.

Rabu, 25 April 2012

Karena Hati Ini Telah Lapang



Ada dua kenikmatan yang bertolak belakang di waktu malam: Kenikmatan di dunia gemerlap (dugem), begitu orang-orang menyebutnya; dan kenikmatan di sepertiga akhir malam yang dirasakan oleh pelaku tahajud. Kenikmatan yang pertama mudah dirasakan, sedangkan kenikmatan kedua perlu waktu dan perjalanan yang panjang untuk merasakan nikmatnya.

Di siang hari yang terik, ada dua kenikmatan yang juga bertolak belakang. Satu kenikmatan di cafe-cafe dan tempat makan, satu kenikmatan orang yang tengah menahan lapar dan dahaga dalam shoumnya.

Kenikmatan yang kedua sering tidak dimengerti oleh orang lain.

Saya pernah mendengar kisah tentang dialog seorang penikmat dunia dengan seorang sahabat Al-Qur’an (shohibul Qur’an), yang kurang lebih dialognya seperti ini: "Kenapa kamu menghabiskan waktu dengan Al-Qur’an? Lebih baik kamu mendalami ilmu-ilmu dunia agar wawasan kamu bertambah." Ujar si penikmat dunia.

"Wah, saya kalau sehari saja tidak membaca Al-Qur’an, rasanya hidup ini tidak nikmat." Ujar shohibul Qur’an

"Bagaimana mungkin?" Penikmat dunia tidak mengerti dan tidak percaya.

"Akan susah saya menerangkan kenikmatan itu kepada anda, seperti ibaratnya menerangkan kenikmatan pernikahan pada anak yang belum baligh." Pungkas shohibul Qur’an.

Maka tidak mengherankan apabila di suatu tempat masyarakatnya begitu antusias menyambut perda syari’at, sedangkan di tempat lain orang-orang terperangah dan tidak habis pikir bagaimana mungkin di zaman modern ini masih ada yang ingin hidup di bawah naungan syari’at. "Kembali ke zaman batu" pikirnya. Begitulah, ada kenikmatan yang tidak bisa dirasakan oleh semua orang.

Al-Qur’an surat Al-An’am ayat 125 sudah menerangkan hal ini, "Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman."

Kelapangan dada dalam Islam lah yang dimiliki oleh pelaku tahajud, pecinta shoum sunnah, shohibul Qur’an, dan masyarakat yang menerima syariat. Kelapangan dada itu tidak dimiliki oleh pecinta dunia. Melihat kenikmatan-kenikmatan itu saja mereka sudah terasa sesak dadanya dan sulit untuk mereka mengerti bahwa ada kenikmatan di balik itu.

Ulama salaf pun berkata mengenai kenikmatan hidup di bawah naungan Islam: "Seandainya para raja itu tahu kenikmatan yang kami rasakan, tentu mereka akan merebutnya dengan pedang mereka."

Memang ada gap yang besar antara penikmat dunia dan pecinta akhirat. Yang pertama berada di wilayah lembah, sedangkan yang kedua ada di wilayah pegunungan. Untuk ke lembah, tak terlalu besar energi terkuras. Tapi untuk beralih ke wilayah pecinta akhirat, ada tebing tinggi yang perlu ditaklukan. Ada jalan yang mendaki dan sukar. Al-Aqobah. Allah menyebutnya dalam surat Al-balad: "Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar." (QS Al-Balad (90) : 11)

Tetapi setelah berada di pegunungan tinggi itu, maka ungkapan seperti ini terasa masuk di akal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar