Rabu, 19 Oktober 2011
Keajaiban Optimis dan Tawakal
Tau nggak kenapa judulnya diawali dengan kata “keajaiban” ?
Karena kita cenderung jarang sekali mensyukuri nikmat-nikmat yang diberikan kepada kita juga sangat jarang melihat kebesaran-kebesaranNya dari hal-hal yang kita anggap kecil. Padahal kebesaranNya tidak hanya dilihat dari hal-hal besar, tetapi juga hal kecil yang kadang kita remehkan. Maka dari sekarang saya akan menyebut segala sesuatu yang kita lihat, dengar, rasa, dan pikirkan dengan kata “keajaiban”. (naon deui)
Bicara mengenai optimis dan tawakal, keduanya merupakan hal yang tak dapat dipisahkan. Sering kita mendengarnya, tapi sulit menjalankannya. Banyak di antara kita yang optimis tanpa diiringi dengan tawakal kepada Allah. Atau menganggap seolah-olah kekuatan itu datang dari dirinya sendiri. Tidak dari yang lain. Akibatnya mungkin sebagian dari kita ketika mengalami kegagalan atau hanya menemukan sesuatu yang tidak sesuai harapan akan mengalami rasa menyesal yang berlebihan atau bahkan depresi.
Beberapa di antara kita berpendapat bahwa tawakal itu letaknya di akhir. Untuk bagian ini saya kurang sepakat. Seharusnya kita bertawakal sejak awal. Bukan setelah kita bekerja, ikhtiar, kemudian menyerah dan menyerahkan semuanya kepada Allah (tawakal). Tetapi dari awal mestinya kita sudah berserah diri kepada Allah. Sehingga apapun hasilnya, akan kita terima dengan lapang dada karena tahu bahwa Allah lah sebaik-baik Pemberi Keputusan.
Mari kita simak salah satu hadits dalam Riyadushalihin, Imam Nawawi.
Ibnu Abbas ra. Berkata bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “ Beberapa umat diperlihatkan kepadaku. Aku melihat seorang Nabi bersama satu golongan kecil (tidak lebih dari sepuluh orang), seorang Nabi bersama satu atau dua orang, dan seorang Nabi yang tidak mempunyai pengikut. Tiba-tiba, sekumpulan orang yang sangat banyak diperlihatkan kepadaku. Aku mengira bahwa itu umatku. Kemudian dikatakan kepadaku , ‘ini adalah Musa dan kaumnya. Akan tetapi, lihatlah ke arah sana’. Aku melihatnya, dan terlihat sekumpulan orang yang sangat banyak. ‘Lihatlah juga ke arah yang lain.’ Disana terlihat sekumpulan orang yang sangat banyak. ‘itu adalah umatmu. Diantara mereka terdapat 70 ribu orang yang masuk surga tanpa hisab dan siksa.’
Kemudian beliau berdiri dan masuk ke rumahnya. Para sahabat membicarakan tentang orang-orang yang masuk surga tanpa hisab dan siksa. Sebagian di antara mereka berkata, “barangkali mereka adalah orang-orang yang bersahabat dengan dengan Rasulullah”.
Sebagian sahabat lagi berkata, “ barangkali mereka adalah yang dilahirkan dalam keadaan islam dan tidak musyrik”. Para sahabat juga menyebutkan dugaan-dugaan yang lain.
Rasulullah keluar rumah lalu bertanya, “ apa yang kalian perbincangkan ?”
Mereka memberitahukannya kepada beliau. Beliau bersabda, “ Mereka adalah orang-orang yang tidak memberi mantra, tidak minta dibuatkan mantra, tidak pesimis, tidak percaya pada hal-hal yang membawa sial, dan hanya bertawakal kepada Tuhan mereka.”
Ukasyah bin Mihshan berdiri dan berkata (kepada Rasulullah), “berdoalah kepada Allah, semoga aku termasuk golongan mereka.” Rasulullah bersabda. “ Kamu termasuk golongan mereka.” Kemudian laki-laki lain berdiri dan berkata (kepada Rasulullah), “Berdoalah kepada Allah semoga aku termasuk golongan merela.” Rasulullah bersabda, “ Ukasyah telah mendahuluimu.” (Muttafaq’alaih)
Kalau hanya dilihat sepintas, sepertinya mudah masuk ke dalam golongan itu. “Mereka adalah orang-orang yang tidak memberi mantra, tidak minta dibuatkan mantra, tidak pesimis, tidak percaya pada hal-hal yang membawa sial, dan hanya bertawakal kepada Tuhan mereka”. Tetapi percayalah, tidak semudah yang kita kira. Mungkin kita tidak termasuk ke dalam orang-orang yang memberi mantra, atau minta dibuatkan mantra, mungkin kita juga tidak percaya dengan hal-hal yang membawa sial. Tapi disadari atau tidak, apakah kita tidak termasuk orang-orang yang pesimis ? selalu mengeluh terhadap keadaan diri kita, selalu mengeluh atas kemampuan diri yang kita anggap tidak sempurna, atau bahkan hanya tidak percaya diri baik ketika berbicara maupun menulis. Saya menganggap ini ciri-ciri orang pesimis.
Belum lagi dengan tawakal kepada Allah. Saya pikir ini bukan perkara mudah. Hanya jiwa-jiwa yang hatinya ikhlas saja lah yang mampu bertawakal dengan sempurna. Karena biasanya kita hanya bertawakal atau lebih tepatnya mengaku bertawakal ketika dalam keadaan yang ‘tidak enak’. Jarang ketika kita bisa mengerjakan soal-soal ujian dengan baik, dan yakin mendapat nilai bagus, akan mengatakan ‘saya serahkan semuanya kepada Allah’. Biasanya kalimat itu akan keluar ketika kita sudah menyerah dan menduga akan mendapat nilai yang buruk.
Ya begitulah. Kita sebagai manusia memang lemah. Dan seharusnya dengan kelemahan itu, kita mampu melihat lebih luas kekuatanNya.
“Dan kepada Allah, hendaklah orang-orang yang beriman itu bertawakal,” (Ibrahim: 11)
“Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, maka Dia pasti mencukupi untuknya.” (At- Thalaq: 3)
Wallahu’alam.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar