Iltizam adalah suatu komitmen yang lahir dari dalam diri (wa’yu dzati)
dan bukan sesuatu yang bersifat kamuflase (kepura-puraan)ataupun
paksaan.
Menurut Fathi Yakan, iltizam adalah sebuah komitmen
terhadap Islam dari hukum-hukumnya secara utuh dengan menjadikan Islam
sebagai siklus kehidupan, tolak pikir dan sumber hukum dalam setiap tema
pembicaraan dan permasalahan. Sebagaimana perintah Allah Taala dalam,
QS. 2:208 agar seorang muslim masuk ke dalam Islam secara kaffah.
Jika
seorang muslim telah menjadikan Islam sebagai titik tolak berfikir
dalam segala hal maka sikap dan perilakunya bukan sekadar dibuat-buat
melainkan dilakukan dengan kesadaran.
Dari ilmu dan pemahaman
diharapkan menumbuhkan keyakinan dan iman yang kemudian mensibghah dan
pada akhirnya membentuk sikap serta perilaku yang Islami.
Imam syahid Hasan Al-Bana membagi manusia ke dalam tiga kelompok berdasarkan pemahaman dan tingkatan akidahnya:
Kelompok
yang menerima iman Islam secara doktrin atau dogmatis yang tidak
disertai ilmu dan pemahaman yang memadai. Kualitas keyakinannya minim
dan biasanya berubah menjadi keragu-raguan bila ada hal yang menimbulkan
keraguan pada dirinya.
Kelompok yang menerima iman Islam karena
sesuai dengan logika dan pemikiran bila diungkapkan dengan dalil-dalil
berupa logika qurani, maka keimanan dan keyakinan semakin mantap dan
bertambah kuat. Hanya saja amalnya masih kurang nampak atau belum
terealisir secara baik. Jadi keyakinannya baru sampai tataran logika.
Kelompok
yang menerima iman Islam karena memadukan unsur pikir, pemahaman dan
ketaatan. Jadi semakin yakin ia akan semakin taat melaksanakan amal
shaleh dan memperbaiki ibadahnya hatinya selalu diterangi cahaya Allah.
Indikasi-Indikasi Iltizam
Paling tidak harus ada dua indikator yang menunjukkan bahwa seseorang memiliki iltizam atau komitmen:
Ada
indikator lahiriah yang jelas dan kongkrit. Misalnya seorang muslim
yang shaleh akan hampir selalu terlihat shalat berjamaah di masjid atau
muslimahnya menutup aurat dengan memakai jilbab. Jadi logikanya tidak
bisa dibalik bahwa orang yang shalat di masjid belum atau muslimah
berjilbab belum tentu baik. Hal tersebut di atas memang tidak bisa
digeneralisir dan kita sulit mengatakan seseorang memiliki iltizam jika
ia enggan shalat atau enggan ke masjid dan enggan menutup aurat.
Adanya
muraqabah dzatiyah. Kita memang tidak boleh hanya mengandalkan muta
ba’ah zhahiriyah, melainkan juga harus menumbuhkan muraqabah dzatiyah
agar amal yang dilakukan tidak dinodai kepura-puraan, kamuflase, nifaq,
dan riya. Artinya di manapun dan dalam situasi dan kondisi yang
bagaimanapun apakah ada orang atau tidak, giat atau malas, suka atau
tidak suka, dicaci atau di puji kita tetap konsisten dalam melakukan
amal shaleh. Sebagaimana Rasulullah saw. berpesan kepada seorang sahabat
yang belum mau pulang atau kembali ke daerah asalnya untuk berdakwah.
اتَّقِ اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Bertakwalah
kepada Allah di manapun kamu berada dan iringilah perbuatan buruk
dengan perbuatan baik. Dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.”
Urgensi Iltizam
Iltizam
merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi seorang muslim apalagi
bagi aktivis Islam atau para dai, karena iltizam merupakan indikasi amal
yang sangat diperlukan dalam konteks kehidupan berjamaah.
Tidak
mungkin ahdaful jamaah dapat terealisir tanpa ada junud atau
anggota-anggota jamaah yang akan melaksanakan ahdaf dan beriltizam
terhadap uslub untuk mencapai ahdaf tersebut.
Hasan Al-Bana
menegaskan bahwa awal kesiapan seseorang untuk memasuki tahapan takwin
dan tanfidz ialah jika ia memiliki at thaat kaamilah atau ketaatan yang
sempurna. Oleh karena itu sasaran atau ahdaf dalam berjamaah tidak akan
terwujud tanpa adanya junud yang komit atau berilitizam dalam
melaksanakan uslub untuk mencapai ahdaf.
Padahal jamaah Islam sebagai
sebuah harakah yang tertata memiliki ahdaf (tujuan-tujuan) dan berusaha
untuk mencapainya ahdaf yang dimaksud ialah mendapatkan mardhatillah,
meninggikan kalimat Allah, mengibarkan panji-panji Islam kemudian
menegakkan Islam di seluruh muka bumi.
Dalam mencapai ahdaf
tersebut jamaah memiliki aqayiz dan auzan (kriteria-kriteria dan
aturan-aturan). Berdasarkan kriteria-kriteria dan aturan-aturan tersebut
diseleksilah para dai dan aktivis yang layak untuk terlibat dalam
jamaah (jadi memiliki pola taqwim). Beberapa di antara kriteria tersebut
adalah thaat, iltizam, dan jiddiah (kesungguh-sungguhan).
Sehingga
sekalipun ada seorang ulama yang paling bertaqwa atau wara’ namun tidak
mau komit atau beriltizam, maka ia tidak layak masuk jamaah dan tidak
dianggap sebagai anggota atau a’dha jamaah, melainkan sekadar sebagai
seorang muslim yang dicintai jamaah.
Kualitas seorang a’dha dalam
jamaah dapat dilihat dari sejauh mana kualitas iltizamnya. Semakin
besar kadar keiltizamannya seseorang berdasarkan kriteria-kriteria
tersebut di atas, maka semakin berbobot pula kualitas dirinya.
Dua Jenis Iltizam
Iltizam secara umum dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian yakni iltizam terhadap syariat dan iltizam terhadap jamaah.
Iltizam
terhadap syariat meliputi aqidah salimah, ibadah shahihah, akhlaq
hamidah, dakwah wal jihad, syumul wa tawazun. Sedangkan iltizam terhadap
jamaah melingkupi bai’ah, ansyitah, wadzifah, infaq, qararat dan taat
kepada pemimpin.
Dimilikinya kedua jenis iltizam tersebut dalam diri seseorang diharapkan akan membentuk manusia yang utuh (insan mutakamil).
1. Iltizam terhadap Syariat
Beriltizam
atau memiliki komitmen terhadap aqidah shahihah. Yang dimaksud dengan
aqidah salimah ialah akidah yang sehat, bersih dan murni terbebas dari
segala unsur nifaq dan kemusyrikan. Dalam QS 2: 165 disebutkan bahwa ada
orang–orang yang menjadikan tuhan-tuhan selain Allah sebagai tandingan
bagi Allah. Dan mereka mencintai ilah-ilah tandingan tersebut
sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang beriman amat
sangat dicintainya kepada Allah, dari ayat tersebut terlihat bahwa kita
tidak boleh mengambil sesuatu selain Allah sebagai Tuhan yakni sesuatu
yang dicenderungi, dicintai, disembah dan mendominasi hidup kita.
Demikian pula dalam segala hal prioritas cinta, kita harus meletakkan
cinta kepada Allah dan kemudian jihad di jalan-Nya sebagai prioritas
pertama dibanding dengan orang tua, anak, suami/istri, kerabat, harta
perniagaan atau rumah kediaman (QS 9: 24), seperti nampak pada
keikhlasan muhajirin meninggalkan segala-galanya yang ada di Makkah dan
keridhaan para sahabat Anshar untuk menolong mereka. Bagi mereka ridha
Allah dan Rasul-Nya di atas segala-galanya.
Beriltizam atau
berkomitmen terhadap ibadah yang salimah dan istimrar (kontinyu).
Seorang a’dha sebagai muslim memiliki kewajiban untuk melakukan ibadah
yang shahih terbebas dari segala bid’ah dan khurafat. Dan ia terikat
kepada kewajiban tersebut. Sayid Qutb pernah mengatakan bahwa kualitas
iltizam seseorang pertama-tama diukur dari komitmennya terhadap shalat
baik dari segi ketepatan waktu maupun kekhusyuannya. Shalahuddin
Al-Ayyubi, pahlawan pembebasan Al-Quds selalu memantau di malam hari
sebelum perang siapa-siapa saja yang tendanya terang karena menegakkan
shalat malam dan tilawah Al-Quran dan mereka itulah yang kemudian
diberangkatkan ke medan jihad keesokan harinya. Dan ada seorang ulama
salafus shaleh yang memimpikan Junaid Al-Baghdadi setelah ia wafat.
ketika ditanya apa yang diperhitungkan oleh Allah terhadapnya. Ia
ternyata menjawab, “Hilang semua amalku tak ada yang memberi manfaat
kecuali beberapa rakaat di waktu malam. Hal itu menunjukkan bobot nilai
shalat tahajud.
Memiliki komitmen atau beriltiazam kepada akhlaq
hamidah (akhlak terpuji). Akhlaq hamidah jelas harus dimiliki oleh
seorang a’dha yang beriltizam. Dan akhlaq hamidah yang dimaksud tentu
saja akhlak yang Islami dan qurani. Sebagaimana mana Rasulullah diutus
untuk menyempurnakan akhlak manusia dan dipuji Allah sebagai orang yang
berbudi pekerti agung. (QS 68: 4) Aisyah ra. Mengatakan bahwa akhlak
beliau adalah Al-Quran. Artinya jika ingin melihat bagaimana Al-Quran
dijabarkan secara konkret dalam sikap, perilaku, dan tindak tanduk di
segala aspek kehidupan, lihatlah diri Rasulullah. Rasulullah boleh
dikatakan “the living quran” atau Al-Quran yang hidup. Bila seorang dai
memiliki akhlak yang Islami ia akan mendapat manfaat antara lain bahwa
dirinya patut menjadi teladan. Akhlak terpujinya itu juga menjadi daya
tarik dakwah dan dirinya juga akan selalu terhindar dari fitnah.
Rasulullah saw misalnya pernah dikatakan dukun, tukang sihir, gila dan
sebagainya, tetapi akhirnya fitnah-fitnah itu terlepas dengan sendirinya
melihat keutamaan pribadi Rasulullah. Begitu pula fitnah keji berupa
tuduhan zina terhadap ummul mukiminin Aisyah ra yang dikenal dengan
peristwa ‘haditsul ifki’. Beliau akhirnya mendapatkan pembelaan langsung
dari Allah dalam surat An-Nur.
Komit atau memiliki iltizam
terhadap dakwah wa jihad, dakwah dan jihad. Seorang a’dha yang memiliki
komitmen terhadap jamaah dengan harakah, tentu saja harus memiliki
iltizam terhadap dakwah dan jihad. Dakwah dan jihad memang tidak bisa
dipisahkan satu sama lain seperti dua sisi mata uang. Dakwah adalah
upaya untuk meraih keberuntungan di sisi Allah dengan jalan menyeru
kepada kebaikan, menyuruh orang berbuat ma’ruf dengan mencegah yang
mungkar (QS 3: 104). Sedangkan keutamaan jihad sudah tidak diragukan
lagi. Bahkan dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang
tidak pernah melakukan jihad dan tidak pernah berniat untuk berjihad,
maka matinya dalam keadaan mati jahiliyah” jihad memang dapat dilakukan
dengan berbagai bentuk seperti jihad bil mal, bil lisan, dan lain-lain,
namun jihad tertinggi adalah qital. Ada konsekuensi logis ketika
seseorang beriltizam pada jihad yakni ia juga harus beriltizam terhadap
segala sesuatu yang merupakan persiapan untuk itu seperti tarbiah
takwiniah yang istimrar dan lain-lain.
Berkomitmen atau
beriltizam terhadap syumul wa tawazun. Dienul Islam ajaran yang syamil
(integral, komprehensif) dan mutakamil (utuh) serta mutawazinah
(seimbang). Pendek kata Islam adalah agama yang sempurna dan diridhai
Allah (QS 5:3, 3:19) Sebagaimana alam semesta diciptakan sempurna, tidak
ada kekurangan (QS 67: ) dan dalam harmoni tawazun (keseimbangan)
seperti dalam (QS 55: 7-9), maka manusia pun bagian dari alam semesta
diciptakan Allah dalam keadaan sebaik-baik rupa (QS 95: ). Umat Islam
juga dikatakan sebagai “umatan wasatha’“ (umat pertengahan). Ajaran
sarat dengan kesyumuliahan dan ketawazunan. misalnya ajaran Islam
menyentuh seluruh aspek kehidupan mulai dari hal sepele sampai yang
paling berat dan kompleks, (syamil). Kemudian Islam mengajarkan manusia
berikhtiar maksimal (QS 13: 11) tetapi juga menyuruh bertawakal (QS 65:
). Islam melarang manusia kikir, tetapi juga tidak membolehkan berlaku
boros, israf ataupun melakukan kemubadziran. Jadi seorang a’dha dalam
Iltizamnya terhadap syariah harus memiliki komitmen pada syumuliatul dan
ketawazunan Islam.
2. Al-Iltizam Bil Jamaah
a. Iltizam terhadap bai’ah.
إِنَّ
اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ
بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ
وَيُقْتَلُونَ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ
وَالْقُرْءَانِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ فَاسْتَبْشِرُوا
بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Sesungguhnya
Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka
dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah;
lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang
benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur'an. Dan siapakah yang
lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah
dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang
besar.” (QS 9: 111)
Satu-satunya ayat Al-Quran yang berkaitan
dengan masalah harta dan jiwa, tetapi mendahulukan jiwa adalah ayat di
atas. Dan transaksi ‘jual-beli’ antara Allah sebagai pembeli dan mukmin
sebagai penjual ini erat kaitannya dengan masalah bai’ah. Sikap iltizam
terhadap bai’ah yang telah diucapkan nampak jelas pada tokoh Anshar,
Nusaibah binti Ka’ab dan Habibi bin Zaid. Nusaibah dengan bai’ah Aqabah
II, bertempur mati-matian melindungi dan menjadi perisai Rasulullah di
perang Uhud tatkala kebanyakan tentara Islam lain kocar-kacir panik
terhadap serangan balik mendadak Khalid bin Walid. Atau Habib bin Zaid
yang disiksa Musailamah Al-Kadzab karena tidak mau mengakuinya sebagai
nabi, tidak rela menodai bai’ah yang telah Habib bin Zaid diucapkannya
walaupun untuk itu ia harus menebusnya dengan nyawa. Tubuhnya
dicabik-cabik dan disayat-sayat selagi masih hidup. Sekali kita
mengucapkan bai’ah seumur hidup kita terikat untuk beriltizam kepadanya.
b.
Komit terhadap ansyithah (kegiatan-kegiatan) baik yang kharijiah
(eksternal) maupun dakhiliyah (internal). Seorang a’dha seyogianya
memiliki komitmen terhadap semua ansyithah (kegiatan) dalam jamaah baik
yang bersifat dakhiliyah (internal) maupun kharijiah (eksternal).
Kegiatan internal seperti berusaha selalu hadir dengan tepat waktu dalam
acara rutin liqa’ usari dan liqa’ tatsqifi serta daurah-daurah
pembekalan dan pengayaan seperti daurah siyasi, daurah murabbi, jalasah
ruhiyah dan lain-lain yang diadakan secara berkala. Kemudian bila jamaah
terutama dalam era hizbiyah/kepartaian ini banyak melakukan
manuver-manuver keluar seperti bakti sosial di daerah-daerah bencana,
pengerahan logistik berupa nasi bungkus untuk acara ‘muzhaharah’,
penggalangan masa atau demo, tentu saja semuanya harus diikuti pula
dengan penuh semangat. Intensitas keterlibatan kita yang tinggi dengan
semua kegiatan jama’ah insya Allah akan membuat iltizam kita kepada
jamaah semakin kokoh.
c. Beriltizam terhadap wazhifah
(tugas-tugas) yang dibebankan jamaah kepadanya. Iltizam atau komitmen
terhadap tugas yang dipikulkan pada kita merupakan aspek yang pokok dan
mendasar dalam hubungan struktural tanzhim, seorang a’dha harus
menyesuaikan diri dengan segala tugas yang dipikulkan ke pundaknya. Baik
tugas itu disukai atau tidak dan baik ia sedang rajin maupun malas.
Bukan tugas atau wadzhifah yang harus disesuaikan dengan kondisi
dirinya, melainkan a’dha tersebut yang harus menyesuaikan diri dengan
tugas-tugas yang diamanahkan kepadanya. Sikap seorang a’dha dalam
masalah wadzhifah tanzhimiyah hendaklah bijak. Ia tidak akan pernah
mencari-cari atau meminta jabatan ataupun wadzhifah tanzhimiyah, namun
bila kemudian diamanahi, ia tidak boleh mengelak atau menolak. Seperti
Said bin Amir yang dimarahi oleh Umar bin Khathab karena tidak mau
mengemban amanah sebagai gubernur di Himsh (Suriah sekarang). “Celaka
engkau hai Said, kau bebankan di pundakku beban yang berat (dibaiah
sebagai amirul mu’minin), tetapi kau tak mau membantuku “ Akhirnya
barulah Said bin Amir mau menerima amanah tersebut.
d. Iltizam
atau komit terhadap infaq, baik yang wajib maupun yang sunnah. Sahabat
ada yang pernah meminta cuti atau dispensasi (keringanan) dalam hal
jihad dan infaq. Rasulullah pun menjawab dengan sangat tajam, “Wa la
shadaqah wa la jihadu fiima tadkhulul jannata araan? “Tidak mau
bersedekah dan tidak berjihad, jadi dengan apa kalian akan memasuki
surga“. Keutamaan berinfaq atau berjuang dengan harta dan jiwa (QS 9:
111, 61:10-11) sangat sering diungkapkan dalam firman-firman Allah.
Bahwa ia akan membalasnya dengan beratus-ratus kali lipat, bahkan dengan
surga. Bahkan contoh-contoh keutamaan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali,
Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdurahman bin Auf, Sa’ad bin Raby, Abu Thalhah
dan Ummu Sulaim, Aisyah dan Asma binti Abu Bakar, Zainab binti Jahsy,
Khadijah, dan lain-lain terukir indah dalam sejarah Islam. Maka suatu
kewajaranlah bila kita yang telah berbaiat ini terikat untuk memenuhi
kewajiban berinfaq, baik yang wajib maupun yang sunnah.
e.
Beriltizam terhadap qararat (keputusan-keputusan) jamaah. Seorang a’dha
muntadzim yang bukan hanya beriltizam terhadap syariat tetapi juga pada
jamaah seharusnya selalu berada dalam shaf jamaah. Ia berusaha
menjalankan tugasnya sebaik-baiknya di manapun ia diputuskan oleh jamaah
untuk ditempatkan. Bahkan dalam hadits dikatakan, “Surga untuk seorang
hamba jika ia mendapat bagian jaga ia berjaga dengan baik.” Ia pun akan
komit pada kebijakan-kebijakan dan aturan-aturan jamaah dalam amal dan
uslub dakwah. Ia terikat dengan keputusan-keputusan, kebijakan-kebijakan
jamaah dengan perintah-perintah qiyadah. Sekalipun bertentangan dengan
keinginan dan pendapat pribadi. Hendaknya kita harus selalu berprasangka
baik bahwa keputusan tersebut adalah yang paling tepat untuk
mendatangkan kemaslahatan. Kita bisa mengambil ibrah dari fiqhus shalat
agar senantiasa taat dan husnuz zhan pada qiyadah. Dalam shalat bila
kita sebagai ma’mum sedang membaca al-fatihah, tetapi imam sudah takbir
akan ruku, kita harus segera mengikuti imam, walaupun kita belum siap
atau belum selesai membaca al-fatihah.
f. Komit terhadap
“tha’atul qiyadah” taat terhadap pemimpin. Ketaatan seorang muslim yang
total, utuh dan bulat, memang hanya kepada Allah dan Rasul-Nya (QS 3:
31, 32, 132, 4: 59, 80). Namun di ayat 4: 59 itu pun disebutkan
kewajiban taat kepada pemimpin atau ulil amri yang beriman sepanjang
tidak dalam rangka kemaksiatan dijalan Allah. Karena laa thaata li
makhluqin fi ma’siatil Khaliq’ (tidak ada kewajiban taat kepada makhluk
dalam rangka maksiat kepada Sang Pencipta). Seorang a’dha yang telah
mengucapkan bai’ah untuk taat dalam giat atau malas, suka atau tidak
suka keadaan harus menaati qiyadahnya atau naqibnya sebagai sosok
kepemimpinan dalam jamaah yang terdekat dengannya.
Untuk
mengefektifkan iltizam seorang a’dha baik dalam ruang lingkup syar’i
maupun tanzhimi, hendaknya seorang a’dha memiliki pemahaman yang baik
tentang perjalanan yang benar dalam melakukan amal Islam yang kemudian
keimanan dan ketakwaan yang senantiasa terjaga.
Iltizam kepada
kewajiban-kewajiban syariah membuat seorang muslim menjadi syakhshiyah
muslimah atau pribadi Islami. Segala sikap dan tindak–tanduknya tidak
akan menyimpang dari koridor syar’i.
Dan bila ia kemudian
memiliki cita-cita luhur tak hanya ingin menjadi shalih atau shalihah,
namun juga berusaha membuat orang lain menjadi shalih (muslih), maka ia
akan berjuang bersama dalam sebuah jamaah atau gerakan dakwah. Ia
bergabung dengan harakah yang bertujuan membebaskan negeri-negeri Islam,
menyadarkan umatnya dalam menyerukan kalimat-Nya di muka bumi.
Bergabungnya ia dengan gerakan dakwah tersebut membuat ia terikat atau
beriltizam dengan kewajiban-kewajiban yang ada dalam jamaah tersebut.
Maka jadilah syaksiah harakiah atau pribadi yang haraki, dinamis
bergerak dan berjuang.
Seorang a’dha yang dalam dirinya terdapat
kedua jenis iltizam tadi, maka ia muncul menjadi syakhshiyah muslimah
mutakamilah atau pribadi Islami yang utuh.
Semakin banyak orang yang
terbentuk menjadi syakhshiyah muslimah mutakamilah insya Allah harapan
Syahid Sayid Qutb, “A- Mustaqbal li haadza dien” (Masa Depan Di Tangan
Islam) akan dapat terwujud. Amin
Wallahu a’lam
Iltizam Syari'at
Yang mosting: Mulki Rakhmawati
16 Juli 2009
Menurut
Fathi Yakan, iltizam adalah komitmen terhadap Islam dan hukum2nya
secara utuh dengan menjadikan Islam sebagai siklus kehidupan, tolak
pikir, dan sumber hukum dalam setiap tema pembicaraan dan permasalahan.
Sebagaimana perintah Allah ta’ala dalam QS 2: 208 agar seorang mukmin
masuk ke dalam Islam secara kaffah.
Iltizam secara umum dapat
diklasifikasikan menjadi dua bagian, yakni terhadap syariat dan terhadap
jamaah. Iltizam terhadap syariat meliputi aqidah salimah, ibadah
shahihah, akhlaq hamidah, dakwah wal jihad, syumul wa tawazun. Sedangkan
iltizam erhadap jamaah meliputi bai’ah, ansyitah, wadzifah, infaq,
qararat, dan taat kepada pemerintah.
Iltizam terhadap aqidah
salimah, aqidah yang sehat, bersih, dan murni terbebas dari segala
unsure nifaq dan kemusyrikan. Daam 2: 165 disebutkan bahwa ada orang2
yang menjadikan tuhan2 selain Allah sebagai tandingan bagi Allah. Dan
mereka mencintai ilah2 tandingan tersebut sebagaimana mereka mencintai
Allah. Adapun orang2 berimana amat sangat dicintainya kepada Allah, dari
ayat tersebut terlihat bahwa kita tidak boleh mengambil sesuatu selain
Allah sebagai Tuhan yakni sesuatu yang dicenderungi, dicintai, disembah,
dan mendominasi hidup kita. Demikian pula dalam segala hal prioritas
cinta, kita harus meletakkan cinta kepada Allah dan kemudian jihad di
jalanNya sebagai prioritas pertama dibanding dengan orang tua, anak,
suami/ istri, kerabat, harta perniagaan, atau rumah kediaman (QS 9: 24),
seperti nampak pada keikhlasan para muhajirin meninggalkan
segala-galanya yang ada di Mekkah dan keridhoan para sahabat Anshor
untuk menolong mereka. Bagi mereka ridho Allah dan RasulNya di atas
segala2nya.
Beriltizam atau berkomitmen terhadap ibadah yang
shahihah dan istimror (kontinyu). Seorang a’dha sebagai muslim memiliki
kewajiban untuk melakukan ibadah shahih terbebas dari segala bid’ah dan
kurafat. Dan ia terikat kepada kewajiban tersebut. Sayid Quthb pernah
mengatakan bahwa kualitas iltizam seseorang pertama2 diukur dari
komitmennya terhadap sholat baik dari segi ketepatan waktu maupun
kekhusyuannya. Shalahuddin Al Ayyubi, pahlawan pembebasan Al-Quds selalu
memantau di malam hari sebelum perang siapa2 saja yang tendanya terang
karena menegakkan sholat malam dan tilawah Qur’an dan mereka itulah
kemudian yang akan diberangkatkan ke medan jihad keesokan harinya. Dan
ada seorang ulama salafus shaleh yang memimpikan Junaid Al Baghdadi
setelah ia wafat, ketika ditanya apa yang diperhitungkan Allah
kepadanya, ia ternyata menjawab, ”hilang semua amalku tak ada yang
memberi manfaat kecuali beberapa rakaat di waktu malam. Hal ini
menunjukkan bobot nilai shalat tahajud.”
Memiliki komitmen atau
beriltizam kepada akhlak hamidah (akhlak terpuji). Akhlak hamidah jelas
harus dimiliki oleh seorang a’dha yang beriltizam. Dan akhlak hamidah
yang dimaksud tentu saja akhlak yang islami dan Qurani. Sebagaimana
Rasulullah SAW diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia dan dipuji
Allah sebagai orang yang berbudi pekerti agung (QS 68:4). Aisyah RA
mengatakan bahwa akhlak beliau adalah Al-Qur’an. Artinya jika ingin
melihat bagaimana Al-Quran dijabarkan secara konkret dalam sikap,
perilaku, dan tindak-tanduk di segala aspek kehidupan, lihatlah diri
Rasulullah. Rasulullah boleh dikatakan ”the living Quran”. Bila seorang
da’i memiliki akhlak yang islami, ia akan mendapat manfaat antara lain
bahwa dirinya patut menjadi teladan. Akhlak terpujinya itu juga menjadi
daya tarik dakwah dan dirinya juga akan selalu terhindar dari fitnah.
Rasulullah SAW, misalnya pernah dikatakan dukun, tukang sihir, gila, dan
sebagainya, tetapi akhirnya fitnah-fitnah itu terlepas dengan
sendirinya melihat keutamaan pribadi Rasulullah SAW. Begitu pula fitnah
keji berupa tuduhan zina terhadap ummul mukminin, Aisyah RA, yang
dikenal dengan peristiwa ”haditsul ifki”. Beliau akhirnya mendapatkan
pembelaan langsung dari Allah dalam surat An-Nur.
Komit atau
memiliki iltizam terhadap dakwah wa jihad. Seorang a’dha yang memiliki
komitmen terhadap jamaah dengan harakah, tentu harus memiliki iltizam
terhadap dakwah dan jihad. Dakwah dan jihad memang tidak bisa dipisahkan
satu sama lain seperti dua sisi mata uang. Dakwah adalah upaya untuk
meraih keberuntungan di sisi Allah dengan jalan menyeru pada kebaikan,
menyuruh orang berbuat ma’ruf, dan mencegah yang mungkar (QS 3:104).
Sedangkan keutamaan jihad sudah tidak diragukan lagi. Bahkan dalam
sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda, ”Barangsiapa yang tidak pernah
melakukan jihad dan tidak pernah berniat berjihad, maka matinya dalam
keadaan jahiliyah, jihad memang dapat dilakukan dalam berbagai bentuk
seperti jihad bil mal, bil lisan, dll, namun jihad tertinggi adalah
qital. Ada konsekuensi logis ketika seorang beriltizam pada jihad yakni
ia juga harus beriltizam terhadap segala sesuatu yang merupakan
persiapan untuk itu seperti tarbiyah takwiniah yang istimrar, dll.
Beriltizam
atau berkomitmen terhadap syumul wa tawazun. Dienul Islam ajaran yang
syamil (integral, komprehensif) dan mutakamil (utuh) serta mutawazinah
(seimbang). Pendek kata, Islam adalah agama yang sempurna dan diridhai
Allah (QS 3:19, 5:3). Sebagaimana alam semesta diciptakan sempurna,
tidak ada kekurangan, dan dalam harmoni tawazun seperti dalam QS 55:7-9,
maka manusia pun bagian dari alam semesta diciptakan Allah dalam
keadaan sebaik-baik rupa. Umat Islam juga dikatakan sebagai umat
wasatha/pertengahan. Ajaran sarat dengan kesyumuliahan dan ketawazunan,
misalnya ajaran Islam menyentuh seluruh aspek kehidupan mulai dari hal
sepele sa,pai yang paling berat dn kompleks. Islam melarang manusia
kikir, tapi juga tidak membolehkan berlaku boros, israf atau melakukan
kemubadziran. Jadi seorang a’dha dalam iltizamnya terhadap syari’ah
harus memiliki komitmen pada syumuliatul dan ketawazunan Islam
Dalam tanzim jamaah muslimah, naqib ibarat tiang utama dalam struktur dan bangunan jamaah.
Naqib
juga merupakan jantung yang terus berdenyut yang memberi al-hayah
(kehidupan), al-hayawiyah (spirit) dan al-harakah (gerakan).
Naqib adalah munaffidz (pelaksana) asasi bagi berbagai proses:
1. Tarbawi (tarbiyah).
2. Tanzhimi (struktur), dan
3. Idari (management).
Pada saat yang sama, naqib ibarat nadi kepada harakah, padanya terdapat:
1. Taujih/khithab qiyadi (pengarahan pemimpin), dan
2. Amal tanfidzi (pelaksanaan amal).
Pada saat yang sama pula, naqib ibarat qanat (saluran) asasi antara qiyadah dan afrad. Melalui saluran inilah:
1. Berbagai awamir (perintah) dan taujihat (pengarahan) turun, dan
2. Berbagai berita dan iqtirahat (cadangan) naik.
Kerana
inilah, sesungguhnya dengan membina naqib, membina qudrah
(kemampuan)-nya dan membina berbagai karakternya, baik yang bersifat
bawaan, maupun yang bersifat empiris merupakan pembinaan terhadap
kemampuan berbagai marhalah jamaah dan terhadap kafa-ah-nya untuk
ber-harakah dan melakukan intaj (produktiviti). Sesuai dengan kadar yang
diperoleh oleh naqib, baik yang berupa sifat-sifat asasi, maupun
tarbiyah yang berjaya, sesuai kadar itu pula terletak:
1. Kekuatan bangunan tanzimi.
2. Produktiviti ada’ idari (pelaksanaan management).
3. Kejayaan amaliyah tarbawiyah (proses tarbiyah), dan
4. Keberkatan ansyithah da’awiyah (berbagai aktiviti dakwah).
Mungkin
posisi naqib dalam jamaah muslimah itu seperti titik pusat sebuah
lingkaran, di mana posisi qiyadah berada di bahagian atas, posisi afrad
berada di posisi bawah, sementara berbagai aktiviti yang berada di dalam
lingkaran itu mesti melalui naqib yang menghubungkan antara qiyadah
dengan afrad tadi. Tidak mungkin bahagian-bahagian dari lingkaran itu
sampai kepada arah yang berlawanan, di manapun posisinya, kecuali
melalui titik pusat (tengah) itu. Maksudnya: apapun arah sebuah
kegiatan, baik dari qiyadah kepada afrad atau sebaliknya, maka naqib
merupakan pusat kepada kegiatan itu, dan ia adalah pusat penyelaras
kepada gerakan ini, dan darinyalah bertolak berbagai aktiviti.
Berikut
ini adalah sebahagian dari aktiviti-aktiviti jamaah muslimah yang asasi
-yang dalam gambaran di atas merupakan isi dari lingkaran- yang tidak
boleh tidak naqib pasti menjadi pusat asasi dan pusat penghubungnya:
1. Al-‘Amaliyah At-Tarbawiyah (proses tarbiyah).
Hal ini mencakupi:
1. Dirasah Mabadi’ Jama’ah (kajian prinsip-prinsip jamaah).
2. Ta’allumul Fiqhid Da’awi (pembelajaran fiqih dakwah).
3. Thuruqud Da’wah wal Ittishal (metode dakwah dan komunikasi).
4. As-Siyasat Al-’Ammah lil Harakah (siyasat umum harakah).
5. Lawaihul Jama’ah (undang-undang jamaah).
6. Al-Mafahim At-Tarbawiyah (konsep-konsep tarbiyah).
7. Al-‘Ilmu bitarikhid da’wah al-islamiyah (pengetahuan sejarah dakwah Islam).
8. Ma’anil Badzli wat Tadh-hiyah (nilai-nilai infaq dan pengorbanan).
9. Tahammulul Masyaq (daya tahan dalam memikul berbagai kesulitan).
10. Membaca Al-Qur’an, dan mengkaji makna-maknanya.
Semua
itu berjalan sesuai dengan manhaj jamaah, dan ta’limat qiyadah yang
tidak mungkin sampai kepada afrad kecuali melalui naqib.
11. At-Tarbiyah bis-Suluk (tarbiyah dengan tingkah laku), dan
12. Al-Qudwah al-‘Amaliyah (teladan amali), yang memang menjadi kewajibannya.
Pada
satu sudut, seorang naqib mengambil qudwah (teladan) yang baik dari
para qiyadah, pada saat yang sama ia adalah teladan bagi
saudara-saudaranya di bawah.
Dengan demikian, ia menjadi pihak yang menerima kebaikan, sekaligus menjadi penyebar kebaikan tadi.
Kerana gerakan Ikhwan adalah haqiqatun shufiyah (hakikat kesufian), maka naqib merupakan asas hakikat ini.
Di
depan para qiyadah ia adalah seorang murid yang belajar, mempraktikkan
dan meneladani, dan di hadapan saudara-saudaranya ia adalah seorang
syeikh yang menjadi teladan.
Dengan demikian, naqib merupakan inti
tarbiyah sulukiyah, penukil tarbiyah ini dan tali pengait yang
menyambungkan hubungan antara generasi dakwah.
Dan jamaah dengan izin
Allah terbebas dari berbagai bid’ah tasawwuf, dan manhajnya yang salafi
mu’tadil (salafi sederhana) sudah amat dikenal, dan hal ini telah
disebutkan oleh Imam Asy-Syahid dengan jelas. Beliau meminjam istilah
tasawwuf dalam rangka memberikan isyarat kepada tawajjuh tarbawi
al-akhlaqi (orientasi tarbiyah akhlaqi) yang sangat memperhatikan
tazkiyatul qulub wal arwah (pensucian hati dan ruhani).
***
2. Al-Ansyithah Al-Idariyah (berbagai aktiviti pengurusan).
Yang demikian ini kerana jamaah sebagai hizb dan tanzhim memiliki berbagai aktiviti yang beranika ragam:
• Pengeluaran berbagai perintah dan penerapannya, dan
• Pengambilan berbagai keputusan dan pelaksanaannya.
Sebagaimana
lazimnya sebuah lembaga sosial kemanusiaan mempunyai pengurusan dan
anggota, ada ketua dan ada anak buah, ada pimpinan dan ada pengikut.
Demikian juga halnya dengan jamaah muslimah, para qiyadah-nya tercermin
pada para pimpinan pengurusannya, sementara personel jamaah ibarat
anggota sebuah lembaga yang menunaikan kewajiban-kewajibannya dalam
menjalankan berbagai qararat (keputusan), melaksanakan berbagai rencana
serta komitmen terhadap berbagai taujihat (arahan).
Mereka juga berkewajiban menyampaikan berbagai berita, mengamati berbagai fenomena dan menulis taqrir (membuat laporan).
Termasuk
dalam hal ini pula bahawa masing-masing dari qiyadah dan anggota
mempunyai berbagai hak dan kewajiban, di mana pihak yang satunya
berkewajiban melaksanakan hak-hak itu. Adakalanya hal itu adalah
kewajiban syar’i, dan boleh jadi pula hal itu adalah buah dari ibadah.
Semua itu bergantung kepada berbagai kemaslahatan yang menjadi titik
tujuan didirikannya tanzim yang membantu tercapainya
kemaslahatan-kemaslahatan diniyah.
Dalam aktiviti idariyah ini harus
ada titik tengah dan titik ordinasi yang menjadi penghubung antara
pimpinan puncak dengan basis massanya. Titik tangah ini ada pada naqib
yang merupakan pusat nadi mengalirnya harakah idariyah (gerakan
management). Ia ibarat pengikut di hadapan qiyadah dan ia ibarat imam di
hadapan afrad. Atau dengan bahasa lain, ia adalah pimpinan dan yang
dipimpin sekaligus.
Masalah ini tetap akan berterusan sehingga saat
nasyath idari (aktiviti pengurusan) berubah menjadi nasyath askari
(aktiviti askari), atau tanfidz siyasi (pelaksanaan politik).
Jadi,
Naqib adalah seorang jundi yang taat dan pada masa yang sama ia adalah
qaid (pimpinan) yang mengeluarkan perintah kepada saudara-saudaranya di
bawah.
***
3. Al-Ansyithah Ats-Tsaqafiyah (berbagai aktiviti tsaqafiyah).
Jamaah muslimah sebagai harakah salafiyah (gerakan salaf) mengimani bahawa al-‘ilmu asasul ‘amal (ilmu adalah asas amal).
Jadi,
di dalam usrah terdapat madrasah tsaqafiyah mutakamilah (sekolah
terpadu tempat mengasah wawasan). Melalui usrah jamaah muslimah
bersemangat untuk mengadakan:
• At-tastqif asy-syar’i (pengasahan wawasan syari’ah) dengan kepelbagaiannya, seperti:
• Belajar Al-Qur’an dan melakukan kajian terhadapnya.
• Ilmu hadis.
• Kajian dasar-dasar fiqih.
• Prinsip-prinsip aqidah, dan lain-lain.
• At-tastqif bist-tsaqafah al-‘ammah (pengasahan wawasan umum), seperti:
• Sejarah manusia.
• Sejarah Islam.
• Pelbagai skill kehidupan, dan lain-lain.
‘Amaliyah
tsaqafiyah (proses pengasahan wawasan) ini –walaupun masih banyak
tempat-tempat yang menjadi pilihan- namun, intinya, atau minima
pelurusan dan penentuan alurnya dilakukan dalam ‘amaliyah tsaqafiyah
yang diselenggarakan di dalam usrah. Hal ini mendorong –mau tidak mau-
bagi:
Berjalannya fungsi naqib sebagai ustaz dan mu’allim di hadapan saudara-saudaranya.
Keharusan
untuk selalu mendapatkan bekalan-bekalan secara berterusan dari para
qiyadah da’wah dan para pemikirnya dalam menuntut ilmu, dan jadilah dia
di hadapan mereka sebagai seorang siswa yang belajar.
Dengan demikian, secara automatik naqib juga menjadi:
Markaz wa jauhar al-‘amaliyah at-tarbawiyah (center dan inti dari proses tarbiyah),
Dia adalah titik sambung antara mengambil dan memberi.
Pihak
yang secara istimrar (berterusan) berkewajiban menjadi siswa yang
belajar yang terus menyerap ilmu dari pihak lainnya, dan pada saat yang
sama..
Ia menjadi seorang yang aktif yang mampu memberi sebagai seorang mu’allim dan ustaz.
***
Salah
satu kewajiban naqib yang sangat banyak itu, di samping perananya
sebagai murabbi (pendidik), munazhzhim (pengorganisasian), dan mudir
(pengurus), ia juga berperanan sebagai mu’allim (guru) yang menjalankan
‘amaliyatut-ta’lim ad-da’awi wal fikri (proses pengajaran dakwah dan
fikrah) dalam ruang lingkup jamaah, melalui usrah atau di luar usrah
melalui berbagai ceramah, kajian rutin dan pertemuan-pertemuan. Dan dia,
saat menjalankan proses ini, bererti sedang menjalankan kewajiban
syar’i yang sangat besar, sesuai dengan kemampuannya. Di hadapan
saudara-saudaranya, ia adalah seorang guru, walaupun yang ia sampaikan
hanya satu ayat dari Al-Qur’an, bagaimana halnya kalau dia menjadi guru
pertama mereka dalam ilmu-ilmu syari’ah yang beraneka ragam itu.
Ditambah lagi bahawa saudara-saudaranya juga mengambil daripadanya
pelajaran fikr islami untuk pertama kalinya, bahkan, darinya terambil
berbagai manhaj jamaah, pokok-pokoknya, prinsip-prinsip dakwah dan
tradisi-tradisi dakwah. Kerana inilah, peranan naqib sangatlah besar
dalam al-‘amaliyah at-ta’limiyah (proses pengajaran) dalam jamaah
muslimah.
Kerana peranannya yang besar inilah, seorang naqib
memerlukan pengetahuan dan komitmen terhadap pendekatan dalam
al-‘amaliyah at-ta’limiyah (proses pengajaran) ini.
Justeru itu, kita
boleh saja mengambil pelajaran dari aadabul muhaddits (pendekatan
seorang ahli hadis) yang layak bagi seorang murabbi atau naqib,
khususnya dalam usrah.
“… Seorang muhaddis (baca: murabbi atau naqib)
berkewajiban meluruskan niat, membersihkan hatinya dari tujuan-tujuan
duniawi … dan jangalah ia menolak melakukan tahdis atau proses
periwayatan hadis (baca: tarbiyah dalam arti proses pembinaan) kepada
seseorang dengan alasan seseorang itu tidak lurus niatnya, sebab,
seseorang itu boleh diharapkan –melalui tahdis (baca: tarbiyah)
kelurusan niatnya, dan hendaklah ia (muhaddits, baca: murabbi)
bersemangat menyebar luaskan hadis (baca: bahan tarbiyah) dengan
mengharapkan besarnya pahala yang akan diperoleh … hendaklah ia
(muhaddits, baca: murabbi) membuka dan menutup majlisnya dengan
hamdalah, shalawat kepada nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan doa
yang tepat, hendaklah ia menyiapkan seorang pembaca Al-Qur’an yang bagus
suaranya untuk membaca sedikit ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam meriwayatkan
hadis (baca: menyampaikan bahan tarbiyah) janganlah melaluinya saja yang
menyebabkan tidak difahaminya hadis (baca: bahan tarbiyah) itu atau
sebahagiannya … dan hendaklah ia memohon kepada Allah -subhanahu
wata’ala- agar mendapatkan taufiq (ketepatan), tasdid (pelurusan) dan
taisir (kemudahan), dan hendaklah ia komitmen terhadap berbagai akhlaq
dan pendekatan mulia, kemudian, hendaklah ia mengerahkan seluruh jerih
payahnya dalam rangka menguasai hadis (baca: bahan tarbiyah) itu dan
mengoptimumkan pemahamannya …”.
(Taqribun-Nawawi, sila rujuk pada tadribur-rawi syarah taqribun-nawawi, juz: 2 hal. 127 – 141)
Begitulah
hendaknya seorang da’i dalam kapasitinya sebagai mu’allim boleh dikutip
dari adabul muhaddits (pendekatan seorang ahli hadis) yang disebutkan
oleh Imam Al-Ghazali –rahimahullah. Beliau menyebutkan bahawa adab
seorang muhaddis adalah:
“… Bertujuan shidiq (benar), menjauhi dusta,
meriwayatkan hadis yang masyhur serta meriwayatkan daripada orang-orang
tsiqat (terpercaya) … tidak menyebutkan khilaf yang ada di antara
sesama salaf, ma’rifatuz-zaman (mengenali zaman), menjaga diri agar
tidak tersasul dan salah tulis, lahn (kesalahan baca ) dan tahrif
(perubahan) … tetap komitmen dengan pekerti tawadhu’ dan sebahagian
besar hadis yang diriwayatkannya membawa manfaat bagi kaum muslimin …
dan tidak meriwayatkan hadis yang pada asalnya tidak diamalkan …”.
(Al-Adab fid-diin, karya Al Ghazali hal. 5)
Harap
diperhatikan bahawa termasuk dalam pengertian al-hadis al-masyhur dalam
perkataan Imam Al-Ghazali (dengan menggunakan metode qiyas (analogi)
adalah segala hal yang bermanfaat dan dikenal oleh masyarakat, bukan:
• Masalah-masalah yang pelik-pelik.
• Hadis-hadis fitnah.
• Mencari berita-berita yang meresahkan.
Termasuk
dalam pengertian komitmen untuk tidak menyebutkan khilaf antara sesama
salaf –meskipun hal ini merupakan tuntutan- adalah:
• Menceritakan hal-hal yang masih khilaf.
• Hadis-hadis fitnah.
• Khilaf dan pertikaian antara sesama qiyadah da’wah.
Sedangkan yang dimaksud dengan ma’rifatuz-zaman adalah:
• Memperhatikan al-wa’yu al-hadhari al-‘am (kesedaran peradaban umum).
• Mengenali berbagai peristiwa yang sedang terjadi.
• Mengikuti berbagai perkembangan berita politik dan sosial.
Seorang
naqib hendaklah selalu mengingat bahawa dia adalah seorang mu’allim
murabbi (guru yang mendidik) yang menjalani peranan sebagai ad-da’iyah
al-qudwah (dai teladan), yang mentarbiyah dengan suluk (perilaku),
sebagaimana mentarbiyah dengan kata-kata, bukan sekadar mentarbiyah
dengan ilmu yang melaksanakan risalatul ‘ilmi (misi ilmu) tanpa disertai
hararatur-ruh (kehangatan rohani) dan melepaskan kendali tadris
(pengajaran) tanpa disertai hati.
Perlu diketahui bahawa al-’amaliyah
at-tarbawiyah (proses tarbiyah) dalam jama’ah muslimah adalah ‘amaliyah
tarbawiyah yang menuntut adanya iltizam biqawa’idi rabbaniyyatit-ta’lim
(komitmen terhadap kaedah-kaedah ke-rabbaniyan dalam ta’lim yang di
antara kandungannya adalah:
• Ta’allumul mawazin wal qawa’id (mempelajari timbangan-timbangan dan kaedah-kaedah).
• Al-Bidayah bil ahamm la bil ashal (memulai dengan yang terpenting, bukan yang termudah).
•
Tathbiqul mumarasat ash-shahihah wal badzli la jam’ul ma’lumat
(pengamalan praktik yang benar dan semangat memberi bukan
menginventasisasi informasi atau pengetahuan).
• At-Tamassuk bil jawahir la bil qushur (berpegang teguh kepada inti bukan kulit).
•
Al-Iltizam bil auwlawiyat ‘inda tazahumidh-dharurat (komitmen dengan
prioriti semasa terjadi desakan atau kepadatan berbagai keperluan
semasa).
• Daf’ul mafasid ‘ala maqadiri rutabiha (menolak kerosakan sesuai dengan tingkatannya).
• Istihshalil mashalih hasba darajatiha (mengupayakan tercapainya berbagai kemaslahatan sesuai dengan derajatnya).
• Mura’atul isti’dadat an-nafsiyah (memperhatikan potensi-potensi kejiwaan).
• Akhdzul ‘ulum hasba maratibiha wa ahammiyyatuha (mengambil ilmu berdasarkan tingkatan dan urgensinya).
• Dan lain-lain yang telah dijelaskan panjang lebar di tempat lain.
***
Tidak
diragukan lagi bahawa termasuk akhlaq seorang da’i yang objektif, dalam
kapasitasnya sebagai mu’allim murabbi hendaklah ia menisbahkan ilmu
kepada yang memilikinya dalam rangka:
• Menolak dugaan kesombongan.
• Mengembalikan keutamaan kepada pemiliknya.
• Memberikan irsyad (bimbingan) kepada para da’i untuk kembali kepada sumber-sumber ilmu.
• Al-wafa’ (kesetiaan) kepada ahlul ‘ilmi.
• Tatsbitul haqq (mengokohkan kebenaran), dan
• Menolak dan menghindari bahaya hasad (irihati).
Dalam hal ini Al-Imam As-Suyuthi berkata:
“…
Di antara keberkatan ilmu dan syukur kepadanya adalah menisbahkan ilmu
kepada yang mengatakannya, demikianlah perkataan Al-Hafizh Abu Thahir
As-Salafi … (kemudian Imam Suyuthi menukil perkataan Abu Ubaid yang
mengatakan): Di antara bentuk mensyukuri ilmu adalah engkau mengambil
manfaat dari sesuatu, jika ada sesuatu disebutkan kepadamu engkau
berkata: “Tidak jelas bagiku masalah ini dan ini, dan saya tidak
memiliki pengetahuan dalam hal ini, sehingga si fulan memberikan faedah
dalam hal ini begini dan begini” inilah bentuk mensyukuri ilmu … kerana
inilah engkau tidak melihat diriku menyebut sesuatu dalam
tulisan-tulisan saya satu huruf pun kecuali dalam keadaan tersandarkan
kepada yang mengatakannya dari para ulama’ dengan menjelaskan nama kitab
yang menyebutkan hal itu …”.
(Al-Muzhir fi ‘ulumi al-lughah, karya As-Suyuthi, juz: 2 hal. 164)
Al-Imam Al-Fasi menukil sebahagian kalam ini setelah memberikan prolog demikian:
“…
Tidak syak lagi bahawa termasuk dalam al-madarik al-muhimmah fi bab
ast-tashnif (pemahaman penting dalam menulis kitab) adalah menisbahkan
berbagai faedah dan masalah serta nukat (masalah penting yang tidak
semua orang mampu melihat dan mengetahuinya) kepada para pemiliknya
dalam rangka membebaskan diri dari mengakui sesuatu yang bukan miliknya
dan dalam rangka menjauhkan diri dari labisi tsaubai az-zur (memakai dua
baju kepalsuan) … inilah kaedah kami yang berhasil kami himpun …”.
(Qawa’id ast-tahdits, karya Al-Qasimi, hal. 40)
Kaedah
atau akhlaq yang dulunya menjadi komitmen para ulama’ ini sekarang
mulai meredup, dan sudah menjadi semacam kebanggaan saat seseorang
menyebutkan berbagai masalah indah tanpa menisbahkannya kepada para
pemiliknya, atau sudah menjadi kepelitan dan kekikiran ilmiah kepada
para pemiliknya, atau umumnya kerana kebodohan terhadap kaedah ini.
Kerana inilah menjadi sebuah kemestian untuk mengingatkan hal ini
sebagai salah satu akhlaq murabbi (dan naqib) katika ia menjalani
al-‘amaliyah at-ta’limiyah (proses pengajaran), baik ketika berbicara
maupun ketika berdiskusi atau ketika menulis dan mengarang buku.
***
Sebagaimana
naqib berperanan sebagai titik fokus dalam al-‘amaliyyah at-tarbawiyah,
kerananya ia juga menjadi markazul ‘amaliyah at-ta’limiyah (pusat
proses pengajaran) dalam jama’ah, yang bererti ia berperanan sebagai
mu’allim (guru) bagi orang lainnya, pada saat yang sama, ia adalah
muta’allim (siswa) bagi orang lainnya, baik yang dimaksud dengan “orang
lain” ini adalah orang-orang yang berada di dalam group yang ia pimpin,
ataupun orang-orang yang berada di bawah ke-amir-annya, ataupun para
ulama’, da’i dan fuqaha yang sama sekali tidak ada ikatan tanzimi
dengannya, bahkan mereka berasal dari luar jama’ah, dan “persiswaan” ini
ada dalam salah satu cabang pengetahuan, atau salah satu bahagian dari
syari’ah, bahkan sampaipun hanya dalam satu masalah tertentu saja,
mengingat bahawa ijtihad memang boleh dibahagi-bahagikan. Intinya bahawa
sang naqib atau murabbi belajar dalam satu bidang tertentu, atau salah
satu ilmu dari orang-orang yang berada di bawah ke-amir-annya, dan tidak
ada malu dalam ilmu dan semua dimudahkan kepada apa yang ia dicipta
untuknya.
Di atas semua itu, sang naqib atau murabbi juga
berkewajiban mencari pengetahuan dan mengambilnya manapun juga, selama
ia telah yakin mampu mencegahnya dari penyimpangan pemikiran atau
inhiraf aqidi (penyimpangan aqidah), atau al-iltiwa’ al-haraki
(penyimpangan harakah). Bahkan, seorang naqib atau da’i yang berjaya dan
kokoh, dari sela-sela belajarnya, sekaligus ia bisa menjadi guru dan
murabbi terhadap guru dan syeikh-nya, atau teman-teman sebayanya,
melalui:
• Dialog konstruktif.
• Dan diskusi yang berjaya.
Bahkan ia dapat mempengaruhi melalui perilakunya yang “beda” dan akhlaqnya yang mantap.
Ditambah
lagi bahawa proses belajar dari para masyayikh dan ulama’ di luar
jama’ah akan membuka kesempatan kepada para da’i untuk berinteraksi
dengan mereka, mengulas fikrah mereka, bahkan menarik simpati orang lain
terhadap mereka, mempengaruhi mereka dan pandangan-pandangan mereka,
dan sekaligus mengambil manfaat dari majlis dan murid-murid mereka dalam
hal penyebaran fiqih da’wah, penyebaran pemikiran haraki, persiapan
perluasan dokongan awam kepada da’wah dan menarik simpati unsur-unsur
yang mengarah ke sana.
Sesungguhnya, proses belajarnya sang naqib dan
sebahagian da’i kepada para masyayikh dan ulama’ sangatlah penting,
bukan saja kerana adanya:
• Faedah-faedah ilmiah, dan
• Interaksi dengan orang ramai, bahkan hal ini juga merupakan....
Bermanfaat
untuk simpanan tenaga besar jamaah dalam proses ilmiah. Sebab,
biasanya, para masyayikh itu lebih banyak mempunyai waktu, terlebih lagi
bahawa mereka lebih itqan terhadap sebahagian ilmu, misalnya: tajwid,
tafsir, fiqih, hadis dan ilmu-ilmu bahasa, yang boleh jadi itqan seperti
itu tidak dimiliki oleh personel jama’ah. Dan jika ada sebahagian
personel jama’ah yang menguasainya secara itqan, namun, kewajibannya
yang sangat banyak akan menghalanginya untuk melakukan proses
pengajaran.
Belajar kepada masyayikh di luar jama’ah juga akan
berdampak kepada kasbuts-tsiqah (menggapai tsiqah) mereka secara pribadi
dari satu sisi dan pada sisi lain, jama’ah juga akan mendapatkan
shibghah ijtima’iyah yang akan mencegah terselewengnya jama’ah serta
menjauhnya masyarakat umum dari jama’ah.
Belajar kepada masyayikh di
luar jama’ah juga berdampak kepada adanya dukungan para masyayikh dan
ulama’ itu kepada jama’ah, bahkan boleh jadi mereka juga akan bergabung
dengan jama’ah yang bererti akan semakin menambah kokohnya jama’ah itu,
serta mampu menolak berbagai isu dan syubhat, dan pada saat yang sama
akan mencegah ekploitasi gerakan-gerakan bid’ah, dan tasawuf yang
menyimpang atau salafi yang berlebihan untuk kepentingan dan tujuan
mereka yang kemungkinan tidak sesuai dengan tujuan-tujuan amal islami
yang lurus.
***
Akan tetapi, di sini ada sejumlah adab yang
menjadi kewajiban para da’i untuk komitmen dengannya ketika ia duduk di
hadapan orang-orang yang memberikan pengajaran kepadanya.
“…
Hendaklah ia mengagungkan gurunya dan orang-orang yang ia mendengar
darinya, sebab hal ini termasuk pengagungan terhadap ilmu dan
sebab-sebab mendapatkan manfaat dari ilmu, hendaklah ia meyakini
keagungan dan keunggulan gurunya, berusaha meraih ridhanya, dan
janganlah berlama-lama dengannya yang sekiranya menjadikannya tidak enak
hati. Hendaklah ia berkonsultasi dengannya dalam berbagai urusan dan
kesibukannya dan bagaimana cara mengoptimalnya berbagai hal tadi. Dan
jika ia mendengar satu hadits, hendaklah ia membertahukan orang lain,
sebab, menyembunyikan hal itu adalah sifat tercela, yang tidak
terjerumus kepadanya selain para penuntut ilmu yang bodoh, dan jika
menyembunyikan ilmu dikhawatirkan menjadi ilmu yang tidak bermanfaat,
sebab, termasuk keberkahan sebuah hadits adalah jika ia disampaikan
kepada orang lain, dan mempublikasikannya adalah keberkahan. Dan
berhati-hatilah jangan sampai rasa malu dan rasa besar menghalanginya
untuk berupaya secara maksimal dalam belajar dan mengambil ilmu dari
orang yang lebih rendah darinya, baik dalam hal nasab maupun usia maupun
dalam hal lainnya. Hendaklah ia bersabar atas kekasaran urusan.
Hendaklah ia memperhatikan yang penting dan janganlah menyia-nyiakan
waktu dalam memperbanyak guru hanya sekedar memperbanyak saja…”.
(At-Taqrib, karya Imam An-Nawawi, silahkan periksa Tadrib Ar-Rawi fi Syarh Taqrib An-Nawawi juz: 2 hal. 145)
Demikian.
(Terjemahan Majalah Al-‘Ain, juz: 2, hal. 166- 172)