.

Senin, 29 Agustus 2011

Berdasarkan Hasil Dewan Hisab Iedul fitri 1432 H


Kajian Iedul Fitri Jatuh Pada Tanggal 31 Agustus 2011 / 1432 H

Lebaran tahun ini dikhawatirkan akan berbeda hari antara penetapan pemerintah (Isbat) yang diperkirakan menetapkan 1 Syawwal 1432 H jatuh pada Rabu (31/8) dengan keputusan Muhammadiyah yang sejak awal menetapkan 1 Syawwal jatuh pada Selasa (30/8). Hal ini juga terlihat dari perbedaan penentuan kriteria awal bulan qamariah, misalnya: pasang naik air laut maksimum (Jama’ah An-Nadzr), menambah 1 hari dari tanggal pemerintah (tariqat mama Abdul jabar), hisab urfi (tarekat naqsabandiyah), mengikuti arab saudi (HTI), wujudul hilal (yang dipegang Muhammadiyah) dan Imkanur rukyat (yang dipegang PERSIS, PBNU DAN Pemerintah). Tentu hal ini tidak bisa dibiarkan, karena kita tidak mau mengalami kebimbangan dalam menjalankan ibadah sehingga butuh pengkajian mengenai penetapan awal bulan qamariyah baik secara Dalil, Ilmu astronomis, maupun dalam rangka mengikuti ulil amri.
 A. Aspek Astronomis
Senin (29/8) sore merupakan saat pelaksanaan rukyatul hilal untuk menentukan awal bulan Syawwal 1432 Hijriyah. Sore itu untuk wilayah Yogyakarta, Matahari terbenam pada pukul 17:38 WIB pada azimuth 279° 22′ atau 9,3° di Utara titik Barat. Tinggi Hilal (Bulan) saat Matahari terbenam 1,8° di atas horizon di Selatan Matahari. Bulan terbenam pada 17:47 WIB pada azimuth 273°12′. Pada kondisi ini secara astronomis Hilal mustahil dapat dirukyat. Lalu kenapa berangkat rukyat? Ya setidaknya memastikan hilal tidak terlihat.
RHI Yogyakarta merencanakan akan melakukan rukyatul hilal bersama Tim BHR DIY di POB Bela-belu Parangkusumo Yogyakarta pada Senin, 29 Agustus 2011 dan Selasa, 30 Agustus 2011 di POB Bela-belu Parangkusumo, Bantul Yogyakarta. Seperti halnya tahun lalu, tahun ini juga RHI menjadi salah satu Tim rukyat nasional dari 14 lokasi Rukyat Nasional di Indonesia kerjamasama antara BHR Kemenag DIY, Telkom DIY, Kominfo dan Bosscha. Hasil Streaming online Hilal 2011 ini dapat dilihat di website berikut :  
Ijtimak / Konjungsi / New Moon
Senin, 29 Agustus 2011  @ 10:06 WIB – 11:06 WITA – 12:06  WIT
atau  Senin, 29 Agustus 2011 @ 03:06 UT
Visibilitas (kenampakan) Hilal pada hari terjadinya Ijtimak selepas Matahari terbenam di seluruh dunia khususnya kawasan Indonesia ditunjukkan pada gambar peta di bawah ini.  Peta visibilitas mengacu pada Kriteria Odeh yang mengadopsi Limit Danjon sebesar 6° yaitu syarat sudut elongasi Hilal terhadap Matahari agar dapat terlihat. Kriteria tersebut dikemas dalam sebuah software Accurate Times yang menjadi acuan pembuatan peta visibilitas ini.
KETERANGAN :
  1. Sangat tidak mungkin daerah yang berada di bawah arsiran MERAH (E) dapat menyaksikan Hilal, sebab pada saat itu Bulan  terbenam lebih dulu sebelum Matahari terbenam atau ijtimak lokal (topocentric conjunction) terjadi setelah Matahari terbenam.
  2. Daerah yang berada pada area BIRU TUA (D) (tak berarsiran) juga  tidak memiliki peluang menyaksikan hilal sekalipun menggunakan alat bantu optik (binokuler/teropong), sebab kedudukan Hilal masih sangat rendah ( <6° ) dan terang cakram Bulan masih terlalu kecil sehingga cahaya Hilal tidak mungkin teramati.
  3. Hilal baru mungkin dapat teramati menggunakan alat bantu optik pada area di bawah arsiranBIRU MUDA (C). Pada area ini pun masih sangat sulit karena dibutuhkan kondisi langit yang sangat cerah terutama di langit Barat.
  4. Wilayah yang berada dalam arsiran UNGU (B) hanya dapat menyaksikan hilal menggunakan alat bantu optik sedangkan untuk melihat langsung dengan mata diperlukan kondisi cuaca yang sangat cerah dan ketelitian pengamatan.
  5. Hilal dengan mudah dapat disaksikan pada area di bawah arsiran HIJAU (A) baik menggunakan mata telanjang apalagi menggunakan peralatan optik dengan syarat kondisi udara dan cuaca cukup baik.
  6. Peta ini dibuat dan hanya berlaku untuk daerah 60° Lintang Utara sampai 60° Lintang Selatan.
Peta Ketinggian Hilal di Wilayah Indonesia
Tanggal Rukyatul Hilal :
Senin, 29 Agustus 2011 @ sunset ( Rukyat Saudi )
Senin, 29 Agustus 2011 ( Pemerintah RI / NU / Teori Visibilitas )
Diagram ketinggian di atas hanya berlaku untuk wilayah Yogyakarta dan sekitarnya.
Prediksi Awal Bulan Menurut Berbagai Kriteria
1. Menurut Kriteria Rukyat Hilal ( Teori Visibilitas Hilal )
Teori Visibilitas Hilal terbaru telah dibangun oleh para astronom dalam proyek pengamatan hilal global yang dikenal sebagai Islamic Crescent Observation Project (ICOP) berpusat di Yordania berdasar pada sekitar 700 lebih data observasi hilal yang dianggap valid. Teori ini menyatakan bahwa hilal hanya mungkin bisa dirukyat jika jarak sudut Bulan dan Matahari minimal 6,4° (sebelumnya 7°) yang dikenal sebagai “Limit Danjon”. Kurva Visibilitas Hilal sebagai hasil perhitungan teori tersebut mengindikasikan bahwa untuk wilayah sekitar Katulistiwa (Indonesia) hilal baru mungkin dapat dirukyat menggunakan mata telanjang minimal pada ketinggian di atas6°. Di bawah itu hingga ketinggian di atas 4° diperlukan alat bantu penglihatan seperti teleskop dan sejenisnya.
Melihat lokasi Indonesia menurut peta visibilitas di atas sesuai dengan teori visibilitas hilal maka seluruh wilayah Indonesia mustahil dapat menyaksikan hilal pada hari pertama ijtimak sore setelah Matahari terbenam walaupu menggunakan teleskop. Dengan demikian maka diberlakukan ISTIKMAL sehingga awal bulan akan jatuh pada:
Rabu, 31 Agustus 2011
Nahdlatul Ulama (NU) yang menggunakan rukyat sebagai dasar penentuan awal bulan masih mengakui  kesaksian rukyat asalkan ketinggiannya di atas batas imkanurrukyat 2° bahkan hanya dengan mata telanjang. Sementara dalam penyusunan kalendernya NU menggunakan kriteria imkanurrukyat 2°tanpa syarat elongasi dan umur Hilal.
2. Menurut Kriteria Hisab Imkanur Rukyat
Pemerintah RI melalui pertemuan Menteri-menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura (MABIMS) menetapkan kriteria yang disebut Imkanurrukyat yang dipakai secara resmi untuk penentuan awal bulan bulan pada  Kalender Islam negara-negara tersebut yang menyatakan :  
Hilal dianggap terlihat  dan keesokannya ditetapkan sebagai awal bulan Hijriyah berikutnya apabila memenuhi salah satu syarat-syarat berikut:
(1)· Ketika Matahari terbenam, ketinggian Bulan di atas horison tidak kurang dari 2° dan
(2). Jarak lengkung Bulan-Matahari (sudut elongasi) tidak kurang dari 3°. Atau 
(3)· Ketika Bulan terbenam, umur Bulan tidak kurang dari 8 jam selepas konjungsi/ijtimak berlaku. 
Kriteria inilah yang menjadi pedoman Pemerintah RI untuk menyusun kalender Taqwim Standard Indonesia yang digunakan dalam penentuan hari libur nasional secara resmi. Dengan kriteria ini pula keputusan Sidang Isbat Penentuan Awal Bulan Ramadhan, Syawwal dan Zulhijjah “bisa ditebak hasilnya”.  Ormas Persatuan Islam (Persis) belakangan telah mengadopsi kriteria ini sebagai dasar penetapan awal bulannya. Belakangan kriteria ini hanya dipakai oleh Indonesia dan Malaysia sementara Singapura menggunakan Hisab Wujudul Hilal dan Brunei Darussalam menggunakan Rukyatul Hilal berdasar Teori Visibilitas.
Menurut Peta Ketinggian Hilal tersebut, pada hari pertama ijtimak syarat Imkanurrukyat MABIMSbelum terpenuhi. Dengan demikian  diberlakukan ISTIKMAL sehingga awal bulan jatuh pada :
Rabu, 31 Agustus 2011.
3. Menurut Kriteria Hisab Wujudul Hilal
Muhammadiyah dalam penyusunan kalender Hijriyah baik untuk keperluan sosial maupun ibadahnya (Ramadhan, Syawwal dan Zulhijjah) menggunakan kriteria yang dinamakan “Hisab Hakiki Wujudul Hilal”. Kriteria ini menyatakan bahwa awal bulan Hijriyah dimulai apabila telah terpenuhi tiga kriteria berikut:
1) telah terjadi ijtimak (konjungsi),
2) ijtimak (konjungsi) itu terjadi sebelum matahari terbenam, dan
3) pada saat terbenamnya matahari piringan atas Bulan berada di atas ufuk (bulan baru telah wujud). Ketiga kriteria ini penggunaannya adalah secara kumulatif, dalam arti ketiganya harus terpenuhi sekaligus. Apabila salah satu tidak terpenuhi, maka bulan baru belum mulai. Atau dalam bahasa sederhanya dapat diterjemahkan sebagai berikut:
Jika setelah terjadi ijtimak, Bulan terbenam setelah terbenamnya Matahari maka malam itu  ditetapkan sebagai awal bulan Hijriyah tanpa melihat berapapun sudut ketinggian Bulan saat Matahari terbenam”.
Berdasarkan posisi hilal saat matahari terbenam di beberapa bagian wilayah Indonesia maka syarat wujudul hilal sudah terpenuhi Maka awal bulan ditetapkan jatuh pada :
Selasa, 30 Agustus 2011.
4. Menurut Kriteria Kalender Hijriyah Global
Universal Hejri Calendar (UHC) merupakan Kalender Hijriyah Global usulan dari Komite Mawaqit dari Arab Union for Astronomy and Space Sciences (AUASS) berdasarkan hasil Konferensi Ke-2 Atronomi Islam di Amman Jordania pada tahun 2001. Kalender universal ini membagi wilayah dunia menjadi 2 region sehingga sering disebut Bizonal Hejri Calendar. Zona Timur meliputi  180° BT ~ 20° BB sedangkan Zona Barat meliputi 20° BB ~ Benua Amerika. Adapun kriteria yang digunakan tetap mengacu pada visibilitas hilal (Limit Danjon).
Pada hari pertama ijtimak zone Barat maupun zone Timur belum masuk dalam kriteria Limit Danjon. Dengan demikian awal bulan di masing-masing zona akan jatuh pada :
Zona Timur :  Selasa, 30 Agustus 2011.
Zona Barat :  Rabu, 31 Agustus 2011.
5. Menurut Kriteria Rukyat Hilal Arab Saudi
Kurangnya pemahaman terhadap perkembangan dan modernisasi ilmu falak yang dimiliki oleh para perukyat sering menyebabkan terjadinya kesalahan identifikasi terhadap obyek yang disebut “Hilal” baik yang “sengaja salah” maupun yang tidak disengaja. Klaim terhadap kenampakan hilal oleh seeorang atau kelompok perukyat pada saat hilal masih berada di bawah “limit visibilitas” atau bahkan saat hilal sudah di bawah ufuk sering terjadi.  Sudah bukan berita baru lagi bahwa Saudi kerap kali melakukan istbat terhadap laporan rukyat yang “kontroversi”.
Kalender resmi Saudi yang dinamakan “Ummul Qura” yang telah berkali-kali mengganti kriterianya hanya diperuntukkan sebagai kalender untuk kepentingan non ibadah. Sementara untuk ibadah Saudi tetap menggunakan rukyat hilal sebagai dasar penetapannya. Sayangnya penetapan ini sering hanya  berdasarkan pada laporan rukyat dari seseorang tanpa terlebih dahulu melakukan klarifikasi dan konfirmasi terhadap kebenaran laporan tersebut apakah sudah sesuai dengan kaidah-kaidah sains astronomi khususnya Teori Visibilitas Hilal.
Diagram ketinggian Hilal di Mekkah pada hari pertama ijtimak.
Menurut Kalender Ummul Qura’ :
Kalender ini digunakan Saudi bagi kepentingan publik non-ibadah. Kriteria yang digunakan adalah“Telah terjadi ijtimak dan bulan terbenam setelah matahari terbenam di Makkah” maka sore itu dinyatakan sebagai awal bulan baru. Pada hari pertama ijtimak/konjungsi kondisinya sudah memenuhi syarat. Dengan demikian awal bulan akan jatuh pada : Selasa, 30 Agustus 2011.
Menurut Kriteria Rukyatul Hilal Saudi :
Rukyatul hilal digunakan Saudi khusus untuk penentuan bulan awal Ramadhan, Syawal dan Zulhijjah. Kaidahnya sederhana “Jika ada laporan rukyat dari seorang atau lebih pengamat/saksi yang dianggap jujur dan bersedia disumpah maka sudah cukup sebagai dasar untuk menentukan awal bulan tanpa perlu perlu dilakukan uji sains terhadap kebenaran laporan tersebut”.
Melihat posisi Hilal, mustahil hilal dapat dirukyat di Saudi pada hari pertama ijtimak  Namun demikian seperti kebiasaan sebelumnya diperkirakan ada yang mengaku berhasil rukyat (klaim) sehingga awal bulan akan jatuh pada : Selasa, 30 Agustus 2011.
Jika tidak ada laporan rukyat (harusnya) maka awal bulan akan jatuh pada: Rabu, 31 Agustus 2011.
6. Kriteria Awal Bulan Negara-negara Lain
Seperti kita ketahui secara resmi Indonesia bersama Malaysia, Brunei dan Singapura lewat pertemuan Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura (MABIMS) telah menyepakati sebuah kriteria bagi penetapan awal bulan Komariyahnya yang dikenal dengan “Kriteria Imkanurrukyat MABIMS” yaitu umur bulan > 8 jam, tinggi bulan > 2° dan elongasi > 3°. Belakangan ternyata kriteria ini hanya digunakan oleh Indonesia dan Malaysia saja. Sementara Singapura menggunakan Hisab Wujudul Hilal dan Brunei Darussalam menggunakan Rukyatul Hilal berdasar Teori Visibilitas.
Menurut catatan Moonsighting Committee Worldwide ternyata penetapan awal bulan ini berbeda-beda di tiap-tiap negara. Ada yang masih teguh mempertahankan rukyatul hilal bil fi’li ada pula yang mulai beralih menggunakan hisab atau kalkulasi. Berikut ini beberapa gambaran penetapan awal bulan Komariyah yang resmi digunakan di beberapa negara :
  1. Rukyatul Hilal berdasarkan kesaksian Perukyat  (Qadi) serta dilakukan pengkajian ulang terhadap hasil rukyat secara ilmiah antara lain dilakukan oleh negara-negara : Banglades, India, Pakistan, Oman, Maroko, Trinidad dan Brunei Darussalam.
  2. Hisab dengan kriteria bulan terbenam setelah Matahari dengan  diawali ijtimak terlebih dahulu (moonset after sunset). Kriteria ini digunakan oleh  Saudi Arabia pada kalender Ummul Qura namun khusus untuk Ramadhan, Syawwal dan Zulhijjah menggunakan pedoman rukyat.
  3. Mengikuti Saudi Arabia misalnya negara : Qatar, Kuwait, Emirat Arab, Bahrain, Yaman dan Turki, Iraq, Yordania, Palestina, Libanon dan Sudan.
  4. Hisab bulan terbenam minimal 5 menit setelah matahari terbenam dan terjadi setelah ijtimak  digunakan oleh negara Mesir.
  5. Menunggu berita dari negeri tetangga –> diadopsi oleh Selandia Baru  mengikuti  Australia dan Suriname mengikuti negara Guyana.
  6. Mengikuti negara Muslim yang pertama kali berhasil rukyat  –> Kepulauan Karibia
  7. Hisab dengan kriteria umur bulan, ketinggian bulan atau selisih waktu terbenamnya bulan dan matahari –> diadopsi oleh Algeria, Turki, Tunisia dan Malaysia.
  8. Ijtimak Qablal Fajr atau terjadinya ijtimak sebelum fajar  diadopsi oleh negara Libya.
  9. Ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam di Makkah dan bulan terbenam sesudah matahari terbenam di Makkah –> diadopsi oleh komunitas muslim di Amerika Utara dan Eropa (ISNA)
  10. Nigeria dan beberapa negara lain tidak tetap menggunakan satu kriteria dan berganti dari tahun ke tahun
  11. Menggunakan Rukyat Mata Telanjang : Namibia, Angola, Zimbabwe, Zambia, Mozambique, Botswana, Swaziland dan Lesotho.
  12. Jamaah Ahmadiyah, Bohra, Ismailiyah,  serta beberapa jamaah (tarekat) lainnya masih menggunakan hisab urfi yang sangat sederhana. 
B. Aspek Dalil
1. Kapan kita diwajibkan berpuasa? Allah memerintahkan bila menyaksikan syahru (month, bulan kalender) Ramadhan berpuasalah.
Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang salah). Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (datangnya) bulan (Ramadhan) itu maka berpuasalah. (QS 2:185)
Lalu bagaimana menentukan datangnya bulan (syahru) tersebut? Al-Quran tidak secara langsung menjelaskannya. Tetapi beberapa ayat berikut menuntun menguak isyarat yang jelas tata cara penentuan syahru tersebut, dengan dipandu pemahaman astronomi akan ayat-ayat kauniyah tentang perilaku bulan dan matahari.
2. Apa sih batasan syahru itu? Syahru itu hanya ada 12, demikian ketentuan Allah. Secara astronomi, 12 bulan adalah satu tahun.
Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah ketika Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (QS 9:36).
3. Lalu bagaimana menentukan masing-masing syahru dalam satu tahun? Bilangan tahun diketahui dari keberulangan tempat kedudukan bulan di orbitnya (manzilah-manzilah), yaitu 12 kali siklus fase bulan. Keteraturan keberulangan manzilah-manzilah itu yang digunakan untuk perhitungan tahun, setelah 12 kali berulang. Dengan demikian, kita pun bisa menghitungnya.
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat kedudukan bulan), supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan haq (benar). Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. (QS. 10:5).
4. Lalu, apa tanda-tanda manzilah-manzilah yang mudah dikenali manusia? Manzilah-manzilah ditandai dengan perubahan bentuk-bentuk bulan, dari bentuk sabit makin membesar menjadi purnama sampai kembali lagi menjadi bentuk sabit menyerupai lengkungan tipis pelepah kurma yang tua.
Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia seperti pelapah yang tua. (QS 36:39).
5. Lalu, manzilah yang mana yang bisa dijadikan awal syahruManzilah awal adalah hilal, bentuk sabit tipis. Itulah sebagai penentu waktu (mawaqit) awal bulan, karena tandanya jelas setelah sebelumnya menghilang yang disebut bulan mati. Purnama walau paling terang tidak mungkin dijadikan manzilah awal karena tidak jelas titik awalnya. Hilal itu bukan hanya untuk awal Ramadhan (seperti disebut pada ayat-ayat sebelumnya, di QS 2:183 – 188) dan akhirnya (awal Syawal), tetapi juga untuk penentuan waktu ibadah haji pada bulan Dzulhijjah.
Mereka bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit). Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah penentu waktu bagi manusia dan (bagi penentuan waktu ibadah) haji. (QS 2:189).
Jadi, syahru (bulan) Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah ditentukan dengan hilal. Hilal adalah bulan sabit yang tampak, yang merupakan fenomena rukyat (observasi). Tetapi ayat-ayat tersebut juga tegas menyatakan bahwa manzilah-manzilah (termasuk manzilah awal, yaitu hilal) bisa dihitung (hisab). Jadi, rukyat dan hisab setara, bisa saling menggantikan atau saling melengkapi. Tanda-tanda awal bulan yang berupa hilal bisa dilihat dengan mata (rukyat) dan bisa juga dihitung (hisab) berdasarkan rumusan keteraturan fase-fase bulan dan data-data rukyat sebelumnya tentang kemungkinan hilal bisa dirukyat. Data kemungkinan hilal bisa dirukyat itu yang dikenal sebagai kriteria imkanur rukyat atau visibilitas hilal.
Apakah ada alternatif lain menentukan awal bulan, yaitu sekadar hisab bulan wujud di atas ufuk (wujudul hilal)? Saya tidak menemukan ayat yang tegas yang dapat menjelaskan soal wujudul hilal tersebut. Ada yang berpendapat isyarat wujudul hilal itu ada di dalam QS 36:40.
Tidaklah mungkin matahari mengejar bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang, dan masing-masing beredar pada garis edarnya. (QS 36:40).
Logikanya, tidak mungkin matahari mengejar bulan. Tetapi mereka berpendapat ada saatnya matahari mendahului bulan, yaitu matahari terbenam terlebih dahulu daripada bulan, sehingga bulan telah wujud ketika malam mendahului siang (saat maghrib). Saat mulai wujud itulah yang dianggap awal bulan. Tetapi itu kontradiktif. Tidak mungkin mengejar, tetapi kok bisa mendahului. Logika seperti itu terkesan mengada-ada.
Ayat tersebut secara astronomi tidak terkait dengan wujudul hilal, karena pada akhir ayat ditegaskan “masing-masing beredar pada garis edarnya”. Ayat tersebut menjelaskan kondisi fisik sistem bumi, bulan, dan matahari. Walau matahari dan bulan tampak sama-sama di langit, sesungguhnya orbitnya berbeda. Bulan mengorbit bumi, sedangkan Matahari mengorbit pusat galaksi. Orbit yang berbeda itu yang menjelaskan “tidak mungkin matahari mengejar bulan” sampai kapan pun. Malam dan siang pun silih berganti secara teratur, tidak mungkin tiba-tiba malam karena malam mendahului siang. Itu disebabkan karena keteraturan bumi berotasi sambil mengorbit matahari. Bumi juga berbeda garis edarnya dengan matahari dan bulan. Semuanya beredar (yasbahun) di ruang alam semesta, tidak ada yang diam.
Apakah penentuan awal bulan dengan menggunakan tanda-tanda pasang air laut bisa dibenarkan? Tidak benar. Pasang air laut memang dipengaruhi oleh bulan dan matahari. Pada saat bulan baru pasang air laut maksimum. Tetapi, bulan baru belum berarti terlihatnya hilal. Lagi pula, pasang maksimum yang terjadi dua kali sehari tidak memberikan kepastian untuk menentukan awal bulannya.
Ada pula kelompok yang masih menggunakan hisab (perhitungan) lama, dengan cara hisab urfi. Apakah masih dibenarkan? Hisab urfi adalah cara hisab yang paling sederhana ketika ilmu hisab belum berkembang. Caranya, setiap bulan berselang-seling 30 dan 29 hari. Bulan ganjil selalu 30 hari. Jadi Ramadhan selalu 30 hari. Belum tentu awal bulan menurut hisab urfi bersesuaian dengan terlihatnya hilal. Jadi, hisab urfi semestinya tidak digunakan lagi.
Hilal
apakah hilal itu? Definisi hilal bisa beragam, tetapi bila itu bagian dari riset ilmiah, semua definisi itu semestinya saling melengkapi. Bukan dipilih definisi parsial. Hilal harus didefinisikan mulai dari metode sederhana rukyat tanpa alat bantu sampai dengan alat canggih hasil teknologi terbaru. Hilal juga harus terdefinisi dalam kriteria hisab yang menjelaskan hasil observasi. Definisi lengkapnya misalnya, dirumuskan, hilal adalah bulan sabit pertama yang teramati di ufuk barat sesaat setelah matahari terbenam, tampak sebagai goresan garis cahaya yang tipis, dan bila menggunakan teleskop dengan pemroses citra bisa tampak sebagai garis cahaya tipis di tepi bulatan bulan yang mengarah ke matahari.
Dari data-data rukyatul hilal jangka panjang, keberadaan hilal dibatasi oleh kriteria hisab tinggi minimal sekian derajat bila jaraknya dari matahari sekian derajat dan beda waktu terbenam bulan-matahari sekian menit serta fraksi iluminasi sekian persen.
Fenomena rukyat dan hisab seperti itu harus saling mengisi, sehingga dapat saling menggantikan dalam kondisi tertentu, baik kondisi alamiah maupun kondisi pemikiran (misalnya pemilihan hisab saja atau rukyat saja seperti terjadi sekarang).
                Perbedaan ini disebabkan kriteria yang berbeda yang dipegang oleh masing-masing pihak. Satu pihak berpegang kepada wujudul hilal dan pihak lain kepada imkanur ru’yah. Dan ternyata setelah diteliti dengan seksama, adanya perbedaan dalam penetapan tersebut bermuara kepada satu masalah yaitu, berbedanya dalam mengambil istinbath hukum dari teks-teks al-Qur’an dan as-Sunnah Rasulullah saw yang berkaitan dengan penentuan Awal Bulan Qomariyah (ABQ).
                Khusus untuk kasus penetapan Idul Fitri 1432 H ada dua masalah yang harus dikaji dari sisi istinbath hukumnya, yaitu tentang kriteria wujudul hilal-imkanur ru’yah dan keberlakuan hasil hisab, apakah hasil hisab tersebut hanya berlaku untuk wilayah yang sudah positif saja atau diberlakukan untuk seluruh wilayah Indonesia meskipun masih ada wilayah yang ketinggian hilalnya masih negatif.
                Oleh karena itu dalam tulisan ini akan dibahas tentang metode istinbath hukum yang dipakai para ulama dalam menjawab persoalan yang dihadapi umat, sehingga bisa dijadikan pedoman untuk mengeluarkan hukum tentang penentuan ABQ dari dalil-dalil nash (al-Qur’an dan as-Sunah). Disamping itu dibahas pula pengertian wujudul hilal dan imkanur ru’yah dengan dalilnya masing-masing.  
METODE ISTINBATH HUKUM
                Secara bahasa, istinbath mempunyai arti mengeluarkan atau menarik, maksudnya ialah mengeluarkan atau menarik kesimpulan hukum dari dalil-dalil/nash (al-Qur’an dan al-Hadits). Istinbath juga diartikan sebagai ijtihad, yang artinya mengerahkan segenap upaya dan kemampuan secara sungguh-sungguh untuk mengeluarkan atau menetapkan kesimpulan hukum dari dalil-dalilnya.
Untuk dapat melakukan istinbath seseorang harus mengerti dan memahami ilmu ushul fiqih, maka istinbath juga berarti proses dan upaya mengambil hukum dari dalil-dalil tertentu dengan menggunakan metodologi istinbath yang telah dirumuskan dalam ilmu ushul fiqih.
                Sebenarnya praktek istinbath hukum telah dilakukan oleh para shahabat ra sepeninggal Rasulullah saw, tetapi awal perumusannya menjadi sebuah disiplin ilmu, baru pada zaman para Imam mujtahid, khususnya imam yang empat (Hanafi, Malik, Syafi’i dan Ahmad). Sebagai pelopornya adalah Imam Syafi’i dengan bukunya berjudul ar-Risalah.
                  Imam Syafi’i menyusun kitabnya itu berdasarkan khazanah fikih yang ditemuinya dari peninggalan para shahabat, tabi’in, dan imam-imam mujtahid sebelum dia. Ia berusaha mempelajari dengan seksama perdebatan yang terjadi antara fuqoha Irak dan fuqoha Madinah, lalu ia memberikan jalan tengah dari kedua pandangan tersebut dan membuat teori-teori yang bersangkutan dengan hal tersebut. Imam Syafi’i juga memaparkan pertimbangan yang dilakukan untuk mengetahui mana pendapat yang shahih dan yang tidak shahih.
                Imam mujathid yang lain juga menciptakan metode istinbathnya sendiri, yang membedakannya dengan metode imam-imam yang lain. Seperti Imam Abu Hanifah menyusun metode istinbathnya dengan urutan: Al-Qur’an, sunah, fatwa para shahabat yang dianggap cocok, pendapat para tabi’in, qias dan istihsan dengan cara yang jelas. Sementara Imam Malik mengemukakan pendapatnya dengan banyak berpegang pada amalan ahli Madinah.
                Meskipun para imam mujtahid itu berbeda dalam menyusun metode ijtihadnya, tetapi dalam memandang al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber hukum islam yang pertama dan kedua telah disepakati oleh mereka, termasuk penilaian mereka tentang fungsi hadits terhadap al-Qur’an, yang ada 3 macam, yaitu:
  1. Menguatkan hukum-hukum yang ada dalam al-Qur’an, misalnya QS al-Baqarah 177 yang di antaranya menjelaskan tentang rukun iman kemudian dikuatkan dengan hadits Nabi saw yang diriwayatkan Bukhari, menerangkan rukun iman sebagai jawaban atas pertanyaan jibril as tentang “apakah iman itu?”.  
  2. Menjelaskan (memperinci yang mujmal, membatasi yang mutlak dan mentakhsis yang umum) hukum-hukum yang ada pada al-Qur’an, misalnya QS al-Baqarah 43 yang memerintahkan untuk mendirikan shalat, mengeluarkan zakat dan ruku’, tetapi di dalam al-Qur’an tidak dijelaskan bagaimana tatacara shalat itu, apa bacaannya, demikian juga zakat tidak dijelaskan secara mendetil. Hal ini diperinci dengan hadits-hadits Rasulullah saw.
  3. Membuat hukum baru yang tidak disebutkan dalam al-Qur’an, contohnya pengurusan jenazah dari mulai memandikan sampai menguburkan hanya ada petunjuk dari hadits Rasulullah saw, sedangkan dalam al-Qur’an tidak ditemukan.
Setelah membahas sumber-sumber hukum Islam, kedudukan, kehujahannya termasuk relasi (hubungan) al-Qur’an terhadap al-Hadits, para ahli ushul fiqih melanjutkan kajiannya kepada kaidah-kaidah bahasa, diantaranya membicarakan makna-makna dari suatu lafazh, maka lahirlah istilah-istilah khas, ’am, musytarak, hakikat, majaz, dll.           
Kajian ini dimaksudkan supaya diketahui mana makna yang paling tepat -yang dikehendaki pembuat syari’at- dari beberapa kemungkinan makna yang ada. Maka lahirlah rumusan-rumusan produk mereka tentang kaidah-kaidah bahasa ini. Misalnya dalam masalah musytarak (satu kata mempunyai beberapa arti):
  1. Apabila lafazh musytarak dalam nash syar’i, bersekutu antara makna lughawi dengan makna isthilahi syar’i, maka yang diambil makna isthilahi syar’i.
  2. Apabila persekutuan makna dalam nash syar’i tersebut terjadi antara beberapa makna lughawi, maka seseorang wajib berijtihad untuk menentukan arti yang dimaksud. Sebab Syari’ (pembuat syari’at) niscaya tidak menghendaki seluruh arti lafazh musytarak, melainkan salah satu arti dari beberapa arti yang banyak itu.
        Oleh karena itu seorang mujtahid harus sanggup menunjukkan qarinah atau dalil-dalil yang dapat menentukan arti yang dikehendaki.   
Contoh lain dalam masalah hakikat dan majaz:
  1. Lafazh hakikat (sebenarnya) harus diamalkan menurut arti yang semula diciptakan untuknya.
  2. Jika suatu lafazh dapat diartikan dengan arti hakiki dan majazi hendaklah diartikan dengan arti yang hakiki, karena arti hakiki itulah yang asli (lihat poin 1).
  3. Kalau lafadz itu sulit untuk diartikan dengan arti hakiki hendaklah diartikan kepada arti majazinya.
  4. Apabila sukar diartikan menurut arti hakiki dan majazinya, maka hendaklah didiamkan (ihmal).
WUJUDUL HILAL DAN LANDASAN HUKUMNYA
                Wujud artinya ada, sedangkan Hilal adalah pantulan sinar bulan ke bumi yang berbentuk lengkungan, maksudnya ialah sa’at matahari terbenam hilal (bulan sabit muda) sudah di atas ufuk mar’i (berapapun tingginya, terlihat atau tidak terlihat). Pendapat ini antara lain dianut oleh Muhamadiyyah, alasannya adalah dengan perkembangan iptek saat ini, posisi hilal sudah dapat dihitung secara teliti dan tidak meragukan (hampir pasti).
Untuk kelompok ”Wujudul-Hilal” Awal bulan ditetapkan jika terpenuhi dua syarat berikut:
  1. Ijtima’[2] terjadi sebelum matahari terbenam (ghurub).
  2. Saat matahari ghurub (setelah ijtima’) hilal/bulan berada di atas ufuq mar’i[3] (berapapun ketinggiannya, terlihat ataupun tidak)
Posisi bulan dan matahari berdasarkan wujudul hilal dapat digambarkan sebagai berikut:
Disini
Adapun dalil yang dijadikan landasannya adalah ayat al-Qur’an berikut ini:
….
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; …. (QS al-Baqarah [2] :189)                    
Artinya: Dan Telah kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (Setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. (39) Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. dan masing-masing beredar pada garis edarnya. (40) (QS Yaasiin [36] : 39-40)
                Ayat pertama mengandung pengertian bahwa hilal (bulan sabit muda) dapat dijadikan pedoman waktu untuk manusia, terutama dalam melaksanakan ibadah haji harus dijadikan acuan miqat zamani. Mengenai kapan, bagaimana, ke arah mana kita melihat hilal, ayat tadi tidak membicarakannya.
                Petunjuk lebih jelas dapat kita temukan dalam QS Yaasiin [36] : 39-40. Sebagaimana almarhum H. Saadoe’ddin Djambek dalam bukunya Hisab Awal Bulan Qomariyah menjelaskan tentang ayat ke-39 surat Yaasiin tersebut menjadi petunjuk bahwa kembalinya bentuk bulan seperti tandan tua sebagai awal pergantian bulan hijriyah. Bentuk bulan seperti itu dapat dilihat dari bumi menjelang dan setelah bulan mati (Ijtima’), untuk mengetahui bulan sabit yang mana yang dimaksud dalam ayat ini, maka ayat selanjutnya menerangkan “tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan (mengejar) bulan”.
Penggalan arti ayat di atas menerangkan tentang perjalanan semu tahunan matahari dan perjalanan hakiki bulan, dimana perjalanan bulan itu lebih cepat 12˚ perharinya dibandingkan dengan perjalan matahari, oleh karena itu tidak mungkin matahari dapat mengejarnya. Perharinya matahari bergeser ke arah timur sebesar 0˚ 59’ 8.25”, hampir 1° (360˚: 365.25 hari), sedangkan bulan bergerak ke arah timur sebesar 13˚ 10’ 37.77”/hari(360˚ : 27.32 hari). Dengan demikian maka yang dimaksud dengan bulan sabit pada ayat di atas adalah bulan sabit yang terjadi setelah terkejarnya matahari oleh bulan atau dengan kata lain setelah terjadinya ijtima’.
Apa yang jadi patokan bahwa perjalanan bulan telah mendahului matahari atau kalau diibaratkan perlombaan mana garis finisnya? Penggalan ayat selanjutnya menyatakan “dan malampun tidak dapat mendahului siang”. Rupanya ayat ini menginformasikan tentang ufuk/horizon barat, karena yang dapat memisahkan antara siang dan malam adalah garis ufuk barat setempat. Suatu tempat akan mengalami malam apabila matahari sudah masuk atau berada di bawah ufuk, sedangkan kalau matahari masih di atas ufuk maka tempat itu mengalami siang. Dengan demikian bulan akan dikatakan telah mendahului matahari apabila ketika matahari mendekati garis finis (ufuk barat) bulan telah berada di sebelah timurnya -karena perlombaan tersebut berlaku dari arah barat ke arah timur- atau dengan perkataan lain ketika matahari terbenam di ufuk barat bulan sudah ada di atasnya, karena ke bawah menunjukkan barat dan ke atas menunjukkan timur.
KRITIK TERHADAP KRITERIA WUJUDUL HILAL
                Dari segi sumber dalil yang dijadikan landasan untuk penentuan ABQ, kriteria wujudul hilal ini hanya berdasarkan kepada dalil al-Qur’an saja. Adapun hadits-hadits yang menjelaskan tentang praktek penentuan ABQ pada masa Rasul saw tidak dijadikan landasan hukum. Padahal kalau kita hubungkan dengan fungsi hadits terhadap al-Qur’an sebagaimana dijelaskan di atas, fungsinya adalah untuk menjelaskan atau memperinci dalil-dalil al-Qur’an -dalam hal ini tentang ABQ- yang masih bersifat mujmal (global). Kalaupun digunakan maka pengertian yang sebenarnya dari hadits-hadits tersebut diselewengkan, yaitu dengan menerjemahkan lafazh لرأيته,رأيتمواه , رأيتمواالهلال, ترواه melihat dengan akal fikiran.
                Untuk mengetahui validitas (kebenaran) dari pendapat di atas, maka Lafazh رأى tersebut harus diuji dengan kaidah-kaidah bahasa yang telah dibuat para ahli ushul fiqih tentang makna-makna suatu lafazh. Lafazh رأى di atas bisa ditempatkan pada dua kemungkinan, kemungkinan pertama termasuk lafazh musytarak, yaitu satu lafazh yang mempunyai beberapa arti. Dimana arti-arti tersebut ialah: melihat dengan mata, melihat dengan akal pikiran dan melihat dengan hati.
Menurut point kedua dalam kaidah di atas, Apabila persekutuan makna dalam nash syar’i tersebut terjadi antara beberapa makna lughawi, maka seseorang wajib berijtihad untuk menentukan arti yang dimaksud. Sebab Syari’ (pembuat syari’at) niscaya tidak menghendaki seluruh arti lafazh musytarak, melainkan salah satu arti dari beberapa arti yang tiga macam itu. Oleh karena itu seorang mujtahid harus sanggup menunjukkanqarinah atau dalil-dalil yang dapat menentukan arti yang dikehendaki.
Bagi yang mengartikan lafazh رأى melihat dengan mata qarinahnya adalah konteks kalimat dari hadits-hadits tentang praktek penentuan ABQ di zaman Rasulullah saw, yang salah satunya hadits di bawah ini:
جَاءَ أعْرَبيٌّ إلىَ النَّبيِّ .ص. فَقَالَ إنِّى رَأيْتُ الهِلاَلَ قَالَ: أتَشْهَدُ أن لا إله إلا الله؟ قال نعم, قال: أتشهد أنَّ محُمَّدًا رَسُولُ اللّهِ؟ قالَ نَعَمْ , قالَ: يَا بِلالُ أذِّنْ فى النَّاسِ فَلْيَصُوْمُوْا غَدًا. (رواه الخمسة)
Artinya: Seorang badwi mendatangi Rasulullah saw, ia berkata: “Sesungguhnya saya telah melihat hilal (Ramadhan)” Rasul bertanya: “Apakah engkau mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah?” Orang Badwi tsb menjawab: “Ya”. Rasul bertanya lagi: “Apakah engkau mengakui bahwa Muhammad itu Rasul Allah?” Orang Badwi menjawab: “Ya”. Kemudian Rasul bersabda: “ Ya Bilal beritahukanlah kepada orang-orang supaya berpuasa esok hari”.
Berdasarkan hadits di atas kita mengetahui bahwa melihat hilalnya orang Badwi (arab gunung) adalah penglihatan dengan mata kepalanya sendiri, bukan dengan akal pikiran atau dengan hatinya. Sesuai dengan keumuman masyarakat arab pada waktu itu yang ummi (لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ), terlebih lagi orang arab gunung di atas, tidak mungkin dia melihat hilal dengan akal fikirannya atau dengan hasil hisabnya. 
Memang betul kataرأى , يرى            bisa diartikan melihat dengan akal fikiran tetapi harus melihat dulu konteks kalimatnya dan ada qarinahnya (keterangan pendukung) untuk bisa diartikan dengannya, misalnya kalimat تر dalam surat al-Fiil [105] : 1 harus diartikan melihat dengan akal fikiran karena Nabi saw yang baru lahir saat itu belum bisa menyaksikan peristiwa dihancurkannya tentara bergajah. Tetapi semua lafazh رأى dalam hadits-hadits ABQ memiliki arti melihat dengan mata karena dari segi konteks mengharuskannya demikian dan juga tidak ada qarinah lain yang memalingkan artinya selain melihat dengan mata.
                Kemungkinan kedua lafazh رأى ini dikatagorikan lafazh hakiki atau majazi. Hakiki maksudnya arti yang sebenarnya sedangkan majazi maksudnya arti pinjaman (bukan yang sebenarnya).
                Dalam hal ini para ahli ushul fiqih membuat kaidah sebagai berikut:
  1. Lafazh hakikat (sebenarnya) harus diamalkan menurut arti yang semula diciptakan untuknya.
  2. Jika suatu lafazh dapat diartikan dengan arti hakiki dan majazi hendaklah diartikan dengan arti yang hakiki, karena arti hakiki itulah yang asli.
Jadi, berdasarkan kaidah di atas mengartikan رأى melihat dengan mata itu lebih shahih dibandingkan dengan melihat pakai fikiran atau melihat dengan hati, karena melihat dengan mata merupakan arti hakikinya (asli).
IMKANUR RU’YAH DAN LANDASAN HUKUMNYA
                Menurut bahasa, imkan artinya mungkin atau memungkinkan, sedangkan ru’yah artinya melihat. Maksudnya posisi hilal saat terbenam matahari harus sudah memungkinkan untuk dilihat.
Kelompok ini berpendapat bahwa: agar hilal disebut wujud, selain hilal harus berada di atas ufuk (saat maghrib setelah ijtima’), hilal itu pun harus memungkinkan dapat diru’yat (Imkan-ru’yat),
Untuk kelompok ”Imkanur-Ru’yat”  Awal bulan ditetapkan jika terpenuhi tiga syarat sebagai berikut:
  1. Ijtima’ terjadi sebelum matahari terbenam
  2. Sa’at matahari ghurub hilal berada di atas ufuq mar’i
  3. Hilal yang berada di atas ufuq tersebut harus memungkinkan untuk diru’yat
Dalil-dalil imkanu-ru’yat tersebut antara lain
1.        matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan. (QS. Ar-Rahman:5)
Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah yang Maha Perkasa lagi Maha mengetahui. (QS.Al-AN’am:96)
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak[3]. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. (QS. Yunus:5)
[3] Maksudnya: Allah menjadikan semua yang disebutkan itu bukanlah dengan percuma, melainkan dengan penuh hikmah.
dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan yang Maha Perkasa lagi Maha mengetahui. (QS. Yaasin: 38)
36. Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram[4]. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu Menganiaya diri[5] kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.(QS. AT-taubah: 36)
[4] Maksudnya antara lain Ialah: bulan Haram (bulan Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab), tanah Haram (Mekah) dan ihram.
[5] Maksudnya janganlah kamu Menganiaya dirimu dengan mengerjakan perbuatan yang dilarang, seperti melanggar kehormatan bulan itu dengan Mengadakan peperangan.
mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.(QS. Al-Baqarah:189)
39. dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah Dia sampai ke manzilah yang terakhir) Kembalilah Dia sebagai bentuk tandan yang tua.
40. tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. dan masing-masing beredar pada garis edarnya. (QS. Yaasin:39-40)
2.       Hadits-hadits Rasul SAW tentang ABQ, diantaranya:
Shaumlah bila kalian melihatnya (hilal) dan akhirilah shaum bila kalian melihatnya (hilal). Tetapi jika terhalang maka genapkanlah bilangan Sya’ban 30 hari. (HR. Bukhariy Muslim)
Shaumlah bila kalian melihatnya (hilal) dan akhirilah shaum bila kalian melihatnya (hilal, Tetapi jika diantara kalian dengan hilal terhalang awan, maka genapkanlah bilangan Sya’ban 30 hari. (HR Ahmad bin hanbal)
Shaumah bila kalian melihatnya (hilal) dan akhirilah shaum bila kalian melihatnya (Hilal). Tetapi jika  kalian terhalang maka tetapkanlah (shaum) 30 hari. (HR. Muslim)
Apabila kalian melihat hilal maka shaumlah, dan jika kalian melihat hilal (kembali) maka akhirilah shaum. Tetapi jika terhalang (sehingga hilal tidak terlihat) shaumlah 30 hari (HR. Muslim)
Lafazh fain ghabya ‘alaykum-fain haala baynakum wabaynahu sahaabun-fain aghmiya ‘alaykum-fain ghamma ‘alaykum
Dalam hadits diatas mengandung makna bahwa jika hilal tidak terlihat atau terhalang (walaupun beradadiatas uduk) maka hilal dianggap tidak/belum wujud. Artinya posisi hilal zaman rasul tidak hanya beradadi atas ufukmar’I saja tetapi hilal yang dapat terlihat sebagai cahaya pertama yang dipantulkan bulan setelah ijtima’
Jadi menurut kelompok imkanur-ru’yat yang disebut hilal adalah cahaya yang dipantulkan bulan setelah ijtima’, pda saat maghrib terlihat berupa garis lengkung putih. Sedangkan menurt kelompok wujudul hilal, hilal didefinisikan sebagai posisi bulan setelah ijtima’ dan pada saat maghrib berada di atas ufuk, walau belum tentu terlihat berupa garis lengkung putih
Padahal dalam bahasa Arab untuk bulan itu dikenal beberapa istilah, antara lain:
a.        Al-Qamaru: benda langit berupa satelit alam yang beredar mengelilingi bumi
b.       Al-hulalu: cahaya yang dupantulkan bulan berupa garis lengkung putih terlihat setelah ijtima’ sa’at maghrib (pantulan cahaya minimal)
c.        Al-Badru: cahaya yang dipantulkan bulan berupa lingkaran penuh (purnama / fullmoon/pantulan cahaya maksimal)
Kritik bagi Kriteria Wujudul hilal
1. Wakil ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Oman Faturrahman mengatakan “Selama ini ahli astronomi dunia masih menyangsikan kemampuan manusia dalam melihat hilal diposisi kurang dari 5 derajat, rekor melihat hilal sampai saat ini adalah di angka 5 derajat,”
Jawab: Berdasarkan statistik kesaksian hilal di berbagai negara, M. Ilyas dari International Islamic Calendar Program (IICP) telah mempubliksikan temuannya di jurnal astronomi bahwa ketinggian minimal hilal dapat dirukyat adalah 4 derajat, dengan alasan ini maka menurut kami kriteria imkanur rukyat bisa melihat hilal karena minimal 2 derajat dan minimum umur bulan 8 jam sejak ijtimak, dimana bulan membutuhkan 4 jam untuk naik 1 derajat, maka bila 8 jam dibagi 2 maka 4 jam, derajat bulan naik dari 2 menjadi 4 derajat.
2. Pemahaman Hadits berikut:
“Sesungguhnya kami umat yang ummi, tidak pandai menulis dan hisab, satu bulan itu segini, segini dan segini (berisyarat dengan kesepuluh jarinya, tapi melipat ibu jari pada isyarat ketiga, artinya 29 hari) dan adakalanya bulan itu segini, segini,segini (artinya 30 hari). (Shahih Muslim kitab as-Shiyam bab Wujub shaum Ramadhan li ru’yatil-hilal no.2563, shahih al-Bukhari bab qaulin nabi sallallaahu ‘alayhi wasallaam la naktubu wa la nahsubu no.1913)
Menurut Muhammadiyah Nabi menjadikan standar hilal yang ter-rukyat (terlihat) sebagai patokan awal bulan disebabkan Nabi dan masyarakat waktu itu adalah ummi (dalam arti:tidak menguasai tulis menulis dan ilmu hisab/astronomi), hari ini sesudah ilmu astronomi dikuasai masyarakat, maka standarnya bukan rukyat, tapi wujud hilal yang sebenarnya, meskipun tidak terukyat.
Jawab:
Hal ini ada kelemahannya karena penegasan Nabi bahwa beliau dan bangsa arab saat itu bangsa yang ummi adalah bukan pada rukyatnya, tetapi pada “Jika terhalang, maka sempurnakanlah bilangan sya’ban menjadi 30 hari”, jadi standar hilal dan rukyatnya yang ditegaskan disni tanpa ada kaitannya dengan ke-ummi-an seperti berbagai riwayat pada sebelum ini.
3. Pengurus PP Muhammadiyah Agus Tri Sundani dalam Majalah Risalah No.5 TH 49 Agustus 2011 hal.31, mengatakan “persoalan ulil amri kalau kita lihat sebelum lahir kementrian agama (Pemerintah) sudah lahir lebih dahulu ormas Islam seperti Muhammadiyah, Al-Irsyad, Persis, NU yang sudah mempunyai metodologi sendiri, dalam hal ini semestinya pemerintah menjembatani metodologi yang ada
jawab: adanya kerancuan konsep ulil amri disini, siapakah ulil amri?
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa’: 59)
Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri). kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu). (An-Nisa’: 83)
Jika dirujuk pada arti bahasanya sendiri, ulil amri artinya yang mempunyai urusan, wewenang, perintah. Bisa kita sebut yag berwenang, yang mengatur urusan, atau pemerintah. Pernyataan Allah SWT “Di antara kalian/mereka” dalam ayat diatas menandakan bahwa ulil ari ini banyak tergantung pada wilayah dan sector mana “kalian / mereka” berada. Imam Ibn Katsir sendiri bahwa ulil amri ini bisa umara (para pemimpin) atau ulama (para alim ulama). Sementara al-Bukhari lebih condong pada pada pemaknaan ulil amri sebagai para pemimpin yang bukan ulama (Fathul-Bari 15:4, kitab al-ahkam bab Fiman Allah Ta’ala QS. An-nisa’:4)
Menurut Imam as-Syafi’I ketaatan pada pemimpin ini merupakan identitas agama Islam. Di Masa jahiliyah hampir tidak dikenal istilah “ketaatan kepada ulil amri” Secara tidak beradab masyarakat jahiliyyah seenaknya melanggar titah pemimpin. Maka dari itu jangan heran kalau orang yang tidak mengamalkan ajaran ini disebut oleh Nabi SAW seperti orang jahiliyyah. Tapi ingat, sebatas ma’shiyat, karena hanya “seperti” (Fathul-Bari 15:4-5)
Sesudah jelan bahwa ulil amri disini adalah pemerintah yang memimpin negara dan umat, maka kita wajib mengikutinya, hal ini karena banyaknya dalil yang memerintahkan kita bahwa kita harus taat kepada ulil amri dan tidak boleh menyendiri, dalil nya sebagai berikut:
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ, وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ, وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
“Puasa itu adalah di hari kalian (umat Islam) berpuasa, berbuka adalah pada saat kalian berbuka, dan berkurban/ Idul Adha di hari kalian berkurban.” (HR. At Tirmidzi no. 697,  Ibnu Majah No. 1660, Ad Dailami No. 3819, Ad Daruquthni  2/164, Musnad Asy Syafi’i No. 315, Imam At tirmidzi mengatakan: hasan gharib. Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Ash Shahihah No. 224)
Hadits ini justru menjelaskan bahwa hendaknya kita Idul Adha ketika manusia menyembelih qurban, jangan menyendiri.
Imam At Tirmidzi menjelaskan:
وَفَسَّرَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ هَذَا الْحَدِيثَ فَقَالَ إِنَّمَا مَعْنَى هَذَا أَنَّ الصَّوْمَ وَالْفِطْرَ مَعَ الْجَمَاعَةِ وَعُظْمِ النَّاسِ
“dan sebagian ahli ilmu menafsirkan hadits ini, mereka berkata : makna hadits ini adalah berpuasa dan berbukaadalah bersama jama’ah dan mayoritas orang (Ummat Islam).” (Ibid)
Imam Al Munawi berkata:
أي الصوم والفطر مع الجماعة وجمهور الناس
Yaitu berpuasa dan berbuka bersama jama’ah dan mayoritas manusia. (At Taisir bisyarhi Al jami’ Ash Shaghir, 2/208)
Imam Al Munawi mengutip dari Imam Ad Dailami dalam kitab Musnad Firdaus sebagai berikut:
قال في الفردوس : فسره بعض أهل العلم فقال : الصوم والفطر والتضحية مع الجماعة ومعظم الناس.
Berkata di dalam Al Firdaus: sebagian ulama menafsirkan, katanya: puasa, idul fitri, dan idul adha bersama jamaah dan mayoritas manusia.” (Faidhul Qadir, 4/320)
Fatwa ulama Arab Saudi sendiri (Al Lajnah Ad Daimah) tentang orang yang berpuasa, beridul fitri, dan idul adhanya berbeda dengan orang-orang kebanyakan, lantaran tidak mengikuti ru’yah di negerinya. Fatwa tersebut:
يجب عليهم أن يصوموا مع الناس ويفطروا مع الناس ويصلوا العيدين مع المسلمين في بلادهم
Wajib atas mereka berpuasa bersama manusia, beridul fitri bersama manusia, dan shalat idain (Idul fitri dan Idul Adha) bersama kaum muslimin di negeri mereka. … (Al Khulashah fi Fiqhil Aqalliyat, 4/31)
Imam Ash Shan’ani mengatakan dengan tegas:
فيه دليل على أنه يعتبر في ثبوت العيد الموافقة للناس وأن المنفرد بمعرفة يوم العيد بالرؤية يجب عليه موافقة غيره ويلزمه حكمهم في الصلاة والإفطار والأضحية. وقد أخرج الترمذي مثل هذا الحديث عن أبي هريرة وقال: حديث حسن. وفي معناه حديث ابن عباس وقد قال له كريب: إنه صام أهل الشام ومعاوية برؤية الهلال يوم الجمعة بالشام وقدم المدينة آخر الشهر وأخبر ابن عباس بذلك فقال ابن عباس: لكنا رأيناه ليلة السبت فلا نزال نصوم حتى نكمل ثلاثين أو نراه قال: قلت: أولا تكتفي برؤية معاوية والناس؟ قال: لا هكذا أمرنا رسول الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم.
“Pada hadits ini ada dalil bahwa yang diambil ‘ibrah dalam menetapkan hari raya adalah kebersamaan manusia.Dan bahwasanya seorang yang menyendiri dalam mengetahui masuknya hari raya dengan melihat hilal tetap wajib mengikuti kebanyakan manusia. Hukum ini harus dia ikuti, apakah dalam waktu shalat, ber’idul Fithri atau pun berkurban (Idul Adha). At tirmidzi telah meriwayatkan yang serupa dengan ini dari Abu Hurairah, dan dia berkata: hadits hasan. Dan semakna dengan ini adalah hadits Ibnu Abbas, ketika Kuraib berkata kepadanya, bahwa penduduk Syam dan Muawiyah berpuasa berdasarkan melihat hilal pada hari Jumat di Syam. Beliau datang ke Madinah pada akhir bulan dan mengabarkan kepada Ibnu Abbas hal itu, maka Ibnu Abbas berkata kepadanya: “tetapi kami melihatnya (hilal) pada  sabtu malam, maka kami tidak berpuasa sampai sempurna tiga puluh hari atau kami melihatnya.” Aku berkata: “Tidakkah cukup ru’yahnya Mu’awiyah dan Manusia?” Ibnu Abbas menjawab: “Tidak, inilah yang diperintahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallamkepada kami.”  (Subulus Salam, 2/63)
Imam Abul Hasan As Sindi menyebutkan dalam  Hasyiah As Sindi ‘Ala Ibni Majah:
وَالظَّاهِر أَنَّ مَعْنَاهُ أَنَّ هَذِهِ الْأُمُور لَيْسَ لِلْآحَادِ فِيهَا دَخْل وَلَيْسَ لَهُمْ التَّفَرُّد فِيهَا بَلْ الْأَمْر فِيهَا إِلَى الْإِمَام وَالْجَمَاعَة وَيَجِب عَلَى الْآحَاد اِتِّبَاعهمْ لِلْإِمَامِ وَالْجَمَاعَة وَعَلَى هَذَا فَإِذَا رَأَى أَحَد الْهِلَال وَرَدَّ الْإِمَام شَهَادَته يَنْبَغِي أَنْ لَا يَثْبُت فِي حَقّه شَيْء مِنْ هَذِهِ الْأُمُور وَيَجِب عَلَيْهِ أَنْ يَتْبَع الْجَمَاعَة فِي ذَلِكَ
“Jelasnya, makna hadits ini adalah bahwasanya perkara-perkara semacam ini (menentukan awal Ramadhan, Idul Fithri dan Idul Adha, pen) keputusannya bukanlah di tangan individu. Tidak ada hak bagi mereka untuk melakukannya sendiri-sendiri. Bahkan permasalahan semacam ini dikembalikan kepada penguasa/ pemerintah dan mayoritas umat Islam. Dalam hal ini, setiap individu pun wajib untuk mengikuti penguasa dan mayoritas umat Islam. Maka jika ada seseorang yang melihat hilal namun penguasa menolak persaksiannya, sudah sepatutnya untuk tidak dianggap persaksian tersebut dan wajib baginya untuk mengikuti mayoritas umat Islam dalam permasalahan itu.” (Hasyiah As Sindi ‘Ala Ibni Majah, 3/431)
Syaikh Al Albani berkata – dan ini adalah komentar yang sangat bagus darinya:
و هذا هو اللائق بالشريعة السمحة التي من غاياتها تجميع الناس و توحيد
صفوفهم ، و إبعادهم عن كل ما يفرق جمعهم من الآراء الفردية ، فلا تعتبر الشريعة
رأي الفرد – و لو كان صوابا في وجهة نظره – في عبادة جماعية كالصوم و التعبيد
و صلاة الجماعة ، ألا ترى أن الصحابة رضي الله عنهم كان يصلي بعضهم وراء بعض
و فيهم من يرى أن مس المرأة و العضو و خروج الدم من نواقض الوضوء ، و منهم من
لا يرى ذلك ، و منهم من يتم في السفر ، و منهم من يقصر ، فلم يكن اختلافهم هذا
و غيره ليمنعهم من الاجتماع في الصلاة وراء الإمام الواحد ، و الاعتداد بها ،
و ذلك لعلمهم بأن التفرق في الدين شر من الاختلاف في بعض الآراء ، و لقد بلغ
الأمر ببعضهم في عدم الإعتداد بالرأي المخالف لرأى الإمام الأعظم في المجتمع
الأكبر كمنى ، إلى حد ترك العمل برأيه إطلاقا في ذلك المجتمع فرارا مما قد ينتج
من الشر بسبب العمل برأيه ، فروى أبو داود ( 1 / 307 ) أن عثمان رضي الله عنه
صلى بمنى أربعا ، فقال عبد الله بن مسعود منكرا عليه : صليت مع النبي صلى الله
عليه وسلم ركعتين ، و مع أبي بكر ركعتين ، و مع عمر ركعتين ، و مع عثمان صدرا
من إمارته ثم أتمها ، ثم تفرقت بكم الطرق فلوددت أن لي من أربع ركعات ركعتين
متقبلتين ، ثم إن ابن مسعود صلى أربعا ! فقيل له : عبت على عثمان ثم صليت
أربعا ؟ ! قال : الخلاف شر . و سنده صحيح . و روى أحمد ( 5 / 155 ) نحو هذا عن
أبي ذر رضي الله عنهم أجمعين .
فليتأمل في هذا الحديث و في الأثر المذكور أولئك الذين لا يزالون يتفرقون في
صلواتهم ، و لا يقتدون ببعض أئمة المساجد ، و خاصة في صلاة الوتر في رمضان ،
بحجة كونهم على خلاف مذهبهم ! و بعض أولئك الذين يدعون العلم بالفلك ، ممن يصوم
و يفطر وحده متقدما أو متأخرا عن جماعة المسلمين ، معتدا برأيه و علمه ، غير
مبال بالخروج عنهم ، فليتأمل هؤلاء جميعا فيما ذكرناه من العلم ، لعلهم يجدون
شفاء لما في نفوسهم من جهل و غرور ، فيكونوا صفا واحدا مع إخوانهم المسلمين فإن يد الله مع الجماعة .

“Inilah yang sesuai dengan syariat (Islam) yang toleran, yang diantara misinya adalah mempersatukan umat manusia, menyatukan barisan mereka serta menjauhkan mereka dari segala pendapat pribadi yang memicu perpecahan. Syariat ini tidak mengakui pendapat pribadi –meski menurut yang bersangkutan benar– dalam ibadah yang bersifat kebersamaan seperti; shaum, Id, dan shalat berjamaah. Tidakkah engkau melihat bahwa sebagian shahabat radhiallahu ‘anhum shalat bermakmum di belakang shahabat lainnya, padahal sebagian mereka ada yang berpendapat bahwa menyentuh wanita, menyentuh kemaluan, dan keluarnya darah dari tubuh termasuk pembatal wudhu, sementara yang lainnya tidak berpendapat demikian?! Sebagian mereka ada yang shalat secara sempurna dalam safar dan diantara mereka pula ada yang mengqasharnya. Namun perbedaan itu tidaklah menghalangi mereka untuk melakukan shalat berjamaah di belakang seorang imam dan tetap berkeyakinan bahwa shalat tersebut sah. Hal itu karena adanya pengetahuan mereka bahwa bercerai-berai dalam urusan agama lebih buruk daripada sekedar berbeda pendapat. Bahkan sebagian mereka mendahulukan pendapat penguasa daripada pendapat pribadinya pada saat berkumpulnya manusia seperti di Mina. Hal itu semata-mata untuk menghindari kesudahan buruk (terjadinya perpecahan) bila dia tetap mempertahankan pendapatnya. Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Dawud (1/307), bahwasanya Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu shalat di Mina 4 rakaat. Maka shahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhumengingkarinya seraya berkata: “Aku dulu shalat bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar dan di awal pemerintahan ‘Utsman 2 rakaat, dan setelah itu ‘Utsman shalat 4 rakaat. Kemudian terjadilah perbedaan diantara kalian, dan harapanku dari 4 rakaat shalat itu yang diterima adalah yang 2 rakaat darinya.”
Namun ketika di Mina, shahabat Abdullah bin Mas’ud justru shalat 4 rakaat. Maka dikatakanlah kepada beliau: “Engkau telah mengingkari ‘Utsman atas shalatnya yang 4 rakaat, kemudian engkau shalat 4 rakaat pula?!” Abdullah bin Mas’ud berkata: “Perselisihan itu jelek.” Sanadnya shahih. Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Ahmad (5/155) seperti riwayat di atas dari shahabat Abu Dzar radhiallahu ‘anhum ajma’in.
Hendaknya hadits dan atsar ini benar-benar dijadikan bahan renungan oleh orang-orang yang selalu berpecah-belah dalam urusan shalat mereka serta tidak mau bermakmum kepada sebagian imam masjid, khususnya shalat witir di bulan Ramadhan dengan dalih bahwa keadaan para imam itu beda dengan madzhab mereka! Demikian pula orang-orang yang bershaum dan berbuka sendiri, baik mendahului mayoritas kaum muslimin atau pun mengakhirkannya dengan dalih mengerti ilmu falaq, tanpa peduli harus berseberangan dengan kebanyakan kaum muslimin. Hendaknya mereka semua mau merenungkan ilmu yang telah kami sampaikan ini. Dan semoga ini bisa menjadi obat bagi kebodohan dan kesombongan yang ada pada diri mereka. Dengan harapan agar mereka selalu dalam satu barisan bersama saudara-saudara mereka kaum muslimin, karena tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala bersama Al-Jama’ah.”
Kenapa Ikut Pemerintah?
Tanpa terikat oleh subjektifitas apa pun -termasuk karena jamaah mengikuti pemerintah- ada beberapa alasan kenapa berhari raya sebagusnya mengikuti pemerintah:
1.       Keumuman dalil surat An Nisa ayat 59: Athi’ullaha wa athi’ur rasul wa ulil amri minkum ….
Imam Al Baidhawi menyebutkan, bahwa yang dimaksud dengan ulil amri -‘pemimpin’ di sini adalah para pemimpin kaum muslimin sejak zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan sesudahnya, seperti para khalifah, hakim, panglima perang, di mana manusia diperintah untuk mentaati mereka setelah diperintah untuk berbuat adil, wajib mentaati mereka selama mereka di atas kebenaran (maa daamuu ‘alal haqqi). (Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil, 1/466)
Sebagian muhaqqiq (peneliti) dari kalangan Syafi’iyah menyatakan wajibnya mentaati pemimpin, baik perintah atau larangan, selama bukan perintah haram. (Imam Al Alusi, Ruhul Ma’ani, 4/106)
Dan masalah penentuan hari raya tak ada kaitan sama sekali dengan perintah “keharaman”.
2.       Keumuman dalil hadits-hadits nabi untuk mentaati pemimpin selama bukan dalam perintah maksiat.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ يُطِعْ الْأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ يَعْصِ الْأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِي وَإِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ وَعَدَلَ فَإِنَّ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرًا وَإِنْ قَالَ بِغَيْرِهِ فَإِنَّ عَلَيْهِ مِنْهُ
“Barangsiapa yang mentaatiku, maka dia telah taat kepada Allah. Barangsiapa yang bermaksiat kepadaku, maka dia telah maksiat kepada Allah. Barangsiapa yang taat kepada pemimpin maka dia telah mentaatiku. Barangsiapa yang membangkang kepada pemimpin, maka dia telah bermaksiat kepadaku. Sesungguhnya pemimpin adalah perisai ketika rakyatnya diperangi dan yang memperkokohnya. Jika dia memerintah dengan ketaqwaan kepada Allah dan keadilan, maka baginya pahala. Jika dia mengatakan selain itu, maka dosanya adalah untuknya.” (HR. Bukhari, 10/114/2737. Muslim, 9/364/3417. An Nasa’i, 13/95/4122. Ibnu Majah, 8/393/2850.  Ahmad, 15/166/7125)
Dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
“Tidak ada ketaatan dalam bermaksiat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu hanya ada pada yang ma’ruf (dikenal baik).” (HR. Muslim, 9/371/3424. Abu Daud, 7/210/2256. An Nasa’i, 13/114/4134. Ahmad, 2/192/686. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, 8/156. Sementara Bukhari meriwayatkan tanpa lafaz Laa Tha’ata fi Ma’shiyatillah, 13/237/3995)
Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
“Dengar dan taat atas seorang muslim adalah pada apa yang disukai dan dibencinya, selama tidak diperintah maksiat. Jika diperintah untuk maksiat, maka jangan didengar dan jangan ditaati.” (HR. Bukhari, 22/52/6611. Abu Daud, 7/211/2257. At Tirmidzi, 6/300/1929. Ahmad, 9/475/4439. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, 3/127)
Hadits-hadits ini merupakan petunjuk dan panduan dalam hal ini, yang memperkuat ketetapan sebelumnya bahwa mentaati pemimpin adalah wajib selama bukan dalam maksiat, dan –sekali lagi- penetapan Idul Adha (dan Idul Fitri), tidak ada kaitan sama sekali dengan perintah berbuat  kemaksiatan.
3.       Kaidah fiqih: Laa Inkara fi masaa’il Ijtihadiyah (tiada pengingkaran dalam perkara ijtihad)
Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:
وَمِمَّا يَتَعَلَّق بِالِاجْتِهَادِ لَمْ يَكُنْ لِلْعَوَامِّ مَدْخَل فِيهِ ، وَلَا لَهُمْ إِنْكَاره ، بَلْ ذَلِكَ لِلْعُلَمَاءِ . ثُمَّ الْعُلَمَاء إِنَّمَا يُنْكِرُونَ مَا أُجْمِعَ عَلَيْهِ أَمَّا الْمُخْتَلَف فِيهِ فَلَا إِنْكَار فِيهِ لِأَنَّ عَلَى أَحَد الْمَذْهَبَيْنِ كُلّ مُجْتَهِدٍ مُصِيبٌ . وَهَذَا هُوَ الْمُخْتَار عِنْد كَثِيرِينَ مِنْ الْمُحَقِّقِينَ أَوْ أَكْثَرهمْ . وَعَلَى الْمَذْهَب الْآخَر الْمُصِيب وَاحِد وَالْمُخْطِئ غَيْر مُتَعَيَّن لَنَا ، وَالْإِثْم مَرْفُوع عَنْهُ
“Dan Adapun yang terkait masalah ijtihad, tidak mungkin orang awam menceburkan diri ke dalamnya, mereka tidak boleh mengingkarinya, tetapi itu tugas ulama. Kemudian, para ulama hanya mengingkari dalam perkara yang disepati para imam. Adapun dalam perkara yang masih diperselisihkan, maka tidak boleh ada pengingkaran di sana. Karena berdasarkan dua sudut pandang setiap mujtahid adalah benar. Ini adalah sikap yang dipilih olah mayoritas para ulama peneliti (muhaqqiq). Sedangkan pandangan lain mengatakan bahwa yang benar hanya satu, dan yang salah kita tidak tahu secara pasti, dan dia telah terangkat dosanya.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim,  1/131. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Jadi, yang boleh diingkari hanyalah yang jelas-jelas bertentangan dengan nash qath’i dan ijma’. Adapun zona ijtihadiyah, maka tidak boleh saling menganulir.
Imam Jalaluddin As Suyuthi Rahimahullah Ketika membahas kaidah-kaidah syariat, Imam As Suyuthi berkata dalam kitab Al Asybah wa An Nazhair:
الْقَاعِدَةُ الْخَامِسَةُ وَالثَّلَاثُونَ ” لَا يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيهِ ، وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ
Kaidah yang ke-35, “Tidak boleh ada pengingkaran terhadap masalah yang masih diperselisihkan. Sesungguhnya pengingkaran hanya berlaku pada pendapat yang bertentangan dengan ijma’ (kesepakatan) para ulama.” (Imam As Suyuthi, Al Asybah wa An Nazhair, Juz 1, hal. 285. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Juga dikatakan oleh Al Ustadz Hasan Al Banna Rahimahullah:
ورأي الإمام ونائبه فيما لا نص فيه ، وفيما يحتمل وجوها عدة وفي المصالح المرسلة معمول به ما لم يصطدم بقاعدة شرعية , وقد يتغير بحسب الظروف والعرف والعادات , و الأصل في العبادات التعبد دون الالتفات إلى المعاني , وفي العاديات الالتفات إلى الأسرار و الحكم و المقاصد
“Pendapat seorang pemimpin dan wakilnya dalam perkara yang di dalamnya tidak dibahas oleh nash, dan dalam perkara yang multitafsir, dan dalam maslahat mursalah maka itu bisa diamalkan selama tidak bertabrakan dengan kaidah syara’, dan dapat berubah seiring perubahan keadaan, tradisi, dan adat.Hukum dasar dari ibadah adalah ta’abbud (ketundukan) tanpa mencari-cari kepada makna-maknanya, sedangkan dalam hal adat dibolehkan mencari rahasia, hikmah, dan maksud-maksudnya.” (Ushul ‘Isyrin No. 5)
Oleh, karenanya taruhlah pendapat pemimpin salah, namun ketaatan tidaklah hilang hanya karena kekeliruan ijtihad mereka,  padahal Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam justru menyebutnya mendapatkan satu pahala jika ijtihad salah. Sebab hal ini bukanlah sesuatu yang pasti benar dan pasti salah, kecuali jika kita sedang tinggal di Arab Saudi, saat mereka wuquf hari senin (9 Zulhijjah), kita berhari raya rabu (11 Zulhijjah), jelas itu salah. Sedangkan di negeri lain yang menggunakan perhitungan dan ru’yah sendiri, sangat mungkin terjadinya perbedaan. Sebenarnya, kalau pun ada yang shalat Id di hari tasyriq (11, 12, 13 Zulhijjah), maka sebagian ulama tetap membolehkan seperti Imam Ibnu Taimiyah, namun itu menurutnya mafdhul (tidak utama).
Di sisi lain, pemerintah pun tidak boleh mengingkari para ormas, dan memberikan kelapangan kepada rakyatnya dalam hal ini. Hanya saja sebagusnya para ormas ini memperhatikan ayat-ayat dan hadits-hadits ketaatan kepada pemimpin secara umum, selama bukan dalam hal haram. (kecuali jika ormas-ormas ini keras kepala dan fanatik dengan kelompoknya …)
4.       Kaidah: jika imam sudah memutuskan maka perselisihan harus dihilangkan
Kaidah ini didasarkan ayat An Nisa 59 di atas. Hendaknya perselisihan pendapat menjadi hilang ketika pemimpin sudah memutuskan perkaranya, terlepas dari apakah pemimpin kita ini termasuk zalim, fasiq atau tidak. Dan itu merupakan realisasi atas keimanan kita terhadap ayat tersebut,  betapa pun kita sangat tidak sependapat dengan pendapat pemimpin tersebut.
Kesimpulan:
1. Kriteria Imkanur Rukyat Lebih Kuat dari segi dalil, astronomis maupun dalam rangka mentaati ulil amri
2. Kriteria wujudul hilal masih terdapat kelemahan dari segi dalil, astronomis dan tidak mentaati ulil amri
3. Berdasarkan dewan hisab maka Iedul fitri 1432 H jatuh pada hari Rabu, tanggal 31 Agustus 2011
Wallahu A’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar