.

Sabtu, 22 September 2012

Mengapa ga mau punya binaan?


Pagi – pagi, enaknya berbicara tentang lika – liku jalan ini. Yang menurut para Murobbi kharakteristiknya banyak tantangannya,
Ngaji
jalannya panjang, dan sebagainya. Dan itu memang benar adanya. Walaupun memang yang kami rasakan belum se dahsyat yang dirasakan oleh dakwahnya Nabi dan sahabat, atau dakwahnya para Muassis dakwah ini. Namun kami merasakan bahwa memang begitu berat, dan kalau sudah begini, tinggal dua pilihannya. Tetap membersamainya, atau keluar dari perahu ini. Dan Alhamdulillah, berkat do’a dari para saudara kami, keistiqomahan dalam jalan ini semoga senantiasa membersamai kami, sampai nanti, sampai mati.
Tulisan ini sebenarnya muncul, karena berawal dari kegelisahan para ‘sesepuh kampus’, dalam sebuah forum, yang menyimpulkan bahwa tidak adanya kerapian sistem pembinaan kampus, terutama ikhwan, sehingga memuncukan beberapa pertanyaan penting yang menjadi pokok bahasan pada artikel ini. Salah satunya adalah pewarisan generasi. Pewarisan generasi menjadi sangat penting, namun sepertinya itu menjadi momok bagi sebagian kader, terutama mereka, para tokoh2 kampus, angkatan 2007 kebawah, yang sampai saat ini belum memiliki kepedulian terhadap pembinaan. Membina. Meliqo’i.

Ketika membicarakan dakwah, pasti tak akan lepas dari aspek kaderisasi. Kaderisasi adalah jantungnya dakwah. Dan  masalah para kader, dimanapun itu, yang masih mengesampingan aspek kaderisasi ini. Ya, kader yang masih enggan membina. Atau kader yang risih membina. Sepertinya itu menjadi masalah internal yang mendesak untuk segera diselesaikan. Tak terkecuali dengan di Kampus Konservasi ini. Materi – materi tentang pentingnya kaderisasi sudah sering disampaikan, baik dalam forum liqo, tatsqif, dauroh – dauroh, maupun workshop yang sering diadakan dikampus ini, tetapi follow up kita masih berjalan ditempat. Tersendat. Ada dauroh Murabbi, Workshop Murabbi, madrasah Murabbi, belum lagi ada Separator, dan masih banyak lagi wajihah yang seharusnya bisa kita optimalkan sebagai ladang kaderisasi kita. Tapi, why? Kenapa masih saja, ada yang masih ada kader yang belum membina? Apanya yang salah? Apakah belum dapat materi tentang urgensi membina? Atau apa? Apakah yang salah konsep pembinaannya, ataukah dari internal kader sendiri yang belum beres pola berfikirnya?

Pentingnya membina, setidaknya mengingatkan kita tentang materi ini. Bahwa sesungguhnya, membina atau menjadi murobbi dalam sebuah halaqoh (kelompok pengajian), merupakan metode dakwah fardiyah yang sangat konkret dalam pembentukan syakhsiyah Islamiyah (kepribadian Islami) pada masyarakat. Dengan begitu langkah Islam. Inilah konsep tarbiyah Islamiyah (pendidikan Islam), yang mana untuk menuju daulah islamiyah (negara Islam) diperlukan capaian masyarakat Islami, keluarga Islami, dan pribadi yang Islami. Akan tetapi rantai tarbiyah ini akan terputus manakala tidak ada upaya berkesinambungan dalam pembinaan. Boleh jadi pribadi yang Islami telah tercapai, namun jika pribadi ini tidak “menularkan” ilmu atau kepemahamannya kepada yang lain, maka rasanya sulit mewujudkan cita-cita jayanya Islam di Bumi ini.

Mengingat begitu pentingnya peran murobbi dalam keberlangsungan eksistensi umat dan dakwah, sudah seharusnya kita mempersiapkan diri untuk membina, menjadi murobbi. Dalam lingkup pribadi, menjadi mad’u dan murobbi adalah sebuah kewajiban yang saling berkaitan. Artinya selain wajib belajar juga harus menyampaikan. Atau dengan kata lain selain jadi mad’u juga harus menjadi murobbi.

“Sebaik-baik kamu ialah yang mempelajari Al Qur’an dan mengajarkannya.” [HR. Bukhari]

Sungguh banyak sekali hikmah yang dapat diperoleh bagi seseorang yang menjadi seorang murobbi. Di antaranya adalah pahala yang berlipat ganda. Bagaimana tidak, amal jariyah atas ilmu yang bermanfaat yang murobbi sampaikan kepada para mad’unya (objek dakwahnya) tentu akan terus berguna dan disampaikan dari generasi ke generasi.Selain itu, menjadi murobbi sama halnya memotivasi diri untuk menjadi lebih baik. Pasalnya seorang murobbi akan terdorong untuk belajar lebih dalam terkait materi-materi Islam, memperkuat ibadahnya, dan akan meningkat kemampuan komunikasi dan manajemennya. Dengan kata lain, menjadi murobbi sama halnya membina diri sendiri.

Tak hanya di situ, masih banyak sekali hikmah yang akan didapatkan dengan menjadi seorang murobbi. Seperti meningkatkan iman dan takwa, merasakan manisnya ukhuwah, banyak relasi, dan yang paling penting adalah melaksanakan kewajiban syar’i dan menjalankan sunnah Rosulullah SAW. Bahkan, tugas sebagai murobbi hanyalah menyampaikan secara optimal, tidak perlu memikirkan hasilnya lantaran itu sudah ditanggung oleh Allah SWT. Menarik, bukan?

Nah, beberapa paragraf diatas adalah keuntungan kita ketika menjadi murabbi. Sangat banyak. Namun ternyata akhi, rupanya semua itu belum cukup menggerakkan kesadaran sebagian kader untuk membina. Dan yang lebih aneh lagi, mereka tidak membina bukan karena tidak mengetahui keutamaan membina, apalagi tidak pantas dan kurang ilmu. Mereka adalah orang-orang yang tergolong sudah dan masih terbina hingga sekarang. Mereka adalah orang-orang telah merasakan manisnya tarbiyah Islamiyah! Lantas, apa jadinya jika ilmu hanya ditumpuk dan tidak disampaikan?

Ada al –akh bilang suatu ketika ditanya mengapa belum membina, jawabannya adalah “afwan, ane sibuk, sering keluar, sering ada delegasi keluar kota, dan sabagainya. Iya sih benar beliau sibuk, seorang tokoh siyasi, menlu, atau presma, tetapi bukankah kita akan selalu disibukkan dengan banyak agenda? Akhi, bukankah kader dakwah itu identik dengan kesibukan? Lalu mengapa hal tersebut masih sering kita jadikan alasan untuk tidak membina. Hmm. Kalau sudah begini, perlu memperbarui paradigma berfikir kita tentang urgensi membina. Inilah uniknya. Aktif berdakwah jama’i, tapi enggan membina. Padahal dalam sebuah amal jama’i tidak akan kuat manakala di dalam kaderisasinya tidak ada pembinaan yang “sehat”.

Memang sih, melihat fenomena kader jos, tapi belum membina, ada beberapa penyebab mengapa mereka belum membina hingga sekarang. Menurut yang mereka lontarkan, yang saya tahu, sedikit banyak berkutat pada kurangnya kemauan, kemampuan, dan kesempatan. Ya, semua bersumber dari kemauan. Kemauan mereka yang kurang itulah yang membuat kemampuan dan kesempatan menjadi kurang. Padahal, jika semua hambatan-hambatan itu dilalui dengan keimanan dan ketakwaan, yang mana mengharap ridho-Nya, maka niscaya hambatan yang besar pun seolah kecil dan hambatan yang kecil pun tak ubahnya angin lalu yang tak berarti.

Nah, akhi, masihkah antum mempunyai keraguan untuk membina? Masihkah antum memiliki keengganan untuk mencetak kader – kader masa depan yang selevel dengan antum? Kalau masih, sepertinya memang kita harus dimakan ikan dulu, baru mau membina. Seperti kisah nabi Yunus, yang ditelan ikan Nun, karena tidak mau membina. Hehehe..

Akhi, dakwah kedepan semakin berkembang. Ladang amal semakin banyak, sehingga membutuhkan banyak orang untuk mengolahnya. Membutuhkan banyak sumber daya untuk menggarapnya. Kalau hari ini kita masih saja, dengan narrow mind kita, mimpi – mimpi besar tentang dakwah ini, tentang kampus madani akan semakin berat untuk tercapai. Mari kita singsingkan lengan baju kita, sambut wajah – wajah lugu, para mad’u kita, dengan kesemangatan, dengan kebesaran jiwa, dan sedikit meluangkan waktu kita untuk mereka, sambut mereka dengan gorengan panas dan segelas teh hangat, lalu buat lingkaran, dan persiapkan madarasah jiwa, untuk membangun peradaban. Ayo rek, semangat membina.
*Sebuah kontemplasi, nasihat untuk diri sendiri, sahabat, dan semua penyeru kebaikan dimana saja berada

Tidak ada komentar:

Posting Komentar