.

Sabtu, 18 Mei 2013

Selalu Di Jalan-Mu



Apakah nikmat yang lebih besar daripada hidayah? Sebanyak apa pun kekayaan dalam genggaman kita, jika Allah Ta'ala tak memberikan hidayah kepada kita, maka bertumpuknya harta hanya akan memberatkan nasib kita di Yaumil Qiyamah. Sebanyak apa pun nikmat yang kita reguk di dunia ini, hidup akan kehilangan arah dan kerugian besar menanti kita di akhirat kelak jika kita terlepas dari hidayah. Maka setiap saat kita perlu dan harus memohon hidayah kepada Allah 'Azza wa Jalla seraya berusaha mempelajari agama agar tak salah langka. Bukankah do'a itu di satu sisi adalah permohonan dan di sisi lain adalah ikrar kita kepada Allah subhanahu wa ta'ala?

Ada dua macam hidayah. Pertama, hidayah kepada Islam. Awalnya tidak beriman kepada Allah Ta'ala dan tidak meyakini Rasulullah shallaLlahu 'alaihi wa sallam sebagai utusan-Nya, kemudian berpindah dari agama sebelumnya kepada dien al-Islam ini sepenuh sadar. Bukan sekedar sebagai taktik untuk dapat melangsungkan pernikahan, sesudah itu murtad dan kembali kepada agamanya semula seraya mengajak istri atau suaminya untuk murtad. Na'udzubillahi min dzaalik.

Bersyukurlah orang-orang yang memperoleh hidayah kepada Islam. Inilah agama yang Allah Ta'ala ridhai dan hanya ini agama yang Allah Ta'ala jaminkan kebenarannya hingga kiamat kelak. Tak akan muncul perselisihan selama kita masih berpegang teguh pada kebenaran, kecuali karena kedengkian. Rasa dengki inilah yang menyebabkan kita sulit menerima kebenaran, meski nyata dasarnya jelas hujjahnya.

Mengenai pernyataan dari Allah Ta'ala bahwa hanya Islam agama yang diridhai di sisi-Nya, mari kita ingat kembali firman-Nya:


إن الدين عند الله الإسلام وما اختلف الذين أوتوا الكتاب إلا من بعد ما جاءهم العلم بغيا بينهم ومن يكفر بآيات الله فإن الله سريع الحساب

"Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya." (QS. Ali Imran, 3: 19).


Kedua, hidayah di dalam Islam. Memperoleh hidayah sehingga menjadi muslim itu merupakan suatu keberuntungan. Dan keberuntungan yang sangat besar adalah apabila kita berislam dengan benar, meyakini apa yang sungguh-sungguh datangnya dari Islam dan terhindar dari memegangi keyakinan yang bathil serta beramal dengannya. Maka, meskipun kita sudah berislam semenjak kecil, kita harus terus menerus memohon hidayah kepada Allah Ta'ala. Kita meminta agar ditunjuki jalan yang lurus (shirathal mustaqim). Inilah yang setiap saat --sebenarnya-- kita minta saat shalat. Tetapi alangkah banyak yang lalai dengan do'anya. Bahkan menghayati pun nyaris tak pernah.

Hari ini, ketika tiba-tiba saja sangat banyak orang menawarkan kepada kita berbagai hal yang saling bertentangan dan semuanya terkesan dari Islam, amat terasa betapa kita perlu memohon hidayah serta kemampuan untuk memilih yang benar di antara berbagai persoalan yang diperselihkan. Kita tak dapat berkata "yang penting niat kita baik", sebab nilai amal dan ibadah kita bergantung pada dua hal, yakni ikhlas dan shawab (bersesuaian dengan tuntunan Nabi shallaLlahu 'alaihi wa sallam). Ini berarti, kita perlu senantiasa berusaha perbaiki ilmu kita tentang dien. Semoga Allah Ta'ala baguskan amal dan ibadah kita.

Mari sejenak merenungi do'a yang dituntunkan oleh Rasulullah shallaLlahu 'alaihi wa sallam:


اللَّهُمَّ رَبَّ جَبْرَائِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ اهْدِنِي لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنْ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ إِنَّكَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

"Ya Allah, Tuhannya Jibril, Mikail, dan Israfil, pencipta langit dan bumi, yang Maha mengetahui hal yang ghaib maupun yang nampak. Engkaulah yang memutuskan perkara yang diperselisihkan para hamba-Mu, maka tunjukilah aku kepada kebenaran dalam hal yang mereka perselisihkan dengan izin-Mu. Sesungguhnya engkau menunjuki kepada siapa pun yang engkau kehendaki ke jalan yang lurus." (HR. Muslim).


Maka, jika kita menjumpai perselisihan pendapat dalam suatu perkara, hendaklah kita menjauhkan diri dari ta'ashshub (fanatisme golongan), memilih pendapat yang benar-benar bersesuaian dengan as-sunnah ash-shahihah sesuai pemahaman salafush-shalih. Sekiranya kita awam dalam masalah agama, pilihlah pendapat yang paling jelas dasar nash (Al-Qur'an atau hadis yang shahih). Kita mencerna dengan sungguh-sungguh, lalu mengambil untuk kita pendapat yang paling bersesuaian dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah untuk diri kita sendiri. Kita berhati-hati dalam mengambil pendapat seraya memohon petunjuk kepada Allah Ta'ala agar tidak terjatuh pada pada kesesatan, sesudah Allah Ta'ala berikan kita hidayah kepada Islam.


Mari sejenak renungi do'a yang termaktub dalam Al-Qur'an berikut ini:

ربنا لا تزغ قلوبنا بعد إذ هديتنا وهب لنا من لدنك رحمة إنك أنت الوهاب

"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)." (QS. Ali Imran, 3: 8).

Pada saat yang sama, kita berusaha dengan sungguh-sungguh mendidik diri sendiri agar tidak menjadikan dunia sebagai passion kita; sebagai tujuan besar kita, sebagai ketertarikan utama yang menjadikan kita senantiasa menujukan amal dan ibadah untuk meraih dunia yang lebih besar. Biarlah dunia datang merangkak kepada kita. Jika Allah Ta'ala kayakan kita, itu merupakan akibat. Bukan tujuan. Setidaknya sekedar sebagai wasilah, sehingga kerinduan terbesar kita adalah amal shalih.

Sejenak mari kita renungi hadis Nabi shallaLlahu 'alaihi wa sallam:


مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَـمَّهُ ؛ فَـرَّقَ اللّٰـهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَـيْهِ ، وَلَـمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ مَا كُتِبَ لَـهُ ، وَمَنْ كَـانَتِ الْآخِرَةُ نِـيَّـتَـهُ ، جَـمَعَ اللّٰـهُ لَهُ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ غِنَاهُ فِـيْ قَلْبِهِ ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَـا وَهِيَ رَاغِمَةٌ

"Barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai himmah-nya (passion, hasrat terbesarnya), maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kefakiran di kedua pelupuk matanya, dan ia mendapat dunia menurut apa yang telah ditetapkan baginya. Dan barangsiapa yang niat (tujuan) hidupnya adalah negeri akhirat, Allah akan mengumpulkan urusannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina.Semoga dengan itu kita senantiasa dalam hidayah; selalu di jalan Allah Ta'ala yang lurus. Semoga tidaklah kita mati kecuali dalam keadaan benar-benar berserah diri kepada Allah 'Azza wa Jalla." (Hadis Shahih Riwayat Ahmad, Ibnu Majah & Ibnu Hibban).

Seseorang yang menjadikan dunia sebagai passion, boleh jadi Allah Ta'ala berikan kekayaan yang berlimpah, tetapi justru dialah orang yang paling takut berkurang hartanya dan jatuh miskin. Harta terus bertambah, tetapi kebahagiaan semakin berkurang, meski ia banyak bersenang-senang dengan beragam hiburan dan kemewahan. Sangat berbeda antara bersenang-senang dengan bahagia. Bukankah banyak orang yang pekerjaannya menghibur, hidup dalam gemerlap, tapi hatinya justru gelap dan jauh dari bahagia.

Banyak hal yang perlu kita renungkan untuk hidup kita. Saya hanya mampu menghadirkan renungan singkat. Semoga Allah Ta'ala senantiasa limpahkan hidayah kepada kita sehingga selalu hidup di jalan-Nya. Semoga akhir hidup kita adalah saat yang terbaik. Masa ketika kita benar-benar berserah diri hanya kepada Allah Ta'ala. Allah Ta'ala ridha kepada kita dan kita pun ridha kepada-Nya.

Wallahu a'lam bish-shawab. Ingatkan saya. Do'akan saya.




Oleh: Mohammad Fauzil Adhim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar