Ada dua kenikmatan yang
bertolak belakang di waktu malam: Kenikmatan di dunia gemerlap (dugem), begitu
orang-orang menyebutnya; dan kenikmatan di sepertiga akhir malam yang dirasakan
oleh pelaku tahajud. Kenikmatan yang pertama mudah dirasakan, sedangkan
kenikmatan kedua perlu waktu dan perjalanan yang panjang untuk merasakan
nikmatnya.
Di siang hari yang terik, ada dua kenikmatan yang juga bertolak belakang. Satu
kenikmatan di cafe-cafe dan tempat makan, satu kenikmatan orang yang tengah
menahan lapar dan dahaga dalam shoumnya.
Kenikmatan yang kedua sering tidak dimengerti oleh orang lain.
Saya pernah mendengar kisah tentang dialog seorang penikmat dunia dengan
seorang sahabat Al-Qur’an (shohibul Qur’an), yang kurang lebih dialognya
seperti ini: "Kenapa kamu menghabiskan waktu dengan Al-Qur’an? Lebih baik
kamu mendalami ilmu-ilmu dunia agar wawasan kamu bertambah." Ujar si
penikmat dunia.
"Wah, saya kalau sehari saja tidak membaca Al-Qur’an, rasanya hidup ini
tidak nikmat." Ujar shohibul Qur’an
"Bagaimana mungkin?" Penikmat dunia tidak mengerti dan tidak percaya.
"Akan susah saya menerangkan kenikmatan itu kepada anda, seperti ibaratnya
menerangkan kenikmatan pernikahan pada anak yang belum baligh." Pungkas
shohibul Qur’an.
Maka tidak mengherankan apabila di suatu tempat masyarakatnya begitu antusias
menyambut perda syari’at, sedangkan di tempat lain orang-orang terperangah dan
tidak habis pikir bagaimana mungkin di zaman modern ini masih ada yang ingin
hidup di bawah naungan syari’at. "Kembali ke zaman batu" pikirnya.
Begitulah, ada kenikmatan yang tidak bisa dirasakan oleh semua orang.
Al-Qur’an surat Al-An’am ayat 125 sudah menerangkan hal ini, "Barangsiapa
yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia
melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang
dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi
sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa
kepada orang-orang yang tidak beriman."
Kelapangan dada dalam Islam lah yang dimiliki oleh pelaku tahajud, pecinta
shoum sunnah, shohibul Qur’an, dan masyarakat yang menerima syariat. Kelapangan
dada itu tidak dimiliki oleh pecinta dunia. Melihat kenikmatan-kenikmatan itu
saja mereka sudah terasa sesak dadanya dan sulit untuk mereka mengerti bahwa
ada kenikmatan di balik itu.
Ulama salaf pun berkata mengenai kenikmatan hidup di bawah naungan Islam:
"Seandainya para raja itu tahu kenikmatan yang kami rasakan, tentu mereka
akan merebutnya dengan pedang mereka."
Memang ada gap yang besar antara penikmat dunia dan pecinta akhirat. Yang
pertama berada di wilayah lembah, sedangkan yang kedua ada di wilayah
pegunungan. Untuk ke lembah, tak terlalu besar energi terkuras. Tapi untuk
beralih ke wilayah pecinta akhirat, ada tebing tinggi yang perlu ditaklukan.
Ada jalan yang mendaki dan sukar. Al-Aqobah. Allah menyebutnya dalam surat
Al-balad: "Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi
sukar." (QS Al-Balad (90) : 11)
Tetapi setelah berada di pegunungan tinggi itu, maka ungkapan seperti ini
terasa masuk di akal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar