.

Kamis, 24 Oktober 2013

Cermin Dakwah Hari Ini



Syaikh Abbas Hasan As-Siisi menuturkan bahwa individu adalah komponen terkecil penyusun masyarakat, Dia memegang peranan penting dalam menentukan perjalanan dan bentuk masyarakat itu sendiri. Oleh kerana itu, yang menjadi tonggak dalam gerakan kita adalah individu, kemudian keluarga, dan akhirnya masyarakat. Inilah karakteristik Islam yang paling menonjol, yaitu pembentukan pribadi islami {takwin asy-syakhshiyab al-islamiyyah).

Sederhananya, menurut Abbas Assiisi setiap diri (baca: Pribadi) adalah seorang penggerak dan pembentuk suatu pribadi yang berkepribadian islam. Meskipun kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa jumlah orang yang memusuhi Islam sangat banyak, namun jika kita dapat mengajak satu orang dari mereka dalam setiap hari agar mau bergabung dalam dakwah islamiah ini, maka secara langsung dan tidak langsung kita telah mengentaskan orang tersebut untuk dapat keluar dari kebodohan dan pembodohan jahiliyah menuju pembebasan dan pencerahan pribadi di bawah naungan cahaya Islam.

Kaitannya dengan kaderisasi suatu pergerakan, terutama sekali pergerakan dakwah kampus tentunya hal ini menjadi sangat penting. Dalam dakwah kampus, kita mengenal adanya Dakwah Fardiyah (DF) atau Self Education kader-kader dakwah. Akan tetapi realita dilapangan adalah tidak semua kader dakwah faham urgensi dari dakwah fardiyah itu sendiri. Bahkan latah kader dakwah adalah menyerahkan mandat dakwah fardiyah (baca: rekrutmen) nglothok kepada departemen kaderisasi atau saklek pada seorang kader yang kebetulan sebagai staff ataupun anggota kaderisasi atau yang dinilai mampu melakukan hal tersebut. Sebuah Latahisasi kader dakwah yang kemudian menjadi tolak banding dari gerakan dakwah.

Selama kurang lebih 2 tahun menjabat sebagai staf kaderisasi, mungkin akan terlalu dini jika kemudian saya mencoba untuk membuat formulasi antigen Latahisasi ini. Perjalanan menuju pembuatan formulasi ini berawal dari sebuah pengalaman dini mengelola kaderisasi. Berlebihan rasanya jika kemudian saya mengatakan bahwa kaderisasi itu sampai mati, tapi saya yakinkan bahwa ini benar keharusan.

Teringat perkataan syaikhut tarbiyah kita, Ustadz Rahmat Abdullah yang mengatakan bahwa seyogyanya para da’i (Kader-kader dakwah) harus memiliki kemampuan untuk membangkitkan “indra ketuhanan” demi menarik simpati hati, menyatukan jiwa, dan berinteraksi dengan gerakan dakwah beserta medannya yang membentang luas. Ini semua dapat terwujud dengan ajakan dan seruan yang baik, cara yang baik, metode dialogis, dan argumen-tasi yang lebih baik, serta keteladanan yang “tanpa cela”. Dasar inilah yang kemudian menjadi dalih seorang kader enggan untuk terjun ke medan dakwah (rekrutmen).

Kecenderungan yang sama, ketika pertama kali bergabung dengan departemen kaderisasi di sebuah lembaga dakwah fakultas, saya pribadi tidak merasakan adanya sebuah dorongan besar untuk mampu mengajak, merekrut orang lain untuk kemudian bergabung dengan dakwah. Tanggung jawab hanya dilaksanakan sebatas keterlaksananya suatu program kerja departemen, selebihnya adalah sibuk mempertanyakan dan menggubrisi hal – hal yang sifatnya Event Organizing(EO) semata-mata.

Sebuah harga yang saya pikir impas jika kemudian banyak data kader yang tidak valid, baik validitas database halaqoh maupun database simpatisan pergerakan. Dikatakan demikian tidak lain karena kader dakwah lebih disibukkan pada aktivitas – aktivitas EO dan pelaksanaan proker, untuk kemudian gagal mengecek ulang database kader.

Kesadaran untuk mengajak orang lain biasanya akan muncul manakala pada evaluasi departemen selalu saja menyinggung pada satu hal, minimnya jumlah kader. Aksi perombakan sistem perekrutan pun harus dilakukan, bahkan ranah nama kegiatan perekrutan pun harus diubah,tanpa meninggalkan esensinya. Misal yang pada awalnya hanya “Open Rekrutmen” menjadi “OPERA” (Open Rekrutmen Aktivis) atau Training Dasar Kepemimpinan (TDK) diubah menjadi “CASTING “ ( guidanCe Agriculture STar trainING).
Putaran waktu yang akan memperlihatkan kepada kita peristiwa-peristiwa yang mengejutkan dan memberikan peluang kepada kita untuk terus berbuat. Dunia akan melihat bahwa dakwah kita adalah hidayah, kemenangan, dan kedamaian, yang dapat menyembuhkan umat dari rasa sakit yang tengah dideritanya. Seiring dengan meningkatnya kefahaman tentang pentingnya aktivitas merekrut (baca: kaderisasi) maka bertambahlah pemahaman kita tentang kemutlakan regenerasi. Ini yang kemudian masuk dalam sebuah refleksi kaderisasi tentang diri dan gerakan dakwah ini.

1. Tentang Diri

Syaikhut tarbiyah Indonesia, Ust. Rahmat Abdullah mengemukakan, dalam satu kesatuan amal jama’i ada orang yang mendapatkan nilai tinggi karena ia betul-betul sesuai dengan tuntutan dan adab amal jama’i. Kejujuran, kesuburan, kejernihan dan kehangatan ukhuwahnya betul-betul terasa. Keberadaannya menggairahkan dan menenteramkan. Namun perlu diingat, walaupun telah bekerja dalam jaringan amal jama’i, namun pertanggungjawaban amal kita akan dilakukan di hadapan Allah SWT secara sendiri-sendiri. Karenanya jangan ada kader yang mengandalkan kumpulan-kumpulan besar tanpa beru-saha meningkatkan kualitas dirinya. Ingat suatu pesan Rasulullah SAW: Man abtha-a bihi amaluhu lam yusri’ bihi nasabuhu (Siapa yang lamban beramal tidak akan dipercepat oleh nasabnya ).
Dengan atau tanpa disadari diri kita adalah bagian terpenting dari proses rekrutmen itu sendiri. Jika sebagai pelaku perekrutan, maka persiapan diri harus dilakukan sedini mungkin. Dalam kaidah pergerakan tentu kita mengenal kaidah 10 Muwassofat kader. Hal lain dalam persiapan diri sedini mungkin dalam proses perekrutan ini adalah amaliyah yaumi diri kita pribadi. Amaliyah yaumi, dengan ataupun tanpa disadari akan berpengaruh besar terhadap kedekatan kita pada Allah SWT yang Maha membolak-balikkan hati dan tentunya dengan kedekatan kita kepada Allah SWT diharapkan proses rekrutmen yang dilakukan akan sampai dan sesuai dengan pada apa yang menjadi titik ukur pencapaian rekrutmen tersebut.
Ketika amaliyah yaumi ini lemah maka bias dipastikan akan lemah pula ikatan hati kita terhadap objek rekrutmen kita. Boleh jadi target rekrutmen awal tercapai namun esensi dari akhir proses perekrutan menjadi remang-remang atau bahkan kabur sama sekali. Kekeringan atau dehidrasi amaliyah yaumi yang berkelanjutan adalah salah satu jawaban mengapa dalam setiap evaluasi selalu saja nglothok pertanyaan yang sama, minimnya jumlah kader yang boleh jadi hal ini adalah bentuk ‘alarm’ dari Allah tentang batapa parahnya dehidrasi amaliyah yaumi kita.

2. Tentang diri dan gerakan dakwah ini

Berbicara mengenai diri dan gerakan dakwah ini tidak bisa memisahkan diri dengan jama’ah dakwah. Dalam jamaah dakwah islamiah sendiri, kita mengadakan suatu program yang kita sebut dengan projek al-akh al-wahid, yaitu setiap anggota berjanji dan berusaha untuk mengajak satu orang anggota baru dalam satu tahun. Tidak seorang pun diperbolehkan menunda-nunda waktu, karena perputaranwaktu adalah bahagian dan pengobatan dan pembentukan (at waqtu juz’un minal ‘ilaj wat takwin). Sehari dalam kehidupan individu adalah setahun dalam kehidupan umat. Umat yang mengerti betul akan hakikat kehidupan, mereka tidak akan pernah mati. Ini semua akan bergantung pada para da’i dalam memandang kesucian dan urgensi risalah dakwah serta bergantung pada pengorbanan para da’i, baik harta, tenaga, maupun waktu. Yang perlu diperhatikan oleh para da’i pada masa pembentukan (fase takwiniyab) adalah memberikan uswah hasanah, bertujuan menampilkan di hadapan masyarakat gambaran nyata tentang Islam.

Dengan memahami hal di atas maka sebagai seorang kader dakwah yang notabenenya adalah seorang da’i maka telah sewajarnya dan telah seharusnya kita memahami bahwa tugas mulia kita adalah mengajak orang lain untuk turut merasakan nikmatnya keimanan dalam naungan islam. Tidak perlu lagi seorang kader dakwah itu menumpukkan tugas ‘merekrut kader’ hanya kepada personal atau departemen kaderisasi semata, sejatinya kitalah para perekrut itu. Dengan pemahaman yang mendalam akan pentingnya menyampaikan pesan-pesan risalah kenabian ini, maka itu adalah antigen yang mampu membentuk system antibody dalam tubuh seorang aktivis gerakan dakwah agar tidak terjangkit gejala penyakit Latahisasi seperti yang saya sebutkan diawal.

Sebuah ikhtiar dan sebuah usaha refleksi diri agar kedepan mampu berkontribusi lebih terhadap dakwah ini. Tidak ada kata premature dalam proses kaderisasi karena sejatinya kaderisasi itu sampai mati !
Wallahu a’lam, semoga menambah kebermanfaatan.

Umi Qona’ah
Staff KAMMI Komisariat Al-Quds 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar