.

Rabu, 05 Desember 2012

Manajemen Sholat pada Anak





”Bunda...aku kan udah tahu caranya pasang ’pampers’ dewasa, kalau nanti aku dah baligh. Tau nggak apa yang aku seneng kalau aku dah baligh?” matanya mengerjab-ngerjap seperti binatang.

”Apa ya?
Hmm... soal dipercaya kali ya? Kan udah gede, atau hmm... apa ya? Bisa jalan-jalan jauh? Atau..hmm..apa ya? 

”He..he..he.. Bunda, tapi jangan marah ya...janji ya...!” 
”Ah adik, kayak bundanya suka marah-marah aja...Emang Bunda suka marah?” 
”Hmm... suka juga sih, tapi ini jujur, lho..., Bunda suka marah tapi kalau anak-anaknya keteraluan! Iya kan?” 
Ibu tersebut mencubit pipi anaknya dengan gemas, lalu berkata, ”Oke deh, kalau Bunda keteralaluan, maafin juga ya, Dik...” 

Mereka saling berpelukan. 

”O ya tadi, apa yang enak... kalau adik udah baligh?”

Sambil merapatkan badan dipangkuan ibunya, anak tersebut berkata, ”He..he..he.. enaknya?..he..he.. enakmya kita bisa nggak shalat! He..he..he.. Bunda enggak marahkan?”

Sang ibu mesem pahit, ”Iya juga ya Dik...he...he...susah ya Dek shalat terus?”



Bagi Anda yang pernah membaca buku berjudul ’Matahari Odi Bersinar Karena Maghfi’ akan menemukan cuplikan dialog antara ibu dan anak di atas. Neno Warisman, sang penulis sekaligus sang ibu yang ada dalam cerita, dengan jeli menggambarkan kepolosan anak, termasuk dalam perkara shalat. Bagaimana dengan Anda yang berperan sebagai ibu, kira-kira reaksi apa yang akan Anda tunjukkan ketika mendapati ungkapan polos seperti yang ada dalam dialog tadi?



Apa yang dijalankan Bunda Neno, demikian kini ia akrab disapa, dalam upaya mendidik anaknya disiplin shalat, bolehlah menjadi alternatif referensi. Aktris sinetrin terbaik FSI 1990 ini punya kiat dan pandangan tersendiri soal membiasakan diri anak shalat. Neno yang kini menjadi salah satu icon dunia pendidikan anak di negeri ini mengakui bahwa ada saat anak-anak merasa malas untuk melakukan shalat, yang hal itu sebenarnya –kalau mau jujur—juga pernah dialami kita para orang tua.

Di sela-sela kesibukannya mengisi acara di Kota Duri, Riau, beberapa waktu lalu, Bunda Neno dengan antusias berbagi cerita dan hikmah perihal membiasakan anak shalat. Salah satu hal yang menarik adalah memberi kesempatan anak untuk malas shalat. Bagimana yang dimaksud Bunda dari Ghifari, Maghfi dan Odi soal memberi kesempatan malas ini? Berikut kutipan wawancara Bunda Neno dengan Diah Novi Wulandari dari Auladi, di tengah perjalanan Duri-Pekanbaru. Kesan ramah, energik dan bersemangat tak pernah lepas sepanjang wawancara. Menunjukkan kepedulian yang sungguh-sungguh atas setiap kata yang diungkapkan pendiri Neno Educatin Center ini.

Bagaimana menurut Bunda, pola yang terbaik untuk membiasakan anak disiplin melaksanakan shalat?

Sebenarnya konsep itu sudah Allah SWT tuangkan melalui Al Quran di dalam surat Luqman. Ada beberapa tahap yang mestinya dilakukan orang tua sebelum memerintahkan anaknya shalat. Dalam surat Luqman itu kan yang pertama mengenal Allah SWT, ”Ya Bunayya laa tusyrik billah. Inna syirka ladzulmun ’adzhim.” Wahai anakku jangan memepersekutukan Allah SWT dan seterusnya. Jadi yang pertama yang dijadikan dasar dalam mendidik anak adalah dia merasa dekat dulu dengan Allah SWT, bukan perintahnya dulu. Artinya dia merasa dekat dulu, merasa akrab dengan Allah SWT. Nah, bagaimana bisa merasa akrab kalau Allah SWT itu dikenalkan dengan cara yang salah.


Jadi tugas pertama sebelum meminta dia shalat, kita perkenalkan dulu bahwa Allah SWT adalah tokoh. Tokoh yang sangat baik, yang sangat indah, segala-galanya.


Itu dari mana? Nah kita ajak anak tadabbur. Sempatkan diri para orangtua untuk duduk sejenak, misalnya duduk berdua di depan rumah berangin-angin. ”Subhanallah Nak, siapa yang mengirimkan angin? Enak sekali angin. Coba lihat bulan, bintang berkedib-kedib nggak ada yang menyalakan. Maha Besar Allah SWT. Lalu matahari..dia terbit dan tenggelam nggak pernah telat ya? Matahari disiplin sekali, siapa yang mengatur matahari?”


Jadi dari takjub itu dia merasakan bahwa Allah SWT itu adalah dzat yang luar biasa. Itu penting ditanam dulu. Baru konsep belonging. Konsepbelongin akan berjalan kalau konsep itu disampaikan secara eksplisit oleh orang tua kepada anaknya. ’Ummi sayang sekali kepadamu, tapi Allah SWT lebih sayang. Sesayang-sayang Bunda kepadamu, lebih sayang Allah SWT padamu.’


Shalat itu hal yang pertama akan ditanyakan, itu rangkaiannya dengan kematian. Jadi orangtua harus seimbang. Jadi memberitakan kabar-kabar gembira pada anak. Ada seorang anak yang sangat tegang karena ibunya selalu menceritakan balasan yang menyeramkan tentang akhirat. Misalnya ketika pagi hari melihat bunga mekar, kita katakan, ”Subhanallah, Allah SWT mengirimkan malaikat untuk memekarkan bunga ini pada saat kita sedang tidur. Malaikat Allah SWT itu banyak sekali, untuk menjaga gigi adek.” Jadi yang ghaib juga mulai dikenalkan.


Kalau sudah kita kenalkan bahwa Allah SWT itu adalah pihak yang paling berpengaruh terhadap dia, kita tanamkan tauhiidnya. Barukan ayat berikutnya adalah tentang orang tua. Belum tentang shalat dulu loh. Berbuat baik kepada ibu bapak gimana? Saat ibu memanggil dan anak menjawab ’Nantilah’, anak pun akan menangkap bahwa ibu dan bapak itu bisa ditunda dalam hidup kita saat kita membutuhkan dia. Nanti dia akan menunda kita dalam hidup kita. Anak kita perlu tahu bahwa orangtua itu penting untuk kita, sehingga kita pun penting bagi dia. Jadi penting mencontohkan berbuat baik kepada orang tua.


Baru berikutnya perintah shalat. Keteladanan orang tua dalam hal ini sangat penting. Kita jadikan keteladanan itu mengalir di dalam rumah. Itu berawal dari bagaimana berbuat baik terhadap orang tua. Nah untuk anak berbuat baik itu, orang tua harus berbuat baik dulu. Kita nggak dapat gratis dari anak kita. Kalau kita hanya melihat anak kita sebagai anak biologis kita, kita nggak akan pernah sampai pada shalatnya dia. Karena dia sendiri dari ruh, akal, badan. Ketiganya harus kita santuni, kita harus berbuat baik pada ketiganya. Kalau misalnya kita minta dia shalat, tapi kita abuse sama akalnya maka kita nggak dapat. Nggak bisa cuma satu terus kita mau dapat semua, harus ketiga-tiganya. Barulah kita mengenalkan shalatnya. 


Ada orang tua yang ngaku waktu kecil anaknya mudah diajak shalat, tapi mulai usia 7 tahun mulai merasa kewalahan. Menurut Bunda bagaimana?


Sebenarnya anak sudah otomatis ikut shalat kalau di rumahnya orang tuanya sudah terbiasa shalat. Baru mulai usia 7 tahun mulai ada “pemberontakan”. Memang ada rumusannya pada usia 7 tahun anak sudah mulai melakukan pemeberontakan. Karena sel-sel syaraf di usia 7 tahun sudah tersambung penuh. Pada usia itu dia sudah menjadi orang lain. Dia lebih menyukai orang lain daripada orangtuanya. Itu memang masanya dia melihat keluar jendela. Termasuk mencari laa ilaha ilallah. Allah SWT mengajarkan manusia untuk merdeka dulu. Meniadakan selain yang lain selain Allah, baru bisa menemukan Allah SWT, baru kenal bener. Ada orang tua yang curhat, waktu kecil anaknya gampang betul disuruh shalat, tapi mulai kelas 1 SD mulai susah.


Kalau dia meniadakan shalat, maka sebenarnya dia sedang memproses dirinya, supaya dia kenal benar. Pada saat seperti itulah dia betul-betul butuh kenyamanan untuk melakukan shalat. Pertama, temukan dia melakukan shalat dan beri apresiasi. Kedua, berikan kondisi yang sangat nyaman ketika dia melakukan shalat. Misalnya buatkan sajadah yang dia suka. Ketiga, ceritakan kisah-kisah orang-orang yang mendapat balasan-baik dunia maupun akhirat dengan shalatnya.


Misalnya terompah Bilal, cerita orang-orang yang mementingkan shalatnya daripada yang lain. Ajak dia dalam komunitas sebayanya yang juga melakukan shalat. Terlebih lagi kita biasakan, misalnya tiba waktu shalat kita sedang dalam perjalanan, kita berhenti untuk shalat, jadi dari situ anak tahu bahwa kita berani menunda kepentingan yang lain untuk shalat. Hal itu akan berbuah kepada anak kita.


Tapi itu semua belum tentu berhasil. Ada saatnya dia ingin menunda, ada saatnya dia malas. Bahkan ingin tidak mengerjakan. Beri kesempatan dia untuk merasakan itu. Beri kesempatan untuk membedakan antara orang yang shalat dan tidak shalat. Orang tua itu kayak detektif, harus bisa membedakan. Karena akan berbeda cahaya mata anak kita, ketika dia shalat atau tidak. Ketika tidak shalat kita bilang, ”Kok tidak ada cahaya Allah SWT di sana. Kayaknya ada yang nggak shaleh di matanya.” Kalau dia menanggapi ”Kok tahu?”, kita katakan kalau orang yang shalat itu wajahnya bercahaya. Nah kalo dia dah shalat, kita dekati dia. Kita usap dadanya, karena sentuhan itu penting bagi anak. Kita bilang ”Gimana enak mana sudah shalat apa belum shalat?”


Beri kesempatan dia untuk jujur. Kalau memang dia jawab ”Sama aja.” Kita apresiasi, ”Alhamdulillah...berarti masih ada kesempatan banyak bunda berbauat baik kepadamu.” Pokoknya harus positif dan nggak nge-judge. Misalnya ”Aduh malas nih si kakak...” nah itu ga boleh, karena akan jadi boomerang. Kita ingin dia berubah, tapi kita menyakiti hatinya. Maka dia tidak akan melakukannya. Cercaan, perbandingan justru akan menyakiti hatinya. 


Pengalaman Bunda Sendiri Gimana?


Masing masing anak kan berbeda ya. Adakan anak yang suka membaca dia suka berpikir, ketika menunda sholat dia beralasan "Sholat itu harus dikerjakan dengan ikhlas, kalau hanya ingin dibilang sholat percuma". Kita biarkan dulu pendapat dia seperti itu. Yang lain misalnya suka cari perhatian, sholatnya cepat sekali. Tiba tiba dia bilang "Aku sudah sholat." Kita biarkan dulu. Nah ada juga anak yang lambat sekali kalau disuruh sholat. Misalnya sholat isya lama dia nggak sholat. Tapi pas mau tidur dia bilang "Aku ngantuk sekali, tapi aku belum sholat." Sambil merengek. Ada juga yang tetep main rapi ketika waktu sholat dia berhenti dan sholat.


Berikan waktu pada anak anak untuk memproses dirinya. Anak anak saya juga seperti anak yang lain. Kadang mereka mudah sekali, kadang susah sekali. Ya biasanya di antara. dua kutub itulah. Tapi saya menikmati proses itu. Ada kalanya mereka tiba tiba bilang, "Bunda aku kemaren sholat lima waktu Iho, waktu Bunda pergi. Sekarang aku mau sholat lima waktu lagi." Wah kalau mendapati itu, kita apresiasi yang sangat tinggi. Kita bisa kasih hadiah, tapi usahakan jangan benda.


Hal yang harus dilakukan orangtua adalah membuat varian yang banyak sekali, agar perintah sholat itu tidak monoton. Itu yang paling dibenci anak anak. Jadi kata. yang sama, anak benci banget. Banyak cara untuk meminta anak sholat, untuk memberikan motivasi.
Suatu hari misalnya kita ketawa, maghrib sudah lewat kita, pandang matanya. Anak-anak biasanya suka salah tingkah kalau dipandangi begitu. Baru kita. berikan makna di belakang itu, kita bilang, "Di surga itu katanya ada anak anak yang Allah sayang sekali sama mereka. Ternyata dulunya anak-anak itu mengerjakan sholat tanpa diminta."



Orang tua kebanyakan pakai target. Target¬target contreng, jadi keimanan dicontreng. Misalnya anaknya tiga, didata anaknya. Ditanyain satu per satu. Kalau begitu menurut saya tidak ada kenikmatan sholat di sana. Satu hal lagi yang saya coba jalankan, berikan kesempatan anak melihat saat kita dan air mata kita saat kita sholat. Ada saatnya kita perlu "show up" di hadapan anak anak. Ketika sholat anak¬anak tahu kita. menangis, biasanya anak akan bertanya kenapa ayah atau ibunya menangis ketika sholat.'Kita jelaskan bahwa kita menangis karena bahagia, melalui sholat itu kita bisa sujud pada Allah. Setelah itu boleh jadi dia akan main lagi, tapi itu membekas pada anak.



Lalu di depan anak, berdoalah untuk dia. Ciptakan suasana yang sangat nyaman ketika sholat berjama'ah di rumah. Itu biasanya dilakukan oleh ibu di rumah. Kalau saya biasanya habis shubuh adalah saat yang paling disukai anak anak saya. Biasanya main kuis atau shalawat bersama. jadi dempetkan waktu sholat itu dengan kegiatan yang menarik. jadi image yang terbangun adalah waktu sholat itu adalah waktu yang menyenangkan.


Lalu bagaimana sikap kita sebagai orang tua ketika menghadapi keengganan anak melakukan sholat?


Sebenarnya kalau orang tua mau jujur, mereka juga mengalami saat di mana ada perasaan malas melakukan sholat. Tapi boleh Jadi bagi orang tua yang jaim (jaga image ‑red) akan serta merta menjawab tidak pernah merasa malas ketika sang anak bertanya apakah orang tuanya pernah merasa malas sholat. Padahal boleh jadi kita sebagai orang tua baru mulai sholat pada usia 25 tahun.
***
Pemilik nama panjang Titi Widoretno Warisman ini memang sudah sejak lama peduli dengan dunia pendidikan anak. Salah satu kepeduliannya diwujudkan melalui Yayasan Kita dan Buah Hati yang dirintisnya bersama pakar dunia pendidikan anak Elly Risman Musa, yang juga pernah Auladi wawancarai pada edisi sebelum. ini, pada tahun 1992. Tak berlebihan kiranya kalau belum lama ini salah satu radio swasta memilihnya sebagai Ibu Teladan.



Tak berpuas diri untuk mewujudkan generasi yang lebih baik, belum lama ini Neno bersama Kak Seto (Seto Mulyadi) membentuk Neno‑Seto Foundation. Yang menarik salah satu concern yang digeluti lembaga, ini adalah soal peran keayahan. Hal yang boleh jadi belum seumum peran keibuan


Apa sih yang menjadi impian Neno‑Seto Foundation? Soal lembaga yang didirikan bersama Kak Seto?


Seto‑Neno Foundation punya keinginan suatu saat menjadi lembaga yang dipercaya untuk memberikan edukasi, inspirasi bagi berkembangnya anak‑anak. Keberbakatannya, kesempatan dia. untuk tidak hanya bersekolah formal saja. Yang terpenting adalah pendidikan yang berbasis karakter. Salah satu hal yang ingin Neno‑Seto Foundation wujudkan itu adalah terbentuknya 20 karakter mulia, terurtama pada anak anak. Kan ada tuh 20 karakter internasional. Hal yang utama kita ingin anak, anak dari lingkungan miskin memiliki kesempatan lebih baik. Kedua adalah menggairahkan peran keayahan.


Kalau peran keibuan kan sudah dilakukan oleh banyak orang. Ternyata dengan memperbaiki kualitas peran keayahan, kualitas anak dan generasi secara. otomatis akan terperbaiki. Saya pernah mewawancarai 100 anak muslim terpandai. Ternyata yang dapat rekomendasi baik itu adalah anak‑anak yang memiliki ayah dalam hidup mereka. Bukan hanya sekedar pintar tapi juga cerdas. Anak-anak yang pintar saja, lahir dari kondisi 'kosong' ayah. Berayah tapi tiada ayah. Hal itu berat, kita lihat dari mata mereka. Pilihan-pilihan mereka, itu terlihat getir. Itu karena mereka tidak pernah dipeluk ayah mereka, atau ditinju sayang, ketika sudah mulai baligh mereka sudah dianggap besar. Ternyata remaja‑remaja yang hanya pintar itu mereka nggak punya ayah yang bisa menjadi teman bermain mereka. Kalau begitu mereka nggak bisa menjadi ayah yang baik dengan dibesarkan dengan cara begitu.


Ayah yang human, yang kaya, bisa manjat pohon, bisa ngajarin anaknya bercocok tanam, nanem pupuk, bisa nyebrangin sungai. Yang mengajak merusakkan satu radio rusak sama­-sama. Ayah-ayah yang begitu akan menjadikan anak-anak laki‑laki mereka sangat kaya. Nah itu yang menjadi concern Seto‑Neno Foundation, menyemangati dan menyegarkan kembali para ayah untuk mengambil peran pendidikan. Kalau ibunya tentu saja kita juga mengadakan program untuk para ibu, terutama para ibu dari ekonomi yang sangat rentan.


Impian dan harapan Bunda saat ini?


Saya ingin ada suatu rujukan. Kalau dalam institusi formal negara ini saya ingin ada kementrian anak dan remaja. Karena selama ini anak hanya dititip‑titipkan, di departemen agama, departemen pendidikan. Ternyata sama departemen pendidikan nasional, anak hanya diurus sekolah formalnya saja, hatinya tidak. Dan di wilayah tata kota, tidak ada yang ramah pada anak‑anak. Anak‑anak menjadi komunitas yang terdzolimi. Untuk orang cacat mungkin sudah mulai, tapi untuk anak belum ada.


Di jerman nggak boleh ada mainan pistol~ pistolan. Karena anak dilindungi dari ide kekerasan. Itu keputusan besar sebuah negara. Kita kan nggak, segala macam ada. Terutama yang menjadi concern saya saat ini satu di antara lima anak terjangkit narkoba. Dan diprediksi tak lama lagi HIV yang akan menyerang remaja. Komik‑komik yang ada saat ini pun menyajikan pornografi. Bener‑bener hak anak dilanggar.


Nah peran kementrian anak dan remaja itu bertindak bukan kalau anak sudah teraniaya. Ke komnas kalau sudah jadi korban. Kalau ini nggak, ini hak dan kepentingan anak, lahir batin di dalam rumah dan lingkungannya. Kita harus punya strategi peradaban baru untuk generasi ke depan dengan memerikan hak mereka. Di sekolah bagaimana, di rumah bagaimana. Sekarang nggak ada. Semua hak anak ditabrak, terutama oleh tayangan di televisi. Karena kita nggak punya kementrian Anak dan Remaja yang mengatur itu. Kita nggak tahu ini urusan siapa?.

Oleh: Neno Warisman di  Millenial Learning Center

Tidak ada komentar:

Posting Komentar