Membaca tulisan Ustadz Ahmad Sarwat (ustsarwat.com) mengenai solusi bagi Mahasiswa kita yang kuliah di AlAzhar begitu unik dan inspiratif. Berikut versi lengkapnya:
Melihat banyaknya mahasiswa Indonesia yang menima ilmu di Al Azhar Kairo, seharusnya kita bisa berpikir lebih jauh, yaitu mengapa kita tidak mendirikan saja Al-Azhar di Indonesia, sebagaimana Universitas Al-Imam Muhammad Ibnu Suus Al-Islamiyah yang buka cabang di Jakarta, menjadi LIPIA.
Sehingga akan memudahkan proses belajar mengajar. Para mahasiswa kita tidak perlu terbang jauh-jauh sampai ke Mesir, cukup para dosen dari Al-Azhar saja yang kita `transfer` ke negeri kita.
Kalau pelatih dan pemain bola saja bisa kita beli dari luar negeri, masak sih kita tidak bisa membiayai para ulama, profesor atau doktor dalam ilmu-ilmu keislaman?
Mesir, Syria, Jordan dan lainnya adalah gudangnya para ulama paten. Kalau keadaan sosial politik disana kurang kondusif, mengapa kita tidak membuka pintu buat mereka untuk mengajar dan mengabdi di negeri kita saja?
Contoh sederhana yang sudah berjalan adalah Dr. Yusuf Al-Qaradawi. Karena satu dan lain hal, beliau yang asli orang Mesir itu malah `dikontrak` oleh penguasa Qatar, Emir Hammad Ats-Tsani untuk tinggal di negeri minyak itu, bahkan diangkat jadi mufti negara.
Al-Qaradawi pun difasilitasi oleh Emir untuk membangun berbagai projek dakwah, seperti membangun situs islamonline.net, demikian juga berdakwah di TV Al-Jazeera yang merupakan milik si Emir. Beliau juga menjadi imam di Masjid Umar bin Al-Khattab, di Doha Qatar, dimana setiap kali beliau khutbah Jumat, selalu direlay langsung oleh televisi setempat.
Belajar Dari LIPIA
Contoh projek yang sudah bisa dibanggakan adalah apa yang dilakukan oleh Pemerintah Saudi Arabia dengan membangun cabang Universitas Islam Al-Imam Muhammad Ibnu Suud di Jakarta, sejak tahun 1980.
Pengalaman saya kuliah di LIPIA, prinsipnya tidak perlu jauh-jauh terbang ke Riyadh Saudi Arabia. Sebaliknya, justru universitas negeri milik Kerajaan Saudi Arabia itu sendiri yang membangun far`u (cabang) di Jakarta. Tetapi semua dosen, materi kuliah, silabus, buku perkuliahan, jadwal kuliah, sistem perkuliahan, diimppor langsung dari Saudi.
Bahkan kalau di Saudi lagi libur musik panas, kita pun di Jakarta ikut-ikutan libur musik panas, padahal iklim kita tidak mengenal musim panas, yang ada cuma musim duren.
Masuk ke halaman LIPIA serasa sudah masuk ke negeri Saudi. Sebab hampir semua dosen adalah orang-orang Arab, seperti dari Saudi, Mesir, Sudan, Palestina, Iraq dan lainnya. Tentunya bahasa Arab wajib digunakan.
Dan jangan anggap enteng kurikulum LIPIA, standarnya sama dengan kuliah di Saudi langsung. Tiap semester tetap wajib menghafal 1 juz Al-Quran, sehingga total kalau lulus nanti setidaknya sudah hafal 8 juz.
Dalam masalah buku kuliah, LIPIA malah lebih tinggi dari Al-Azhar. Kami kuliah di LIPIA belajar dengan menggunakan buku turats yang asli, sedangkan umumnya dosen Al-Azhar menggunakan buku tulisan mereka sendiri.
Dengan demikian, mahasiswa jadi akrab dengan kitab semacam Bidayatul Mujtahid untuk Ilmu Fiqih, Raudhatun-Nadhir untuk Ushul Fiqih, Fathul Qadir untuk tafsir, Subulus-Salam untuk Hadits Ahkam. Di samping itu tiap 2 semester para mahasiswa diwajibkan membuat karya ilmiyah, yang kalau disetarakan di negeri kita, rasanya seperti bikin Tesis S-2. Sebab semua rujukannya harus kitab turats yang asli.
Al-Azhar di Indonesia
Mengingat peminat yang ingin kuliah di Al-Azhar sangat besar, bahkan tiap tahun selalu membeludak, rasanya sudah wajib hukumnya untuk membangun kampus resmi Al-Azhar di Indonesia.
Semua dosen dan buku kita datangkan langsung dari Mesir, tetapi dengan sedikit perbaikan sistem perkuliahan. Misalnya, kalau di Al-Azhar Mesir itu perkuliahan digelar model tabligh akbar, satu dosen ceramah dihadiri oleh orang sekampung, maka disini jumlah mahasiswanya dibatasi. Biar bisa terjadi dialog atau tanya jawab antara dosen dan mahasiswa.
Kalau di Mesir mau kuliah atau tidak kuliah terserah yang penting ikut ujian, maka disini harus pakai absen yang ketat, dengan sanksi tidak boleh ikut ujian kalau kurang dari 80 persen kehadiran.
Kalau di Mesir para dosen mengajar pakai bahasa `amiyah Mesir yang sebenarnya taktik penjajah untuk merusak dunia Islam, maka disini wajib pakai bahasa Arab yang fushah, baik dosen maupun mahasiswa.
Kalau di Mesir sistem administrasi kampusnya serba kacau bin balau, maka disini harus serba standar profesional dan online 24 jam.
Masalah OUTPUT
Salah satu kendala kuliah di Al-Azhar selama ini adalah masalah output. Maksudnya, lulusan dari Al-Azhar yang katakanlah sudah sangat tinggi ilmunya itu, kalau mereka pulang ke Indonesia, rasanya masih belum tersalurkan dengan benar, baik secara profesi dan maupun secara standar kehidupan.
Sehingga banyak dari alumni itu yang ekonominya pun masih berantakan, bahkan tidak sedikit potensi yang sudah sangat baik itu akhirnya jadi sia-sia. Pulang dari Mesir bukan jadi ulama tetapi malah sibuk mencari sesuap nasi, demi menyambung hidup.
Ada yang jadi calo atau agen travel haji, ada yang bisnis jadi tukang jahit konveksi, ada yang bisnis MLM, jualan minyak wangi, habbah sauda, buka praktek ruqyah, dan jenis pekerjaan yang nyaris tidak ada kaitannya dengan ilmu yang selama ini dipelajari jauh-jauh ke Mesir.
Padahal ilmu mereka itu tinggi dan langka, 230 juta bangsa Indonesia butuh ilmu mereka. Sebab selama ini yang mengajar ilmu agama itu di negeri kita (mohon maaf) kebanyakannya mereka yang kurang punya standar kualitas keilmuwan. Pengajian dan majelis ilmu kita lebih banyak bernarasumber dari mereka yang kurang pas latar belakangnya. Ada preman insaf tiba-tiba jadi ustadz. Ada yang kuliah politeknik teruss jadi ustadz. Kadang-kadang badut dan pelawak pun jadi ustadz.
Seharusnya, para alumni Al-Azhar itulah yang jadi ustadz, karena memang mereka punya standar keilmuwan.
Saya pernah ngobrol dengan salah seorang mahasiswa Malaysia di Cairo. Rupanya dia diikutkan dalam ikatan dinas dari negerinya. Dia dikuliahkan di Cairo, dikasih beasiswa oleh pemerintahnya, selain dari Al-Azhar sendiri. Dia `dipaksa` kuliah dengan tekun dan harus mencapai target cepat lulus. Begitu lulus dan pulang ke Malaysia, sudah ditempatkan posisinya macam pegawai negeri, dijamin gaji dan penghidupannya.
Belajar Dari STAN
Di Indonesia, kampus yang seperti itu diantaranya adalah tempat saya mengajar, STAN. Semua lulusan dipastikan jadi pegawai negeri (PNS) di lingkungan Kementerian Keuangan. Jadi tidak sia-sia mereka dikuliahkan gratis atas biaya negara. Karena hasilnya jelas.
Dan kalau dibandingkan, jumlah mahasiswa kita di Mesir itu kira-kira sebanding dengan kita punya STAN. Dengan asumsi STAN menerima mahasiswa baru tiap tahun kurang lebih 1500-an orang, maka jumlah total yang akfit kuliah kira-kira 4.500-an orang. Sebab kuliah di STAN itu 3 tahun (program D-3).
Jadi kalau kita mau bangun kampus Al-Azhar di Indonesia, kira-kira mirip kita membangun kampus STAN.
1. Kepastian Pekerjaan
Yang utama sekali adalah bahwa kampus ini bukan asal menyelenggarakan perkuliahan, tetapi sudah jelas penempatan para alumninya sebagai petugas negara yang dididik secara khusus dan berkualitas, dan tentu saja punya jaminan gaji seperit PNS.
Kalau kementerian keuangan bisa bikin STAN dan alumninya yang berkualias itu otomatis akan mengisi lowongan PNS di kementerian itu, maka seharusnya Kementerian Agama pun harus demikian.
Sehingga ke depan, tidak ada orang yang bisa tiba-tiba jadi pegawai DEPAG hanya karena lulus tes PNS, atau punya koneksi, seperti sekarang ini. Sebab justru karena hasil sogok dan koneksi inilah, agaknya, yang bikin kementerian Agama menjadi tidak ubahnya -meminjam istilah Gusdur- seperti sebuah `pasar`. Isinya orang-orang yang sedang berdagang.
Ke depan, seorang calon PNS di DEPAG harus lulusan dari sekolah kedinasan model STAN, dimana sejak pemilihan mahasiswanya sudah diseleksi ketat dari sisi kualitasnya.
2. Gratis
Kampus ini harus gratis dan tidak berbayar. Sehingga jangan sampai ada calon mahasiswa yang sangat pandai tapi tidak mampu kuliah hanya lantaran tidak punya biaya. Dan jangan sampai ada mahasiswa bodoh, kurang motivasi, hanya mengandalkan kekayaan orang tua lantas berkuliah disini.
Konsep seperti itu hanya akan membuat kualitas lulusan menjadi sangat rendah. Sebab anak pintar kalau dicampur dengan anak bodoh, hasilnya bukan yang bodoh jadi pintar, tetapi yang pintar jadi bodoh.
Terus terang seharusnya tidak ada tempat untuk anak bodoh di kampus ini, karena cuma akan bikin masalah saja, dan menularkan kebodohannya itu kepada yang lain, sehingga terkontaminasi. Maka ide subsidi silang ala UI dan universitas negeri lainnya itu -menurut saya- agak biadab (upss!).
3. Seleksi Sepanjang Masa Kuliah
Tentu saja tidak semua orang boleh kuliah di Al-Azhar cabang Indonesia ini. Harus ada sistem tes yang profesional anti katebelece, sogok, pertemanan atau kongkalikong. Dan aturannya harus jelas, lolos masuk seleksi bukan berarti aman, sebab tiap saat selalu ada ancaman untuk DO dan dikeluarkan. Ini penting agar kuliah tidak dianggap sebagai piknik.
Anak pejabat tinggi di STAN belum tentu lolos seleksi penerimaan mahsiswa baru, kalau memang nilai tesnya tidak memenuhi. Kalau pun misalnya kebetulan bisa lolos masuk juga karena faktor nasib, bukan berarti dia aman. Sebab begitu ujian semester pertama, sangat mungkin dia akan DO dan angkat koper.
Kok bisa?
Karena peraturannya di STAN bahwa mahasiswa yang IPK-nya kurang dari 2,75 langsung dinyatakan gugur. Mahasiswa juga harus pulang kampung kalau ada satu saja dari mata kuliah pokok dapat nilai D.
Dan satu lagi yang bisa membuat mahasiswa sukses dipecat dari STAN, yaitu kalau ketika ujian ketahuan nyontek. Wah pokoknya rugi dunia akhirat. Saat itu juga langsung dikirim pulang ke orang tuanya dan tidak boleh memperlihatkan wajah ke STAN. Dipecat dengan tidak hormat. Hmm, kalau dipikir-pikir STAN itu bukan sekolah agama, tetapi urusan kejujuran kayaknya perlu dicontoh.
Nasib yang sama juga dialami mahasiswa LIPIA atau Al-Azhar Mesir, jangan coba-coba nyontek dan ketahuan, runyam lah pokoknya!! Saya pernah melihat ada anak I`dad yang bawa contekan ke ruang ujian, kertas ujian dan jawabannya langsung dirobek-robek di tempat di muka umum, dan saat itu juga langsung dikeluarkan selama-lamanya dari LIPIA.
Dengan demikian, kampus itu kita tekadkan adalah kampus yang suci, bersih dan steril 100% dari orang bodoh atau orang pintar yang berlaku bodoh dan kurang minat.
Buat orang bodoh, mungkin ada tempatnya sendiri, yang khusus menampung semua mereka. Mungkin namanya Universitas Kurang Pandai Indonesia, disingkat UKPI atau apa lah terserah. Tidak pakai absen, tidak pakai kuliah, semua ujian open book, jawabannya dikirim pake email, kuliah cukup setahun sekali. Dari mulai daftar sampai wisuda bisa diproses dalam seminggui asal bayar puluhan juta. Atau mungkin namanya yang lebih pas adalah Universias Abal-Abal Indonesia, disingkat UAAI.
4. Berbahasa Arab Native
Perkuliahan ini wajib menggunakan bahasa Arab sebagai pengantar. Untuk itu semua calon mahasiswa harus lulus tes bahasa Arab baik tertulis maupun lisan. Test tertulis semua dalam bahasa Arab, demikian juga tes lisan. Yang mengetes juga orang arab.
Hanya mereka yang sudah fasih berbahasa Arab saja yang diterima. Kalau belum bisa, harus kuliah 2 tahun dulu, khusus persiapan bahasa.
Kalau sudah kuliah bahasa Arab 2 tahun, sebagai bukti sudah bisa bahasa Arab, disuruh ngelawak pakai bahasa Arab. Kalau penontonnnya yang orang Arab bisa tertawa terpingkal-pingkal, nah itu artinya dia sudah bisa ngomong arab.
Tes kedua adalah menghiba-hiba pakai bahasa Arab. Kalau pengujinya bisa ikut menitikkan air mata, nah itu tandanya bahasa Arabnya sudah jago.
5. Kurikulum
Kurikulumnya dirancang serius dan paten, sehingga keberadaan satu mata kuliah bukan sekedar untuk menggugurkan kewajiban. Tetapi diajarkan oleh Doktor yang memang spesialis di bidangnya, dengan menggunakan kitab aslinya, serta dengan perbandingan mazhab secara adil.
Di LIPIA, mata kuliah fiqih itu diajarkan tiap hari dalam seminggu. Dan selama 8 semester, tiap hari ada mata kuliah fiqih. Sehingga 2 jilid tebal kitab Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd itu selesai dibaca selama 4 tahun.
Kapan Direalisasikan?
Nah ini pertanyaan yang mematikan, semua yang sudah ditulis di atas hanya tinggal mimpi, kalau tidak ada realisasinya.
Rasanya memang tidak mudah untuk merealisasikannya. Tetapi dengan kesungguhan dan kesabaran, apalagi kalau diangkat bersama-sama, rasanya tidak ada yang susah.
Dananya dari mana?
Hmm, ini pertanyaan klasik, tetapi tetap penting. Ya, untuk membangun sistem pendidikan seperti itu jelas butuh dana. Terus duitnya siapa yang bisa dipakai?
Sebenarnya kalau mau sedikit lebih cermat dalam berpikir, umat Islam ini tidak pernah kekurangan dana untuk proyek seperti ini. Katakanlah misalnya dana abadi umat yang konon dari hasil menyunat ONH jamaah haji.
Saat ini, teman saya memberi bocoran, setidaknya ada 20 Trilyun dana abadi umat, yang tidak jelas jeluntrungannya, habis diprotoli oleh tikus-tikus di Kementrian Agama. Tidak jelas benar apa tidaknya, yang pasti mantan Menteri Agama pernah mendekam di balik jeruji lantaran urusan uang-uang tidak jelas ini.
Al-Azhar Mesir sendiri bukan lembaga milik pemerintah. Al-Azhar hidup dari sekian banyak harta wakaf produktif hasil dari amal jariyah bangsa Mesir. Konon, seorang alumni pernah cerita, bahwa jumlah aset wakaf Al-Azhar itu lebih besar dari APBN Mesir.
Kalau kita mau meniru Al-Azhar Mesir bisa saja, yang penting semua harus transparan dan bisa diaudit.