.

Jumat, 25 November 2011

Istighfar-Istighfar Kita Masih Harus Kita Istighfari

http://instigator.wpengine.netdna-cdn.com/wp-content/uploads/2009/11/surprised_guy.jpgPernah suatu pagi saya naik sepeda membonceng anak saya yang baru berumur tiga tahun tujuh bulan di bagian depan sepeda. Kami melewati ibu-ibu yang sedang berkerumun di sebuah gerobak sayur. Tiba-tiba seorang ibu demikian kaget melihat wajah anak saya dengan benjolan besar di bagian kening dan lebam hitam di sekitar mata, spontan ibu itu berteriak,” Astaghfirullaaaah (aku mohon ampun kepada Allah)…!” Beberapa hari sebelumnya anak saya main sepeda dan terjatuh. Demikian kerasnya benturan kepalanya dengan lantai mengakibatkan benjolan sebesar telor ayam kampung di keningnya, dua hari kemudian muncul lebam biru kehitaman di bagian bawah kedua matanya.
Mendengar ucapan astaghfirullâh ibu tadi saya mulai berfikir apa yang menyebabkan ibu tadi beristighfar (memohon ampunan Allah). Saya hanya berhasil menemukan dua kemungkinan penyebabnya. Kemungkinan pertama, ibu itu ingat akan dosa-dosanya yang menjadi penyebab ia harus menyaksikan pemandangan yang aneh di pagi itu. Atau, kemungkinan kedua, ucapan  Astaghfirullâh adalah ucapan spontan yang keluar kalau ibu itu sedang kaget.

Kemungkinan pertama peluangnya terlalu kecil, karena untuk sampai pada kesimpulan bahwa suatu kesalahan menjadi penyebab suatu musibah memerlukan tafakur panjang. Kemungkinan kedua peluangnya sangat besar. Tidak hanya bagi ibu itu, kebanyakan kita telah mengunakan kata astaghfirullah untuk hal-hal yang tidak ada kaitan dengan permohonan ampunan dosa kepada Allah swt. Ketika marah, dengan nada tinggi kita mengatakan astaghfirullah. Ketika kesal, dengan nada jengkel kita mengatakan astaghfirullah. Ketika lupa sesuatu, dengan nada panik kita mengatakan astaghfirullah. Ketika takut kepada bayang-bayang yang kita duga hantu, dengan penuh rasa takut kita mengatakan astaghfirullah.
Dalam kasus-kasus yang tidak ada kaitan dengan permohonan ampun kepada Allah swt itu justru kita mengucapkan istighfar dengan penuh perasaan, meskipun perasaan itu adalah rasa marah, rasa jengkel, rasa terkejut atau rasa takut.
Tetapi sayangnya justru ketika habis shalat di mana kita dituntut untuk memohon ampun dengan penuh perasaan atas kekurangan kita dalam mempersembahkan ibadah terbaik untuk Allah Ta’ala, istighfar kita keluar datar tanpa perasaan. Lebih parah lagi, ketika lisan kita mengucapkan istighfar (Astaghfirullâh / aku mohon ampun kepada Allah) hati kita sibuk mengingat selain Allah.
Orang-orang seperti kita yang dosanya menggunung dan amalnya kurang malah istighfarnya sangat sedikit, yang sangat sedikit itu pun tidak dengan kehadiran hati. Dari dosa yang demikian banyak itu, tidak banyak lagi dosa yang bisa kita ingat. Dari sedikit dosa yang bisa kita ingat itu, hati kita gagal membangkitkan rasa penyesalan. Kita tidak sadar bahwa kita sedang menghadapi persoalan besar. Orang-orang yang amalnya banyak pun belum tentu semua amalnya diterima oleh Allah. Yang amalnya diterima oleh Allah pun belum tentu amal itu telah memenuhi hak-hak Allah. Mengapa demikian? Para Malaikat yang sejak diciptakan senantiasa ta’at beribadah kepada Allah Ta’ala dan tidak pernah melakukan maksiat sama sekali masih merasa belum dapat memberikan ibadah yang layak untuk Allah. Di hari kiamat nanti mereka. mengatakan Subhânaka mâ ‘abadnâka haqqa ‘ibâdatik (Maha Suci Engkau, kami belum mempersembahkan ibadah dengan ibadah yang selayaknya untuk-Mu)
Nabi saw sendiri, orang yang demikian sempurna ibadahnya dan tidak pernah melakukan kemaksiatan terhadap Allah masih memandang dirinya tidak mungkin selamat kecuali dengan ampunan dan rahmat Allah. Suatu ketika beliau saw bersabda, “Tidak ada seorang pun yang akan selamat karena amalnya.” Para sahabat ra pun bertanya,” Apakah termasuk engkau wahai Rasulullah, tidak selamat karena amalmu?” Beliau saw menjawab,” Termasuk aku, kecuali jika Allah meliputi diriku dengan ampunan dan rahmat-Nya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah ra)
Beliau saw sendiri bersumpah ketika menegaskan tentang banyaknya istighfar yang dilakukannya,” Demi Allah, aku benar-benar memohon ampunan kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya lebih dari tujuh puluh kali dalam satu hari.” (HR. al-Bukhari dan Ahmad dari Abu Hurairah ra)
Di sini kita melihat betapa besar arti sebuah ampunan (maghfirah) yang kita minta kepada Allah melalui istighfar-istighfar kita. Permohonan ampunan ini lebih besar dari sekedar masalah hidup dan mati. Penderitaan hidup duniawi dapat lenyap karena kematian, sedangkan dosa-dosa akan terus menghantui seseorang dan menjadi malapetaka di kehidupan setelah mati.
Seorang pengemis dapat mengeluarkan kata memelas dari perasaan hati yang terdalam demi uang seribu rupiah atau demi sepiring nasi. Takut sengsara karena perihnya lapar dan harapan bahagia melalui perut kenyang telah menghacurkan harga dirinya sehingga rela menengadahkan tangan dengan hati penuh harapan. Tidak ada pengemis yang lebih miskin dibandingkan diri-diri kita di hadapan Allah Ta’ala. Tidak ada keperihan yang mengalahkan derita neraka dan tidak ada kebahagiaan yang mengalahkan kenikmatan surga. Kalau seorang pengemis dapat merintih di hadapan orang kaya demi sepiring nasi sisa, mengapa hati kita masih belum juga dapat menjerit di hadapan Allah demi sebuah ampunan, padahal sebuah ampunan Allah sudah cukup untuk membebaskan kita dari derita neraka dan mengantarkan kita pada kebahagiaan surga?
Istighfar bukan sebuah permintaan yang sederhana. Banyak istighfar-istighfar kita yang masih harus kita istighfari.
<Ustadz Abdul Hakim - Pemateri Tazkiyatun Nafs Kajian Lepas Kerja Jum'at

 http://www.dtjakarta.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar