.

Jumat, 02 Desember 2011

Harus Berjanji

Harus Berjanji
Seseorang menghadap Nabi. Ia ingin memeluk islam, namun ia masih ingin melakukan kebiasaan jahiliyah. Usai mengikrarkan syahadatain (dua kalimat syahadat), ia berkata, “Ya Rasulullah, sebenarnya saya sering berbuat dosa dan susah sekali untuk meninggalkannya.” Rasulullah menjawab, “Maukah engkau berjanji satu saja? Sanggupkah engkau meninggalkan perkataan bohong?”
“Ya, saya berjanji!” jawab lelaki itu. Singkat. Ia pun bergegas cepat. Menurut riwayat sebelum ia masuk islam ia adalah penjahat ngetop atau populer. Hobinya mencuri, berjudi, dan menenggak minuan keras atau khamar. Setelah memeluk agama islam, berbagai upaya dilakukannya untuk meninggalkan perbuatan maksiat, ia merasa kesulitan. Karena itulah ia meminta nasehat kepada Rasulullah. Dalam perjalanan pulang, lelaki itu bertanya didalam hatinya, “berat juga ternyata kalau aku harus meninggalkan apa yang dikehendaki oleh Rasulullah itu.”
Setiap kali hatinya terdorong untuk berbuat maksiat, sekejab saja hatinya mengejek dirinya, “Berani engkau berbuat jahat?apakah jawabnmu nanti apabila ditanya oleh Rasulullah? Sanggupkah engkau berbuat bohong kepadanya?” bisik hati kecilnya. Setiap kali ia berniat jahat,nasihat Nabi selalu teringat.” Kalau aku berbohong kepada Rasulullah berarti aku telah mengkhianati janjiku padanya. Sebaliknya jika aku mengatakan yang sebenarnya maka aku akan menerima hukuman sebagai orang islam. Ya Allah, sesungguhnya dalam nasihat Rasulullah tersebut terkandung hikmah yang sangat berharga.”
Dari kisah diatas dapatlah kita menarik suatu kesimpulan bahwa kalau kita mau berubah dan ingin menjadi pribadi yang unggul atau lebih baik lagi dari sebelumnya maka kita harus berjanji.  Berjanji untuk takut kepada Allah karena Allah selalu mengawasi kita dimanapun kita berada walaupun kita berada di kamar yang gelap gulita dan kita berpakaian hitam, dan ups!.. juga berkulit hitam, niscaya Allah masih dapat menemui kita dan mengetahui gerak-gerik kita bahkan mengetahui lintasan-lintasan yang berkecamuk didalam hati kita, berjanji untuk menjadi pribadi yang lebih baik tentu dengan cara mengevaluasi diri, cari potensi diri, setelah didapati, ubah menjadi prestasi, siap unjuk gigi, dan akhirnya menjadi pribadi yang lebih baik lagi ditiap periode kehidupan kita didunia ini.
Terkadang kita malas untuk berjanji dengan berbagai alasan salah satunya adalah takut untuk berjanji karena akan ada akibat yang ditanggung jikalau berjanji.
Jangan takut untuk berjanji
Inilah yang sering terjadi dikalangan umat manusia, ketakutan berjanji menghantui dirinya. Baginya janji adalah momok yang menakutkan. Monster yang siap menerkam. Yah.. gampangannya kalau tidak mau berjanji maka proses untuk menjadi pribadi lebih baik lagi akan lama waktunya mungkin dah keburu ajal menjemput. Tidak berani mengambil janji maka termasuk orang yang pengecut, tidak berani mengambil tantangan. Padahal tantangan itulah yang akan mendewasakan. Tantangan itu harus dihadapi bukan melangkah mundur karena tak ada keberanian atau dengan kata lain nyalinya ciut.
Dan ingat juga, kalau sudah berjanji perkataan yang sudah dijanjikan itu tak selayaknya untuk ditarik lagi kemulut. Ada perkataan bijak dari seorang bijak tentunya mengatakan bahwa, “ Pekataan seorang laki-laki haram untuk ditarik lagi” sebenarnya saya tidak sepenuhnya setuju dengan kalimat itu karena kalau perkataannya memang salah, masa’ nggak boleh diperbaiki, itu namanya penyesatan. Tapi ambil positifnya aja, ketika kita sudah berujar dan berjanji terhadap sesuatu dan itu baik untuk kita pribadi terlebih-lebih bagi orang lain juga, maka itulah yang jadi haram untuk ditarik kembali. Pabila ditarik kembali sama saja menelan ludah yang sudah dikeluarkan dari mulut. Ih.. jijik… pasti kita akan merasa jijik bukan. Nah.. seperti itulah pengibaratannya.
Konsekuensi
Berbicara tentang konsekuensi, pastilah ada dalam setiap aktivitas kehidupan kita baik itu amal baik maupun itu amal buruk, kedua-duanya memiliki konsekuensinya masing-masing. Tergantung kita mau pilih yang mana.
Pun ketika kita berjanji terhadap sesuatu maka pastilah ada konsekuensi yang akan kita tanggung akibat dari tidak dijalankannya dengan baik janji yang telah diujarkan.
Tapi lihat postifnya kembali saudaraku…dapat dilihat disinilah integritasnya atau penambahnya. Luar biasa. Seperti ketika Nabi Muhammad Saw bertransaksi. Disepakati untuk melunasi utang pada suatu hari dan ditempat yang sudah dijanjikan. Janji beliau ditepati. Tapi orang yang ditunggu-tunggu Nabi tidak juga datang hingga 3 hari lamanya. Hingga akhirnya orang itu pun datang dan selesailah pula transaksi yang dilakukan. Luar biasa yang dilakukan oleh Rasul. Ia bersedia menanti hingga lamanya akibat dari konsekuensi dari janjinya. Selayaknyalah kita bertauladan dari Rasulullah. Itulah konsekuensi dan harus ditepati.
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS. Al-A’raf: 179)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. (QS. Al-Anfal: 27)
Janganlah bersikap lalai terhadap pemenuhan janji yang telah kita ujarkan. Dan jugalah ingat bahwa janji itu adalah amanah yang harus diselesaikan. Jangan sampai kita mengkhianatinya padahal kita mengetahuinya.
Orientasi
Perlu diingat pula orientasi kita berjanji untuk apa? Bersihkan niat kita hanya untuk Allah. Orientasi kita hanya untuk Allah saja tidak ke yang lain. Janganlah kita berjanji karena ingin dilihat oleh orang lain, pingin dilihat baik, soleh, berjiwa besar, dan lain sebagainya. Apalah artinya amal tanpa niat atau orientasi yang salah. Hanya berujung pada kesia-siaan dan tentunya penyesalan lah yang akan didapat dikemudian hari terlebih-lebih diakhirat kelak. Astaghfirullah. Banyak-banyaklah beristighfar agar hati kian bersih dari riya’.
Jadilah pribadi yang berani berjanji, agar menjadi obsesi untuk memperbaiki diri.
Wallahu’alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar