.

Sabtu, 02 November 2013

Urgensi Ikhlas dalam Realisasi Amal



Manusia atau makhluk mana yang tidak ingin dicintai oleh dzat yang menciptakannya, tentu semua makhluk Allah, terlebih manusia selaku makhluk yang paling sempurna di antara makhluk lain ingin dicintai oleh dzat yang menciptakannya, yaitu Allah swt, bahkan tidak heran untuk menggapai kemuliaan dan kecintaan disisi Allah ini mereka rela melakukan hal apapun, hingga pada hal yang tidak ada tuntunannya (bid’ah).

Dengan lebel dicintai Allah dan harapan agar dicintai Allah terkadang manusia salah menempatkan dan melakukan hal yang bersifat ibadah, mereka lupa bahwa salah satu faktor agar dicintai Allah adalah dengan mengikuti segala yang diajarkan oleh utusaNya Muhammad saw dan dengan mencintai Nabi Muhammad saw berarti mencintai Allah swt pula, sebagaimana firman Allah swt :

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ…

Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu (QS. al-Imran : 31)

Hadist di atas menunjukkan bahwa cinta kepada Allah itu dibangun di atas cinta kepada Nabi Muhammad saw, oleh karena itu barangsiapa yang meneladani dan mengikuti apa yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw sebagai pembawa risalah (Rasul), niscaya dia akan dicintai Allah dan mendapat pengampunan dari dosa yang pernah dia lakukan.

Mengenai cinta kepada Allah dan bagaimana cara menggapainya, marilah kita renungkan hadits qudsi di bawah ini :

عَنْ مُعَاذ بْنِ جَبَلٍ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْ لُ الله صلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : قَالَ اللهُ تَعَالَى : حَقَّتْ مَحَبَّتِي لِلْمُتَحَابِّينَ فِيَّ وَ حَقَّتْ مَحَبَّتِي لِلْمُتَوَاصِلِين فِيَّ وَ حَقَّتْ مَحَبَّتِي لِلْمُتَنَاصِحِيْنَ فِيَّ وَ حَقَّتْ مَحَبَّتِي لِلْمُتَبَاذِلِينَ فِيَّ ;الْمُتَحَابُّوْنَ فِيَّ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُوْرٍ يَغْبِطُهُمْ بِمَكَانِهِمُ النَّبِيُّوْنَ وَ الصِّدِّيْقُوْنَ وَ الشُّهَدَاءُ .

Dari Mu’adz bin Jabal –Radhiyallahu ‘anhu- beliau berkata: Telah bersabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam : “Allah Ta’ala berfirman : ‘Orang yang saling mencintai karena-Ku pasti diberikan cinta-Ku, orang yang saling menyambung kekerabatannya karena-Ku pasti diberikan cintaKu dan orang yang saling menasehati karena-Ku pasti diberikan cintaKu serta orang yang saling berkorban karena-Ku pasti diberikan cinta-Ku. Orang-orang yang saling mencintai karena-Ku (nanti di akhirat) berada di mimbar-mimbar dari cahaya. Para Nabi, shiddiqin dan orang-orang yang mati syahid merasa iri dengan kedudukan mereka ini’”

(HR. Imam Ahmad dalam kitab Al-Musnad dan dishahihkan al-Albani dalam kitab Shahih Jami’ ash-Shaghir no. 4198).

Hadist qudsi ini terdapat pula dalam kitab as-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqy ( h.233, no. 21599 ), Ittihaf al-Khoirat al-muharrat karya Ahmad bin Abu Bakr bin Isma’il ( h.105, no. 5428), Syarh musykil al-Atsar karya Abi Ja’far Ahmad bin Muhammad bin Salamah at-Thohawiy (h.37, no. 3895) dan Musnad al-Thoyalisi karya Sulaiman bin Dawud ( no. 577).

Sungguh besar makna dan ibrah (pelajaran) yang dapat diambil dari hadits qudsi di atas. Dalam hadits qudsi tersebut Allah swt memerintahkan kita untuk mewujudkan empat hal yang menjadi sebab kita menjadi hamba-Nya yang dicintai.

1) Perintah saling mencintai karena Allah, 2) Perintah saling menasehati karena Allah, 3) Perintah saling menyambung persaudaraan karena Allah, 4) Perintah saling berkorban karena Allah.

Inti dari semua amalan yang dapat menuai cinta Allah adalah ikhlas semata-mata mengharap ridha Allah swt tanpa disertai tendensi karena manusia atau makhuk yang lainnya. Oleh karena itu antara perbuatan yang didasari dengan keiklhlasan dan iman yang akan melahirkan kecintaan kepada Allah swt nampaknya memiliki hubungan yang erat.

Perbuatan adalah bentuk implementasi dari keimanan seseorang, maka tak heran jika amalan (perbuatan) bisa menjadi tolok ukur tinggi dan rendah, naik (yāzid) dan turun (yanqūs) keimanan seseorang. Sedangkan yang menjadi tolok ukur amalan itu sendiri adalah Iklhas. Maka ketika kita hendak mengerjakan suata amalan (perbuatan) hendaknya senantiasa kita landasi dengan rasa ikhlas, yaitu melakukan perbuatan semata-mata mencari keridhaan Allah swt dan memurnikan perbuatan dari segala bentuk kesenangan duniawi. Ikhlas juga merupakan dampak positif dari tauhid yang sejati, yaitu tindakan mengesakan Allah swt dalam peribadatan dan memohon pertolongan. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt dalam surat yang sering kita baca ketika shalat :

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ [١:٥]

Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.(QS. Al-Fātihah : 5).

Mengenai urgensi (pentingnya) ikhlas, Allah swt berfirman :

فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا [١٨:١١٠]

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”.(QS. Al-Kahfi : 110)

Dari firman Allah swt diatas dapat kita tarik sebuah pemahaman, bahwa ikhlas adalah suatau element yang urgen (penting) dalam melaksanakan segala amalan. Beramal tanpa ikhlas, ibarat melakukan pekerjaan yang tiada guna dan sia-sia belaka.

Selaku orang muslim, tentu sifat ikhlas ini harus benar-benar dimiliki dan menjadi satu komposisi dalam meracik ramuan amalan baik yang akan direalisasikan sebagai wujud keimanan kita kepada Allah swt. Jangan sampai dalam perjalananya semua amalan yang kita laksanakan sia-sia belaka seperti buih di lautan. Oleh karena itu Allah swt berfirman :

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ [١٦٢] لَا شَرِيكَ لَهُ ۖ وَبِذَٰلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ [١٦٣]

“Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”.(QS. al-An’am : 162-163)

Berdasarkan ayat di atas, tentu sebagai seorang muslim, kita harus memahami dan mampu mengaplikasikan semboyan : “Allah tujuan kita, Allah satu-satunya penolong kita dan hanya kepada Allah lah kita berserah diri” dalam segala perbuatan yang kita kerjakan.

Membersihkan dan memurnikan perbuatan dari segala macam kesenangan duniawi bukanlah persoalan ringan seperti diduga banyak orang. Perbuatan seperti ini memerlukan perjuangan sungguh-sungguh dengan mengalahkan sifat egois dan membabat habis segala kesenangan pribadi yang bersifat sementara. Selain itu, juga diperlukan pengawasan yang sangat ketat terhadap lubang yang bisa dimasuki oleh setan. Tapi bagi orang yang mampu mengkondisikan hatinya untuk tetap ikhlas dan tidak terpengaruh oleh bujuk-rayu setan dan gemerlap dunia yang fana, maka baginya kemudahan dan anugerah dari Allah. Hal ini dilukiskan oleh Rasulullah swt dalam sabdanya :

عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: بَشِّرْ هَذِهِ الْأُمَّةَ بِالتَّيْسِيرِ، وَالسَّنَاءِ، وَالرِّفْعَةِ فِي الدِّينِ، وَالتَّمْكِينِ فِي الْبِلَادِ، وَالنَّصْرِ، فَمَنْ عَمِلَ مِنْهُمْ عَمَلًا بِعَمَلِ الْآخِرَةِ لِلدُّنْيَا فَلَيْسَ لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ (رواه أحمد وابن حبان والبيهقي)

“Dari Ubay bin Ka’ab berkata, Rasulullah saw bersabda : Berilah kabar gembira bagi umat ini, bahwa mereka akan diberikan kemudahan oleh Allah swt, diberikan kejayaan dalam agama, diteguhkan kekuasaannya di Negerinya ini, dan diberikan kemenangan. Siapa diantara mereka yang beramal dengan amalan akhirat tetapi didasari keinginan mendapatkan kemewahan duniawi, maka tidak ada baginya bagian di akhirat” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban dan Baihaqi)

Hadis diatas memberikan pelajaran berharga bagi kita, agar tidak mendua dalam niat ketika mengerjakan amal perbuatan. Karena niat yang mendua (tidak fokus semata-mata karena dan hanya untuk Allah) dapat merusak esensi amal perbuatan yang kita kerjakan. Ibnu Athailah menegaskan bahwa amal perbuatan yang dilandasi dualisme niat tidak akan diterima oleh Allah, begitu juga hati yang mendua.

Setelah kita mengetahui urgensi (pentingnya) ikhlas dalam melakukan perbuatan. Marilah kita tanamkan mulai sekarang sifat ikhlas ini di dalam lubuk hati kita dan kita realisasikan dalam bentuk amal shaleh yang bermanfaat semata-mata mengharap ridha Allah swt, karena Allah swt akan menilai apa yang kita perbuat berdasarkan haati nurani kita, sebagaimana Rasulullah saw bersabda :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” إِنَّ اللهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَلَا أَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ إِنَّمَا يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ ” ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ(

Dari Abi Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhanya Allah tidak akan menilai bentuk fisik dan harta kamu, akan tetapi Allah hanya menilai hati nurani dan perbuatan kamu” (HR. Muslim).

Inti (natijah) yang dapat kita ambil dari pemaparan singkat di atas adalah kunci agar kita menjadi hamba yang dicintai oleh Allah adalah beribadah dan beramal dengan tendensi mencari keridhaan Allah swt semata, oleh karena itu tanamkanlah sifat ikhlas dalam segala hal, baik dalam beribadah dan beramal, karena dengan sifat inilah amalan yang kita lakukan tidak sia-sia. Wallahu a’lam bisshowab.

Oleh: Sukahar Ahmad Syafi’i, Alumni Ponpes Karangasem Muhammadiyah Paciran Lamongan dan Pendidikan Ulama’ Tarjih Muhammadiyah (PUTM) Yogyakarta serta Mahasiswa prodi Tafsir Hadits Universitas Ahmad Dahlan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar