Kedewasaan Dalam Dakwah Kampus
Oleh:Oktafiyanto
Oleh:Oktafiyanto
Dakwah adalah tugas fitrah manusia yang diamanahkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala agar manusia saling mengingatkan dalam kebaikan serta membawa mereka untuk kebahagiaan di dunia dan akhirat serta membawa kemaslahatan bagi semua makhluk. “Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabbmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS An-Nahl:125) Akan tetapi dalam kenyataannya berdakwah itu tidaklah mudah. Adalah merupakan hal yang fitrah pula dan telah berlangsung sejan zaman Nabi Adam, bahwa menyeru manusia kepada kebaikan adalah sesuatu yang sangat sulit. “Dia telah mensyari’atkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendakiNya dan memberi petunjuk kepada (agama)Nya orang yang kemabli (kepadaNya).” (QS Asysyura:13). Terkadang telah lama waktu yang dihabiskan, begitu besar biaya dan tenaga yang dikuras, akan tetapi hasil yang diharapkan cenderung tidak seimbang bahkan nihil sama sekali.
Keadaan seperti inipun tak lepas dari dunia kampus. Bahkan dengan ciri khas tersendiri, dakwah kampsu memiliki fenomena dakwah yang berat. Betapa tidak, dakwah di kampus, berarti menganjurkan kebaikan di suatu lingkungan yang dianggap intelek. Menyampaikan nilai-nilai keislaman kepada suatu komunitas masyarakat yang sangat menjunjung tinggi aspek rasionalitas. Justru di sinilah letak kekhasan itu. Mungkin lebih mudah untuk menyampaikan dakwah kepada masyarakat yang memang belum tahu atau belum paham karena mereka lebih mudah menerima apa yang disampaikan, dibandingkan bila berdakwah kepada kalangan kampus (mahasiswa). Mengapa? Aspek logika yang cenderung diprioritaskan, menyebabkan mereka senantiasa mempertimbangakan sesatu berdasarkan dimensi logika atau ekspektasi akal terhadap informasi yang diterima.
Hal ini lebih dipertegas lagi oleh kenyataan bahwa kampus adalah bagian yang terintegrasi dengan sistem sosial, dimana secara psikis dan psikologis, apapun yang terjadi di masyarakat akan mempengaruhi kehidupan kampus juga sebaliknya. Selama itu masih berlangsung dalam tataran positif dan kondusif, maka tidak akan membawa masalah, akan tetapi pada kenyataanya kampus lebib mudah terkontaminasi dengan dampak negatif sehingga menciptakan kompleksitas, dan ketidakpsatian dakwah yang lebih tinggi serta menciptakan kondisi tarik menarik antara berbagai kepentingan, berbagai pemikiran, berbagai idealisme, dan lain-lain. Kondisi ini tentulah membutuhkan suatu manhaj atau manajemen dakwah yang khusus pula.
Di sisi lain, untuk menghadang keadaan ini dibutuhkan perangkat sumber daya manusia (brainware) yang handal. Tantangan dakwah yang semakin besar membutuhkan kreatifitas, kekuatan, dan yang terakhir namun sangat penting adalah kedewasaan. Ada saat dimana para aktifis dakwah kampus terlihat seperti 'singa' yang senantiasa aktif mengurusi dakwah di kampus. Saking aktifnya sehingga mereka tidak memberi peluang secuilpun melihat ada yang 'kurang' di kampus mereka. Namun ada saat dimana mereka terlihat down dalam bergerak. Bagi mereka yang sudah dibekali dengan bekal tazkiyatun nafs yang baik, maka hal itu tidak akan berlangsung lama karena dalam waktu yang relatif singkat mereka akan kembali 'pulih'. Hal ini biasanya terdapat pada diri aktifis yang dewasa dalam melihat kondisi. Sedangkan bagi mereka yang 'belum dewasa' maka akan membutuhkan waktu yang lama untuk 'pulih'.
Seperti yang telah dikemukakan terdahulu, tantangan dakwah di sekitar kita sangat besar baik yang datang dari internal para aktifis dakwah itu atau yang datangnya dari luar. Berbagai tantangan itu seolah datang menyerang kita dari segala arah tanpa menunggu kita siap atau tidak. Di sinilah titik awal kedewasaan. Seorang aktifis yang dewasa, adalah:
1. Mampu berpikir secara jernih
Yang dimaksud di sini adalah sekompleks apapun lingkungan objek dakwah, maka ia mampu untuk memilah masalah berdasarkan jenis atau tingkat kesulitannya. Kemudian menentukan peluang atau pendukung yang ada serta faktor-faktor yang tidak mendukung, kemudian menentukan langkah selanjutnya yang harus diambil.
2. Memanfaatkaan semua potensi yang dimiliki dan menyingkirkan semua halangan.
Sekecil apapun suatu organisasi dakwah pasti memiliki sesuatu yang dapat dimanfaatkan untuk menjalankan dakwah dan ini bukan bearti bahwa mereka tidak akan berhasil. Justru sebaliknya tak jarang terjadi dengan modal yang pas-pasan mampu mengembangkan dakwah hingga menjadi besar.
3. Memotivasi diri
Biasanya kita akan bersemangat apabila kita melihat teman kita bersemangat. Atau lingkungan yang seakan menarik kita untuk tetap bekerja. Dengan kata lain biasanya tingkat produktifitas seseorang dipengaruhi oleh lingkungan kerjanya. Lingkungan yang kondusfif akan meningkatkan produktifitas. Akan tetapi hal ini pun sepenuhnya tergantung pada diri seorang aktifis. Seorang dengan motivasi diri yang kuat akan memiliki konsistensi dakwah yang tinggi dengan atau tanpa dukungan dari lingkungan. Orang seperti ini tidak akan mudah patah semangat apabila ia mendapatkan kelemahan pada jamaahnya, atau turut surut langkahnya saat teman-temannya mundur, atau menyerah saat menghadapi tantangan, atau bahkan saat-saat ia sedang mengalami gejala futur sekalipun. Dan sekali lagi ini hanya didapatkan pada diri aktifis yang dewasa. Mereka yang dewasa tidak akan meninggalkan jamaahnya dan segera berpaling ke jamaah lain akan tetapi ia akan berusaha untuk memperbaikinya apakah dengan tangannya, lisannya, maupun hatinya. Ia bahkan semakin giat bekerja saat menghadapi tantangan karena ia merasa di situlah kedewasaannya, kemampuannya, potensinya sedang diuji kekuatannya. Saat sedang 'malas' maka ia akan bersegera menyadari diri bahwa ia sedang berusaha digoda dan dengan bersegera bangkit dari kemalasan tersebut untuk kembali aktif bekerja.
Untuk memiliki kedewasaan semacam ini tidaklah mudah karena sangat tergantung pada karaktersitik psikologis seseorang. Dalam hal motivasi kerja, maka karakter ini saya bagi menjadi dua. Karakter yang pertama adalah karakter yang independen yaitu seseorang yang mampu untuk memotivasi diri sendiri dan terbiasa untuk memecahkan masalah yang dihadapi sendiri (bukan individualistk). Karakter ini biasanya dimiliki oleh seseorang yang di keluarga atau di masyarakat adalah figur-figur pemimpin, pencetus, dan pelopor. Walau dengan segala kelemahannya, ia akan berusaha untuk menemukan jalan keluarnya sendiri sebelum pada gilirannya tetap akan meminta pertimbangan pihak luar. Karakter yang kedua adalah dependen yaitu orang yang perlu orang lain untuk bisa bergerak. Pada saat kondisi sedang down ia membutuhkan orang lain untuk membantunya. Jika ia temukan orang tempat curhat tersebut, maka ia akan segera pulih. Akan tetapi jika tidak maka ia akan menjadi lebih buruk. Tipe pertama adalah tipe yang konsistensi tinggi. Cenderung untuk komitmen dan mempertahankan keyakinannya selama ia yakin dengan kebenaran yang diperjuangkannya. Tipe kedua lebih tergantung pada pihak luar dan lebih mudah untuk terpengaruh. Tentu saja tidak ada jaminan bahwa karakter pertama lebih baik dari karakter kedua. Akan tetapi memang dalam sektor dakwah, sangat dibutuhkan orang-orang yang memiliki karakter pertama. Kedewasaan dalam bertindak dan berperilaku tanpa harus selalu tergantung pada orang lain sangat dibutuhkan dalam dakwah. Untuk membina kedewasaan maka dapat dilakukan upaya sebagai berikut:
1. Ingat kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala dimana dengan mengingatNya kita akan tenang dan akan selalu teringat akan amanah yang dibebankan di pundak kita. Menyadari posisi diri baik sebagai manusia yang memiliki amanah untuk amar ma'ruf nahi mungkar serta sebagai hamba yang harus senantiasa menjalankan semua perintahNya. Bahwa sesungguhnya semua amanah itu nantinya akan dipertanggungjawabkan. “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS Al-Israa’ : 36)
2. Betul-betul memahami tentang urgensi waktu dan kerugian bagi orang-orang yang menyia-nyiakannya dimana aktivis dakwah selalu harus dalam kondisi siap pakai dan bersungguh-sungguh dalam menjalankan amanahnya. “Maka apabila kamu selesai (dari satu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain. Dan, hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.” (QS Asy-Syarh:7-8)
3. Mengenali diri sehingga mampu menggenjot potensi dan menutup semua jalan masuk yang memungkinkan untuk tidak bersemangat. Seseorang harus tahu apa yang dapat menjadikannya termotivasi dan berusaha melaksanakannya. Serta menjauhi hal-hal yang dapat menjauhkannya dari rasa malas. Tidakkah kita memahami tentang tujuan hidup kita di dunia ini? ”Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (Qs Adz-Dzariyat : 56). Dalam ayat lain Allah juga berfirman: “Apakah kamu sekalian mengira bahwa Kami menciptakan kamu sia-sia tanpa tujuan dan kepada Kami kamu tidak dikembalikan?” (QS Al-Mukminun:116).
4. Mentarbiyah diri baik tarbiyah ruhiyah maupun tarbiyah jasadiah baik dengan tazkiyah dan tausiah atau kegiatan-kegiatan pembinaan dan pengembangan potensi individual. Ini dilakukan sebagai upaya untuk mempertahankan keimanan sebagai ruh dari dakwah itu sendiri. “Dan orang-orang yang mendapat petunjuk. Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka(balasan) ketakwaannya.” (QS Muhammad : 17)
5. Menyadari hakikat dakwah dan semua aspek yang mempengaruhinya. Bahwa tantangan dakwah itu bertumbuh melebihi kecepatan dakwah itu sendiri, sehingga tak ada waktu untuk berpangku tangan.
6. Mulai berhenti untuk hanya memikirkan diri sendiri. Ingat bahwa selain kita, ada hak orang lain atas kita. Jika waktu yang ada hanya habis untuk memikirkan tentang perasaan kita, emosi kita, dan semua ego pada diri kita, maka kita akan tertindas ke lembah penyakit futur. Tidak ada salahnya kita pun memperhatikan diri kita sendiri karena itu penting tapi jangan sampai seluruh usia kita hanya habis untuk kepentingan pribadi. Ingat, Islam menuntun kita agar selalu bersikap wasat dalam segala hal. Tidak berlebih-lebihan dan juga tidak memudah-mudahkan.
Apabila semua ini telah diterapkan secara baik, maka insya allah akan tercipta singa-singa allah yang matang dalam sikap dan dewasa dalam bepikir, wallahu ta'ala a'lam.
1. Al Qur’an dan Terjemahannya
2. Waktu Nafas yang Takkan Kembali, Abdul Malik Al-Qasim
3. Yang Berjatuhan Di jalan Da’wah, Fathi Yakan
4. Majalah Manajemen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar