.

Rabu, 23 Oktober 2013

Momentum Terbaik Teladani Pribadi Ayahanda Ibrahim





TIDAK terasa, waktu bergulir seolah begitu cepat. Kita, baru saja merayakan hari raya besar Idul Adha. Sebuah hari yang memaparkan banyak hikmah dan pelajaran penting lagi mendasar bagi seluruh umat Islam meraih sukses, bahagia dan keselamatan dunia dan akhirat.

Secara historis, Idul Adha menampilkan tiga sosok manusia luar biasa, yakni Nabi Ibrahim, Nabi Ismail dan seorang ibu bernama Hajar. Inilah keluarga ideal yang memiliki kebahagiaan luar biasa. Mereka hidup demi iman dan kebenaran semata. Tidak ada yang sangat penting lagi mendasar bagi keluarga ini selain daripada taat, tunduk dan total mengabdi kepada Allah Subhanahu Wata’ala.

Oleh karena itu, keluarga yang dipimpin oleh Nabi Ibrahim ini selalu berhasil lolos dari jebakan dan rayuan syetan terkutuk. Sebaliknya, sang pemimpin alias kepala keluarga, yakni Nabi Ibrahim, selalu mampu menjalankan perintah Allah Ta’ala dengan tuntas dan sempurna.

Itulah sebabnya, secara eksplisit Allah memerintahkan umat Islam agar meneladani Nabi Ibrahim.

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ

“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka.” (QS. Al Mumtahana: 4).

Keutamaan Nabi Ibrahim

وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَاماً قَالَ وَمِن ذُرِّيَّتِي قَالَ لاَ يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya.” (QS. 2: 124).

Inilah satu kemuliaan dari Nabi Ibrahim Alayhissalam. Ibn Katsir menjelaskan bahwa Nabi Ibrahim adalah sosok manusia yang selalu taat secara sempurna kepada Allah, baik terhadap larangan atau pun perintah. Mengenai komitmen Nabi Ibrahim tentang ketaatan ini Allah tegaskan pada ayat yang lain. “Dan Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji.” (QS. 53: 37).

Adapun yang dimaksud dengan lafadz kalimat menurut Ibn Katsir tiada lain adalah kalimat syari’iyyah, sebagaimana Allah tegaskan, “Sempurna sudah kalimat Rabbmu (Al-Qur’an), sebagai kalimat yang benar dan adil” (QS. 6: 115).

Maksudnya adalah kalimat-kalimat (ketentuan-ketenteuan) Allah Ta’ala yang bersifat syari’at, dan itu bisa berupa berita yang benar maupun perintah untuk berbuat adil, jika itu berupa perintah atau larangan.

Inilah satu di antara sekian banyak kemuliaan yang dimiliki oleh Nabi Ibrahim, yakni taat, patuh dan tunduk secara total kepada syariat Allah Ta’ala, termasuk ketentuan dalam hidupnya, entah itu berupa takdir baik maupun buruk. Kemudian Nabi Ibrahim selalu menjalankan apa pun perintah Allah Ta’ala dengan sempurna dan menjauhi apa pun larangan Allah dengan sempurna pula.

Nabi Ibrahim adalah ayah, pemimpin dan suami yang benar-benar memahami kebenaran firman-firman Allah Ta’ala. Dengan itulah ketaatan yang mengagumkan bisa dibuktikan. Allah sendiri menilai ayah Nabi Ismail ini sebagai sosok Muslim yang selalu membenarkan janji-janji Allah Ta’ala.

“Ceritakanlah (Hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al Kitab (Al Quran) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang Nabi.” (QS. 19: 41).

Dengan demikian, mari kita bersama-sama bekali diri dengan pemahaman terhadap syariat secara baik, sehingga tidak ada keraguan di dalam hati terhadap kebenaran janji-janji Allah, yang dengan itu energi ketaatan bisa terus ditingkatkan dan disempurnakan.

Bijaksana

Kemudian, keutamaan lain dari Nabi Ibrahim yang dominan adalah bijaksana. Nabi Ibrahim tidak terlihat kaku dan otoriter dalam menjalankan perintah Allah Ta’ala. Sebaliknya sangat lembut, bijaksana dan penuh pengertian.

Hal ini digambarkan Allah di dalam al-Qur’an, “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. 37: 102).

Artinya, Nabi Ibrahim tidak merasa diri sebagai ayah, pemimpin atau yang paling senior lantas memaksakan kehendaknya kepada orang lain meski itu adalah perintah Allah Ta’ala. Nabi Ibrahim dengan penuh kelembutan mendatangi putranya, kemudian menyampaikan perihal apa yang dialaminya, kemudian memberikan waktu kepada putranya untuk berpikir mengenai apa yang dialami itu.

Sungguh suatu peristiwa yang menyejukkan hati. Beginilah seharusnya, seorang ayah berdialog dengan putra-putrinya. Seperti itulah idealnya seorang pemimpin berdiskusi dengan bawahannya. Tidak ada arogansi dan otoritarian, yang ada hanyalah kelembutan dan kebijaksanaan.

Menurut Ibn Katsir, metode yang diambil oleh Nabi Ibrahim yang sangat bijaksana dalam menyampaikan perintah Allah Ta’ala kepada putranya Ismail terbukti sangat efektif.

Sebab, metode tersebut secara langsung dapat menilai sejauh mana kesabaran, ketangguhan dan kemauan keras putranya dalam menjalankan perintah Allah, termasuk mentaati orang tuanya, sehingga ketika tiba saat pelaksanaan perintah-Nya, semua dapat dijalankan dengan mudah dan tidak perlu ada pemaksaan apa pun dan dari siapa pun.

Inilah sosok Nabi Ibrahim yang memiliki dan selalu mengutamakan kebijaksanaan di atas kemarahan dan ketergesa-gesaan dalam mewujudkan apa pun. Mengutamakan dialog daripada pemaksaan, mendahulukan hati daripada rasio dan kepentingan. Sesuatu yang mesti kita teladani sebagai kepala keluarga maupun pemimpin di masyarakat.

Mewariskan Ketauhidan

Sebagai orangtua, tentu Nabi Ibrahim ingin anak dan seluruh keturunannya hidup dalam kebahagiaan. Dan, ini adalah fitrah bagi para orang tua, pasti ingin putra-putrinya dan keturunannya hidup bahagia.

Tetapi, sumber kebahagiaan ternyata tidak terletak pada apa pun, kecuali ketauhidan dalam iman kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Oleh karena itu, Nabi Ibrahim sedemikian rupa menekankan pentingnya ketauhidan ini bagi keluarga dan seluruh anak-anaknya.

Pada akhirnya, Nabi Ibrahim berhasil memprakarsai satu tradisi mulia nan membahagiakan yang dilanjutkan oleh keturunannya, yakni warisan ketauhidan. Lebih-lebih tatkala raga sudah merasakan betapa ajal begitu dekat menjemput. Hal ini Allah kisahkan di dalam al-Qur’an.

وَوَصَّى بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَا بَنِيَّ إِنَّ اللّهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّينَ فَلاَ تَمُوتُنَّ إَلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ

“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam.” (QS. Al-Baqarah [2]: 132).

Artinya, tidak ada pesan atau tepatnya warisan yang terindah bagi seorang Muslim dari kedua orang tuanya, selain daripada warisan agar benar-benar mengesakan Allah Subhanahu Wata’ala. Karena, dengan ketauhidan yang digenggam dalam kehidupan hingga ajal tiba itu sajalah, seorang Muslim berpeluang besar meraih keridhoan-Nya.

Selain itu, secara sosial, anak-anak yang dibekali tauhid, insya Allah akan memiliki kesadaran tinggi untuk tidak melakukan tindakan kriminal berupa apa pun yang dapat membinasakan diri sendiri, lebih-lebih orang lain. Mengapa hari ini banyak remaja dan orang melakukan tindak kriminal dan kemaksiatan, tiada lain mungkin karena mereka tidak mendapat nasehat, wasiat atau pun warisan ketauhidan, sehingga mereka lalai terhadap ancaman Allah baik di dunia maupun di akhirat.

Oleh karena itu, melalui momentum Idul Adha ini, mari kembali kita tata kehidupan kita, kita susun ulang kepribadian kita agar lebih indah dengan keimanan yang kokoh dan akhlak yang mulia, kita kembali berkonsentrasi dan bersungguh-sungguh untuk total menjadi Muslim sejati, seperti yang telah diteladankan oleh Nabi Ibrahim Alayhissalam.

Karena, hakikat ibadah qurban ini tidak saja pada acara penyembelihan hewan qurban semata, lebih jauh ada pada penataan diri, keluarga dan masyarakat yang total tunduk kepada Allah Ta’ala dengan penuh kesadaran dan keimanan.*/Imam Nawawi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar