Pinangan (meminang/melamar) atau khitbah
dalam bahasa Arab, merupakan pintu gerbang menuju pernikahan. Khitbah
menurut bahasa, adat dan syara, bukanlah perkawinan. Ia hanya merupakan
mukaddimah (pendahuluan) bagi perkawinan dan pengantar
kesana. Khitbah merupakan proses meminta persetujuan pihak wanita untuk
menjadi istri kepada pihak lelaki atau permohonan laki-laki terhadap wanita
untuk dijadikan bakal/calon istri. (lihat Al Mausu'ah Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah, 19/190)
Seluruh
kitab/kamus membedakan antara kata-kata "khitbah" (melamar)
dan "zawaj" (menikah), adat/kebiasaan juga membedakan
antara lelaki yang sudah meminang (bertunangan) dengan yang sudah
menikah; dan syari'at pun membedakan secara jelas antara kedua
istilah tersebut. Karena itu, khitbah tidak lebih dari sekedar
mengumumkan keinginan untuk menikah dengan wanita tertentu,
sedangkan zawaj (pernikahan) merupakan aqad yang mengikat dan perjanjian
yang kuat yang mempunyai batas-batas, syarat-syarat, hak-hak, dan akibat-akibat
tertentu.
Pinangan
yang kemudian berlanjut dangan “pertunangan” yang kita temukan dalam masyarakat
saat ini hanyalah merupakan budaya atau tradisi saja yang intinya adalah khitbah
itu sendiri, walaupun disertai dengan ritual-ritual seperti tukar cincin,
selamatan dll. Ada satu hal penting yang perlu kita catat, anggapan masyarakat
bahwa pertunangan itu adalah tanda pasti menuju pernikahan, hingga mereka
mengira dengan melaksanakan ritual itu, mereka sudah menjadi mahram,
adalah keliru. Pertunangan (khitbah) belum tentu berakhir dengan
pernikahan. Oleh karenanya baik pihak laki-laki maupun wanita harus tetap
menjaga batasan-batasan yang telah ditentukan oleh syariat.
Namun
Masa khitbah bukan lagi saat untuk memilih. Mengkhitbah sudah
jadi komitmen untuk meneruskannya ke jenjang pernikahan. Jadi shalat istiharah
sebaiknya dilakukan sebelum khitbah. Khitbah dilaksanakan saat
keyakinan sudah bulat, masing-masing keluarga juga sudah saling mengenal dan
dekat, sehingga peluang untuk dibatalkan akan sangat kecil, kecuali ada takdir
Allah yang menghendaki lain.
Khitbah,
meski bagaimanapun dilakukan berbagai upacara, hal itu tak
lebih hanya untuk menguatkan dan memantapkannya saja. Dan khitbah
bagaimanapun keadaannya tidak akan dapat memberikan hak
apa-apa kepada si peminang melainkan hanya dapat menghalangi lelaki lain
untuk meminangnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits: "…Tidak boleh
salah seorang diantara kamu meminang pinangan saudaranya……" (Muttafaqun
'alaih)
Dari hadits diatas, maka jelas
diketahui bahwa khitbah/pertunangan
dikenal dalam Islam. Dan mengenai satus hukumnya, mayoritas ulama' mengatakan
bahwa tunangan hukumnya mubah. (Al Mausu'ah Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah, 19/190)
Namun sebagian ulama' cenderung memandang bahwa tunangan itu hukumnya sunah, dalam mazhab syafi'i telah pasti diketahui bahwa tunangan dihukumi sebagai sebuah perkara mustahab (disukai). (Nihayatul Muhtaj, 6/198).
Hal ini dengan alasan bahwa akad nikah adalah perjanjian luar biasa bukan seperti akad-akad yang lain, sehingga disunahkan didahului khitbah sebagai periode penyesuaian kedua mempelai dan masa persiapan untuk menuju mahligai rumah tanggapun akan lebih mantap.
Wallahu a’lam bis Shawwab.
Namun sebagian ulama' cenderung memandang bahwa tunangan itu hukumnya sunah, dalam mazhab syafi'i telah pasti diketahui bahwa tunangan dihukumi sebagai sebuah perkara mustahab (disukai). (Nihayatul Muhtaj, 6/198).
Hal ini dengan alasan bahwa akad nikah adalah perjanjian luar biasa bukan seperti akad-akad yang lain, sehingga disunahkan didahului khitbah sebagai periode penyesuaian kedua mempelai dan masa persiapan untuk menuju mahligai rumah tanggapun akan lebih mantap.
Wallahu a’lam bis Shawwab.
mksih...
BalasHapus