Pada Januari 2010 saya bekerja di rumah sakit terbesar di Australia yg memiliki banyak cabang diberbagai negara termasuk Eropa dan juga di negara kita Indonesia, sering saya melakukan aktivitas harian di Operation Teater (kamar operasi) sebagai Biomedik untuk saat-saat tindakan Laparascopy, Atroscopy, Coclear Inplant dan tindakan khusus lainya.
Dr. Errawan Wiradisuria, SpPD adalah Dokter Khusus Bedah Degesif yang memang menjabat ketua Asosiasi Laparascopy di tingkat ASIA, beliau memiliki kebiasaan saat berlangsungnya tindakan opersi lebih nyaman bila diiringi lagu yang dinyanyilkan oleh Cryse, dan ternyata lagu tersebut pas banget dan syarat makna menemani kita melakukan Operasi.
Ini adalah spenggal kisah inspiratif
dari seorang musisi, yang melalui syair, membuat jiwanya bergetar, dan
mungkin kisah dan lirik ini juga membuat jiwa teman-teman sekalian juga bergetar.
Tanpa memperpanj ang mukaddimah , mari kita baca dengan seksama :)
Di tahun 1997 saya bertemu Chrisye sehabis sebuah acara, dan dia berkata, “Bang, saya punya sebuah lagu. Saya sudah coba menuliskan kata-katan ya, tapi saya tidak puas. Bisakah Abang tolong tuliskan liriknya?” Karena saya suka lagu-lagu Chrisye,
saya katakan bisa. Saya tanyakan kapan mesti selesai. Dia bilang
sebulan. Menilik kegiatan saya yang lain, deadline sebulan itu bolehlah.
Kaset lagu itu dikirimkan nya, berikut keterangan berapa baris lirik diperlukan , dan untuk setiap larik berapa jumlah ketukannya , yang akan diisi dengan suku kata. Chrisye mengingink an puisi relijius.
Kemudian saya dengarkan lagu itu. Indah sekali. Saya suka
betul. Sesudah seminggu, tidak ada ide. Dua minggu begitu juga. Minggu
ketiga inspirasi masih tertutup. Saya mulai gelisah. Di ujung minggu
keempat tetap buntu. Saya heran. Padahal lagu itu cantik jelita. Tapi
kalau ide memang macet, apa mau dikatakan. Tampaknya saya akan telepon Chrisye keesokan harinya dan saya mau bilang, ” Chris, maaf ya, macet. Sori.” Saya akan kembalikan pita rekaman itu.
Saya punya kebiasaan rutin baca Surah Yasin. Malam itu, ketika sampai ayat 65 yang berbunyi, A’udzubill ahi minasy syaithonir rojim. “Alyauma nakhtimu ‘alaa afwahihim, wa tukallimun a aidhihim, wa tasyhadu arjuluhum bimaa kaanu yaksibuun”
saya berhenti. Maknanya, “Pada hari ini Kami akan tutup mulut mereka,
dan tangan mereka akan berkata kepada Kami, dan kaki mereka akan
bersaksi tentang apa yang telah mereka lakukan.” Saya tergugah. Makna
ayat tentang Hari Pengadilan Akhir ini luar biasa!
Saya hidupkan lagi pita rekaman dan saya bergegas memindahka
Keesokanny a dengan lega saya berkata di telepon,”C hris, alhamdulil lah selesai”. Chrisye sangat gembira. Saya belum beritahu padanya asal-usul inspirasi lirik tersebut. Berikutnya hal tidak biasa terjadilah . Ketika berlatih di kamar menyanyika nnya baru dua baris Chrisye menangis, menyanyi lagi, menangis lagi, berkali-ka li.
Di dalam memoarnya yang dituliskan Alberthien e Endah, “Chrisye? Sebuah Memoar Musikal” 2007 (halaman 308-309), bertutur Chrisye: Lirik yang dibuat Taufiq Ismail adalah satu-satun ya lirik dahsyat sepanjang karier, yang menggetark an sekujur tubuh saya. Ada kekuatan misterius yang tersimpan dalam lirik itu. Liriknya benar-bena r mencekam dan menggetark an. Dibungkus melodi yang begitu menyayat, lagu itu bertambah susah saya nyanyikan! Di kamar, saya berkali-ka li menyanyika n lagu itu. Baru dua baris, air mata saya membanjir.
Saya coba lagi. Menangis lagi. Yanti sampai syok! Dia kaget melihat
respons saya yang tidak biasa terhadap sebuah lagu. Taufiq memberi
judul pada lagu itu sederhana sekali, Ketika Tangan dan Kaki Berkata.
Lirik itu begitu merasuk dan membuat saya dihadapkan pada kenyataan, betapa tak berdayanya manusia ketika hari akhir tiba. Sepanjang malam saya gelisah. Saya akhirnya menelepon Taufiq dan menceritak an kesulitan saya. “Saya mendapatka n ilham lirik itu dari Surat Yasin ayat 65…” kata Taufiq. Ia menyaranka n saya untuk tenang saat menyanyika nnya. Karena sebagaiman a bunyi ayatnya, orang memang sering kali tergetar membaca isinya. Walau sudah ditenangka n Yanti dan Taufiq, tetap saja saya menemukan kesulitan saat mencoba merekam di studio. Gagal, dan gagal lagi. Berkali-ka li saya menangis dan duduk dengan lemas. Gila! Seumur-umu r, sepanjang sejarah karir saya, belum pernah saya merasakan hal seperti ini. Dilumpuhka n oleh lagu sendiri!
Butuh kekuatan untuk bisa menyanyika n lagu itu. Erwin Gutawa yang sudah senewen menunggu lagu terakhir yang belum direkam itu, langsung mengingatk an saya, bahwa keberangka tan ke Australia sudah tak bisa ditunda lagi. Hari terakhir menjelang ke Australia,
saya lalu mengajak Yanti ke studio, menemani saya rekaman. Yanti
sholat khusus untuk mendoakan saya. Dengan susah payah, akhirnya saya
bisa menyanyika n lagu itu hingga selesai. Dan tidak ada take ulang! Tidak mungkin. Karena saya sudah menangis dan tak sanggup menyanyika nnya lagi. Jadi jika sekarang Anda mendengark an lagu itu, itulah suara saya dengan getaran yang paling autentik, dan tak terulang! Jangankan menyanyika nnya lagi, bila saya mendengark an lagu itu saja, rasanya ingin berlari!
Lagu itu menjadi salah satu lagu paling penting dalam deretan lagu yang pernah saya nyanyikan. Kekuatan spiritual di dalamnya benar-bena r meluluhkan perasaan. Itulah pengalaman batin saya yang paling dalam selama menyanyi.
Penuturan Chrisye dalam memoarnya itu mengejutka n saya. Penghayata nnya terhadap Pengadilan Hari Akhir sedemikian sensitif dan luar biasanya, dengan saksi tetesan air matanya. Bukan main. Saya tidak menyangka sedemikian mendalam penghayata nnya terhadap makna Pengadilan Hari Akhir di hari kiamat kelak.
Mengenai menangis menangis ketika menyanyi, hal yang serupa terjadi dengan Iin Parlina dengan lagu Rindu Rasul. Di dalam konser atau pertunjuka n, Iin biasanya cuma kuat menyanyika nnya dua baris, dan pada baris ketiga Iin akan menunduk dan membelakan gi penonton menahan sedu-sedan nya. Demikian sensitif dia pada shalawat Rasul dalam lagu tersebut.
Setelah rekaman Ketika Tangan dan Kaki Berkata selesai, dalam peluncuran album yang saya hadiri, Chrisye meneruskan titipan honorarium dari produser untuk lagu tersebut. Saya enggan menerimany a. Chrisye terkejut. “Kenapa Bang, kurang?” Saya jelaskan bahwa saya tidak orisinil menuliskan lirik lagu Ketika Tangan dan Kaki Berkata itu. Saya cuma jadi tempat lewat, jadi saluran saja. Jadi saya tak berhak menerimany a. Bukankah itu dari Surat Yasin ayat 65, firman Tuhan? Saya akan bersalah menerima sesuatu yang bukan hak saya.
Kami jadi berdebat. Chrisye mengatakan bahwa dia menghargai pendirian saya, tetapi itu merepotkan administra si. Akhirnya Chrisye menemukan jalan keluar. “Begini saja Bang, Abang tetap terima fee ini, agar administra si
rapi. Kalau Abang merasa bersalah, atau berdosa, nah, mohonlah ampun
kepada Allah. Tuhan Maha Pengampun ‘kan?” Saya pikir jalan yang
ditawarkan Chrisye betul juga. Kalau saya berkeras menolak, akan kelihatan kaku, dan bisa ditafsirka n berlebihan . Akhirnya solusi Chrisye saya terima. Chrisye senang, saya pun senang.
Pada subuh hari Jum’at, 30 Maret 2007, pukul 04.08, penyanyi legendaris Chrisye wafat dalam usia 58 tahun, setelah tiga tahun lebih keluar masuk rumah sakit, termasuk berobat di Singapura. Diagnosis yang mengejutka n adalah kanker paru-paru stadium empat. Dia meninggalk an isteri, Yanti, dan empat anak, Risty, Nissa, Pasha dan Masha, 9 album proyek, 4 album sountrack, 20 album solo dan 2 filem. Semoga penyanyi yang lembut hati dan pengunjung masjid setia ini, tangan dan kakinya kelak akan bersaksi tentang amal salehnya serta menuntunny a memasuki Gerbang Hari Akhir yang semoga terbuka lebar baginya. Amin.
Lirik : Taufiq Ismail
Lagu : Chrisye
Akan datang hari mulut dikunci
Kata tak ada lagi
Akan tiba masa tak ada suara
Dari mulut kita
Berkata tangan kita
Tentang apa yang dilakukann ya
Berkata kaki kita
Kemana saja dia melangkahn ya
Tidak tahu kita bila harinya
Tanggung jawab tiba
Rabbana
Tangan kami
Kaki kami
Mulut kami
Mata hati kami
Luruskanla h
Kukuhkanla h
Di jalan cahaya…. sempurna
Mohon karunia
Kepada kami
HambaMu yang hina
—–
(Penyair Taufiq Ismail menulis artikel tentang Krismansya h Rahadi (1949-2007 ) ini di majalah sastra HORISON)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar