyembunyikan
tangisannya.[15]
Sampai-sampai salaf pun ada yang pura-pura tersenyum ketika ingin
mengeluarkan tangisannya. Tatkala Abu As Sa-ib ingin menangis ketika
mendengar bacaan Al Qur’an atau hadits, ia pun pura-pura menyembunyikan
tangisannya (di hadapan orang lain) dengan sambil tersenyum.[16]
Mu’awiyah bin Qurroh mengatakan, “Tangisan dalam hati lebih baik daripada tangisan air mata.”[17]
Ketujuh: Menyembunyikan do’a
‘Uqbah bin ‘Abdul Ghofir mengatakan, “Do’a yang dilakukan
sembunyi-sembunyi lebih utama 70 kali dari do’a secara terang-terangan.
Jika seseorang melakukan amalan kebaikan secara terang-terangan dan
melakukannya secara sembunyi-sembunyi semisal itu pula, maka Allah pun
akan mengatakan pada malaikat-Nya, “Ini baru benar-benar hamba-Ku.”[18]
Amalan-amalan apa saja yang mesti disembunyikan? [19]
Para ulama ada yang menjelaskan bahwa untuk amalan sunnah –seperti
sedekah sunnah dan shalat sunnah-, maka lebih utama dilakukan
sembunyi-sembunyi. Melakukan seperti inilah yang lebih mendekatkan pada
ikhlas dan menjauhkan dari riya’. Sedangkan amalan wajib –seperti zakat
yang wajib dan shalat lima waktu-, lebih utama dengan ditampakkan.[20]
Namun kadang amalan sholih juga boleh ditampakkan jika memang ada
faedah, misalnya agar memotivasi orang lain untuk beramal atau ingin
memberikan pengajaran kepada orang lain.
Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Kaum muslimin sudah mengetahui
bahwa amalan yang tersembunyi itu lebih baik. Akan tetapi amalan
tersebut kadang boleh ditampakkan jika ada faedah.”
Yang pantas menampakkan amalan semacam ini agar bisa sebagai contoh
atau uswah bagi orang lain adalah amalan para Nabi ‘alaihimus sholaatu
wa salaam.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab: 21) Yang semisal dengan para Nabi yang pantas menjadi uswah (teladan) adalah para Khulafaur Rosyidin, pewaris Nabi yaitu ulama dan da’i serta setiap orang yang menjadi uswah (teladan).
Imam Al-Iz bin ‘Abdus Salam telah menjelaskan hukum menyembunyikan
amalan kebajikan secara lebih terperinci. Beliau berkata, “Ketaatan
(pada Allah) ada tiga:
Pertama: Amalan yang
disyariatkan untuk ditampakkan seperti adzan, iqomat, ucapan takbir
ketika shalat, membaca Qur’an secara jahr dalam shalat jahriyah
(Maghrib, Isya’ dan Shubuh, pen), ketika berkhutbah, amar ma’ruf nahi
mungkar, mendirikan shalat jum’at dan shalat secara berjamaah, merayakan
hari-hari ‘ied, jihad, mengunjungi orang-orang yang sakit, dan
mengantar jenazah, maka amalan semacam ini tidak mungkin disembunyikan.
Jika pelaku amalan-amalan tersebut takut berbuat riya, maka hendaknya ia
berusaha keras untuk menghilangkannya hingga dia bisa ikhlas dalam
beramal. Sehingga dengan demikian dia akan mendapatkan pahala amalannya
dan juga pahala karena kesungguhannya menghilangkan riya’ tadi, karena
amalan-amalan ini maslahatnya juga untuk orang lain.
Kedua: Amalan yang
jika diamalkan secara sembunyi-sembunyi lebih utama daripada jika
ditampakkan. Contohnya seperti membaca Qur’an dengan sir (lirih) dalam
shalat siriyah (zhuhur dan ashar, pen), dan berdzikir dalam solat secara
perlahan. Maka dengan perlahan lebih baik daripada jika dijahrkan.
Ketiga: Amalan yang terkadang disembunyikan dan terkadang ditampakkan seperti amalan sedekah. Jika dia kawatir tertimpa riya’ atau dia tahu bahwasanya biasanya kalau dia nampakan amalannya dia akan riya’, maka amalan (sedekah) tersebut disembunyikan lebih baik daripada jika ditampakkan. Karena Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ
“Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu.” (QS. Al Baqarah: 271)
Adapun orang yang aman dari riya’ maka ada dua keadaan sebagai berikut.
Pertama: Dia
bukanlah termasuk orang yang jadi uswah (jadi contoh), maka lebih baik
dia menyembunyikan sedekahnya, karena bisa jadi dia tertimpa riya’
tatkala menampakkan amalannya.
Kedua: Dia adalah
orang yang jadi uswah, maka menampakan amalan –seperti amalan
sedekahnya- lebih baik karena hal itu akan membuat lebih akrab dengan
orang miskin dan dia pun bisa jadi uswah bagi orang lain. Dia telah
memberi manfaat kepada fakir miskin dengan sedekahnya dan dia juga bisa
mendorong orang-orang kaya untuk bersedekah pada fakir miskin karena
mencontohi dia, dan dia juga telah memberi manfaat pada orang-orang kaya
tersebut karena mengikuti dia beramal soleh.”
Termasuk point ketiga ini adalah menjahrkan atau mensirkan bacaan
surat pada shalat malam (shalat tahajud). Yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah terkadang mengeraskan bacaan dan terkadang melirihkan bacaan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
pun pernah shalat ketika bersama Abu Bakr beliau memelankan suaranya
dan ketika bersama Umar beliau mengeraskan suaranya. Suatu saat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan Abu Bakr untuk mengeraskan suara dan memerintahkan ‘Umar untuk melirihkan suaranya.[21]
An Nawawi mengatakan, “Terdapat berbagai hadits yang menjelaskan
keutamaan mengeraskan suara ketika membaca al Qur’an dan juga terdapat
hadits yang menjelaskan keutamaan melirihkan bacaan. Dari sini, para
ulama menjelaskan bahwa kompromi dari hadits-hadits tersebut yaitu:
melirihkan bacaan jadi lebih utama pada orang yang khawatir tertimpa
riya’. Jika tidak khawatir demikian, maka bacaannya boleh dikeraskan
asalkan tidak mengganggu orang lain yang sedang shalat atau tidur.”[22]
Bagaimana dengan dosa dan maksiat yang pernah dilakukan? Apakah boleh ditampakkan?
Setelah kita mengetahui dari penjelasan di atas, untuk amalan
ketaatan diberi keringanan dalam beberapa kondisi untuk ditampakkan
semisal untuk amalan wajib dan amalan sunnah (dalam beberapa keadaan).
Sedangkan untuk maksiat sudah sepatutnya untuk disembunyikan.
Menyembunyikan dosa dan tidak menampakkan aib-aibnya pada manusia, itu malah terpuji dilihat dari beberapa sebab.
Pertama: Kita
diperintahkan untuk menutup maksiat yang kita lakukan dan tidak perlu
membuka kejelekan-kejelekan diri kita. Disebutkan dalam hadits,
اِجْتَنِبُوْا هَذِهِ القَاذُوْرَةَ الَّتِي نَهَى اللهُ عَنْهَا ، فَمَنْ أَلَمَّ فَلْيَسْتَتِرْ بِسَتْرِ اللهِ
“Jauhilah dosa yang telah Allah larang. Siapa saja yang telah terlajur melakukan dosa tersebut, maka tutuplah rapat-rapat dengan apa yang telah Allah tutupi.”[23]
Juga jika kita tidak suka dengan maksiat, maka kita pun hendaklah
tidak suka orang lain mengetahuinya atau sampai melakukan hal yang sama.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Seseorang di antara kalian tidak dikatakan beriman (dengan iman yang sempurna) hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”[24]
Kebalikannya (mafhumnya) adalah jika engkau tidak suka sesuatu pada dirimu, maka engkau haruslah tidak suka hal itu menimpa saudaramu. Oleh karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menafikan iman dalam hadits ini, maka menunjukkan bahwa hal tersebut wajib dilakukan[25]. Sehingga menutup dosa dan maksiat adalah wajib.
Kedua: Agar jangan
sampai ‘aib tersebut terbuka dan terkoyak di hadapan orang lain. Karena
jika seseorang sudah merasa takut ‘aibnya terbuka di dunia, maka niscaya
‘aib tersebut sampai di akhirat akan terus tertutup. Oleh karena itu,
orang-orang sholih seringkali berdo’a: “Ya Allah, sebagaimana engkau
menutupi ‘aib-‘aibku di dunia, maka janganlah buka ‘aib-‘aibku di
akhirat.”
Ketiga:Agar orang
lain tidak ikut-ikutan melakukan maksiat yang telah dilakukan dan agar
maksiat tersebut tidak tersebar luas di muka bumi. Oleh karena itu,
sudah sepantasnya ‘aib atau maksiat ditutupi sampai pula pada orang
terdekat kita (misalnya kerabat dan orang tua).
Keempat: Agar kita
lebih mudah mendapatkan ampunan dari Allah dan tidak termasuk
orang-orang yang dicela dan tidak diterimanya taubatnya karena
memamerkan maksiat yang ia lakukan.
كُلُّ
أُمَّتِى مُعَافَاةٌ إِلاَّ الْمُجَاهِرِينَ وَإِنَّ مِنَ الإِجْهَارِ أَنْ
يَعْمَلَ الْعَبْدُ بِاللَّيْلِ عَمَلاً ثُمَّ يُصْبِحُ قَدْ سَتَرَهُ
رَبُّهُ فَيَقُولُ يَا فُلاَنُ قَدْ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا
وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ فَيَبِيتُ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ
يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ
“Setiap umatku akan diampuni kecuali orang yang melakukan jahr. Di antara bentuk melakukan jahr adalah seseorang di malam hari melakukan maksiat, namun di pagi harinya –padahal telah Allah tutupi-, ia sendiri yang bercerita, “Wahai fulan, aku semalam telah melakukan maksiat ini dan itu.” Padahal semalam Allah telah tutupi maksiat yang ia lakukan, namun di pagi harinya ia sendiri yang membuka ‘aib-‘aibnya yang telah Allah tutup.”[26]
Kelima: Agar ia
termasuk orang-orang yang memiliki rasa malu. Rasa malu inilah yang akan
menghalangi dirinya menampakkan maksiat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْحَيَاءُ لاَ يَأْتِى إِلاَّ بِخَيْرٍ
Keenam: Agar ia
tidak mendapat ejekan atau celaan dari manusia. Karena celaan biasanya
akan menusuk ke hati. Sedangkan hukuman had hanya akan menyakiti anggota
badan.
Demikian pembahasan tanda ikhlas yang pertama.
Hanya Allah yang memberi taufik untuk berbuat ikhlas.
Semoga Allah memudahkan kita untuk membaca posting lanjutan dari pembahasan tanda ikhlas yaitu tidak
mencari ketenaran dan merasa diri selalu kurang dalam beramal.
mencari ketenaran dan merasa diri selalu kurang dalam beramal.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com
[1] HR. Muslim no. 2965, dari Sa’ad bin Abi Waqqash.
[2] Lihat Ta’thirul Anfas min Haditsil Ikhlas, Sayyid bin Husain Al ‘Afaniy,hal. 230-232,Darul ‘Afani, cetakan pertama, 1421 H.
[3] Az Zuhud, Imam Ahmad, 5/60, Mawqi’ Jami’ Al Hadits.
[4] Hilyatul Auliya’, Abu Nu’aim Al Ash-bahaniy, 3/8, Darul Kutub Al ‘Arobiy, Beirut.
[5] HR. Bukhari no. 1423 dan Muslim no.1031,dari Abu Hurairah.
[6] Syarh Muslim, 3/481.
[7] Lihat Hilyatul Auliya’, 3/135-136.
[8] Disebutkan oleh Al Bukhari dalam kitab Shahihnya tanpa sanad (secara mu’allaq).
[9] Lihat Shifatus Shofwah, Ibnul Jauziy, 3/300, Darul Ma’rifah, Beirut, cetakan kedua, 1399 H.
[10] Lihat Ta’thirul Anfas,hal. 246
[11] HR. Abu Daud no. 1333 dan At Tirmidzi no. 2919, dari ‘Uqbah bin ‘Amir Al Juhaniy. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[12] Lihat Hilyatul Awliya’, 2/107, Darul Kutub ‘Arobiy, cetakan keempat, 1405 H.
[13] Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 246.
[14] Hilyatul Awliya’, 7/11.
[15] Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 248.
[16] Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 251.
[17] Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 252.
[18] Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 253.
[19] Diringkas dari Ta’thirul Anfas, hal. 263-267.
[20] Syarh Muslim, An Nawawi, 3/481, Mawqi’ Al Islam.
[21] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik, 1/410-411, Al Maktabah At Taufiqiyah.
[22] Dinukil dari footnote Faidul Qodir, Al Munawi, 3/354, Al Maktabah At Tijariyah Al Kubro, Mesir, cetakan pertama, tahun 1356 H.
[23] HR. Al Hakim, dari ‘Abdullah bin ‘Umar. Al Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih sesuai dengan syarat Bukhari-Muslim.
[24] HR. Bukhari no. 13 dan Muslim no. 45, dari Anas bin Malik.
[25] Faedah dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Kitab Al Iman.
[26] HR. Bukhari no. 6069 dan Muslim no. 2990, dari Abu Hurairah.
[27] HR. Bukhari no. 6117 dan Muslim no. 37, dari ‘Imron bin Hushain.