Dahsyatnya kesungguhan para ulama dalam beramal. Hal itu dapat dijelaskan dengan melihat keadaan para ulama terdahulu rahimahumullah
yang menakjubkan untuk bersegera dan bersungguh-sungguh dalam amal,
serta tekun untuk mengerjakannya, mendatanginya, bersegera mendengarnya
dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bersegera
mendengar hadits Beliau. Mereka bersegera dan bersungguh-sungguh dengan
kesungguhan yang luar biasa dalam mengamalkan apa yang Rasulullah
perintahkan kepada mereka dan menekuni hal itu.
Dalam makna ini, dinukilkan dari mereka nukilan yang banyak sekali
yang menunjukkan atas besarnya perhatian mereka dan agungnya perhatian
mereka terhadap perkara ini.
Dan termasuk hal itu, apa yang terdapat dalam Ash-Shahihain dan selainnya dari hadits ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, tentang kisah Fathimah, putri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika dia mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta seorang pembantu, maka Beliau pun bersabda kepadanya,
أَوَلاَ أَدُلُّكِ عَلَى مَا هُوَ خَيْرٌ لَكِ مِنْ خَادِمٍ:
إِذَا أَوَيْتِ إِلَى الفِرَاشِ تُسَبِّحِينَ اللهَ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ
وَتَحْمَدِينَهُ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ وَتُكَبِّرِينَهُ ثَلَاثًا
وَثَلاَثِينَ
“Maukah engkau aku tunjukkan sesuatu yang lebih baik daripada
seorang pembantu? Ketika engkau hendak tidur, bacalah tasbih tiga puluh
tiga kali, tahmid tiga puluh tiga kali, dan takbir tiga puluh tiga
kali.”
‘Ali radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku tidak pernah meninggalkannya sejak aku mendengarnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Seorang pendengar pun memilih sebuah hari yang sangat panas, yang
terkadang membuat kusut pikiran seseorang yang berada di hari tersebut.
Dia berkata, “Tidak juga di malam Shiffin?” –yaitu sebuah malam yang diliputi peperangan yang sangat terkenal- Dia pun menjawab, “Tidak juga di malam Shiffin.”[1]
Dari Dawud bin Abi Hind, dari An-Nu’man bin Salim, dari ‘Amr bin Aus,
Dia berkata, “Ansabah bin Abi Sufyan mengabarkan kepadaku sebuah hadits
ketika sakitnya yang menyebabkan dia meninggal, dengan sebuah hadits
yang membuatnya gembira. Dia berkata, “Aku mendengar Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَلَّى اثْنَتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِى يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ بُنِىَ لَهُ بِهِنَّ بَيْتٌ فِى الْجَنَّةِ
“Barangsiapa shalat dua belas raka’at dalam sehari semalam, maka akan dibangunkan baginya sebuah rumah di surga.”
Ummu Habibah berkata, “Aku tidak pernah meninggalkannya sejak aku
mendengarnya dari Rasulullah.” ‘Ansabah berkata, “Aku tidak pernah pula
meninggalkannya sejak aku mendengarnya dari Ummu Habibah.” ‘Amr bin Aus
berkata, “Aku pun tidak pernah meninggalkannya sejak aku mendengarnya
dari ‘Ansabah.” An-Nu’man bin Salim berkata, “Aku juga tidak pernah
meninggalkannya sejak aku mendengarnya dari ‘Amr bin Aus rahimahumullah.”[2]
Ini adalah semangat yang sangat tinggi dalam bersegera bersama
ketekunan dalam bersegera menuju amal dan kesungguhan untuk
mendirikannya, serta menekuninya.
Terdapat dalam Shahih Bukhari, dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia berkata,
أَوْصَانِي خَلِيْلِي بِثَلَاثٍ لَا أَدَعُهُنَّ حَتَّى
أَمُوْتَ: صَوْمِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ, وَصَلَاةِ
الضُّحَى, وَنَوْمٍ عَلَى وِتْرٍ
“Kekasihku (Rasulullah -pent) telah berwasiat kepadaku dengan tiga
perkara yang tidak akan pernah aku tinggalkan hingga aku meninggal
dunia, yaitu puasa tiga hari setiap bulan, shalat Dhuha, dan shalat witir sebelum tidur.”[3]
Dan hadits riwayat Imam Muslim dalam Shahih-nya yang sangat serupa dengan hadits sebelumnya, dari hadits Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu,
bahwa dia berkata, “Kekasihku (Rasulullah -pent) telah berwasiat
kepadaku dengan tiga perkara yang tidak akan pernah aku tinggalkan
selama hidupku.” Lalu dia menyebutkan tiga perkara di atas tersebut.[4]
Dan contoh lain dari seorang sahabat kecil –yaitu ‘Umar bin Abu Salamah radhiyallahu ‘anhu -, dia berkata, “Ketika aku masih kecil dan berada dalam pangkuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanganku serampangan di atas nampan ketika makan. Maka Rasulullah bersabda kepadaku,
يَا غُلَامُ سَمِّ اللهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ
“Wahai ghulam, sebutlah nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah apa yang dekat denganmu.”[5]
Imam Bukhari menambahkan, “Lalu dia berkata, “Maka sejak itu aku senantiasa makan seperti itu.”
Dan kita perhatikan banyak sekali anak kecil yang dicegah, dilarang,
dan diperingatkan berkali-kali namun dia tidak mematuhinya. Sedangkan
anak kecil dari kalangan sahabat tersebut hanya diperingatkan sekali,
lalu dia berkata, “Maka sejak itu, aku senantiasa makan seperti itu.”
Hal tersebut menunjukkan kesegeraaan dari satu sisi dan penekunan sampai wafat dari sisi lain.
Apabila kita melihat sejarah ulama salafush shalih setelah
sahabat, maka akan kita dapatkan dari mereka kisah yang semakna dengan
jumlah yang sangat banyak. Seperti perkataan Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah,
مَا بَلَغَنِي حَدِيْثٌ عَنْ رَسُوْلِ اللّهِ إلاَّ عَمِلْتُ بِهِ
“Tidaklah sampai kepadaku suatu hadits dari Rasulullah, melainkan aku akan mengamalkannya.”
‘Amr bin Qais al-Mula-i rahimahullah berkata,
إِذَا بَلَغَكَ الحَدِيْثُ عَنْ رَسُوْلِ اللَّهِ فَاعْلَمْ بِهِ وَلَوْ مَرَّةً تَكُنْ مِنْ أَهْلِهِ
“Apabila seseorang menyampaikan kepadamu sebuah hadits dari Rasulullah, maka amalkanlah ia walau hanya sekali.”
Adapun perkataan, “Maka amalkanlah ia walau hanya sekali”, maka
perkataan tersebut hanya di dalam amalan sunnah dan berupa janji-janji.
Sedangkan amalan yang wajib, maka tidak cukup beramal dengannya sekali
saja.
Ibnul Qayyim menukil dari gurunya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahumallah, ketika Ibnul Qayyim menyebutkan hadits Abu Amamah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Beliau bersabda,
مَنْ قَرَأَ آيَةَ الْكُرْسِيِّ دُبُرَ كُلِّ صَّلاةٍ لَمْ يَكُنْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الجَنَّةِ إِلَّا أَنْ يَمُوْتُ
“Barangsiapa membaca ayat kursi setiap setelah shalat, maka tidak ada yang menghalanginya untuk masuk surga melainkan kematian.”
Ibnul Qayyim berkata, “Guruku, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah,
menyampaikan kepadaku bahwa dia berkata, “Aku tidak pernah
meninggalkannya setiap usai shalat.”[6]
Telah datang dari Imam Ahmad rahimahullah bahwa dia berkata,
“Tidaklah aku menulis sebuah hadits –dia telah menulis kitab “Musnad”
dan terkenal akan kebesarannya dan terdapat banyak hadis di dalamnya-
melainkan aku mengamalkannya, sampai-sampai ketika aku mendengar bahwa
Nabi berbekam dan memberi upah kepada tukang bekam sebesar satu dinar,
maka aku pun berbekam dan memberi upah kepada tukang bekam sebesar satu
dinar pula.”
Ini adalah metode ulama terdahulu dalam semangat, ketekunan, dan
kegigihan mereka, serta agungnya penjagaan mereka terhadap ilmu dengan
bersegera mengerjakannya dan tekun di atasnya.
Dialihbahasakan secara bebas oleh Roni Nuryusmansyah dari Kitab
Syaikh Abdur Razzaq bin Abdil Muhsin Al-Badr hafizhahumallah, Tsamratul
‘Ilmil ‘Amal, Bab: Musaara’atus Salafi Lil ‘Amali Bil ‘Ilmi, hal. 23-28
[1] HR. Bukhari, No. 5362 dan Muslim, No. 2727
[2] HR. Muslim, No. 722
[3] HR. Bukhari, No. 1178
[4] HR. Muslim, No. 728
[5] HR. Bukhari, No. 5372, dan HR. Muslim, No.2022