”Akh fulan, gimana kabar antum? Apa program devisi terdekat?”
Kalimat pendek itu sering terlontar kepada beberapa kadiv di ROHIS. Terdengar Ringan dan sepele. Tapi siapa tahu kita memang gak mau tau? Ikatan hati dan komunikasi jadi gak penting. Sekedar ketemu aja, ga ada niat. Jadinya kan gawat, gara-gara itu, berdakwah jadi hambar, pahit, atau bisa-bisa basi.
Tahu kisah Fahri yang ada di Novel Ayat-Ayat Cinta itu gak? Di situ Kang Abik (penulis novelnya) begitu indahnya menceritakan perjalanan sekelompok pemuda terbina (tertarbiyah) yang hidup dalam satu atap keluarga. Mereka hanya mahasiswa Mesir yang berkantong pas-pasan. Tapi hidup mereka bahagia karena mereka saling melengkapi. Kalo sudah satu atap, ada bocor sedikit, pasti kerja bakti bareng-bareng beresin atap genteng. Kalo kamar mandinya licin berlumut, siapa yang akan ngebersihin kalo bukan itu tanggung jawab bersama? Ada banyak cara, piket atau gantian. Kalo ada yang sakit, patungan untuk beliin obat atau nganterin ke rumah sakit! Begitulah bro! bagi mereka, sudah satu tubuh, satu rasa, maka satu irama. Intinya kerjasama!
Gak sampai disitu. Mereka bahkan rutin ngadaian acara buat ngekalin persaudaraan mereka. Rekreasi, bikin sarasehan di kontrakan, kunjungan ke tetangga apartemen, Ngaji Bareng, sampai curhat bareng. Dengan begitu, hidup di tempat yang sempit bisa jadi terasa luas. Betul kan? Di kalangan orang jawa terkenal sebuah motto ”Mangan Ora Mangan, ngumpul”. Setidaknya moto itu jadi “dalil” penguat. Salut buat orang jawa!
Kisah Rasulullah dan sahabat-sahabatnya tak hampa dari romantika-romantika itu. Bahkan tidak terlukiskan sebegitu berkualitasnya persahabatan mereka, melampaui kisah –kisah cinta roman picisan, atau kisah Romantika ”Romeo Juliet” sekalipun. Persahabatan mereka kekal, karena mereka diikat oleh sesuatu Yang Kekal. Eratnya berjabat tangan, indahnya alunan saling menyapa salam, dan manisnya saling mendahulukan. Boleh jadi inilah kunci Rasulullah melebarkan sayap perjuangannya. Sayap-sayap peradaban yang tersusun dari bulu-bulu kecil. Bulu-bulu itu lembut karena kasih dan tersusun karena disambung. Sambungannya adalah ukhuwah. Dan ukhuwah itu jadi senjatanya dakwah. Begitulah kira-kira.
Apakah kita bisa hidup tanpa ukhuwah? Apakah dakwah bisa hidup tanpa ukhuwah? Jawabnya pasti tidak. Dalam perjalanan. kita butuh teman, sahabat, atau handai tolan. yang saling menguatkan di kala lemah, yang saling memudahkan di saat sulit, dan saling mengingatkan di saat tersesat. Maka beruntunglah jika kita ada di samping mereka yang seperti itu.
Jika teman itu adalah rekan kita seperjuangan dan persahabatan kita adalah karena visi akhirat, tentunya ukhuwah bukan lagi sambal, atau kerupuk. Melainkan ia sudah menjadi nasinya. Rasulullah sudah banyak mencontohkan hal ini, dan ingatlah saudaraku, bersahabat dengan mukmin –kata Rasul- adalah parfum bagi jiwa dan akhlak kita.
Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiyallahu ’Anh menyebut kelembutan yang disertai belas kasih sebagai satu dari sepuluh faktor penyelamat sekaligus yang mentaqwakan pelakunya.
dengan berbagai editan dari
*)dikutip dari http://yudhim.blogspot.com/
*posted: pkspiyungan.blogspot.com
Kalimat pendek itu sering terlontar kepada beberapa kadiv di ROHIS. Terdengar Ringan dan sepele. Tapi siapa tahu kita memang gak mau tau? Ikatan hati dan komunikasi jadi gak penting. Sekedar ketemu aja, ga ada niat. Jadinya kan gawat, gara-gara itu, berdakwah jadi hambar, pahit, atau bisa-bisa basi.
Tahu kisah Fahri yang ada di Novel Ayat-Ayat Cinta itu gak? Di situ Kang Abik (penulis novelnya) begitu indahnya menceritakan perjalanan sekelompok pemuda terbina (tertarbiyah) yang hidup dalam satu atap keluarga. Mereka hanya mahasiswa Mesir yang berkantong pas-pasan. Tapi hidup mereka bahagia karena mereka saling melengkapi. Kalo sudah satu atap, ada bocor sedikit, pasti kerja bakti bareng-bareng beresin atap genteng. Kalo kamar mandinya licin berlumut, siapa yang akan ngebersihin kalo bukan itu tanggung jawab bersama? Ada banyak cara, piket atau gantian. Kalo ada yang sakit, patungan untuk beliin obat atau nganterin ke rumah sakit! Begitulah bro! bagi mereka, sudah satu tubuh, satu rasa, maka satu irama. Intinya kerjasama!
Gak sampai disitu. Mereka bahkan rutin ngadaian acara buat ngekalin persaudaraan mereka. Rekreasi, bikin sarasehan di kontrakan, kunjungan ke tetangga apartemen, Ngaji Bareng, sampai curhat bareng. Dengan begitu, hidup di tempat yang sempit bisa jadi terasa luas. Betul kan? Di kalangan orang jawa terkenal sebuah motto ”Mangan Ora Mangan, ngumpul”. Setidaknya moto itu jadi “dalil” penguat. Salut buat orang jawa!
Kisah Rasulullah dan sahabat-sahabatnya tak hampa dari romantika-romantika itu. Bahkan tidak terlukiskan sebegitu berkualitasnya persahabatan mereka, melampaui kisah –kisah cinta roman picisan, atau kisah Romantika ”Romeo Juliet” sekalipun. Persahabatan mereka kekal, karena mereka diikat oleh sesuatu Yang Kekal. Eratnya berjabat tangan, indahnya alunan saling menyapa salam, dan manisnya saling mendahulukan. Boleh jadi inilah kunci Rasulullah melebarkan sayap perjuangannya. Sayap-sayap peradaban yang tersusun dari bulu-bulu kecil. Bulu-bulu itu lembut karena kasih dan tersusun karena disambung. Sambungannya adalah ukhuwah. Dan ukhuwah itu jadi senjatanya dakwah. Begitulah kira-kira.
Apakah kita bisa hidup tanpa ukhuwah? Apakah dakwah bisa hidup tanpa ukhuwah? Jawabnya pasti tidak. Dalam perjalanan. kita butuh teman, sahabat, atau handai tolan. yang saling menguatkan di kala lemah, yang saling memudahkan di saat sulit, dan saling mengingatkan di saat tersesat. Maka beruntunglah jika kita ada di samping mereka yang seperti itu.
Jika teman itu adalah rekan kita seperjuangan dan persahabatan kita adalah karena visi akhirat, tentunya ukhuwah bukan lagi sambal, atau kerupuk. Melainkan ia sudah menjadi nasinya. Rasulullah sudah banyak mencontohkan hal ini, dan ingatlah saudaraku, bersahabat dengan mukmin –kata Rasul- adalah parfum bagi jiwa dan akhlak kita.
Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiyallahu ’Anh menyebut kelembutan yang disertai belas kasih sebagai satu dari sepuluh faktor penyelamat sekaligus yang mentaqwakan pelakunya.
dengan berbagai editan dari
*)dikutip dari http://yudhim.blogspot.com/
*posted: pkspiyungan.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar