.

Senin, 13 Februari 2012

iltizam

Iltizam adalah suatu komitmen yang lahir dari dalam diri (wa’yu dzati) dan bukan sesuatu yang bersifat kamuflase (kepura-puraan)ataupun paksaan.

Menurut Fathi Yakan, iltizam adalah sebuah komitmen terhadap Islam dari hukum-hukumnya secara utuh dengan menjadikan Islam sebagai siklus kehidupan, tolak pikir dan sumber hukum dalam setiap tema pembicaraan dan permasalahan. Sebagaimana perintah Allah Taala dalam, QS. 2:208 agar seorang muslim masuk ke dalam Islam secara kaffah.

Jika seorang muslim telah menjadikan Islam sebagai titik tolak berfikir dalam segala hal maka sikap dan perilakunya bukan sekadar dibuat-buat melainkan dilakukan dengan kesadaran.

Dari ilmu dan pemahaman diharapkan menumbuhkan keyakinan dan iman yang kemudian mensibghah dan pada akhirnya membentuk sikap serta perilaku yang Islami.
Imam syahid Hasan Al-Bana membagi manusia ke dalam tiga kelompok berdasarkan pemahaman dan tingkatan akidahnya:

Kelompok yang menerima iman Islam secara doktrin atau dogmatis yang tidak disertai ilmu dan pemahaman yang memadai. Kualitas keyakinannya minim dan biasanya berubah menjadi keragu-raguan bila ada hal yang menimbulkan keraguan pada dirinya.
Kelompok yang menerima iman Islam karena sesuai dengan logika dan pemikiran bila diungkapkan dengan dalil-dalil berupa logika qurani, maka keimanan dan keyakinan semakin mantap dan bertambah kuat. Hanya saja amalnya masih kurang nampak atau belum terealisir secara baik. Jadi keyakinannya baru sampai tataran logika.

Kelompok yang menerima iman Islam karena memadukan unsur pikir, pemahaman dan ketaatan. Jadi semakin yakin ia akan semakin taat melaksanakan amal shaleh dan memperbaiki ibadahnya hatinya selalu diterangi cahaya Allah.

Indikasi-Indikasi Iltizam

Paling tidak harus ada dua indikator yang menunjukkan bahwa seseorang memiliki iltizam atau komitmen:

Ada indikator lahiriah yang jelas dan kongkrit. Misalnya seorang muslim yang shaleh akan hampir selalu terlihat shalat berjamaah di masjid atau muslimahnya menutup aurat dengan memakai jilbab. Jadi logikanya tidak bisa dibalik bahwa orang yang shalat di masjid belum atau muslimah berjilbab belum tentu baik. Hal tersebut di atas memang tidak bisa digeneralisir dan kita sulit mengatakan seseorang memiliki iltizam jika ia enggan shalat atau enggan ke masjid dan enggan menutup aurat.

Adanya muraqabah dzatiyah. Kita memang tidak boleh hanya mengandalkan muta ba’ah zhahiriyah, melainkan juga harus menumbuhkan muraqabah dzatiyah agar amal yang dilakukan tidak dinodai kepura-puraan, kamuflase, nifaq, dan riya. Artinya di manapun dan dalam situasi dan kondisi yang bagaimanapun apakah ada orang atau tidak, giat atau malas, suka atau tidak suka, dicaci atau di puji kita tetap konsisten dalam melakukan amal shaleh. Sebagaimana Rasulullah saw. berpesan kepada seorang sahabat yang belum mau pulang atau kembali ke daerah asalnya untuk berdakwah.

اتَّقِ اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ

“Bertakwalah kepada Allah di manapun kamu berada dan iringilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik. Dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.”

Urgensi Iltizam

Iltizam merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi seorang muslim apalagi bagi aktivis Islam atau para dai, karena iltizam merupakan indikasi amal yang sangat diperlukan dalam konteks kehidupan berjamaah.

Tidak mungkin ahdaful jamaah dapat terealisir tanpa ada junud atau anggota-anggota jamaah yang akan melaksanakan ahdaf dan beriltizam terhadap uslub untuk mencapai ahdaf tersebut.

Hasan Al-Bana menegaskan bahwa awal kesiapan seseorang untuk memasuki tahapan takwin dan tanfidz ialah jika ia memiliki at thaat kaamilah atau ketaatan yang sempurna. Oleh karena itu sasaran atau ahdaf dalam berjamaah tidak akan terwujud tanpa adanya junud yang komit atau berilitizam dalam melaksanakan uslub untuk mencapai ahdaf.
Padahal jamaah Islam sebagai sebuah harakah yang tertata memiliki ahdaf (tujuan-tujuan) dan berusaha untuk mencapainya ahdaf yang dimaksud ialah mendapatkan mardhatillah, meninggikan kalimat Allah, mengibarkan panji-panji Islam kemudian menegakkan Islam di seluruh muka bumi.

Dalam mencapai ahdaf tersebut jamaah memiliki aqayiz dan auzan (kriteria-kriteria dan aturan-aturan). Berdasarkan kriteria-kriteria dan aturan-aturan tersebut diseleksilah para dai dan aktivis yang layak untuk terlibat dalam jamaah (jadi memiliki pola taqwim). Beberapa di antara kriteria tersebut adalah thaat, iltizam, dan jiddiah (kesungguh-sungguhan).

Sehingga sekalipun ada seorang ulama yang paling bertaqwa atau wara’ namun tidak mau komit atau beriltizam, maka ia tidak layak masuk jamaah dan tidak dianggap sebagai anggota atau a’dha jamaah, melainkan sekadar sebagai seorang muslim yang dicintai jamaah.

Kualitas seorang a’dha dalam jamaah dapat dilihat dari sejauh mana kualitas iltizamnya. Semakin besar kadar keiltizamannya seseorang berdasarkan kriteria-kriteria tersebut di atas, maka semakin berbobot pula kualitas dirinya.

Dua Jenis Iltizam

Iltizam secara umum dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian yakni iltizam terhadap syariat dan iltizam terhadap jamaah.

Iltizam terhadap syariat meliputi aqidah salimah, ibadah shahihah, akhlaq hamidah, dakwah wal jihad, syumul wa tawazun. Sedangkan iltizam terhadap jamaah melingkupi bai’ah, ansyitah, wadzifah, infaq, qararat dan taat kepada pemimpin.
Dimilikinya kedua jenis iltizam tersebut dalam diri seseorang diharapkan akan membentuk manusia yang utuh (insan mutakamil).

1. Iltizam terhadap Syariat

Beriltizam atau memiliki komitmen terhadap aqidah shahihah. Yang dimaksud dengan aqidah salimah ialah akidah yang sehat, bersih dan murni terbebas dari segala unsur nifaq dan kemusyrikan. Dalam QS 2: 165 disebutkan bahwa ada orang–orang yang menjadikan tuhan-tuhan selain Allah sebagai tandingan bagi Allah. Dan mereka mencintai ilah-ilah tandingan tersebut sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang beriman amat sangat dicintainya kepada Allah, dari ayat tersebut terlihat bahwa kita tidak boleh mengambil sesuatu selain Allah sebagai Tuhan yakni sesuatu yang dicenderungi, dicintai, disembah dan mendominasi hidup kita. Demikian pula dalam segala hal prioritas cinta, kita harus meletakkan cinta kepada Allah dan kemudian jihad di jalan-Nya sebagai prioritas pertama dibanding dengan orang tua, anak, suami/istri, kerabat, harta perniagaan atau rumah kediaman (QS 9: 24), seperti nampak pada keikhlasan muhajirin meninggalkan segala-galanya yang ada di Makkah dan keridhaan para sahabat Anshar untuk menolong mereka. Bagi mereka ridha Allah dan Rasul-Nya di atas segala-galanya.

Beriltizam atau berkomitmen terhadap ibadah yang salimah dan istimrar (kontinyu). Seorang a’dha sebagai muslim memiliki kewajiban untuk melakukan ibadah yang shahih terbebas dari segala bid’ah dan khurafat. Dan ia terikat kepada kewajiban tersebut. Sayid Qutb pernah mengatakan bahwa kualitas iltizam seseorang pertama-tama diukur dari komitmennya terhadap shalat baik dari segi ketepatan waktu maupun kekhusyuannya. Shalahuddin Al-Ayyubi, pahlawan pembebasan Al-Quds selalu memantau di malam hari sebelum perang siapa-siapa saja yang tendanya terang karena menegakkan shalat malam dan tilawah Al-Quran dan mereka itulah yang kemudian diberangkatkan ke medan jihad keesokan harinya. Dan ada seorang ulama salafus shaleh yang memimpikan Junaid Al-Baghdadi setelah ia wafat. ketika ditanya apa yang diperhitungkan oleh Allah terhadapnya. Ia ternyata menjawab, “Hilang semua amalku tak ada yang memberi manfaat kecuali beberapa rakaat di waktu malam. Hal itu menunjukkan bobot nilai shalat tahajud.

Memiliki komitmen atau beriltiazam kepada akhlaq hamidah (akhlak terpuji). Akhlaq hamidah jelas harus dimiliki oleh seorang a’dha yang beriltizam. Dan akhlaq hamidah yang dimaksud tentu saja akhlak yang Islami dan qurani. Sebagaimana mana Rasulullah diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia dan dipuji Allah sebagai orang yang berbudi pekerti agung. (QS 68: 4) Aisyah ra. Mengatakan bahwa akhlak beliau adalah Al-Quran. Artinya jika ingin melihat bagaimana Al-Quran dijabarkan secara konkret dalam sikap, perilaku, dan tindak tanduk di segala aspek kehidupan, lihatlah diri Rasulullah. Rasulullah boleh dikatakan “the living quran” atau Al-Quran yang hidup. Bila seorang dai memiliki akhlak yang Islami ia akan mendapat manfaat antara lain bahwa dirinya patut menjadi teladan. Akhlak terpujinya itu juga menjadi daya tarik dakwah dan dirinya juga akan selalu terhindar dari fitnah. Rasulullah saw misalnya pernah dikatakan dukun, tukang sihir, gila dan sebagainya, tetapi akhirnya fitnah-fitnah itu terlepas dengan sendirinya melihat keutamaan pribadi Rasulullah. Begitu pula fitnah keji berupa tuduhan zina terhadap ummul mukiminin Aisyah ra yang dikenal dengan peristwa ‘haditsul ifki’. Beliau akhirnya mendapatkan pembelaan langsung dari Allah dalam surat An-Nur.

Komit atau memiliki iltizam terhadap dakwah wa jihad, dakwah dan jihad. Seorang a’dha yang memiliki komitmen terhadap jamaah dengan harakah, tentu saja harus memiliki iltizam terhadap dakwah dan jihad. Dakwah dan jihad memang tidak bisa dipisahkan satu sama lain seperti dua sisi mata uang. Dakwah adalah upaya untuk meraih keberuntungan di sisi Allah dengan jalan menyeru kepada kebaikan, menyuruh orang berbuat ma’ruf dengan mencegah yang mungkar (QS 3: 104). Sedangkan keutamaan jihad sudah tidak diragukan lagi. Bahkan dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang tidak pernah melakukan jihad dan tidak pernah berniat untuk berjihad, maka matinya dalam keadaan mati jahiliyah” jihad memang dapat dilakukan dengan berbagai bentuk seperti jihad bil mal, bil lisan, dan lain-lain, namun jihad tertinggi adalah qital. Ada konsekuensi logis ketika seseorang beriltizam pada jihad yakni ia juga harus beriltizam terhadap segala sesuatu yang merupakan persiapan untuk itu seperti tarbiah takwiniah yang istimrar dan lain-lain.

Berkomitmen atau beriltizam terhadap syumul wa tawazun. Dienul Islam ajaran yang syamil (integral, komprehensif) dan mutakamil (utuh) serta mutawazinah (seimbang). Pendek kata Islam adalah agama yang sempurna dan diridhai Allah (QS 5:3, 3:19) Sebagaimana alam semesta diciptakan sempurna, tidak ada kekurangan (QS 67: ) dan dalam harmoni tawazun (keseimbangan) seperti dalam (QS 55: 7-9), maka manusia pun bagian dari alam semesta diciptakan Allah dalam keadaan sebaik-baik rupa (QS 95: ). Umat Islam juga dikatakan sebagai “umatan wasatha’“ (umat pertengahan). Ajaran sarat dengan kesyumuliahan dan ketawazunan. misalnya ajaran Islam menyentuh seluruh aspek kehidupan mulai dari hal sepele sampai yang paling berat dan kompleks, (syamil). Kemudian Islam mengajarkan manusia berikhtiar maksimal (QS 13: 11) tetapi juga menyuruh bertawakal (QS 65: ). Islam melarang manusia kikir, tetapi juga tidak membolehkan berlaku boros, israf ataupun melakukan kemubadziran. Jadi seorang a’dha dalam Iltizamnya terhadap syariah harus memiliki komitmen pada syumuliatul dan ketawazunan Islam.

2. Al-Iltizam Bil Jamaah

a. Iltizam terhadap bai’ah.

إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ وَالْقُرْءَانِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (QS 9: 111)

Satu-satunya ayat Al-Quran yang berkaitan dengan masalah harta dan jiwa, tetapi mendahulukan jiwa adalah ayat di atas. Dan transaksi ‘jual-beli’ antara Allah sebagai pembeli dan mukmin sebagai penjual ini erat kaitannya dengan masalah bai’ah. Sikap iltizam terhadap bai’ah yang telah diucapkan nampak jelas pada tokoh Anshar, Nusaibah binti Ka’ab dan Habibi bin Zaid. Nusaibah dengan bai’ah Aqabah II, bertempur mati-matian melindungi dan menjadi perisai Rasulullah di perang Uhud tatkala kebanyakan tentara Islam lain kocar-kacir panik terhadap serangan balik mendadak Khalid bin Walid. Atau Habib bin Zaid yang disiksa Musailamah Al-Kadzab karena tidak mau mengakuinya sebagai nabi, tidak rela menodai bai’ah yang telah Habib bin Zaid diucapkannya walaupun untuk itu ia harus menebusnya dengan nyawa. Tubuhnya dicabik-cabik dan disayat-sayat selagi masih hidup. Sekali kita mengucapkan bai’ah seumur hidup kita terikat untuk beriltizam kepadanya.

b. Komit terhadap ansyithah (kegiatan-kegiatan) baik yang kharijiah (eksternal) maupun dakhiliyah (internal). Seorang a’dha seyogianya memiliki komitmen terhadap semua ansyithah (kegiatan) dalam jamaah baik yang bersifat dakhiliyah (internal) maupun kharijiah (eksternal). Kegiatan internal seperti berusaha selalu hadir dengan tepat waktu dalam acara rutin liqa’ usari dan liqa’ tatsqifi serta daurah-daurah pembekalan dan pengayaan seperti daurah siyasi, daurah murabbi, jalasah ruhiyah dan lain-lain yang diadakan secara berkala. Kemudian bila jamaah terutama dalam era hizbiyah/kepartaian ini banyak melakukan manuver-manuver keluar seperti bakti sosial di daerah-daerah bencana, pengerahan logistik berupa nasi bungkus untuk acara ‘muzhaharah’, penggalangan masa atau demo, tentu saja semuanya harus diikuti pula dengan penuh semangat. Intensitas keterlibatan kita yang tinggi dengan semua kegiatan jama’ah insya Allah akan membuat iltizam kita kepada jamaah semakin kokoh.

c. Beriltizam terhadap wazhifah (tugas-tugas) yang dibebankan jamaah kepadanya. Iltizam atau komitmen terhadap tugas yang dipikulkan pada kita merupakan aspek yang pokok dan mendasar dalam hubungan struktural tanzhim, seorang a’dha harus menyesuaikan diri dengan segala tugas yang dipikulkan ke pundaknya. Baik tugas itu disukai atau tidak dan baik ia sedang rajin maupun malas. Bukan tugas atau wadzhifah yang harus disesuaikan dengan kondisi dirinya, melainkan a’dha tersebut yang harus menyesuaikan diri dengan tugas-tugas yang diamanahkan kepadanya. Sikap seorang a’dha dalam masalah wadzhifah tanzhimiyah hendaklah bijak. Ia tidak akan pernah mencari-cari atau meminta jabatan ataupun wadzhifah tanzhimiyah, namun bila kemudian diamanahi, ia tidak boleh mengelak atau menolak. Seperti Said bin Amir yang dimarahi oleh Umar bin Khathab karena tidak mau mengemban amanah sebagai gubernur di Himsh (Suriah sekarang). “Celaka engkau hai Said, kau bebankan di pundakku beban yang berat (dibaiah sebagai amirul mu’minin), tetapi kau tak mau membantuku “ Akhirnya barulah Said bin Amir mau menerima amanah tersebut.

d. Iltizam atau komit terhadap infaq, baik yang wajib maupun yang sunnah. Sahabat ada yang pernah meminta cuti atau dispensasi (keringanan) dalam hal jihad dan infaq. Rasulullah pun menjawab dengan sangat tajam, “Wa la shadaqah wa la jihadu fiima tadkhulul jannata araan? “Tidak mau bersedekah dan tidak berjihad, jadi dengan apa kalian akan memasuki surga“. Keutamaan berinfaq atau berjuang dengan harta dan jiwa (QS 9: 111, 61:10-11) sangat sering diungkapkan dalam firman-firman Allah. Bahwa ia akan membalasnya dengan beratus-ratus kali lipat, bahkan dengan surga. Bahkan contoh-contoh keutamaan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdurahman bin Auf, Sa’ad bin Raby, Abu Thalhah dan Ummu Sulaim, Aisyah dan Asma binti Abu Bakar, Zainab binti Jahsy, Khadijah, dan lain-lain terukir indah dalam sejarah Islam. Maka suatu kewajaranlah bila kita yang telah berbaiat ini terikat untuk memenuhi kewajiban berinfaq, baik yang wajib maupun yang sunnah.

e. Beriltizam terhadap qararat (keputusan-keputusan) jamaah. Seorang a’dha muntadzim yang bukan hanya beriltizam terhadap syariat tetapi juga pada jamaah seharusnya selalu berada dalam shaf jamaah. Ia berusaha menjalankan tugasnya sebaik-baiknya di manapun ia diputuskan oleh jamaah untuk ditempatkan. Bahkan dalam hadits dikatakan, “Surga untuk seorang hamba jika ia mendapat bagian jaga ia berjaga dengan baik.” Ia pun akan komit pada kebijakan-kebijakan dan aturan-aturan jamaah dalam amal dan uslub dakwah. Ia terikat dengan keputusan-keputusan, kebijakan-kebijakan jamaah dengan perintah-perintah qiyadah. Sekalipun bertentangan dengan keinginan dan pendapat pribadi. Hendaknya kita harus selalu berprasangka baik bahwa keputusan tersebut adalah yang paling tepat untuk mendatangkan kemaslahatan. Kita bisa mengambil ibrah dari fiqhus shalat agar senantiasa taat dan husnuz zhan pada qiyadah. Dalam shalat bila kita sebagai ma’mum sedang membaca al-fatihah, tetapi imam sudah takbir akan ruku, kita harus segera mengikuti imam, walaupun kita belum siap atau belum selesai membaca al-fatihah.

f. Komit terhadap “tha’atul qiyadah” taat terhadap pemimpin. Ketaatan seorang muslim yang total, utuh dan bulat, memang hanya kepada Allah dan Rasul-Nya (QS 3: 31, 32, 132, 4: 59, 80). Namun di ayat 4: 59 itu pun disebutkan kewajiban taat kepada pemimpin atau ulil amri yang beriman sepanjang tidak dalam rangka kemaksiatan dijalan Allah. Karena laa thaata li makhluqin fi ma’siatil Khaliq’ (tidak ada kewajiban taat kepada makhluk dalam rangka maksiat kepada Sang Pencipta). Seorang a’dha yang telah mengucapkan bai’ah untuk taat dalam giat atau malas, suka atau tidak suka keadaan harus menaati qiyadahnya atau naqibnya sebagai sosok kepemimpinan dalam jamaah yang terdekat dengannya.

Untuk mengefektifkan iltizam seorang a’dha baik dalam ruang lingkup syar’i maupun tanzhimi, hendaknya seorang a’dha memiliki pemahaman yang baik tentang perjalanan yang benar dalam melakukan amal Islam yang kemudian keimanan dan ketakwaan yang senantiasa terjaga.

Iltizam kepada kewajiban-kewajiban syariah membuat seorang muslim menjadi syakhshiyah muslimah atau pribadi Islami. Segala sikap dan tindak–tanduknya tidak akan menyimpang dari koridor syar’i.

Dan bila ia kemudian memiliki cita-cita luhur tak hanya ingin menjadi shalih atau shalihah, namun juga berusaha membuat orang lain menjadi shalih (muslih), maka ia akan berjuang bersama dalam sebuah jamaah atau gerakan dakwah. Ia bergabung dengan harakah yang bertujuan membebaskan negeri-negeri Islam, menyadarkan umatnya dalam menyerukan kalimat-Nya di muka bumi. Bergabungnya ia dengan gerakan dakwah tersebut membuat ia terikat atau beriltizam dengan kewajiban-kewajiban yang ada dalam jamaah tersebut. Maka jadilah syaksiah harakiah atau pribadi yang haraki, dinamis bergerak dan berjuang.

Seorang a’dha yang dalam dirinya terdapat kedua jenis iltizam tadi, maka ia muncul menjadi syakhshiyah muslimah mutakamilah atau pribadi Islami yang utuh.
Semakin banyak orang yang terbentuk menjadi syakhshiyah muslimah mutakamilah insya Allah harapan Syahid Sayid Qutb, “A- Mustaqbal li haadza dien” (Masa Depan Di Tangan Islam) akan dapat terwujud. Amin
Wallahu a’lam
Iltizam Syari'at
Yang mosting: Mulki Rakhmawati
16 Juli 2009
Menurut Fathi Yakan, iltizam adalah komitmen terhadap Islam dan hukum2nya secara utuh dengan menjadikan Islam sebagai siklus kehidupan, tolak pikir, dan sumber hukum dalam setiap tema pembicaraan dan permasalahan. Sebagaimana perintah Allah ta’ala dalam QS 2: 208 agar seorang mukmin masuk ke dalam Islam secara kaffah.

Iltizam secara umum dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yakni terhadap syariat dan terhadap jamaah. Iltizam terhadap syariat meliputi aqidah salimah, ibadah shahihah, akhlaq hamidah, dakwah wal jihad, syumul wa tawazun. Sedangkan iltizam erhadap jamaah meliputi bai’ah, ansyitah, wadzifah, infaq, qararat, dan taat kepada pemerintah.

Iltizam terhadap aqidah salimah, aqidah yang sehat, bersih, dan murni terbebas dari segala unsure nifaq dan kemusyrikan. Daam 2: 165 disebutkan bahwa ada orang2 yang menjadikan tuhan2 selain Allah sebagai tandingan bagi Allah. Dan mereka mencintai ilah2 tandingan tersebut sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang2 berimana amat sangat dicintainya kepada Allah, dari ayat tersebut terlihat bahwa kita tidak boleh mengambil sesuatu selain Allah sebagai Tuhan yakni sesuatu yang dicenderungi, dicintai, disembah, dan mendominasi hidup kita. Demikian pula dalam segala hal prioritas cinta, kita harus meletakkan cinta kepada Allah dan kemudian jihad di jalanNya sebagai prioritas pertama dibanding dengan orang tua, anak, suami/ istri, kerabat, harta perniagaan, atau rumah kediaman (QS 9: 24), seperti nampak pada keikhlasan para muhajirin meninggalkan segala-galanya yang ada di Mekkah dan keridhoan para sahabat Anshor untuk menolong mereka. Bagi mereka ridho Allah dan RasulNya di atas segala2nya.

Beriltizam atau berkomitmen terhadap ibadah yang shahihah dan istimror (kontinyu). Seorang a’dha sebagai muslim memiliki kewajiban untuk melakukan ibadah shahih terbebas dari segala bid’ah dan kurafat. Dan ia terikat kepada kewajiban tersebut. Sayid Quthb pernah mengatakan bahwa kualitas iltizam seseorang pertama2 diukur dari komitmennya terhadap sholat baik dari segi ketepatan waktu maupun kekhusyuannya. Shalahuddin Al Ayyubi, pahlawan pembebasan Al-Quds selalu memantau di malam hari sebelum perang siapa2 saja yang tendanya terang karena menegakkan sholat malam dan tilawah Qur’an dan mereka itulah kemudian yang akan diberangkatkan ke medan jihad keesokan harinya. Dan ada seorang ulama salafus shaleh yang memimpikan Junaid Al Baghdadi setelah ia wafat, ketika ditanya apa yang diperhitungkan Allah kepadanya, ia ternyata menjawab, ”hilang semua amalku tak ada yang memberi manfaat kecuali beberapa rakaat di waktu malam. Hal ini menunjukkan bobot nilai shalat tahajud.”

Memiliki komitmen atau beriltizam kepada akhlak hamidah (akhlak terpuji). Akhlak hamidah jelas harus dimiliki oleh seorang a’dha yang beriltizam. Dan akhlak hamidah yang dimaksud tentu saja akhlak yang islami dan Qurani. Sebagaimana Rasulullah SAW diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia dan dipuji Allah sebagai orang yang berbudi pekerti agung (QS 68:4). Aisyah RA mengatakan bahwa akhlak beliau adalah Al-Qur’an. Artinya jika ingin melihat bagaimana Al-Quran dijabarkan secara konkret dalam sikap, perilaku, dan tindak-tanduk di segala aspek kehidupan, lihatlah diri Rasulullah. Rasulullah boleh dikatakan ”the living Quran”. Bila seorang da’i memiliki akhlak yang islami, ia akan mendapat manfaat antara lain bahwa dirinya patut menjadi teladan. Akhlak terpujinya itu juga menjadi daya tarik dakwah dan dirinya juga akan selalu terhindar dari fitnah. Rasulullah SAW, misalnya pernah dikatakan dukun, tukang sihir, gila, dan sebagainya, tetapi akhirnya fitnah-fitnah itu terlepas dengan sendirinya melihat keutamaan pribadi Rasulullah SAW. Begitu pula fitnah keji berupa tuduhan zina terhadap ummul mukminin, Aisyah RA, yang dikenal dengan peristiwa ”haditsul ifki”. Beliau akhirnya mendapatkan pembelaan langsung dari Allah dalam surat An-Nur.

Komit atau memiliki iltizam terhadap dakwah wa jihad. Seorang a’dha yang memiliki komitmen terhadap jamaah dengan harakah, tentu harus memiliki iltizam terhadap dakwah dan jihad. Dakwah dan jihad memang tidak bisa dipisahkan satu sama lain seperti dua sisi mata uang. Dakwah adalah upaya untuk meraih keberuntungan di sisi Allah dengan jalan menyeru pada kebaikan, menyuruh orang berbuat ma’ruf, dan mencegah yang mungkar (QS 3:104). Sedangkan keutamaan jihad sudah tidak diragukan lagi. Bahkan dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda, ”Barangsiapa yang tidak pernah melakukan jihad dan tidak pernah berniat berjihad, maka matinya dalam keadaan jahiliyah, jihad memang dapat dilakukan dalam berbagai bentuk seperti jihad bil mal, bil lisan, dll, namun jihad tertinggi adalah qital. Ada konsekuensi logis ketika seorang beriltizam pada jihad yakni ia juga harus beriltizam terhadap segala sesuatu yang merupakan persiapan untuk itu seperti tarbiyah takwiniah yang istimrar, dll.

Beriltizam atau berkomitmen terhadap syumul wa tawazun. Dienul Islam ajaran yang syamil (integral, komprehensif) dan mutakamil (utuh) serta mutawazinah (seimbang). Pendek kata, Islam adalah agama yang sempurna dan diridhai Allah (QS 3:19, 5:3). Sebagaimana alam semesta diciptakan sempurna, tidak ada kekurangan, dan dalam harmoni tawazun seperti dalam QS 55:7-9, maka manusia pun bagian dari alam semesta diciptakan Allah dalam keadaan sebaik-baik rupa. Umat Islam juga dikatakan sebagai umat wasatha/pertengahan. Ajaran sarat dengan kesyumuliahan dan ketawazunan, misalnya ajaran Islam menyentuh seluruh aspek kehidupan mulai dari hal sepele sa,pai yang paling berat dn kompleks. Islam melarang manusia kikir, tapi juga tidak membolehkan berlaku boros, israf atau melakukan kemubadziran. Jadi seorang a’dha dalam iltizamnya terhadap syari’ah harus memiliki komitmen pada syumuliatul dan ketawazunan Islam
Dalam tanzim jamaah muslimah, naqib ibarat tiang utama dalam struktur dan bangunan jamaah.
Naqib juga merupakan jantung yang terus berdenyut yang memberi al-hayah (kehidupan), al-hayawiyah (spirit) dan al-harakah (gerakan).
Naqib adalah munaffidz (pelaksana) asasi bagi berbagai proses:

1. Tarbawi (tarbiyah).
2. Tanzhimi (struktur), dan
3. Idari (management).
Pada saat yang sama, naqib ibarat nadi kepada harakah, padanya terdapat:
1. Taujih/khithab qiyadi (pengarahan pemimpin), dan
2. Amal tanfidzi (pelaksanaan amal).
Pada saat yang sama pula, naqib ibarat qanat (saluran) asasi antara qiyadah dan afrad. Melalui saluran inilah:
1. Berbagai awamir (perintah) dan taujihat (pengarahan) turun, dan
2. Berbagai berita dan iqtirahat (cadangan) naik.
Kerana inilah, sesungguhnya dengan membina naqib, membina qudrah (kemampuan)-nya dan membina berbagai karakternya, baik yang bersifat bawaan, maupun yang bersifat empiris merupakan pembinaan terhadap kemampuan berbagai marhalah jamaah dan terhadap kafa-ah-nya untuk ber-harakah dan melakukan intaj (produktiviti). Sesuai dengan kadar yang diperoleh oleh naqib, baik yang berupa sifat-sifat asasi, maupun tarbiyah yang berjaya, sesuai kadar itu pula terletak:
1. Kekuatan bangunan tanzimi.
2. Produktiviti ada’ idari (pelaksanaan management).
3. Kejayaan amaliyah tarbawiyah (proses tarbiyah), dan
4. Keberkatan ansyithah da’awiyah (berbagai aktiviti dakwah).
Mungkin posisi naqib dalam jamaah muslimah itu seperti titik pusat sebuah lingkaran, di mana posisi qiyadah berada di bahagian atas, posisi afrad berada di posisi bawah, sementara berbagai aktiviti yang berada di dalam lingkaran itu mesti melalui naqib yang menghubungkan antara qiyadah dengan afrad tadi. Tidak mungkin bahagian-bahagian dari lingkaran itu sampai kepada arah yang berlawanan, di manapun posisinya, kecuali melalui titik pusat (tengah) itu. Maksudnya: apapun arah sebuah kegiatan, baik dari qiyadah kepada afrad atau sebaliknya, maka naqib merupakan pusat kepada kegiatan itu, dan ia adalah pusat penyelaras kepada gerakan ini, dan darinyalah bertolak berbagai aktiviti.
Berikut ini adalah sebahagian dari aktiviti-aktiviti jamaah muslimah yang asasi -yang dalam gambaran di atas merupakan isi dari lingkaran- yang tidak boleh tidak naqib pasti menjadi pusat asasi dan pusat penghubungnya:
1. Al-‘Amaliyah At-Tarbawiyah (proses tarbiyah).
Hal ini mencakupi:
1. Dirasah Mabadi’ Jama’ah (kajian prinsip-prinsip jamaah).
2. Ta’allumul Fiqhid Da’awi (pembelajaran fiqih dakwah).
3. Thuruqud Da’wah wal Ittishal (metode dakwah dan komunikasi).
4. As-Siyasat Al-’Ammah lil Harakah (siyasat umum harakah).
5. Lawaihul Jama’ah (undang-undang jamaah).
6. Al-Mafahim At-Tarbawiyah (konsep-konsep tarbiyah).
7. Al-‘Ilmu bitarikhid da’wah al-islamiyah (pengetahuan sejarah dakwah Islam).
8. Ma’anil Badzli wat Tadh-hiyah (nilai-nilai infaq dan pengorbanan).
9. Tahammulul Masyaq (daya tahan dalam memikul berbagai kesulitan).
10. Membaca Al-Qur’an, dan mengkaji makna-maknanya.
Semua itu berjalan sesuai dengan manhaj jamaah, dan ta’limat qiyadah yang tidak mungkin sampai kepada afrad kecuali melalui naqib.
11. At-Tarbiyah bis-Suluk (tarbiyah dengan tingkah laku), dan
12. Al-Qudwah al-‘Amaliyah (teladan amali), yang memang menjadi kewajibannya.
Pada satu sudut, seorang naqib mengambil qudwah (teladan) yang baik dari para qiyadah, pada saat yang sama ia adalah teladan bagi saudara-saudaranya di bawah.
Dengan demikian, ia menjadi pihak yang menerima kebaikan, sekaligus menjadi penyebar kebaikan tadi.
Kerana gerakan Ikhwan adalah haqiqatun shufiyah (hakikat kesufian), maka naqib merupakan asas hakikat ini.
Di depan para qiyadah ia adalah seorang murid yang belajar, mempraktikkan dan meneladani, dan di hadapan saudara-saudaranya ia adalah seorang syeikh yang menjadi teladan.
Dengan demikian, naqib merupakan inti tarbiyah sulukiyah, penukil tarbiyah ini dan tali pengait yang menyambungkan hubungan antara generasi dakwah.
Dan jamaah dengan izin Allah terbebas dari berbagai bid’ah tasawwuf, dan manhajnya yang salafi mu’tadil (salafi sederhana) sudah amat dikenal, dan hal ini telah disebutkan oleh Imam Asy-Syahid dengan jelas. Beliau meminjam istilah tasawwuf dalam rangka memberikan isyarat kepada tawajjuh tarbawi al-akhlaqi (orientasi tarbiyah akhlaqi) yang sangat memperhatikan tazkiyatul qulub wal arwah (pensucian hati dan ruhani).
***
2. Al-Ansyithah Al-Idariyah (berbagai aktiviti pengurusan).
Yang demikian ini kerana jamaah sebagai hizb dan tanzhim memiliki berbagai aktiviti yang beranika ragam:
• Pengeluaran berbagai perintah dan penerapannya, dan
• Pengambilan berbagai keputusan dan pelaksanaannya.
Sebagaimana lazimnya sebuah lembaga sosial kemanusiaan mempunyai pengurusan dan anggota, ada ketua dan ada anak buah, ada pimpinan dan ada pengikut. Demikian juga halnya dengan jamaah muslimah, para qiyadah-nya tercermin pada para pimpinan pengurusannya, sementara personel jamaah ibarat anggota sebuah lembaga yang menunaikan kewajiban-kewajibannya dalam menjalankan berbagai qararat (keputusan), melaksanakan berbagai rencana serta komitmen terhadap berbagai taujihat (arahan).
Mereka juga berkewajiban menyampaikan berbagai berita, mengamati berbagai fenomena dan menulis taqrir (membuat laporan).
Termasuk dalam hal ini pula bahawa masing-masing dari qiyadah dan anggota mempunyai berbagai hak dan kewajiban, di mana pihak yang satunya berkewajiban melaksanakan hak-hak itu. Adakalanya hal itu adalah kewajiban syar’i, dan boleh jadi pula hal itu adalah buah dari ibadah. Semua itu bergantung kepada berbagai kemaslahatan yang menjadi titik tujuan didirikannya tanzim yang membantu tercapainya kemaslahatan-kemaslahatan diniyah.
Dalam aktiviti idariyah ini harus ada titik tengah dan titik ordinasi yang menjadi penghubung antara pimpinan puncak dengan basis massanya. Titik tangah ini ada pada naqib yang merupakan pusat nadi mengalirnya harakah idariyah (gerakan management). Ia ibarat pengikut di hadapan qiyadah dan ia ibarat imam di hadapan afrad. Atau dengan bahasa lain, ia adalah pimpinan dan yang dipimpin sekaligus.
Masalah ini tetap akan berterusan sehingga saat nasyath idari (aktiviti pengurusan) berubah menjadi nasyath askari (aktiviti askari), atau tanfidz siyasi (pelaksanaan politik).
Jadi, Naqib adalah seorang jundi yang taat dan pada masa yang sama ia adalah qaid (pimpinan) yang mengeluarkan perintah kepada saudara-saudaranya di bawah.
***
3. Al-Ansyithah Ats-Tsaqafiyah (berbagai aktiviti tsaqafiyah).
Jamaah muslimah sebagai harakah salafiyah (gerakan salaf) mengimani bahawa al-‘ilmu asasul ‘amal (ilmu adalah asas amal).
Jadi, di dalam usrah terdapat madrasah tsaqafiyah mutakamilah (sekolah terpadu tempat mengasah wawasan). Melalui usrah jamaah muslimah bersemangat untuk mengadakan:
• At-tastqif asy-syar’i (pengasahan wawasan syari’ah) dengan kepelbagaiannya, seperti:
• Belajar Al-Qur’an dan melakukan kajian terhadapnya.
• Ilmu hadis.
• Kajian dasar-dasar fiqih.
• Prinsip-prinsip aqidah, dan lain-lain.
• At-tastqif bist-tsaqafah al-‘ammah (pengasahan wawasan umum), seperti:
• Sejarah manusia.
• Sejarah Islam.
• Pelbagai skill kehidupan, dan lain-lain.
‘Amaliyah tsaqafiyah (proses pengasahan wawasan) ini –walaupun masih banyak tempat-tempat yang menjadi pilihan- namun, intinya, atau minima pelurusan dan penentuan alurnya dilakukan dalam ‘amaliyah tsaqafiyah yang diselenggarakan di dalam usrah. Hal ini mendorong –mau tidak mau- bagi:
Berjalannya fungsi naqib sebagai ustaz dan mu’allim di hadapan saudara-saudaranya.
Keharusan untuk selalu mendapatkan bekalan-bekalan secara berterusan dari para qiyadah da’wah dan para pemikirnya dalam menuntut ilmu, dan jadilah dia di hadapan mereka sebagai seorang siswa yang belajar.
Dengan demikian, secara automatik naqib juga menjadi:
Markaz wa jauhar al-‘amaliyah at-tarbawiyah (center dan inti dari proses tarbiyah),
Dia adalah titik sambung antara mengambil dan memberi.
Pihak yang secara istimrar (berterusan) berkewajiban menjadi siswa yang belajar yang terus menyerap ilmu dari pihak lainnya, dan pada saat yang sama..
Ia menjadi seorang yang aktif yang mampu memberi sebagai seorang mu’allim dan ustaz.
***
Salah satu kewajiban naqib yang sangat banyak itu, di samping perananya sebagai murabbi (pendidik), munazhzhim (pengorganisasian), dan mudir (pengurus), ia juga berperanan sebagai mu’allim (guru) yang menjalankan ‘amaliyatut-ta’lim ad-da’awi wal fikri (proses pengajaran dakwah dan fikrah) dalam ruang lingkup jamaah, melalui usrah atau di luar usrah melalui berbagai ceramah, kajian rutin dan pertemuan-pertemuan. Dan dia, saat menjalankan proses ini, bererti sedang menjalankan kewajiban syar’i yang sangat besar, sesuai dengan kemampuannya. Di hadapan saudara-saudaranya, ia adalah seorang guru, walaupun yang ia sampaikan hanya satu ayat dari Al-Qur’an, bagaimana halnya kalau dia menjadi guru pertama mereka dalam ilmu-ilmu syari’ah yang beraneka ragam itu. Ditambah lagi bahawa saudara-saudaranya juga mengambil daripadanya pelajaran fikr islami untuk pertama kalinya, bahkan, darinya terambil berbagai manhaj jamaah, pokok-pokoknya, prinsip-prinsip dakwah dan tradisi-tradisi dakwah. Kerana inilah, peranan naqib sangatlah besar dalam al-‘amaliyah at-ta’limiyah (proses pengajaran) dalam jamaah muslimah.
Kerana peranannya yang besar inilah, seorang naqib memerlukan pengetahuan dan komitmen terhadap pendekatan dalam al-‘amaliyah at-ta’limiyah (proses pengajaran) ini.
Justeru itu, kita boleh saja mengambil pelajaran dari aadabul muhaddits (pendekatan seorang ahli hadis) yang layak bagi seorang murabbi atau naqib, khususnya dalam usrah.
“… Seorang muhaddis (baca: murabbi atau naqib) berkewajiban meluruskan niat, membersihkan hatinya dari tujuan-tujuan duniawi … dan jangalah ia menolak melakukan tahdis atau proses periwayatan hadis (baca: tarbiyah dalam arti proses pembinaan) kepada seseorang dengan alasan seseorang itu tidak lurus niatnya, sebab, seseorang itu boleh diharapkan –melalui tahdis (baca: tarbiyah) kelurusan niatnya, dan hendaklah ia (muhaddits, baca: murabbi) bersemangat menyebar luaskan hadis (baca: bahan tarbiyah) dengan mengharapkan besarnya pahala yang akan diperoleh … hendaklah ia (muhaddits, baca: murabbi) membuka dan menutup majlisnya dengan hamdalah, shalawat kepada nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan doa yang tepat, hendaklah ia menyiapkan seorang pembaca Al-Qur’an yang bagus suaranya untuk membaca sedikit ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam meriwayatkan hadis (baca: menyampaikan bahan tarbiyah) janganlah melaluinya saja yang menyebabkan tidak difahaminya hadis (baca: bahan tarbiyah) itu atau sebahagiannya … dan hendaklah ia memohon kepada Allah -subhanahu wata’ala- agar mendapatkan taufiq (ketepatan), tasdid (pelurusan) dan taisir (kemudahan), dan hendaklah ia komitmen terhadap berbagai akhlaq dan pendekatan mulia, kemudian, hendaklah ia mengerahkan seluruh jerih payahnya dalam rangka menguasai hadis (baca: bahan tarbiyah) itu dan mengoptimumkan pemahamannya …”.
(Taqribun-Nawawi, sila rujuk pada tadribur-rawi syarah taqribun-nawawi, juz: 2 hal. 127 – 141)
Begitulah hendaknya seorang da’i dalam kapasitinya sebagai mu’allim boleh dikutip dari adabul muhaddits (pendekatan seorang ahli hadis) yang disebutkan oleh Imam Al-Ghazali –rahimahullah. Beliau menyebutkan bahawa adab seorang muhaddis adalah:
“… Bertujuan shidiq (benar), menjauhi dusta, meriwayatkan hadis yang masyhur serta meriwayatkan daripada orang-orang tsiqat (terpercaya) … tidak menyebutkan khilaf yang ada di antara sesama salaf, ma’rifatuz-zaman (mengenali zaman), menjaga diri agar tidak tersasul dan salah tulis, lahn (kesalahan baca ) dan tahrif (perubahan) … tetap komitmen dengan pekerti tawadhu’ dan sebahagian besar hadis yang diriwayatkannya membawa manfaat bagi kaum muslimin … dan tidak meriwayatkan hadis yang pada asalnya tidak diamalkan …”.
(Al-Adab fid-diin, karya Al Ghazali hal. 5)
Harap diperhatikan bahawa termasuk dalam pengertian al-hadis al-masyhur dalam perkataan Imam Al-Ghazali (dengan menggunakan metode qiyas (analogi) adalah segala hal yang bermanfaat dan dikenal oleh masyarakat, bukan:
• Masalah-masalah yang pelik-pelik.
• Hadis-hadis fitnah.
• Mencari berita-berita yang meresahkan.
Termasuk dalam pengertian komitmen untuk tidak menyebutkan khilaf antara sesama salaf –meskipun hal ini merupakan tuntutan- adalah:
• Menceritakan hal-hal yang masih khilaf.
• Hadis-hadis fitnah.
• Khilaf dan pertikaian antara sesama qiyadah da’wah.
Sedangkan yang dimaksud dengan ma’rifatuz-zaman adalah:
• Memperhatikan al-wa’yu al-hadhari al-‘am (kesedaran peradaban umum).
• Mengenali berbagai peristiwa yang sedang terjadi.
• Mengikuti berbagai perkembangan berita politik dan sosial.
Seorang naqib hendaklah selalu mengingat bahawa dia adalah seorang mu’allim murabbi (guru yang mendidik) yang menjalani peranan sebagai ad-da’iyah al-qudwah (dai teladan), yang mentarbiyah dengan suluk (perilaku), sebagaimana mentarbiyah dengan kata-kata, bukan sekadar mentarbiyah dengan ilmu yang melaksanakan risalatul ‘ilmi (misi ilmu) tanpa disertai hararatur-ruh (kehangatan rohani) dan melepaskan kendali tadris (pengajaran) tanpa disertai hati.
Perlu diketahui bahawa al-’amaliyah at-tarbawiyah (proses tarbiyah) dalam jama’ah muslimah adalah ‘amaliyah tarbawiyah yang menuntut adanya iltizam biqawa’idi rabbaniyyatit-ta’lim (komitmen terhadap kaedah-kaedah ke-rabbaniyan dalam ta’lim yang di antara kandungannya adalah:
• Ta’allumul mawazin wal qawa’id (mempelajari timbangan-timbangan dan kaedah-kaedah).
• Al-Bidayah bil ahamm la bil ashal (memulai dengan yang terpenting, bukan yang termudah).
• Tathbiqul mumarasat ash-shahihah wal badzli la jam’ul ma’lumat (pengamalan praktik yang benar dan semangat memberi bukan menginventasisasi informasi atau pengetahuan).
• At-Tamassuk bil jawahir la bil qushur (berpegang teguh kepada inti bukan kulit).
• Al-Iltizam bil auwlawiyat ‘inda tazahumidh-dharurat (komitmen dengan prioriti semasa terjadi desakan atau kepadatan berbagai keperluan semasa).
• Daf’ul mafasid ‘ala maqadiri rutabiha (menolak kerosakan sesuai dengan tingkatannya).
• Istihshalil mashalih hasba darajatiha (mengupayakan tercapainya berbagai kemaslahatan sesuai dengan derajatnya).
• Mura’atul isti’dadat an-nafsiyah (memperhatikan potensi-potensi kejiwaan).
• Akhdzul ‘ulum hasba maratibiha wa ahammiyyatuha (mengambil ilmu berdasarkan tingkatan dan urgensinya).
• Dan lain-lain yang telah dijelaskan panjang lebar di tempat lain.
***
Tidak diragukan lagi bahawa termasuk akhlaq seorang da’i yang objektif, dalam kapasitasnya sebagai mu’allim murabbi hendaklah ia menisbahkan ilmu kepada yang memilikinya dalam rangka:
• Menolak dugaan kesombongan.
• Mengembalikan keutamaan kepada pemiliknya.
• Memberikan irsyad (bimbingan) kepada para da’i untuk kembali kepada sumber-sumber ilmu.
• Al-wafa’ (kesetiaan) kepada ahlul ‘ilmi.
• Tatsbitul haqq (mengokohkan kebenaran), dan
• Menolak dan menghindari bahaya hasad (irihati).
Dalam hal ini Al-Imam As-Suyuthi berkata:
“… Di antara keberkatan ilmu dan syukur kepadanya adalah menisbahkan ilmu kepada yang mengatakannya, demikianlah perkataan Al-Hafizh Abu Thahir As-Salafi … (kemudian Imam Suyuthi menukil perkataan Abu Ubaid yang mengatakan): Di antara bentuk mensyukuri ilmu adalah engkau mengambil manfaat dari sesuatu, jika ada sesuatu disebutkan kepadamu engkau berkata: “Tidak jelas bagiku masalah ini dan ini, dan saya tidak memiliki pengetahuan dalam hal ini, sehingga si fulan memberikan faedah dalam hal ini begini dan begini” inilah bentuk mensyukuri ilmu … kerana inilah engkau tidak melihat diriku menyebut sesuatu dalam tulisan-tulisan saya satu huruf pun kecuali dalam keadaan tersandarkan kepada yang mengatakannya dari para ulama’ dengan menjelaskan nama kitab yang menyebutkan hal itu …”.
(Al-Muzhir fi ‘ulumi al-lughah, karya As-Suyuthi, juz: 2 hal. 164)
Al-Imam Al-Fasi menukil sebahagian kalam ini setelah memberikan prolog demikian:
“… Tidak syak lagi bahawa termasuk dalam al-madarik al-muhimmah fi bab ast-tashnif (pemahaman penting dalam menulis kitab) adalah menisbahkan berbagai faedah dan masalah serta nukat (masalah penting yang tidak semua orang mampu melihat dan mengetahuinya) kepada para pemiliknya dalam rangka membebaskan diri dari mengakui sesuatu yang bukan miliknya dan dalam rangka menjauhkan diri dari labisi tsaubai az-zur (memakai dua baju kepalsuan) … inilah kaedah kami yang berhasil kami himpun …”.
(Qawa’id ast-tahdits, karya Al-Qasimi, hal. 40)
Kaedah atau akhlaq yang dulunya menjadi komitmen para ulama’ ini sekarang mulai meredup, dan sudah menjadi semacam kebanggaan saat seseorang menyebutkan berbagai masalah indah tanpa menisbahkannya kepada para pemiliknya, atau sudah menjadi kepelitan dan kekikiran ilmiah kepada para pemiliknya, atau umumnya kerana kebodohan terhadap kaedah ini. Kerana inilah menjadi sebuah kemestian untuk mengingatkan hal ini sebagai salah satu akhlaq murabbi (dan naqib) katika ia menjalani al-‘amaliyah at-ta’limiyah (proses pengajaran), baik ketika berbicara maupun ketika berdiskusi atau ketika menulis dan mengarang buku.
***
Sebagaimana naqib berperanan sebagai titik fokus dalam al-‘amaliyyah at-tarbawiyah, kerananya ia juga menjadi markazul ‘amaliyah at-ta’limiyah (pusat proses pengajaran) dalam jama’ah, yang bererti ia berperanan sebagai mu’allim (guru) bagi orang lainnya, pada saat yang sama, ia adalah muta’allim (siswa) bagi orang lainnya, baik yang dimaksud dengan “orang lain” ini adalah orang-orang yang berada di dalam group yang ia pimpin, ataupun orang-orang yang berada di bawah ke-amir-annya, ataupun para ulama’, da’i dan fuqaha yang sama sekali tidak ada ikatan tanzimi dengannya, bahkan mereka berasal dari luar jama’ah, dan “persiswaan” ini ada dalam salah satu cabang pengetahuan, atau salah satu bahagian dari syari’ah, bahkan sampaipun hanya dalam satu masalah tertentu saja, mengingat bahawa ijtihad memang boleh dibahagi-bahagikan. Intinya bahawa sang naqib atau murabbi belajar dalam satu bidang tertentu, atau salah satu ilmu dari orang-orang yang berada di bawah ke-amir-annya, dan tidak ada malu dalam ilmu dan semua dimudahkan kepada apa yang ia dicipta untuknya.
Di atas semua itu, sang naqib atau murabbi juga berkewajiban mencari pengetahuan dan mengambilnya manapun juga, selama ia telah yakin mampu mencegahnya dari penyimpangan pemikiran atau inhiraf aqidi (penyimpangan aqidah), atau al-iltiwa’ al-haraki (penyimpangan harakah). Bahkan, seorang naqib atau da’i yang berjaya dan kokoh, dari sela-sela belajarnya, sekaligus ia bisa menjadi guru dan murabbi terhadap guru dan syeikh-nya, atau teman-teman sebayanya, melalui:
• Dialog konstruktif.
• Dan diskusi yang berjaya.
Bahkan ia dapat mempengaruhi melalui perilakunya yang “beda” dan akhlaqnya yang mantap.
Ditambah lagi bahawa proses belajar dari para masyayikh dan ulama’ di luar jama’ah akan membuka kesempatan kepada para da’i untuk berinteraksi dengan mereka, mengulas fikrah mereka, bahkan menarik simpati orang lain terhadap mereka, mempengaruhi mereka dan pandangan-pandangan mereka, dan sekaligus mengambil manfaat dari majlis dan murid-murid mereka dalam hal penyebaran fiqih da’wah, penyebaran pemikiran haraki, persiapan perluasan dokongan awam kepada da’wah dan menarik simpati unsur-unsur yang mengarah ke sana.
Sesungguhnya, proses belajarnya sang naqib dan sebahagian da’i kepada para masyayikh dan ulama’ sangatlah penting, bukan saja kerana adanya:
• Faedah-faedah ilmiah, dan
• Interaksi dengan orang ramai, bahkan hal ini juga merupakan....
Bermanfaat untuk simpanan tenaga besar jamaah dalam proses ilmiah. Sebab, biasanya, para masyayikh itu lebih banyak mempunyai waktu, terlebih lagi bahawa mereka lebih itqan terhadap sebahagian ilmu, misalnya: tajwid, tafsir, fiqih, hadis dan ilmu-ilmu bahasa, yang boleh jadi itqan seperti itu tidak dimiliki oleh personel jama’ah. Dan jika ada sebahagian personel jama’ah yang menguasainya secara itqan, namun, kewajibannya yang sangat banyak akan menghalanginya untuk melakukan proses pengajaran.
Belajar kepada masyayikh di luar jama’ah juga akan berdampak kepada kasbuts-tsiqah (menggapai tsiqah) mereka secara pribadi dari satu sisi dan pada sisi lain, jama’ah juga akan mendapatkan shibghah ijtima’iyah yang akan mencegah terselewengnya jama’ah serta menjauhnya masyarakat umum dari jama’ah.
Belajar kepada masyayikh di luar jama’ah juga berdampak kepada adanya dukungan para masyayikh dan ulama’ itu kepada jama’ah, bahkan boleh jadi mereka juga akan bergabung dengan jama’ah yang bererti akan semakin menambah kokohnya jama’ah itu, serta mampu menolak berbagai isu dan syubhat, dan pada saat yang sama akan mencegah ekploitasi gerakan-gerakan bid’ah, dan tasawuf yang menyimpang atau salafi yang berlebihan untuk kepentingan dan tujuan mereka yang kemungkinan tidak sesuai dengan tujuan-tujuan amal islami yang lurus.
***
Akan tetapi, di sini ada sejumlah adab yang menjadi kewajiban para da’i untuk komitmen dengannya ketika ia duduk di hadapan orang-orang yang memberikan pengajaran kepadanya.
“… Hendaklah ia mengagungkan gurunya dan orang-orang yang ia mendengar darinya, sebab hal ini termasuk pengagungan terhadap ilmu dan sebab-sebab mendapatkan manfaat dari ilmu, hendaklah ia meyakini keagungan dan keunggulan gurunya, berusaha meraih ridhanya, dan janganlah berlama-lama dengannya yang sekiranya menjadikannya tidak enak hati. Hendaklah ia berkonsultasi dengannya dalam berbagai urusan dan kesibukannya dan bagaimana cara mengoptimalnya berbagai hal tadi. Dan jika ia mendengar satu hadits, hendaklah ia membertahukan orang lain, sebab, menyembunyikan hal itu adalah sifat tercela, yang tidak terjerumus kepadanya selain para penuntut ilmu yang bodoh, dan jika menyembunyikan ilmu dikhawatirkan menjadi ilmu yang tidak bermanfaat, sebab, termasuk keberkahan sebuah hadits adalah jika ia disampaikan kepada orang lain, dan mempublikasikannya adalah keberkahan. Dan berhati-hatilah jangan sampai rasa malu dan rasa besar menghalanginya untuk berupaya secara maksimal dalam belajar dan mengambil ilmu dari orang yang lebih rendah darinya, baik dalam hal nasab maupun usia maupun dalam hal lainnya. Hendaklah ia bersabar atas kekasaran urusan. Hendaklah ia memperhatikan yang penting dan janganlah menyia-nyiakan waktu dalam memperbanyak guru hanya sekedar memperbanyak saja…”.
(At-Taqrib, karya Imam An-Nawawi, silahkan periksa Tadrib Ar-Rawi fi Syarh Taqrib An-Nawawi juz: 2 hal. 145)
Demikian.
(Terjemahan Majalah Al-‘Ain, juz: 2, hal. 166- 172)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar