احْفَظِ اللَّهَ يَحْفَظْكَ، احْفَظِ
اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ، إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللَّهَ، وَإِذَا
اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ، وَاعْلَمْ أَنَّ الأُمَّةَ لَوْ اجْتَمَعَتْ
عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ
اللَّهُ لَكَ، وَلَوْ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ
إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتِ الأَقْلَامُ وَجَفَّتْ
الصُّحُفُ
“Jagalah Allah, niscaya engkau dapati Dia di
hadapanmu. Jika engkau meminta, mintalah kepada Allah. Jika engkau meminta
pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah. Dan ketahuilah, sesungguhnya
seandainya umat ini bersatu untuk memberikan suatu kemanfaatan kepadamu, maka
mereka tidak akan dapat memberinya, kecuali dengan sesuatu yang telah Allah
tetapkan atasmu. Dan seandainya mereka bersatu untuk mendatangkan suatu kemudharatan
kepadamu, maka mereka tidak dapat mendatangkannya, kecuali dengan sesuatu yang
telah Allah tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah
mengering.”
(HR. Tirmidzi dan lainnya)[1]
Selain hadits diatas, masih
banyak dalil-dalil agama berupa ayat dan hadits yang terkait masalah ini. Yang
tentunya, kesemuanya harus dihubungkan satu sama lain untuk mendapatkan satu
pemahaman yang utuh tentang masalah takdir. Berikut ini diantara ayat dan
haditsnya :
Firman-Nya :
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي
الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ
نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
“Tiada suatu bencana pun yang
menimpa di Bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah
tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.” (QS Al Hadid 22)
إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي
بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا، ثُمَّ يَكُونُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ
يَكُونُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَبْعَثُ اللَّهُ مَلَكًا فَيُؤْمَرُ
بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ، وَيُقَالُ لَهُ: اكْتُبْ عَمَلَهُ، وَرِزْقَهُ، وَأَجَلَهُ،
وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ
Rasulullah y
bersabda : “Sesungguhnya tiap kalian dikumpulkan ciptaannya dalam rahim
ibunya, selama 40 hari berupa nutfah (air mani yang kental), kemudian menjadi
‘alaqah (segumpal darah) selama itu juga, lalu menjadi mudghah (segumpal
daging) selama itu, kemudian diutus kepadanya malaikat untuk meniupkannya
ruh, dan dia diperintahkan mencatat empat kata yang telah
ditentukan: rezekinya, ajalnya, amalnya, kesulitan atau kebahagiannya.[2]
Ulama
berbeda pendapat apakah takdir bisa dirubah secara keseluruhan atau tidak. Sebagian
mengatakan bahwa takdir bisa dirubah kecuali taqdir ajal, ketetapan ahlu syurga
dan neraka. Sedangkan sebagian ulama mengatakan bahwa semua taqdir bisa
dirubah.
Jumhur
ulama berpendapat mengenai bisa
dirubahnya sebagian Taqdir
Menurut
mereka, hadits yang menyatakan bahwa rezeki, ajal, amal, susah dan
senangnya dipandang
sebagai dalil umum. Namun, dalil mutlak (umum) ini harus dibawa dan diikat
oleh dalil lain yang membatasinya. Istilahnya Hamlul muthlaq ilal muqayyad
(membawa dalil yang masih umum kepada dalil yang membatasinya).
Syariat
memang
menginformasikan bahwa ajal dan rezeki adalah sudah ada ketentuannya, ini
informasi umum, namun syariat juga menginformasikan bahwa ada faktor yang
menyebabkan umur manusia bisa menjadi panjang sesuai izin dan kehendakNya,
inilah informasi yang mengecualikan dan membatasinya. Sehingga dengan
memahaminya seperti ini, kita tidak memandang adanya pertentangan antara hadits
yang menyebut bahwa ajal dan rezeki sudah ada ketentuannya, dengan hadits yang
menyebut umur dan rezeki bisa bertambah dengan silaturahim, atau kebaikan
lainnya. Dipanjangkan atau tidak, sudah Allah Ta’ala tetapkan sesuai iradahNya.
Yang menjadi pembatas
keumumannya adalah informasi syara’ bahwa dalam beberapa kondisi taqdir bisa
dirubah, diantaranya sabda Rasulullah y sendiri
menegaskan: “Tidaklah ketetapan Allah dapat ditolak kecuali dengan doa, dan
tidaklah menambahkan usia kecuali berbuat kebaikan.” (Hadits shahih riwayat
Tirmidzi)
Dan Nabi y pun mengajarkan sebuah
doa yang
secara tersirat isi doa tersebut meminta dirubahnya takdir, yaitu
:
لاَ يَتَمَنَّيَنَّ أَحَدُكُمُ المَوْتَ
مِنْ ضُرٍّ أَصَابَهُ، فَإِنْ كَانَ لاَ بُدَّ فَاعِلًا، فَلْيَقُلْ: اللَّهُمَّ
أَحْيِنِي مَا كَانَتِ الحَيَاةُ خَيْرًا لِي، وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتِ
الوَفَاةُ خَيْرًا لِي
“Janganlah
kalian mengharapkan kematian lantaran buruknya musibah yang menimpa, sekali pun
ingin melakukannya, maka berdoalah: Ya Allah, hidupkanlah aku selama kehidupan
itu adalah baik bagiku, dan wafatkanlah aku jika memang wafat itu baik bagiku).”[3]
Dan masalah bisa dirubahnya
sebagian takdir ini juga isyaratkan Allah l dalam firmanNya:
يَمْحُو اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ
وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ
“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki
dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat
Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh).” (QS. Ar Ra’du : 39)
Meskipun
para ulama berbeda pendapat mengenai penafsiran tentang ayat diatas.[4]
Disebutkan
dalam hadits Jabir dalam Shahih Muslim, ketika Suraqah bin Malik bin Ju’syum
datang kepada Nabi y lalu
mengatakan, “Wahai Rasulullah, jelaskanlah kepada kami tentang agama kami,
seolah-olah kami baru diciptakan pada hari ini, yaitu mengenai amal perbuatan
hari ini, apakah berdasarkan pada apa yang telah tertulis oleh tinta pena
(takdir) yang sudah mengering dan takdir-takdir yang telah ditentukan, atau
berdasarkan dengan apa yang akan kita hadapi?”
Beliau
menjawab: “Tidak, bahkan berdasarkan pada tinta pena yang telah kering
dan takdir-takdir yang telah ada.” Ia bertanya, “Lalu, untuk apa kita
beramal?” Beliau menjawab : “Beramallah! Sebab semuanya telah dimudahkan.” Dalam
sebuah riwayat disebutkan : “Setiap orang yang berbuat telah dimudahkan
untuk perbuatan-nya.” (HR. Muslim)
Khatimah
Sebenarnya tidak ada pentingnya
mengkaji masalah ini terlalu dalam, termasuk pada tingkat mengetahui apakah
taqdir itu bisa dirubah atau tidak. Yang terpenting adalah keimanan kita kepada
taqdir. Kita ini hanya diperintahkan oleh syariat untuk mengimani adanya qada’
dan Qadar Allah ta’ala. Disamping adanya perintah agar kita menyempurnakan
ikhtiar dan berdoa.
Pembahasan yang terlalu dalam
masalah ini telah memunculkan dua golongan ekstrim, satu golongan yang menolak
taqdir (Qadariyah dan mu’tazilah), satu lagi golongan yang selalu
menggantung-gantungkan kepada taqdir (jabariyah). Sudah bisa ditebak – karena sebab
kesalahan pemahaman mereka dalam masalah taqdir ini- menimbulkan akibat yang
sangat fatal. Satu golongan menjadi kelompok yang congkak, yang seakan-akan
tidak ada campur tangan Allah dalam kehidupannnya. Sedangkan kelompok yang lain
(jabariyah), meninggalkan usaha dan kewajiban syariat dengan ‘mengkambing
hitamkan’ taqdir.[5]
Padahal pemahaman yang benar dari
sebuah konsep agama, tentu yang akan lahir adalah hal yang positif, termasuk
dalam masalah taqdir ini. Pemahaman yang benar, tentu tidak akan membuat kedua
hal yakni taqdir dan kasabt saling bertabrakan. Kemampuan manusia yang terwujud
dalam doa dan kasab (usaha) yang terbatas, tentu tetap dalam ilmu Allah yang
tidak terbatas. Jadi yang satu meliputi yang lain, bukan saling menafikan. Wallahu’alam.
Wallahu’alam.
[1] Hadits ini diriwayatkan oleh at
Tirmidzi (no. 2516), Ahmad (2669), Abi Ya’la (2556) dan At Thabrani (11416), kesemuanya
lewat jalur Ibnu Abbas a.
[2] HR. Bukhari (3208, 3332), Muslim ( 2643), At Tirmidzi ( 2137), Al Baihaqi (15198, 21069), dan Ahmad ( 3624).
[3] Hadits Riwayat al Bukhari
(5671), Muslim (2680), Abu Daud (3108), Tirmidzi (970), An Nasai (1819), Ahmad
(11979).
وفي رواية: {يمحوا الله ما يشاء ويثبت} قال: كل شيء إلا الحياة
والموت، والشقاء والسعادة فإنهما قد فرغ منهما
Dalam
sebuah riwayat berkata (ibnu Abbas) tentang ayat “Allah
menghapuskan apa yang Dia kehendaki”
: (dapat
dihapus) takdir segala sesuatu kecuali hidup, mati, kesengsaraan (ahli neraka)
dan kebahagiaan (ahli syurga).
وقال منصور: سألت مجاهدا فقلت: أرأيت دعاء أحدنا يقول: اللهم، إن كان
اسمي في السعداء فأثبته فيهم، وإن كان في الأشقياء فامحه عنهم واجعله في السعداء.
فقال: حسن
.
Manshur berkata: Aku bertanya kepada Mujahid: “Apa
pendapat anda tentang doa dari salah seorang kami yang berkata: “Ya Allah jika
namaku ada pada deretan orang-orang bahagia maka tetapkanlah bersama mereka,
dan jika berada pada deretan orang-orang sulit maka hapuslah dan jadikanlah
bersama orang-orang bahagia.” Mujahid menjawab: “Bagus.”
[5] Lihat Al Ibanah ‘an al
Syariah al Firqah an Najiyah (1/156), Iqtishad al I’tiqad (1/121).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar