SETIAP bangsa atau masyarakat pasti memiliki tatanan nilai sosialnya masing-masing. Itu tidak bisa berlaku universal, karena –seperti kata pepatah lama “Lain lubuk, lain pula ikannya—maka tatanan nilai sosial kemasyarakat pun juga berbeda dari satu wilayah dengan wilayah lainnya. “Lain ladang, lain belalang”—begitu bunyi pepatah lain dengan makna sama.
Orang Barat biasa dan bahkan menganggap biasa menggunakan tangan kiri untuk salaman, memberi kartu nama, dan bahkan menerima hadiah. Tentu, tradisi “berkidal” ini tak berlaku di Indonesia –nah apalagi di kalangan masyarakat Jawa—karena salah-salah bisa dianggap melanggar tata nilai sopan-santun. Bahkan, untuk memberikan kartu nama pun, orang Jawa dipastikan akan menggunakan tangan kanan disertai gerakan tubuh sedikit membungkuk: tanda memberi hormat kepada “lawan bicara”.
Belajar hidup benar
Di bawah ini, kami paparkan sedikitnya 10 butir filosofi Jawa tentang kehidupan.
“Urip Iku Urup”
(Hidup itu Nyala)
Kurang lebih, butir filosofi ini bermakna dan mengandung pesan moral sebagai berikut. Hidup kita itu hendaknya memberi manfaat bagi segenap orang lain yang berada di sekitar kita. Semakin besar kita bisa memberikan manfaat dan berguna bagi khalayak ramai, maka kwalitas hidup kita pun juga akan menjadi lebih baik.
“Memayu Hayuning Bawana, Ambrasta dur Hangkara”
(Manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan; serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak).
Tugas kita selagi hidup di alam fana ini tak lain adalah mengusahakan bonum commune yang dalam bahasa politik sering diterjemahkan sebagai kebaikan atau kesejahteraan bersama untuk segenap masyarakat. Ke kanan, kita mengusahakan kebaikan dan kesejahteraan umum; ke kiri, kita berusaha meminimalisir segala bentuk kejahatan dan wujud keserakahan.
“Sura Dira Jaya Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti”
(Segala sifat keras hati, picik, angkara murka, hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati dan sabar).
Cinta tanpa pamrih akan mengalahkan segala bentuk kekerasan hati. Dalam bahasa Latin ada ungkapan Caritas Christi urget nos yang kurang lebih bisa diartikan ”kasih Tuhan mendorong kita untuk berbuat banyak bagi sesama”. Bisa juga kita artikan ”kasih mengalahkan segala angkara murka”.
Pelayanan penuh kasih tanpa pandang bulu yang dilakukan almarhum Ibu Teresa dari Calcutta adalah contoh paling jelas dan mutakhir yang bisa ditunjukkan Gereja sebagai bentuk penghayatan iman secara konkret dan nyata.
“Ngluruk Tanpa Bala; Menang Tanpa Ngasorake; Sekti Tanpa Aji-Aji; Sugih Tanpa Bandha“ (Berjuang tanpa perlu membawa massa; Menang tanpa harus merendahkan atau mempermalukan orang lain; Berwibawa tanpa harus mengandalkan kekuasaan, kekuatan, kekayaan atau keturunan; Kaya tanpa didasari kebendaan).
Apalah artinya hidup ini bila kita dimusuhi orang lain karena ulah kita sendiri? Rasa-rasanya tiada guna kita memuja diri dengan segala atribut duniawi berbentuk kekuasaan, kekayaan, penampilan fisik, kalau nyatanya kita tidak punya kawan.
Pun pula tidak perlu juga kita membuat orang lain malu atau sakit hati hanya karena kita ingin ”balas dendam”. Jauh lebih bermartabat, kalau kita berani mengampuni orang lain dan memberikan maaf, sekalipun yang bersangkutan barangkali tidak mau mengaku salah dan tidak mau berdamai dengan kita. Kebesaran jiwa seseorang justru terbaca ketika berani mengaku salah dan minta maaf; pun pula rela mengampuni mereka yang bersalah kepada kita.
“Datan Serik Lamun Ketaman, Datan Susah Lamun Kelangan”
(Jangan gampang sakit hati manakala musibah menimpa diri; Jangan sedih manakala kehilangan sesuatu).
Apalah artinya benda dan harta material kita? Dalam sekejap semua milik kita bisa musnah dan hilang ”ditelan” bencana alam seperti tsunami, gempa bumi tektonik, kebakaran, dan masih banyak lagi. Memiliki benda itu perlu namun tidak perlu menumpuk. Benda atau harta harus diperlakukan sebagai ”sarana” dan bukan ”tujuan” hidup.
Tujuan hidup kita tak lain adalah memuji kebesaran Tuhan, melayani sesama dan berbakti kepada Sang Pencipta melalui karya-karya kasih kepada sesama.
“Aja Gumunan; Aja Getunan; Aja Kagetan, Aja Aleman”
(Jangan mudah terheran-heran; Jangan mudah menyesal; Jangan mudah terkejut-kejut; Jangan mudah kolokan atau manja).
Banyak orang mengalami ”gegar budaya” (culture shock) manakala menjadi kaya secara tiba-tiba, entah itu melalui jalan benar atau tidak benar semisal korupsi. Harta berlimpah mampu mengubah perilaku manusia. Makanya muncul istilah nouveau riche di kalangan aristokrasi Perancis menjelang Revolusi Perancis yang akhirnya memporak-porandakan tatanan sosial di Perancis.
Di Indonesia, banyak orang OKB (Orang Kaya Baru) mendadak berubah tingkah lakunya. Selain suka berbelanja di pusat-pusat bisnis, caranya berdandan dan berbicara dengan orang lain pun jadi berubah.
Jadi, untuk apa mesti berubah kalau yang terpenting dalam hidup kita adalah semangat hati (spiritualitas) itu sendiri?
“Aja Ketungkul Marang Kalungguhan, Kadonyan lan Kemareman”
(Janganlah terobsesi atau terkungkung oleh keinginan untuk memperoleh kedudukan, kebendaan dan kepuasan duniawi).
Harta, kekuasaan, dan kenikmatan adalah tiga hal yang sering kali membawa manusia pada jurang dosa alias gampang digoda melakukan pelanggaran norma-norma sosial-hukum- susila-agama-moral. Sekali gelap mata, maka gelap pula jalan yang akan kita tempuh lantaran manusia mudah menjadi ”gila harta, gila kekuasaan, dan gila kenikmatan”.
Hedonisme atau semangat memuja kenikmatan indrawi adalah godaan paling joss gandhos bagi masyarakat modern. Mending makan enak daripada harus melakukan praktik-praktik ”penguasaan diri” melalui puasa atau bentuk lain.
“Aja Kuminter Mundak Keblinger, Aja Cidra Mundak Cilaka” (Jangan merasa paling pandai agar tidak salah arah; Jangan suka berbuat curang agar tidak celaka).
Pintar dan cerdas sangat membuka peluang bagi kita menjadi sombong dan arogan. Kalau kita merasa pintar sendiri, maka orang lain akan selalu kita pandang sebelah mata. Kalau sudah begitu, maka kita meletakkan diri kita terlalu tinggi dan memandang orang lain terlalu rendah. Akibatnya, kita bisa ”kesandung” atau malah terjungkal oleh arogansi kita sendiri.
Apalagi kalau berani berbuat curang hanya untuk kepentingan diri sendiri. Itu namanya tega rasa alias tidak berbelas kasih. Orang yang hanya peduli dengan dirinya sendiri akan mudah sekali ”jatuh” dalam dosa yang disebut main curang.
“Ojo Milik Barang Kang Melok; Ojo Mangro Mundak Kendo”
(Jangan tergiur oleh hal-hal yang tampak mewah, cantik, indah; Jangan berfikir mendua agar tidak kendor niat dan kendor semangat).
Hidup sederhana itu indah. Hidup menurut ukuran dan takaran kita sendiri adalah bijaksana daripada harus hidup penuh kepalsuan layaknya bunyi pepatah lama ”Besar pasak, daripada tiang”. Sekarang ini, banyak orang lupa diri lantaran gena hipnotis akan hidup enak, mewah, dan serba cepat.
Alih-alih beli rumah, orang sudah keburu kepengin membeli mobil atau barang- barang sekunder lainnya. Itu pun tidak dibayar secara tunai, melainkan dibayar secara kredit melalui program financing lain seperti kartu kredit, soft loan, dan seterusnya. Akibatnya, banyak pula orang terjerumus pada hutang hingga menjadi sasaran para debt collector yang tanpa henti memburunya agar cepat-cepat melunasi hutangnya kepada bank.
Apakah hidup macam ini memberi suasana nyaman dan tenang? Tentu saja tidak. Maka dari itu, marilah kita hidup ”prasaja”, apa adanya. Dalam bahasa rohani, kita mesti hidup secara tantum quantum: sejauh butuh, kita usahakan, tapi kalau tidak ya mengapa harus keburu nafsu.
“Aja Adigang, Adigung, Adiguna”
(Jangan sok kuasa, sok besar, sok sakti).
Sombong adalah akar segala dosa. Merasa diri paling hebat biasanya menjadi awal untuk melakukan segala bentuk penghinaan kepada orang lain. Sombong dan arogansi akan bertambah hebat, kalau ditopang oleh kekayaaan. Menjadi lebih ”mengerikan” lagi kalau ditambahi dengan semangat mencari kekuasaan alias ambisius.
Ambisi jelas baik, namun ambisius sangat tidak baik. Hidup sederhana dan rendah hati adalah sebuah perjalanan panjang; hasil pengolahan batin yang tidak serba instant. Doa, refleksi dan mawas diri menjadi sarana batin untuk mengatur kehidupan kita agar kita menjadi manusia bermartabat, sosial, penuh kasih, dan berguna bagi sesama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar